• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Oleh

WIDYA AMANDA 077005147

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN

HUKUM PIDANA NASIONAL

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

Dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

UniversitasSumatera Utara

Oleh

WIDYA AMANDA

077005147/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Nama Mahasiswa : Widya Amanda

Nomor Pokok : 077005147

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS)

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM)

Ketua Program Studi Dekan

(4)

Lulus Tanggal : 14 Juni 2010 Telah Diuji Pada

Tanggal 14 Juni 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana penjara jangka pendek. Karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana penjara dan dianggap sebagai pidana yang kurang efektif. Pidana penjara juga menimbulkan dampak negatif seperti over kapasitas,dehumanisasi, pendidikan kejahatan oleh penjahat. Oleh karena itu, narapidana pidana penjara jangka pendek tidak dapat digabungkan dengan narapidana pidana penjara jangka panjang, maka dicari alternatif pidana penjara jangka pendek, yang salah satunya pidana kerja sosial yang sesuai dengan tujan pemidanaan yang bukan hanya melindungi kepentingan masyarakat tetapi juga melindungi kepentingan individu narapidana Adapun yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah: Pertama, bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan. Kedua, bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006. dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. Ketiga, apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative

approach). Pengumpulan data dillakukan dengan studi kepustakaan (library research) dan keseluruhan data dianalisis secara kualitatif. .

(6)

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dimasukkan ke dalam hukum positif di masa akan datang, seperti halnya pidana kerja sosial atau bentuk pidana baru lainnya yang sesuai dengan perasaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Kepada masyarakat, perlu benar-benar menerima kehadiran narapidana yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan tidak menghalangi pelaksanaan pidana kerja sosial.

(7)

ABSTRACT

Community service order is an alternative for a short term punishment. People are dissatisfied with imprisonment since they consider it as ineffective. Prison also has negative effects, such as over capacity, dehumanization, and criminal education by other prisoners. The short term prisoners must not grouped together with the long term prisoners. Therefore, one of the alternatives is to create a short term imprisonment which one of them is community service order. This is in line with the aim of imprisonment, it is not only protect public interest,but also the prisoners themselves. The problems of research are first, what is the philosophical basis of community service order in the criminal laws; secondly, what is the concept of community service order in the reform of Indonesian criminal laws regulated in the Penal Code Bill of 2006 and its comparison with community service order in other countrie’s Penal Code; thirdly, was the concept of community service order in The Penal Code Bill in line with the aim of imprisonment according to Act Number 12,1995.

This research was done by using normative judicial research and descriptive analytic type. The analysis was done with statute approach, conceptual approach, and comparative approach. The data were gathered by using library research and done qualitatively.

(8)

ready to receive these prisoners to work in their surrounding and not hamper the implementation of community service order.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kesehatan dan

kesempatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul

penelitian adalah “Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun

petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik dari

pengajuan judul hingga penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Magister

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr.Bismar Nasution,SH,MH selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr.Sunarmi,SH,MHum selaku Sekretaris Program Studi Magister

Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH,MS selaku Pembimbing Utama yang telah

memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis.

5. Bapak Dr.Mahmud Mulyadi,SH,M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing

(10)

6. Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH,MH,DFM selaku Anggota Komisi

Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan tesis.

7. Bapak Prof.Dr. Syafruddin Kalo,SH,M.Hum selaku Penguji yang telah

banyak memberikan saran kepada penulis

8. Ibu Dr Marlina,SH,M.Hum selaku Penguji yang telah banyak memberikan

saran kepada Penulis.

9. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi

Magister Ilmu Hukum yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan

kepada penulis.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Keluarga

Besar Fakultas Hukum Universitas Sisingamangaraja XII Medan yang telah banyak

memberikan dukungan dan waktu untuk mengikuti studi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Program Pascasarjana.

Penulis juga berterimakasih kepada orang tua, Omakku sayang, Setiawan

Siregar, SH dan saudara-saudaraku, Nugraha,SH dan Triwahyuni, SS. Especially

thanks for V.A Sulaiman. Kalian telah banyak memberikan dukungan materiil dan

moril untuk menyelesaikan studi ini.

Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran

bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini

masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada

(11)

bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pidana kerja sosial sebagai salah

satu bentuk pidana yang ada di dalam pembaharuan hukum pidana nasional.

Hormat penulis,

(12)

` RIWAYAT HIDUP

Nama : Widya Amanda

Tempat/Tgl Lahir : Medan, 7 November 1979 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Instansi : Fak. Hukum Universitas Sisingamangaraja XII Medan Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 060884 No. 25 Medan

- Sekolah Menengah Pertama Negeri No. 34 Medan

- Sekolah Menengah Atas, Kristen Immanuel No. 1 Medan

- S1 Hukum USU Tahun 2002

(13)

DAFTAR ISI

BAB II : DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL DALAM FILSAFAT PEMIDANAAN ... 22

A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial ... 22

B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan ... 32

C. Pidana Kerja Sosial Merupakan Sanksi Pidana Bukan Sanksi Tindakan ... 47

BAB III : PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN PERBANDINGANYA DENGAN KUHP NEGARA LAIN ... 52

A. Prospek Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia ... 52

(14)

BAB IV : RELEVANSI KONSEP PIDANA KERJA SOSIAL DENGAN TUJUAN PEMASYARAKATAN MENURUT

UU NO. 12 TAHUN 1995 ... 126

A. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Kebijakan Kriminal ... 126

B. Relevansi Konsep Pidana Kerja Sosial Dengan Tujuan Pemasyarakatan Menurut UU No. 12 Tahun 1995 ... 130

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... .. 149

A. Kesimpulan ... .. 149

B. Saran ... .. 151

(15)

ABSTRAK

Pidana kerja sosial merupakan alternatif pidana penjara jangka pendek. Karena adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana penjara dan dianggap sebagai pidana yang kurang efektif. Pidana penjara juga menimbulkan dampak negatif seperti over kapasitas,dehumanisasi, pendidikan kejahatan oleh penjahat. Oleh karena itu, narapidana pidana penjara jangka pendek tidak dapat digabungkan dengan narapidana pidana penjara jangka panjang, maka dicari alternatif pidana penjara jangka pendek, yang salah satunya pidana kerja sosial yang sesuai dengan tujan pemidanaan yang bukan hanya melindungi kepentingan masyarakat tetapi juga melindungi kepentingan individu narapidana Adapun yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah: Pertama, bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan. Kedua, bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006. dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain. Ketiga, apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative

approach). Pengumpulan data dillakukan dengan studi kepustakaan (library research) dan keseluruhan data dianalisis secara kualitatif. .

