• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para Pihak dalam Lembaga Paksa Badan

BAB III LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM KEPAILITAN

E. Para Pihak dalam Lembaga Paksa Badan

Dalam lembaga paksa badan, ada pihak-pihak yang berwenang dan bertugas menjalankan proses dari paksa badan tersebut, maka pihak-pihak yang ada antara lain :

a. Pihak Pemohon (Kreditur)

Kreditur secara terminologi adalah para pihak baik itu berupa perorangan, organisasi, perusahaan atau golongan pemerintah sekalipun yang memiliki tagihan kepada pihak-pihak lain (pihak kedua) atas properti atau

layanan jasa yang diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini disebut sebagai peminjam atau yang berhutang, dalam arti sempit, maka yang dimaksudkan dengan kreditur adalah pihak yang memiliki tagihan atau hak tagih berupa pembayaran sejumlah uang yang hak tersebut timbul semata-mata dari perjanjian utang-piutang.

b. Pihak Termohon (Debitur)

Pihak lainnya dalam hal utang piutang selain pihak kreditur tentu saja adalah para peminjam (debitur) atau disebut juga pihak yang berutang. Dalam penilaian kualitas debitur maka. Kualitas karakter debitur tidak diragukan lagi adalah faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit/hutang. Apabila debitur tidak jujur, sering bertindak curang, ataupun tidak memiliki kompetensi, maka hutang yang dinikmatinya pasti tidak akan berhasil alias macet.51

Penilaian karakter debitur yang bersangkutan tidak hanya penting dilakukan dalam hal menjamin pelunasan hutang debitur yang bersangkutan. Tetapi juga penting dilakukan dalam hal menjamin debitur bersifat kooperatif dalam hal kepailitan. Ketika terjadi perkara kepailitan tidak jarang debitur melakukan apa saja dengan tujuan untuk menghindarai kewajibannya diantaranya menghilangkan atau menyembunyikan harta kekayaan, atau bahkan mengajukan

51

Zulkarnain Sitompul, Prinsip Pemberian Kredit 5C,

permohonan pailit padahal debitur yang bersangkutan masih mampu melaksanakan kewajibannya.

Objek undang-undang kepailitan adalah debitur, yaitu debitur yang tidak membayar utang-utangnya kepada para krediturnya. Undang-undang berbagai negara membedakan antara aturan kepailitan bagi debitur orang perorangan (individu) dan debitur bukan perorangan atau badan hukum.

c. Kejaksaan

Dalam pelaksanaan paksa badan, pada Pasal 93 dijelaskan bahwa setelah pernyataan pailit diputuskan dan adanya perintah untuk dilakukan penahanan terhadap debitur pailit tersebut. Perintah penahanan tersebut dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Dan didalam pelaksanaan paksa badan dalam rangka pengurusan piutang negara, atas permohonan pelaksanaan paksa badan yg diajukan ketua panitia cabang kepada ketua panitia pusat dan berdasarkan persetujuan dari ketua panitia pusat, ketua panitia cabang meminta izin kepada kepala kejaksaan tinggi yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau kediaman terakhir objek paksa badan. Dan dalam hal menerbitkan surat izin keluar dari tempat paksa badan, ketua panitia cabang dapat menerbitkan surat izin tersebut dengan tembusan kepada kepala lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan, kepala kejaksaan tinggi, kepolisian dan objek paksa badan. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Menteri Hukum dan

HAM Nomor 53/PMK.06/2009 , KEP-030/A/JA/03/2009, 4, M.HM-01.KU.03.01 Tahun 2009.

d. Kurator

Kurator adalah pihak yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit. Kurator ini dapat orang perorangan ataupun Balai Harta Peninggalan (BHP). Dalam Pasal 16 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator harus independent, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan kreditur atau debitur, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan lebih dari tiga perkara.

e. Hakim Pengawas

Hakim Pengawas adalah Hakim pada Pengadilan Niaga yang ditunjuk oleh Majelis Hakim Pemeriksa atau Majelis Hakim Pemutus perkara permohonan pernyataan pailit. Pada prinsipnya, Hakim Pengawas adalah wakil pengadilan yang mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator. Penunjukan Hakim Pengawas dilakukan bersamaan dengan diucapkannya putusan pernyataan pailit. Pada asasnya, ruang lingkup tugas Hakim Pengawas tidak terbatas hanya untuk memberikan persetujuan atau izin kepada Kurator saja, melainkan juga berwenang memberikan instruksi kepada Kurator

untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sehubungan dengan harta pailit, serta Hakim Pengawas wajib didengar pendapatnya oleh Pengadilan Niaga sebelum mengambil putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit. Selanjutnya, Hakim Pengawas berwenang menerima salinan putusan permohonan permyataan pailit yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan dari Majelis Hakim dalam tenggang waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan dijatuhkan.

e. Pengadilan Negeri

Pengadilan negeri dalam hal ini berwenang menerima dan memutuskan pelaksanaan paksa badan. Adapun ketentuan tersebut diantaranya diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Perma No.1 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan yang menyangkut pelaksanaan Paksa Badan dilakukan dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 7 dan Pasal 8 Perma No. 1 Tahun 2000 mengatur juga tentang wewenang penetapan pengadilan negeri yaitu:

Pasal 7

Kewajiban debitur yang didasarkan atas pengakuan hutang sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/258 Rbg., Paksa Badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri.

