Setelah Pierre Bourdieu 1970 menulis teori social capital dalam bahasa Perancis dangan judul „le Capital Social:Notes‟ namun karena publikasi ditulis dalam bahasa Perancis membuat tidak banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi dan ekonomi) yang menaruh perhatian (Portes,1998:3). Setelah James S.Coleman mempublikasikan topik yang sama pada tahun 1993, barulah diikuti para intelektual lainnya. Sehingga masyarakat ilmiah berkeyakinan bahwa Coleman (1988) sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan konsep social capital, seperti yang Coleman tulis dalam jurnal American Journal of Sociology yang berjudul “Social Capital in the Creation of Human Capital”. Kemudian Poldan (dalam Walis, Kilerby, dan Dollery, 2004) menerangkan bahwa social capital adalah sangat dekat untuk menjadi konsep gabungan bagi seluruh disiplin ilmu sosial, yakni modal ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital), dan social capital baru eksis bila berinteraksi dengan struktur sosial.
Berdasarkan pengertian social capital di atas, muncul beragam definisi dengan bentangan yang sangat luas. Oleh karena itu Bourdieu (Yustika, 2006), sebagai peletak fondasi konsep social capital, mendefinisikan social capital sebagai “agregat” sumber daya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet
(durable) sehingga menginstusionalkan hubungan persahabatan
(acquaintance) yang saling menguntungkan. Melalui pemaknaan tersebut, Bourdieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial (social network) tidaklah alami (natural given), melainkan dikonstruksi
melalui strategi investasi yang berorientasi kepada kelembagaan hubungan kelompok (group relations) yang dapat dipakai sebagai sumber terpecaya untuk meraih keuntungan (benefit). Selanjutnya, Bourdieu mengemukakan dalam kaitannya dengan definisi tersebut bahwa social capital juga memisahkan dua elemen: (a) hubungan sosial itu sendiri yang mengizinkan individu untuk mengklaim akses terhadap sumber daya yang dimiliki oleh asosiasi mereka; dan (b) jumlah dan kualitas dari sumber data tersebut. Dengan gambaran tersebut, melalui social capital, aktor dapat meraih sukses langsung terhadap sumber daya ekonomi (pinjaman yang bersubsidi, saran-saran investasi, pasar yang terlindungi), atau mereka dapat berafiliasi dengan institusi yang membahas nilai-nilai terpercaya/value credentials atau pelembagaan modal budaya (Portes, 1998).
Setelah Bourdieu kemudian muncul Coleman, dan diikuti para ilmuwan lainnya, mencoba mendefinisikan social capital menurut versinya, walaupun pada prinsipnya tidak mengubah definisi dari pendahulunya. Seperti Uphoff (dalam Dhesi, 2000) yang menyatakan
social capital dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang mempengaruhi perilaku kerja sama.
Menurut Hjerppe (2003) dan Chou (2006), Social capital sering dibagi ke dalam dua bentuk atau jenis, yaitu social capital kognitif dan struktural. Social capital kognitif meliputi norma-norma dan kepercayaan, sedangkan social capital struktural meliputi jaringan- jaringan sosial baik formal maupun informal. Menurut Field (2011) dengan jaringan (social capital struktural) dan kepercayaan (social capital kognitif) tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan kepercayaan yang rendah. Siapa pun yang mengalami pengkianatan dari mitra dekat akan tahu betapa sulit bagi dua orang untuk bekerja sama ketika perilaku mereka tidak dilandasi kepercayaan. Namun kepercayaan tidak hanya didasarkan atas hubungan tatap muka antara dua orang atau lebih. Kepercayaan bisa menjadi atribut institusi dan kelompok maupun individu, dan sering didasarkan pada reputasi yang diperantai pihak ketiga (Dasgupta
2000). Demikian juga kehidupan bisnis industri kecil selalu menekankan pada kepercayaan dan jaringan dalam memenuhi kebutuhan proses produksi, misalnya kebutuhan bahan baku dibayar di belakang hari setelah hasil produksinya sudah laku terjual.
Selanjutnya Weijland (1999) memklarifikasi, social capital
sebagai berikut, yaitu Social capital sebagai bonding mengarahkan perhatian pada pentingnya keluarga, teman dekat, dan anggota kelompok etnis atau pekerjaan yang sama, kemudian social capital bridging mengenai adanya network yang melintasi ikatan-ikatan yang lebih luas, sedangkan social capital linking untuk mempertanyakan kapasitas dukungan dari pihak-pihak yang menempati posisi-posisi ekonomi dan sosial yang berbeda-beda, serta institusi yang lebih formal di kota tersebut.