(16)

nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat untuk kemudian dimasukkan ke dalam hukum positif di masa akan datang, seperti halnya pidana kerja sosial atau bentuk pidana baru lainnya yang sesuai dengan perasaan keadilan yang terdapat dalam masyarakat. Kepada masyarakat, perlu benar-benar menerima kehadiran narapidana yang bekerja di lingkungan sekitarnya dan tidak menghalangi pelaksanaan pidana kerja sosial.

(17)

ABSTRACT

Community service order is an alternative for a short term punishment. People are dissatisfied with imprisonment since they consider it as ineffective. Prison also has negative effects, such as over capacity, dehumanization, and criminal education by other prisoners. The short term prisoners must not grouped together with the long term prisoners. Therefore, one of the alternatives is to create a short term imprisonment which one of them is community service order. This is in line with the aim of imprisonment, it is not only protect public interest,but also the prisoners themselves. The problems of research are first, what is the philosophical basis of community service order in the criminal laws; secondly, what is the concept of community service order in the reform of Indonesian criminal laws regulated in the Penal Code Bill of 2006 and its comparison with community service order in other countrie’s Penal Code; thirdly, was the concept of community service order in The Penal Code Bill in line with the aim of imprisonment according to Act Number 12,1995.

This research was done by using normative judicial research and descriptive analytic type. The analysis was done with statute approach, conceptual approach, and comparative approach. The data were gathered by using library research and done qualitatively.

(18)

ready to receive these prisoners to work in their surrounding and not hamper the implementation of community service order.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Indonesia sekarang ini sedang berlangsung proses pembaharuan hukum

pidana. Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana

formal, hukum pidana materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum

tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala

dalam pelaksanaannya.1Salah satu bagian dari pembaharuan hukum pidana materiil

adalah pembaharuan terhadap KUHP. Ada tiga materi yang disusun dalam konsep2

yaitu:

a. masalah tindak pidana

b. masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana

c. masalah pidana dan pemidanaan3

Masalah tindak pidana, konsep bertolak pada asas legalitas, tetapi juga

memperluasnya secara materiil bahwa ketentuan asas legalitas tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup di dalam masyarakat terhadap perbuatan yang secara

1 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38

2 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.31-32.Naskah RUU KUHP ini disusun oleh dua tim yang bekerjasama yaitu tim pengkaji dan tim perancangan, yang kemudian dileburkan dalam satu tim. Berturut-turut yang menjadi tim ini adalah Prof. Sudarto, Prof. Mardjono Reksodiputro. Dari tim inilah berhasil memformulasikan dalam bentuk RUU pada tanggal 13 Maret 1993. Konsep ini dikenal dengan dengan “konsep 1991/1992”

(20)

materiil merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam menentukan tindak pidana

tidak lagi mengenal pembedaan antara pelanggaran dan kejahatan. 4

Masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dalam konsep

prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability

based on fault), namun dalam hal-hal tertentu konsep juga memberikan kemungkinan

adanya pertanggungjawaban yang sangat ketat (strict liability)5 dan

pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).6 Dalam konsep RUU KUHP,

pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, hanya dibatasi untuk perbuatan

yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sedangkan jika terjadi kealpaan (culpa)

pertanggungjawabannya merupakan pengecualian.7

Masalah pidana dan pemidanaan, menurut konsep, tujuan pemidanaan adalah

untuk perlindungan masyarakat, dan perlindungan individu pelaku tindak pidana.

Konsep bertolak pada pemikiran keseimbangan (monodualistik) antara kepentingan

masyarakat dan kepentingan individu. Pokok pemikiran yang menitikberatkan pada

perlindungan masyarakat, dapat dilihat dari dipertahankannya pidana mati walaupun

tidak dimasukkan ke dalam pidana pokok tetapi ditempatkan tersendiri sebagai

4 Ibid

5 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Press, 2007), hlm. 78. Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.

6 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan

Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008), hlm. 63. Vicarious liability adalah

pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan atasan dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh pekerja harus dalam ruang lingkup pekerjaannya. 7Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

(21)

pidana yang bersifat khusus. Sedangkan yang berorientasi kepada perlindungan

individu, dapat dilihat dari ide individualisasi pemidanaan.8

Menurut Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dapat dilihat

dari:9

1. Sudut pendekatan kebijakan

a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial

(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai atau menunjang

tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya

penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya bagian dari upaya pembaharuan substansi hukum

(legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan

peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik, sosio-filosofis dan

8 Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm. 36-37

(22)

sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi dan memberi isi terhadap

muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan.

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami

perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli.

Bila dilihat dari perkembangan masyarakat manusia, perubahan itu adalah hal yang

wajar, karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui tentang suatu hal

demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya

di masa lampau10 Sanksi pidana harus merupakan pernyataan secara konkret tentang

penilaian terhadap masyarakat terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.

Sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang menjauhi perbuatan yang dapat

membawa akibat pengenaan pidana itu. Pengenaan pidana itu harus diarahkan untuk

mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga

akan mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif.11

Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed)

kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada

pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk

pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.12 Menurut Alf Ross, untuk dapat

dikategorikan sebagai sanksi pidana (punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua

syarat atau tujuan. Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap

10 M. Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System

dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.1

11 Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan Pendapat

Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas, 2009), hlm.236-237

(23)

orang yang bersangkutan. Kedua, pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan

terhadap perbuatan si pelaku.13

Fungsi sanksi dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakut-nakuti

atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu, keberadaan sanksi tersebut

juga harus dapat mendidik dan memperbaiki si pelaku.14 Pidana itu pada hakikatnya

merupakan nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan

tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.15 Landasan pemikiran

pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya menitikberatkan

terhadap kepentingan masyarakat tetapi juga perlindungan individu dari pelaku

tindak pidana.