“Pelaksanaan Paksa Badan dilakukan oleh Panitera/Jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, bilamana perlu dengan bantuan Alat Negara”.

BAB IV

PELAKSANAAN DAN EFEKTIFITAS LEMBAGA PAKSA BADAN DALAM PEMENUHAN KEWAJIBAN DEBITUR PAILIT

A. Pelaksanaan Lembaga Paksa Badan Berdasarkan UU No 37 Tahun 1994 Tentang Kepailitan dan PERMA No 1 Tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa Badan

Lembaga Paksa badan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2000, harus diajukan bersamaan dengan pengajuan gugatan pokok dan akan diputuskan oleh pengadilan bersama-sama dengan putusan pokok perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Perma. Dalam Perma No. I Tahun 2000 Pasal 3 ayat (1) bahwa “paksa badan tidak dapat dikenalan terhadap debitur, yang tidak mempunyai itikad baik, yang telah berusia 75 (tujuh puluh lima) tahun”. Kemudian dalam ayat 2 ditentukan bahwa “paksa badan dapat pula dikenakan terhadap ahli waris yang telah menerima warisan dan debitur yang tidak mempunyai itikad baik”. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, apabila ahli waris ingin terhindar dari kemungkinan menjadi objek paksa badan, maka ahli waris yang bersangkutan seyogyanya menolak memperoleh bagian warisan pada waktu harta warisan terbuka untuk dibagikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Perma No. I Tahun 2000, sekalipun debitura tidak beritikad baik tetapi sepanjang utangnya kurang dari Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah), maka terhadap debitur tersebut tidak dapat dilakukan paksa badan. Pelaksanaan paksa badan bukan tidak terbatas. Menurut

Pasal 5 Perma paksa badan ditetapkan 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun.

Putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama-sama dengan putusan pokok perkara, demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) Perma. Dari ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan. Namun sepanjang kewajiban debitur didasarkan atas pengakuan utang, menurut Pasal 7 paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

Menurut Pasal 6 ayat (2) Perma terhadap debitur yang beritikad tidak baik yang mempunyai utang kepada negara atau yang dijamin oleh negara, putusan tetap paksa badan dilaksanakan secara serta merta. Artinya paksa badan tersebut segera dapat dilaksanakan sekalipun debitur yang bersangkutan melakukan upaya hukum berupa banding atau kasasi. Pelaksanaan putusan yang menyangkut pelaksanaan paksa badan, menurut Pasal 6 ayat (3) Perma dilakukan dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 8 Perma pelaksanaan paksa badan dilakukan oleh Panitera/Juru Sita atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.

Pelaksanaan paksa badan bilamana perlui(misalnya karena debitur membangkang) dilakukan dengan bantuan alat negara. Biaya selama debitur yang beritikad tidak baik menjalani paksa badan, menurut Pasal 9 ayat (1) Perma dibebankan kepada pemohon paksa badan. Pasal 9 ayat (2) Perma membolehkan bahwa selama menjalani paksa badan debitur yang beritikad tidak baik tersebut dapat memperbaiki kehidupannya atas biaya sendiri.g aku cintai SHTUntuk orang

yang Paksa Badan dapat ditetapkan untuk 6 (enam) bulan lamanya, dan dapat diperpanjang setiap 6 (enam) bulan dengan keseluruhan maksimum selama 3 (tiga) tahun. Berbeda dengan Peraturan Bersama yang dibuat oleh Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Hukum dan HAM nomor: 53/PMK.06/2009, nomor: KEP-030/A/JA/03/2009, Nomor: 4 Tahun 2009, dan nomor MHH/01/KU/03/01 tentang Petunjuk Pelaksanaan Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara, paksa badan hanya dikenakan maksimal 6 bulan dengan satu kali perpanjangan paling lama juga enam bulan yaitu terhadap debitur negara dengan tunggakan utang di atas Rp1.000.000.000 (Satu miliar rupiah) sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 88/PMK.06/2009 tentang Pengurusan Piutang Negara.