Glaeser et al (2000) dan Mateju (2002) menyatakan bahwa, peluang untuk melakukan penelitian social capital tersebut masih terbuka lebar terutama karena adanya perbedaan alat ukur yang digunakan dalam mengukur kepercayaan, baik oleh para ahli sosiologi maupun para ekonom. Para sosiolog pada umumnya fokus mengkaji variabel-variabel yang berkaitan dengan relasi dan kohesi sosial, sumber dan proses terbentuknya norma, kepercayaan, peran aktor, partisipasi sosial, eksplorasi kekuatan jaringan, struktur sosial, perubahan sosial dan sebagainya. Sedangkan para ekonom lebih tertarik pada kepercayaan melalui data akuntansi untuk membedakan pertumbuhan ekonomi, keadilan, pemerataan dan kesejahteraan.
Porter (Cho & Moon, 2003) menunjukkan bahwa, daya saing suatu perusahaan itu tidak hanya tumbuh karena kontribusi faktor produksi alamiah akan tetapi juga sangat tergantung kepada kemampuan dalam melakukan inovasi dan pembaharuan. Ini berarti, dalam proses penciptaan dan penguatan daya saing perusahaan terhadap peran dan kontribusi dari aset lain yang tergolong sebagai asset non fisik (intangible assets) yang selama ini diabaikan. Aset non fisik (intangible assets) menurut MC. Kinsey dalam Satria (2003) terdiri
dari pengetahuan, relasi dan jejaring, dan reputasi yang dimiliki oleh perusahaan.
Kegiatan ekonomi sering tidak dapat bekerja secara sempurna dan memuaskan manakala hanya menekankan pada faktor ekonomi (modal, tanah, tenaga kerja, dan usahawan). Modal yang merupakan komponen sangat penting dalam kegiatan bisnis/industri, sering tidak memadai manakala hanya dipandang dari sisi ekonomi. Karena tumbuh dan berkembangnya modal tidak hanya berasal dari sisi ekonomi, tetapi bisa bermula dari faktor sosial, termasuk di dalamnya social capital.
Bourdieu dan Wacquant (1992) menyampaikan kesimpulan dalam pernyataan sebagai berikut; Social capital adalah jumlah sumber daya aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terlembagakan. Namun menurut Fukuyama (2000), bahwa penyebaran nilai atau norma tidak serta merta menjadi social capital apabila nilai atau norma termaksud tidak mengandung kebenaran. Lebih lanjut Fukuyama (1999) mengatakan bahwa, norma akan menjadi social capital bilamana padanya terdapat unsur-unsur substantif, seperti kebijakan,kebenaran berkata, kejujuran, saling mempercayai.
Demikian pula dengan pengusaha industri kecil sebagai entitas ekonomi, maka yang pertama-tama menentukan konsep sosiologi ekonomi adalah menyangkut pada bagaimana norma, kepercayaan, kejujuran maupun jejaring yang dianutnya terwujud sebagai social capital38. Social capital yang tercipta di lingkungan industri kecil adalah bersumber dari anasir-anasir nilai yang dimiliki setiap pengusaha industri kecil bertata laku yang bersenyawa dalam interaksi di lingkungan bisnis, karena dalam kegiatan bisnis para industri kecil mendapat penerimaan maka menjadi tradisi kehidupan bisnis dimana para pebisnis industri kecil dan selanjutnya menjadi dasar acuan bertindak para pengusaha industri kecil dalam melaksanakan kegiatan bisnis yang disebut sebagai norma. Norma ini tumbuh di lingkungan
bisnis industri kecil disebabkan juga oleh keyakinan agama yang dianut pelaku industri kecil. Pelaku industri kecil dan pelanggan atau konsumen maupun pemasok bahan baku sebagai manusia tentu memerlukan orang lain, dan untuk itu ada kecenderungan untuk dapat bekerja sama dan saling berinteraksi termasuk dalam hal bertransaksi. Karena nilai dan norma diperlukan mengatur dalam berperilaku, sehingga dapat hidup bersama-sama yang saling menguntungkan.
Penelitian dari Wejland (1999) mengenai klaster usaha mikro pedesaan, terutama di Jawa dan Makasar, menemukan bahwa di komunitas desa, hubungan sosial lazim menjadi subyek hubungan patronase yang terkait dengan hierarki sosial politik, kepemilikan lahan dan ikatan keluarga tradisional. Ketika ingin mendirikan industrinya sendiri, para buruh yang sebelumnya bekerja bagi orang lain harus melepaskan dirinya dari kewajiban-kewajiban terkait sebelum mengembangkan social capital-nya sendiri, dimana jaringan keluarga sangat penting, yang juga terlihat di Makasar. Secara bersama- sama, faktor-faktor penting dari kajian ini membentuk sebuah kerangka pikir untuk melakukan analisis tingkat mikro mengenai karakter dan efektifitas social capital yang digunakan oleh para pengusaha skala kecil di kota Makasar. Ini menunjukkan pentingnya dinamika-dinamika seperti politik lokal, struktur sosial, dan norma budaya di dalam menentukan ketergantungan perusahaan-perusahaan pada bentuk social capital yang berbeda-beda, seperti kualitas, atribut, dan substansi ikatan-ikatan serta hubungan-hubungan, dan bagaimana semua hal tersebut saling terjalin dengan kepercayaan, norma, dan sikap.