Dengan mengetahui efek dari berbagai sanksi pidana, maka hakim dapat

mempertimbangkan jenis pidana apa yang paling sesuai untuk kasus tertentu. Untuk

pemidanaan yang sesuai, masih perlu diketahui lebih banyak mengenai si pembuat.

Ini memerlukan informasi yang cukup tidak hanya tentang pribadi si pembuat, tetapi

juga tentang keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan yang dituduhkan.

Digunakannya pidana sebagai sarana untuk mempengaruhi tindak laku seseorang

tidak akan begitu saja berhasil, apabila sama sekali tidak diketahui tentang orang

yang menjadi objeknya. Hal yang paling diinginkan dari pidana tersebut adalah

mencegah si pembuat untuk mengulangi perbuatannya.16 Berkembangnya konsep

13 Ibid

14 M. Sholehhudddin, opcit hlm.162

15 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),hlm.3

(24)

untuk mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to

imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative sanction)17

Pidana kerja sosial (community service order) merupakan salah satu jenis

pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh

negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan.18

Pidana kerja sosial dimaksudkan agar terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah,

dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana

dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat.19 Karena adanya ketidakpuasan

masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang telah terbukti sangat

merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap

masyarakat.20 Selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif

untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan

(detterence effect) cukup andal.21

memuat jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Ancaman pidana terhadap tindak pidana yang dirumuskan dalam Buku Kedua hanya meliputi jenis pidana penjara, pidana denda dan atau pidana mati. Pidana tutupan dan pidana pengawasan pada dasarnya merupakan suatu cara pelaksanaan pidana sebagai alternatif dari pidana penjara. Sedangkan pidana kerja sosial, merupakan jenis pidana baru yang di berbagai negara sudah dilaksanakan secara luas. Pencantuman jenis pidana ini merupakan konsekuensi diterimanya hukum pidana yang bersifat daad daderstrafrecht yang sejauh mungkin berusaha untuk mengembangkan alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Melalui penjatuhan jenis pidana ini, terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat

20 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.5

21 Widodo, Ancaman Pidana Kerja Sosial Terhadap Pelaku Cybercrime di Indonesia,

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19&Item id=3,

diakses tanggal 10 Februari 2009. Lihat dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan

(25)

Setelah Perang Dunia II, dirasakan bahwa manfaat pidana penjara bagi

perbaikan atau rehabilitasi penjahat menjadi manusia yang lebih berguna sesudah

keluar dari penjara ternyata tidak ada sama sekali. Pidana penjara dan pelaksanaannya

telah banyak ditemukan berbagai dampak yang negatif, oleh karena itu perlu

diadakan modifikasi bentuk, batasan waktu pidana, tempat penyelenggaraan pidana,

dan stelsel pengaturan atau penerapan pidana.22 Pidana penjara yang singkat akan

menyebabkan narapidana itu berguru tentang kejahatan pada penjahat kakap.

Akhirnya, sesudah Perang Dunia II, dicari alternatif lain selain pidana penjara yang

singkat karena pidana penjara yang singkat seperti satu sampai enam bulan akan

menjadi too short for rehabilitation, too long for corruption, padahal sejak seratus

tahun yang lalu, von Liszt sudah berjuang agar dihapus pidana penjara yang singkat

itu.23

Menurut Wolf Middendorf, penggunaan pidana penjara jangka pendek

seharusnya dikenakan untuk “white collar crime” dimana pidana denda tidak

mempunyai pengaruh. Dan narapidana bagi pidana penjara jangka pendek harus

dipisah dari narapidana penjara jangka panjang. Narapidana penjara jangka pendek

ini seharusnya dikirim ke “open camp” dimana mereka dipekerjakan untuk

Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 74. Detterence effect ini dapat dibagi menjadi pencegahan umum (general detterence) dan pencegahan khusus (individual or special detterence).Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen, mempunyai tiga fungsi yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. Sedangkan prevensi khusus dimaksudkan dengan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya kembali.

22 Bambang Poernomo, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Yogyakarta:Liberty, 1988), hlm. 21 23 A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,

Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008),

(26)

keuntungan atau kepentingan masyarakat.24 Pidana penjara jangka pendek akan

sangat merugikan sebab disamping kemungkinan terjadinya hubungan-hubungan

yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek tidak mendukung

kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana di satu pihak, dan di lain

pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma atau cap jahat.25

Over capasity atau kelebihan tingkat hunian merupakan permasalahan utama

yang dihadapi lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) terutama

di Pulau Jawa. Tingkat hunian yang sudah melebihi daya tampung ini sangat

menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan maupun pemeliharaan sanitasi

para warga binaan itu sendiri. Oleh karena itu perlu dipikirkan langkah-langkah untuk

mengatasi tingkat kepadatan tersebut.26 Adapun perbandingan antara warga binaan

pemasyarakatan dengan kapasitas dari Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan di

Indonesia adalah sebagai berikut:27

Tabel 1. Perbandingan antara jumlah warga binaan pemasyarakatan dengan kapasitas

LP dan Rutan di Indonesia.

24 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.36

25 Wolf Middendorf dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op cit hlm. 80, bahwa stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan pandangan masyarakat terhadap dia, terganggu atau rusak.

26 Solusi Atas Over Capasity Lembaga Pemasyarakatan,

http://majalah.depkumham.go.id/node/122, diakses pada 5 Mei 2009

27 Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM RI, Visi, Misi dan

Strategi Kegiatan Bulan Tertib Pemasyarakatan, Disampaikan dalam Seminar Pencegahan Penyiksaan

(27)

Tahun

Sumber: Directorate of Registration and Statistic-DGC

Dari tabel di atas dapat dilihat kelebihan kapasitas dari LP dan Rutan. Pada

tahun 2004, kelebihan kapasitas sebanyak 19.559 orang, tahun 2005 kelebihan

kapasitas sebanyak 29.530 orang, tahun 2006 kelebihan kapasitas sebanyak 46.477

orang, tahun 2007 kelebihan kapasitas sebanyak 49.448 orang dan sampai Juni 2008

kelebihan kapasitas sebanyak 55.760 orang.