B. Pelaksanaan Paksa Badan Dipandang dari Segi Hak Azasi Manusia (HAM)

Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa paksa badan adalah suatu pranata yang dikenal di bidang hukum acara perdata sebagai salah satu upaya untuk memaksa debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahan/sandera di suatu tempat tertentu. Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia lembaga paksa badan ini dikenal dengan istilah gijzeling. Hat Herziene Imionesisch Reglement

(HIR) dan Rehctreglement Buitengewesten (RBg) yang merupakan sumber hukum acara perdata inilah yang mengatur rnengenai gijzeling. Seperti diketahui HIR merupakan hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah ]awa dan Madura, sedangkan RBg rnerupakan hukum acara untuk daerah luar jawa dan Madura.

Mahkamah Agung dengan surat edaran (SEMA) No. 2 Tahun 1964, sejak tanggal 22 januari 1964 tentang Penghapusan Sandera (Gijzeling), melarang para hakim rnenggunakan lembaga penyanderaan/gijzeling dalam penyelesaian perkara perdata dengan alasan tidak sesuai dengan perkemanusiaan. Perdebatan pro dan kontra sekitar penerapan lernbaga gijzeling semakin membesar setelah Hakim Bismar Siregar dari Pengadilan Jakarta Utara mengeluarkan penetapan gijzeling

terhadap Mardjuki bin Dulkiran dalam perkara. Bahalludin melawan Mardjuki bin I-I. Dulkiran (Putusan Pengadilan Iakarta Utara- Timur N0. 1/ 1974/ gijz. tanggal 27 Mei 1974).

Mahkamah Agung dalarn putusannya N0. 951k/Sip/1974 tanggal 6 Februari Tahun 1975 yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan menyatakan bahwa hakim pengadilan tingkat pertarna telah salah menerapkan hukumnya. Putusan ini dikuatkan dengan dengan dikeluarkannya SEMA No. 4 Tahun 1975 yang pada prinsipnya menegaskan pelarangan bagi hakim untuk menerapkan gijzeling seperti yang diatur dalam Pasal 209 HIR/ 242 RBG dengan mendasarkan pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang rnenyatakan bahwa pelaksanaan putusan hakim itu tidak meninggalkan perikemanusiaan dan perikeadilan. Padahal gijzeling itu merupakan suatu bentuk perampasan terhadap kebebasan bergerak seseorang.52

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2000 merupakan ketentuan Perma yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 2

52

http://webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:C_AKYzcH1SIJ:i lib.ugm.ac.id / jurnal /download.php?dataId%3D7027 +syarat syarat +lembaga +paksa+ badan&hl=id&gl=id

Tahun 1964 dan Sema No. 4 Tahun 1975 mengartikan gijzeling dengan paksa badan Mahkamah Agung dalam Perma ini juga memberikan Penafsiran baru terhadap siapa pranata paksa badan dapat diterapkan yaitu terhadap debitur atau penjamin atau penanggung hutang yang beritikad tidak baik. Beritikad tidak baik diartikan dengan debitur tersebut sebenamya mampu memenuhi kewajibannya, tetapi dia tidak mau melaksanakannya.

Seperti diketahui, perampasan terhadap kebebasan bergerak seseorang selarna ini merupakan bagian dari sanksi hukum pidana, tetapi dengan adanya paksa badan tersebut. perampasan kebebasan bergerak seseorang tidak lagi menjadi monopoli hukum pidana semata, sehingga menurut Muladi memberikan kesan bahwa terjadi intervensi hukum pidana terhadap masalah- masalah perdata dan menurut Muladi hal tersebut dapat dibenarkan.53

53

Muladi, Analisis Gijzeling dari Sisi I-lukurn Pidana dan HAM, (Jakarta:Jurnal Hukum

Bisnis Vol.15, September 2001), hal. 40.

Dan dikenakannya paksa badan pada debitur yang tidak beritikad baik merupakan hal yang melanggar hak asasi manusia, sebagaimana diketahui paksa badan adalah salah satu upaya untuk memaksa debitur memenuhi kewajibannya dengan jalan ditahan/sandera di suatu tempat tertentu, sedangkan jelas di uraikan dalam Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 ayat (2) bahwa tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

C. Efektifitas Lembaga Paksa Badan Dalam Penagihan Kewajiban Debitur Pailit

Tujuan diaturnya kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah pertama, menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya. Kedua, untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengang cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya. Ketiga, mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditur, atau debitur hanya menguntungkan kreditur tertentu. Keempat, memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan. Dan kelima, memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding membuat kesepakatan restrukturisasi hutang.