Pidana penjara juga membawa “pendidikan kejahatan oleh penjahat”.

Lembaga Pemasyarakatan seringkali berfungsi sebagai “tempat kuliahnya para

penjahat” yang akan melahirkan penjahat yang lebih profesional. Dengan lahirnya

penjahat profesional ini, pada gilirannya juga akan menambah beban kepada

masyarakat karena timbulnya ancaman yang lebih besar.28

Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana

terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan

kemerdekaan bergerak. Oleh karenanya terpidana membutuhkan proses adaptasi

(28)

sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota

masyarakat yang baik.29

Ada tiga alternatif pidana yang dapat menggantikan pidana penjara,yaitu

kontrak atau perjanjian untuk pembinaan (contract treatment), pencabutan dan

pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak tertentu (deprivation and interdicts

concerning rights or licencies), pidana kerja sosial (community service order).30

Dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, kajian yang dilakukan tersebut

merupakan sumbangan yang sangat berharga. Dalam konsep pembaharuan hukum

pidana Indonesia, dilihat dari telah diadopsinya pidana kerja sosial dalam Rancangan

KUHP.31

Berdasar uraian di atas maka tertarik untuk mengkaji tentang pidana kerja

sosial yang menjadi salah satu bentuk pidana yang ada dalam pembaharuan hukum

pidana nasional.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti

antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan?

29 Ibid

30 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:Akademi Persindo, 1984), hlm. 24

(29)

2. Bagaimana konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana

Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006 dan perbandingannya

dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain?

3. Apakah konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP Tahun 2006 sesuai dengan

tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang

akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat pemidanaan.

2. untuk mengetahui konsep pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum pidana

Indonesia yang diatur dalam RUU KUHP Tahun 2006 dan perbandingannya

dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain.

3. untuk mengetahui sesuai atau tidaknya konsep pidana kerja sosial dengan tujuan

pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Kedua

manfaat tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam

(30)

suatu pemikiran tentang pidana kerja sosial yang berguna bagi penyusunan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pidana tersebut. Dengan bahan

hukum yang terkumpul, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan

bagi studi yang lebih mendalam tentang pidana kerja sosial sebagai salah satu

bentuk pidana yang ada dalam RUU KUHP Tahun 2006.

2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan oleh semua pihak

dalam pemahaman terhadap pemikiran tentang pidana kerja sosial sebagai salah

satu bentuk pidana.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan berdasarkan data yang yang

ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Ilmu

Hukum, diketahui bahwa penelitian tentang pidana kerja sosial dalam pembaharuan

hukum pidana nasional belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan

masalah yang sama. Penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas

keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas saran-saran

yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan permasalahan.

(31)

Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan

berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Pembabakan tentang tujuan pemidanaan

ini dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment, social defence

dan restorative justice.

a. Teori retributif

Teori ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan

yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral

dan asusila di masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan

menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga

pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.32

b. Teori Detterence

Teori detterence dapat dibagi menjadi teori special detterence dan teori

general detterence. Dalam special detterence theory (pencegahan khusus), efek

pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan

dilakukan (after the fact inhibition), sehingga terpidana tidak akan lagi melakukan

kejahatan serupa di masa datang. Menurut teori ini, pemidanaan merupakan sarana

untuk mengintimidasi mental si terpidana. Teori ini disebut juga dengan teori

penjeraan yang bermaksud agar pelanggar menjadi jera. Dan oleh H.L Packer disebut

dengan intimidation theory. 33

32 Mahmud Mulyadi, op cit, hlm. 68-69

(32)

Sedangkan dalam general detterence (pencegahan umum), efek pencegahan

dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan

(before the fact inhibition). Pencegahan umum ini dilakukan melalui pemidanaan

yang dijatuhkan secara terbuka atau diketahui umum sehingga orang lain dapat

dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan yang sama.34

c. Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang

berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan pada pelaku kejahatan,

bukan pada perbuatannya. Pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran ini adalah

untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada

pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.Pelaku kejahatan adalah orang

yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation).35

d. Teori Social Defence

Menurut F. Gramatika, hukum perlindungan masyarakat (law of social

defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama hukum

perlindungan masyarakat adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan

bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan masyarakat

34 Ibid

(33)

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan

tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. 36

Menurut Marc Ancel, yang menamakan gerakannya dengan New Social

Defence, atau perlindungan masyarakat baru ingin mengintegrasikan ide-ide atau

konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

Konsepsi atau pemikiran yang dikemukakan oleh gerakan perlindungan masyarakat

baru ini adalah:

1. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, karena itu sistem hukum, tindak pidana, penilaian hakim terhadap pelaku serta pidana merupakan institusi yang harus tetap dipertahankan, namun tidak digunakan dengan fiksi-fiksi dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.

2. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial (a human and

social problem) yang tidak dapat begitu saja dipaksakan dimasukkan dalam

perundang-undangan.

3. Kebijakan pidana bertolak pada konsepsi pertanggungjawaban yang bersifat pribadi (individual responsibility) yang menjadi kekuatan penggerak utama dan proses penyesuaian sosial. Pertanggungjawaban pribadi ini menekankan pada kewajiban moral ke arah timbulnya moralitas sosial.37

e. Teori Restorative Justice

Adapun teori restorative justice menurut Muladi yaitu:

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain, dan diakui sebagai konflik.

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan.

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi

36 F. Gramatika dalam Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di

Indonesia, (Malang: UMM Press, 2004), hlm.65

(34)

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi seebagai tujuan utama.

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil. 6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif.

8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab.

9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik.

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis. 11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.38

Pidana kerja sosial sangat sesuai dengan teori sosial defence karena pidana ini

mengintegrasikan terpidana ke dalam tertib sosial. Dari segi aspek perlindungan

masyarakat, pidana kerja sosial yang merupakan alternatif dari pidana penjara jangka

pendek dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari penerapan pidana penjara

jangka pendek. Terpidana dapat terhindar dari stigmatisasi, kehilangan rasa percaya

diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana. Dengan pidana kerja

sosial,terpidana dapat menjalani kehidupannya secara normal sebagaimana orang

yang tidak sedang menjalani pidana. Adanya kebebasan ini akan memberikan

kesempatan kepada terpidana untuk menjalankan kewajibannya kepada keluarga dan

masyarakat. Berhasilnya pembinaan individu terpidana akan memberikan

perlindungan terhadap individu untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan akan

memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan berkurangnya ancaman sebagai

korban kejahatan.

2. Landasan Konsepsi

(35)

Landasan konsepsional akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan

konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan ini. Konsep merupakan bagian

yang penting dari rumusan teori. Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata

yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang

lazim disebut definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk

menghindarkan perbedaan pengertian penafsiran mendua dari suatu istilah yang

dipakai. Selain itu juga dipergunakan untuk memberikan arah pada proses penelitian

ini. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu pidana kerja sosial dan

pembaharuan hukum pidana. Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian

masing-masing sebagai berikut:

a. Pidana adalah reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja

ditimpakan negara pada pembuat delik itu.39

b. Pemidanaan diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian

sanksi dalam hukum pidana.40

c. Pidana kerja sosial adalah suatu bentuk pidana dimana pidana yang dijalani oleh

terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Pelaksanaan

pidana ini tidak bersifat komersial.41

d. Pembaharuan hukum pidana adalah suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan

reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosial politik,

sosial filosofis, dan sosial kultural masyarakat Indonesia yang melandasi

39 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 9 40 M.Sholehuddin, op cit, hlm. 42

(36)

kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di

Indonesia.42

e. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan

Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang

merupakan bagian akhir dari sistem pembinaan dalam tata peradilan pidana43

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif.44 Penelitian

ini melakukan terhadap pidana kerja sosial yang ada di dalam RUU KUHP Tahun

2006 dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Sifat penelitiannya adalah

deskriptif analitis yaitu memaparkan dan menguraikan berbagai permasalahan dan

menganalisis permasalahan tersebut yang berkenaan dengan pidana kerja sosial

terutama dasar filosofisnya dalam filsafat pemidanaan, prospeknya dalam pembaruan

hukum pidana nasional dan perbandingannya dengan pidana kerja sosial yang diatur

dalam KUHP negara asing.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan

(statute approach)45 yang mengatur jenis-jenis pidana dalam KUHP dan pidana kerja

42 Yesmil Anwar dan Adang, op cit, hlm.20-21

43 Pasal 1 ayat 1 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

44 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 295, bahwa yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

(37)

sosial yang diatur dalam KUHP negara lain yang akan dijadikan sebagai

perbandingan. Pendekatan konseptual (conseptual approach)46 dilakukan untuk

memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. Pendekatan

perbandingan (comparative approach)47 dilakukan untuk melihat bagaimana negara

lain mengatur dan menerapkan pidana kerja sosial.

2. Sumber Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari:

1. Bahan hukum primer yakni KUHP, RUU KUHP Tahun 2006, dan peraturan

perundang- undangan negara lain yang mengatur tentang pidana kerja sosial.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks,

jurnal, doktrin yang berkaitan dengan pidana kerja sosial.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan

bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum,

ensiklopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library research) yaitu

meneliti bahan-bahan seperti buku-buku, konsep rancangan undang-undang,

yuridis, yaitu penelitian terhadap produk-produk hukum. Dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. 46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 137, bahwa pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan karena belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.

(38)

dokumen-dokumen serta sumber teoritis lainnya yang dikumpulkan melalui

literatur-literatur yang berhubungan dengan pidana kerja sosial.

4. Analisis Data

Keseluruhan data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif.48 Analisis

kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan

menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua data diseleksi

dan diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan

dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan

dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.

Masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab untuk lebih memperjelas ruang lingkup dan

cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab

serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:

Bab I yang merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, kerangka teori dan konsepsi,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

(39)

Bab II yang menguraikan dasar filosofis pidana kerja sosial dalam filsafat

pemidanaan dan dalam subbabnya menjelaskan latar belakang lahirnya pidana kerja

sosial, pidana kerja sosial dilihat dari filsafat pemidanaan, pidana kerja sosial

merupakan sanksi pidana bukan sanksi tindakan.

Bab III yang menguraikan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan

hukum pidana Indonesia dan perbandingannya dengan KUHP negara lain dan dalam

subbabnya menjelaskan prospek pidana kerja sosial dalam pembaharuan hukum

pidana Indonesia, perbandingan konsep pidana kerja sosial dalam RUU KUHP

Indonesia Tahun 2006 dengan pidana kerja sosial dalam KUHP negara lain.

Bab IV menguraikan relevansi konsep pidana kerja sosial dengan tujuan

pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995 dan dalam sub babnya menjelaskan

bahwa pidana kerja sosial dilihat dari kebijakan kriminal, relevansi pidana kerja

sosial terhadap tujuan pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995.

Bab V menguraikan kesimpulan yang merupakan rangkuman dari hasil

penelitian dan analisanya. Begitu juga dengan saran-saran yang merupakan

(40)

BAB II

DASAR FILOSOFIS PIDANA KERJA SOSIAL DALAM FILSAFAT PEMIDANAAN

A. Latar Belakang Lahirnya Pidana Kerja Sosial

Dewasa ini baik di Indonesia maupun di dunia internasional muncul

kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan terutama

pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. Upaya untuk mencari alternatif

pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan, bahwa pidana perampasan

kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan, pertimbangan

filosofis maupun pertimbangan ekonomis.49

Atas pertimbangan kemanusiaan, pidana perampasan kemerdekaan semakin

tidak disukai oleh karena jenis pidana ini mempunyai dampak negatif yang tidak kecil

tidak saja terhadap narapidana, tetapi juga terhadap keluarga serta orang-orang yang

kehidupannya tergantung dari narapidana tersebut. Beberapa dampak negatif pidana

perampasan kemerdekaan,50 terhadap narapidana antara lain:51

1. Loos of personality

49 Tongat, op cit, hlm.4

(41)

Seorang narapidana dapat kehilangan kepribadian atau identitas diri, akibat

peraturan dan tata cara hidup di Lembaga Pemasyarakatan.

2. Loos of security

Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas, sehingga

ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai atas tindakannya.

3. Loos of liberty

Dengan dikenai pidana jelas kemerdekaan individualnya terampas, hal ini dapat

menyebabkan perasaan tertekan, pemurung, mudah marah, sehingga dapat

menghambat proses pembinaan.

4. Loos of personal communication

Dengan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan, maka kebebasan untuk

berkomunikasi dengan siapapun dibatasi.

5. Loos of good and service

Selama di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat merasa kehilangan

pelayanan yang baik, karena semua harus dikerjakan sendiri.

6. Loos of heterrosexual

Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana menurut jenis kelamin,

jelas narapidana akan merasakan terampasnya naluri seks, kasih sayang dan

kerinduan pada keluarga.

(42)

Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan munculnya perlakuan yang

bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama narapidana lainnya, dapat

menghilangkan harga dirinya.

8. Loos of belief

Akibat dari perampasan kemerdekaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan,

narapidana dapat menjadi kehilangan atas rasa percaya diri.

9. Loos of creatifity

Narapidana selama menjalani pidananya di dalam Lembaga Pemasyarakatan,

karena perasaan tertekan dapat kehilangan daya kreatifitasnya,

gagasan-gagasannya dan imajinasinya.

Narapidana juga akan kehilangan hak-hak tertentu, seperti di bawah ini:52

1. Hak untuk memilih dan dipilih

Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur

immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.

2. Hak untuk memangku jabatan publik.

Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik.

3. Sering pula disyaratkan untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal

ini, telah dipraktikkan pengenduran dalam batas-batas tertentu.

4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu.

Misalnya izin usaha, izin praktik (seperti dokter, advokat, notaris, dan lain-lain).

(43)

5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.

6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.

Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut

hukum perdata.

7. Hak untuk kawin

Meski adakalanya seseorang itu kawin pada saat menjalani pidana penjara, itu

merupakan keadaan luar biasa dan merupakan formalitas saja.

Dalam pertimbangan filosofis, terjadinya transformasi konseptual dalam

sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dari konsepsi

retribusi ke arah konsep reformasi, ikut mendorong munculnya semangat untuk

mencari alternatif pidana yang lebih manusiawi. Konsep pemidanaan yang hanya

berorientasi terhadap pembalasan (punishment to punishment) telah digantikan

dengan konsep pembinaan (treatment philosophy).53

Dalam pertimbangan ekonomis, kecenderungan untuk mencari alternatif

pidana perampasan kemerdekaan bertolak pada kenyataan bahwa biaya yang harus

dikeluarkan untuk membiayai pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan sangat

besar. Besarnya biaya tersebut antara lain biaya hidup narapidana seperti makan,

pakaian dan sebagainya yang dari waktu ke waktu menunjukkan angka yang relatif

besar.54

(44)

Ada beberapa pendapat atau kritik terhadap pidana penjara jangka pendek,

adalah sebagai berikut:

1. Menurut Rekomendasi Kongres Kedua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1960

di London yang menyatakan antara lain:55

a. Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek mungkin berbahaya

karena pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi

kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, tetapi kongres

mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu penjatuhan pidana penjara jangka

pendek mungkin diperlukan untuk tujuan keadilan.

b. Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka pendek

tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat dicapai dengan

mengurangi jumlah penggunaannya.

c. Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk

pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat, pengawasan atau probation,

denda, pekerjaan di luar lembaga atau pidana kerja sosial dan

tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan.

d. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindarkan,

pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana penjara jangka

(45)

panjang, dan pembinaannya harus bersifat konstruktif, pribadi dan dalam

lembaga terbuka (open institution).

2. Menurut Wolf Middendorf mengemukakan bahwa:56

a. Dalam penelitian mengenai efektivitas treatment terhadap juvenile

delinquency, pidana penjara jangka pendek dapat menghasilkan residivis

sama dengan pidana penjara dalam jangka waktu yang lama untuk semua tipe

anak dalam kelompok umur yang sama.

b. Pidana jangka pendek misalnya enam bulan ke bawah tidak mempunyai

reputasi yang baik, tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat

dihindari.

c. Di banyak negara kebanyakan dijatuhkan dalam perkara lalu lintas,

khususnya drinken driving (mengemudi dalam keadaan mabuk).

d. Penggunaan pidana penjara jangka pendek seharusnya dikenakan untuk white

collar crime dimana pidana denda sering tidak berpengaruh.

e. Di beberapa negara misalnya Belanda, pidana penjara jangka pendek

dilaksanakan dalam lembaga minimum security dengan keberhasilan yang

memadai.

f. Narapidana pidana penjara jangka pendek harus dipisah dari narapidana

penjara dalam jangka waktu yang lama, dan seharusnya dikirim ke open

(46)

camp dimana mereka dipekerjakan untuk keuntungan atau kepentingan

masyarakat.

3. Johannes Andenaes57

a. Walaupun telah menjadi dogma di dalam penologi bahwa pidana penjara

jangka pendek merupakan pemecahan yang buruk karena tidak memberikan

kesempatan untuk melakukan rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana

penjara yang lama memberikan hasil yang lebih baik dari pidana penjara

jangka pendek (there is little evidence that longer prison sentences give

better results than short ones).

b. Pidana penjara jangka pendek yang tidak memberi kemungkinan untuk

merehabilitasi pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan stigma penjara dan

membuat atau menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan.

4. Clemmer

Kehidupan penjara harus dilihat sebagai suatu masyarakat di dalam suatu

masyarakat. Clemmer melukiskan penjara sebagai suatu sistem sosial yang

informal yang disebut sebagai sub kultur narapidana. Subkultur narapidana ini

mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual dari

masing-masing narapidana, khususnya proses sosialisasi narapidana tersebut ke dalam

masyarakat narapidana yang disebut sebagai prisonisasi.58 Dalam proses

57 Ibid, hlm.36-37

(47)

prisonisasi ini, narapidana baru harus membiasakan diri terhadap aturan-aturan

yang berlaku di dalam masyarakat narapidana. Ia juga harus mempelajari

kepercayaan, perilaku-perilaku dan nilai dari masyarakat tersebut. Di samping

faktor-faktor universal ini, maka Clemmer menyebutkan faktor-faktor lain yang

menentukan sehingga orang yang menjadi terpenjara, dalam hal ini meliputi

lamanya pidana yang harus dijalani, stabilitas kepribadian terpidana, hubungan

yang terus menerus dengan orang-orang di luar penjara, penempatannya di dalam

kelompok-kelompok kerja, sel dan sebagainya.59 Makin lama pidana penjara

dijalani, maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar. Kemudian

seseorang yang menjadi terpenjara cenderung untuk melakukan tindak-tindak

pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.

5. Barnes and Teeters60

Penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh

penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab di tempat ini penjahat-penjahat

kebetulan, pendatang baru di dunia kejahatan dirusak melalui pergaulan dengan

penjahat-penjahat kronis. Sekalipun pidana penjara itu berjangka pendek, maka

justru akan sangat merugikan sebab di samping kemungkinan terjadinya

hubungan-hubungan yang tidak dikehendaki, maka pidana penjara jangka pendek

jelas tidak mendukung kemungkinan untuk mengadakan rehabilitasi narapidana

59 Ibid, hlm. 142. Lihat Donald Clemmer, Prisonization dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang (New York: John Wiley &

Sons. 1962), hlm.481

(48)

di satu pihak, dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut stigma

atau cap jahat.

Menurut Hoefnagels, stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau

rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu dengan

pandangan masyarakat terhadap dia terganggu atau rusak. Stigmatisasi ini pada

dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut

meninggalkan stigma. Karena suatu kejahatan, seseorang dipidana sehingga ia

kehilangan pekerjaannya selanjutnya hal tersebut menempatkannya di luar

lingkungan teman-temannya, dan kemudian stigmatisasi menyingkirkannya dari

lingkungan orang-orang yang benar. Stigma meningkatkan sanksi negatif dan

sanksi negatif tersebut memperkuat stigma. Secara psikologis, stigma ini

menimbulkan kerugian yang terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan

demikian publik mengetahui bahwa ia adalah seorang penjahat, dengan segala

akibatnya.61

Pidana penjara jangka pendek seringkali merupakan proses sosial deformation

(rusaknya hubungan sosial). Hampir seluruh bentuk stimulasi sosial menjadi

hilang. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa karena lingkungannya,

narapidana yang menjalani pidana penjara dalam waktu yang lama lebih banyak

menghadapi masalah daripada yang baru menjalani pidana. Oleh karena itu,

(49)

reaksi negatif terhadap sekitarnya semakin meningkat sejalan dengan lamanya

narapidana tinggal dalam lingkungan penjara.62

Apabila pidana tidak dikehendaki merusak bentuk-bentuk hubungan sosial

(social deform), perlu ditetapkan metode-metode stimulasi sosial sebagai bagian

dari proses reintegrasi. Stimulasi yang dapat dikembangkan meliputi kesempatan

untuk memperoleh pelatihan keterampilan atau pekerjaan (vocational

training),menyediakan program-program pendidikan dan rekreasi. Sebuah

penelitian terhadap narapidana wanita yang menjalani life sentence

mengungkapkan bahwa para napi tersebut secara perlahan kehilangan

kemampuan untuk memelihara hubungan dengan keluarga dan kerabat dekatnya

serta tidak berdaya memberikan dukungan jika keluarganya memerlukan.

Sebagian besar napi wanita kehilangan kepercayaan dirinya sebelum masuk

penjara, dan kehidupan dalam penjara hanya semakin memperburuk dan

memperendah statusnya. Ketakutam mereka, terutama menimbulkan

kemerosotan psikologis yang terletak pada institusionalisasi, kehilangan identitas

dan ketidakmampuan untuk merencanakan atau membayangkan masa depan

keluarganya dari penjara.63

Berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka pidana penjara perlu diganti

dengan pidana lain, salah satunya adalah pidana kerja sosial. Demikian juga di dalam

draft RUU KUHP Tahun 2006, dikembangkan alternatif sanksi pidana lain seperti

(50)

pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan

kewajiban adat.

B. Pidana Kerja Sosial Dilihat Dari Filsafat Pemidanaan

Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang

menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggung jawab

subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara

berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan.

Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan mengapa kita

memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum dan ahli penologi

mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien,

mencegah atau merehabilitasi.64

Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi fundamental

yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang memberikan pedoman,

kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara

formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem

filsafat. Setiap asas yang diterapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang

diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan

diaplikasikan. Kedua, dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya filsafat

pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatarbelakangi setiap

64 Rudolph J.Gerber dan Patrick D.McAnany, The Philosophy of Punishment dalam The

Sociology of Punishment and Correction, Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang

(51)

teori-teori pemidanaan.65 Melalui filsafat pemidanaan, dapat ditemukan konsepsi

filsafati tentang siapa manusia itu, sehingga terhadapnya diizinkan atau tidak

diizinkan pengenaan suatu sanksi baik berupa pidana atau tindakan.66

Menurut teori absolut, pembalasan adalah legitimasi pemidanaan.67 Negara

berhak menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan

pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi.68 Tujuan

dijatuhkan pemidanaan pada masa ancient regime berlandaskan pada tujuan retributif,

yaitu menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah

dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan dilepaskan tujuan apapun, sehingga

pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan. Pembalasan ini

dirasakan adil sebagai tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai

perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku kejahatan

sangat pantas mendapat pembalasan yang setimpal.69 Pada masa lalu, bentuk

hukuman bagi siapa saja yang dinilai melanggar hukum adalah hukuman badan.

Artinya, hukuman bagi pelanggar hukum adalah penyiksaan badan. Tiap orang yang

dinilai bersalah, kedua kaki dan tangan diikat tali, lalu ditarik dua kuda yang

berlawanan arah. Hasilnya, kaki-kaki dan tangan-tangan terpisah dari badan.

Hukuman ini dijalankan karena saat itu filosofi hukuman adalah balas dendam dan

65 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.109

66 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.243

67 Eddy.O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 10

68 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2007), hlm.157

(52)

fisik yang harus dihukum. Hukuman penyiksaan fisik dititikberatkan pada kemarahan

negara yang berlebihan dan tidak rasional, sehingga pelaku kejahatan tidak pernah

diharapkan kembali ke masyarakat menjadi orang baik.70 Tuntutan keadilan yang

sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam

bukunya “Philosophy of law” sebagai berikut:

“….. Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebagai resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat , karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”71

Menurut Sudarto, pidana bersifat retributif dan represif terhadap tindak

pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme72 mengenai kebebasan kehendak

manusia yang berfokus pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki

hukum pidana pada perbuatan dan bukan pada pelakunya.73 Hukuman itu tidak

mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan tak lebih dari itu. Dalam

70 Hamid Awaludin, Menyoal Hukum Rajam, Kompas,Senin 28 September 2009

71 Mahrus Ali, op cit, hlm 123-124.Lihat juga Immanuel Kant, Philosophy of Law dalam A

Reader on Punishment, RA Duff dan David Garland, (New York: Oxford University Press, 1994),

hlm.78

72 Sudarto dalam Ediwarman, Selayang Pandang tentang Kriminologi, (Medan: USU Press, 1994), hlm.14. Indeternisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, mampu mengendalikan diri dan harus bertanggung jawab penuh terhadap perbuatannya. Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm.28. Bandingkan dengan determinisme adalah paham yang menganggap bahwa tabiat atau watak seseorang yang melakukan kejahatan, ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar dan alasan yang mendorong orang itu yang akhirnya mempunyai kehendak tertentu. Kekuatan-kekuatan itu didorong oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup.

(53)

ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan melakukan peristiwa

pidana itu dapat dipersalahkan kepada seorang pribadi yang bebas. Dari segi

kefilsafatan, hukuman dipandang pada dirinya sebagai model normatif. Di dalam

hukuman, penjahat itu dipandang secara serius, kepada ia sendiri dikenakan apa yang

sesungguhnya (berdasarkan daya jangkau dari tindakannya) telah ia inginkan.Ia

melakukan ketidakadilan, ia akan mendapatkannya. Itu tidak berarti “mata untuk

mata, gigi untuk gigi” (pembalasan tidak perlu dilaksanakan secara mekanik

kuantitatif, seperti pada pandangan zaman dahulu), tetapi suatu harmoni kualitatif

antara perbuatan dan hukuman.74 Sistem pemidanaan ditetapkan secara pasti (definite

sentences). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-undang tidak dipakai sistem

peringanan atau pemberatan yang berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si

pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan

khusus dari perbuatan atau kejahatan yang dilakukan. 75

Menurut Sahetapy, teori retributif memandang pidana sebagai pembalasan

terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan untuk membalas ini pada

prinsipnya adalah suatu gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus

dilihat sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu irrasional.76

Kaum retributivis telah menyumbangkan pemikiran tentang pemidanaan dari

74 B. Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,

Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 103

75 Sahetapy dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op cit, hlm.77

76 J.E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan

(54)

perspektif filsafat yang menghargai manusia sebagai individu yang matang dan

bertanggungjawab sendiri atas perilaku dan tindakan-tindakannya.77

Adapun ciri-ciri pokok dari teori retributif, adalah sebagai berikut:

1. Tujuan pemidanaan hanya untuk pembalasan.

2. Hanya pembalasan yang menjadi tujuan utama (the ultimate aim), dan tidak menjadi sarana untuk mencapai tujuan lainnya, misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare)

3. Kesalahan moral (moral guilt) merupakan syarat satu-satunya untuk penjatuhan pidana.

4. Penjatuhan pidana harus sesuai dengan kesalahan moral pelaku.

5. Pemidanaan melihat ke belakang sebagai suatu pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau meresosialisasi pelaku kejahatan.78

Hukuman itu tidak mempunyai arti dalam dirinya sendiri, ia adalah sarana dan

tak lebih dari itu. Dalam ajaran pembalasan, orang bertolak dari hal bahwa perbuatan

melakukan peristiwa pidana itu dapat dipersalahkan.

Menurut Leo Polak, pemidanaan harus memenuhi tiga syarat ialah:

1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum objektif.

2. Pidana hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Pidana tidak boleh memperhatikan apa yang mungkin akan atau dapat terjadi. Pidana tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi. Umpamanya pidana dijatuhkan dengan maksud prevensi, maka kemungkinan besar penjahat diberi suatu penderitaan yang beratnya lebih daripada maksimum yang menurut ukuran-ukuran objektif boleh diberi kepada penjahat. Menurut ukuran-ukuran-ukuran-ukuran objektif berarti sesuai dengan beratnya delik yang dilakukan penjahat.

77 M. Sholehhudddin, op cit, hlm.28

Referensi

Dokumen terkait

Semua biaya yang tercantum dalam Pasal 4 sampai Pasal 13 dibayar oleh Penggugat/Pemohon, Pembanding, Pemohon Kasasi, Pemohon Peninjauan Kembali, Pemohon Sita, Pemohon

Metode penyelesaian masalah yang dapat digunakan untuk menangani kecacatan produksi per bonel 2,24 tinggi 17 pada PT Panca Graha Pratama adalah : check sheet, diagram pareto,

Berdasarkan hasil perhitungan mooring line tension (tabel V-9 sampai tabel V-14), sistem tambat yang digunakan pada alternatif konfigurasi floating terminal dapat digunakan untuk

Pada bulan Januari 2014, NTP-Pt terjadi kenaikan sebesar 0,09 persen dibandingkan dengan bulan Desember 2013 , hal ini karena perubahan indeks yang diterima petani sebesar

Penelitian ini dapat memperdalam pemahaman tentang kualitas sanad hadits yang digunakan sebagai refrensi fadlilat al-Mulk dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi

mengalami ozonisasi ada kecendrungan mengalami penurunan nilai viskositas. Penurunan viskositas paling besar pada beras dengan perlakuan ozonisasi selam 60 menit. Akan

[r]

Pengujian dilakukan dengan analisis regresi linier berganda yang digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel penerapan teknologi informasi berupa aplikasi dan