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang rnenghimpit seorang debitur, di mana debitur tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang- utang tersebut kepada para krediturnya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitur. maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitur tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitur tersebut memang telah

tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankcruptcy).54

Dalam menjalankan suatu usaha, termasuk dalam rangka pelaksanaan kewajiban ada 2 (dua) hal utama yang menyebabkan seseorang atau suatu badan usaha tidak dapat menunaikan kewajibannya kepada pihak lain, atau mengarah kepada kondisi pailit/bangkrut yaitu faktor kesengajaan (ketidakmauan) dan faktor keterpaksaan (ketidakmampuan).55

Gijzeling atau lembaga paksa badan atau imprisonment for debt pada hakikatnya merupakan proses kriminalisasi terbatas. Peningkatan menjadi kriminalisasi penuh untuk memenuhi asas legalitas dalam bentuk civil offence

dapat dilakukan dengan menggabungkan persyaratan kriminalisasi yang bersifat umum (adanya korban, analisis biaya dan hasil, efektivitas penerapan, tidak bersifat ad hoc dan pembalasan semata-mata, fungsi subsidair hukum pidana dan tidak menimbulkan kesan overcriminalization) dengan standar yang berkembang Faktor ketidakmapuan berkaitan erat dengan itikad debitur untuk menyelesaikan utangnya kepada kreditur. Persoalan ini dapat timbul karena adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian. Faktor ketidakmampuan lebih banyak terkait kepada keadaan di luar kemampuan debitur, seperti krisis moneter yang berkepanjangan, bencana alam, faktor keamanan dan lain sebagainya. Untuk sebab ini, pihak debitur benar-benar kesulitan dalam menunaikan kewajibannya kepada pihak kreditur.

54

Ricardo Simanjuntak, “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan” dalam Emmy

Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya. (Jakarta: Pusat Pengkajian

Hukum, 2005), hal. 55-56.

55

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan I, 2001), hal.101.

secara empiris (adanya unsur fraud dan wilfully serta menggunakan acuan definisi

economic crimes).56

1. Meninggalkan tempat tinggalnya tanpa alasan dan izin Hakim Pengawas; Sejak dikeluarkannya Perma tentang Lembaga Paksa Badan (Juni 2000) hingga kini belum seorang pun debitur yang dikenai paksa badan. Oleh karena belum dapat dibuktikan secara ilmiah tentang efektifitas penerapan lembaga paksa badan tersebut dalam rangka penagihan kewajiban debitur pailit dikarenakan belum ada seorang debitur pun yang dikabulkan permohonan paksa badan kepada dirinya. Faktor kesulitan yang dihadapi untuk melaksanakan pemenuhan terhadap permohonan paksa badan ini adalah belum tersedianya aturan yang jelas mengenai proses paksa badan ini. Misalnya siapa yang akan menanggung biaya terhadap debitur yang dikenakan paksa badan. Selain itu juga ditentukan bahwa yang akan menjalankan eksekusi paksa badan tersebut adalah pihak Kejaksaan. Dalam hal jaksa melaksanakan paksa badan terhadap debitur yang tidak kooperatif, belum diatur bagaimana prosedurnya. Hal ini yang menjadi pertimbangan tidak dikabulkannya permohonan paksa badan yang diajukan oleh kurator atau kreditur.

Selain itu, dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU juga memberi peluang untuk tidak terlaksananya paksa badan. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU hanya memerintahkan pelaksanaan paksa badan jika debitur pailit dengan sengaja tanpa alasan sah:

2. Tidak hadir menghadap di muka Hakim Pengawas, Kurator atau panitia kreditur untuk memberi keterangan jika dipanggil;

56

Muladi, Analisis gijzeling: dari sisi hukum pidana dan HAM.,

http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=34025&idc=21, akses tanggal 30

3. Tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang.57

Dengan kata lain Undang-Undang Kepailitan hanya mengatakan bahwa paksa badan hanya dikenakan jika debitur meninggalkan tempat tinggalnya dengan tanpa meminta izin dari hakim pengawas dan tidak menjadi permasalahan bila telah meminta izin hakim pengawas, kedua bila tidak hadir memberi keterangan jika dipanggil dan ketiga tidak hadir dalam rapat pencocokan piutang. Permohonan paksa badan hanya dikabulkan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan tersebut hanya jika debitur tidak memenuhi syarat adminsitratif dan tidak kooperatif selama masa pengawasan hakim maupun kurator dan bukan karena keengganan atau kesengajaan debitur untuk tidak melunasi hutang- hutangnya.

Faktor lainnya yang masih menjadi kendala adalah masih adanya pro kontra pelaksanaan paksa badan yang dianggap sebagai pengekangan hak azasi manusia dikarenakan masalah kepailitan merupakan ranah hukum keperdataan. Meskipun beberapa sarjana juga bersepakat bahwa tindakan debitur yang sengaja menunda atau menghindari kewajiban pembayaran hutang juga bisa dikategorikan pelanggaran HAM. Selain itu prasyarat bahwa hutang yang dimohonkan harus berjumlah sekurtang-kurangnya Rp 1.000.000.000 (Satu miliar rupiah) atau lebih juga telah memperkecil golongan debitur yang dapat dikenakan paksa badan. Menurut Undang-Undang Kepailitan dapat diartikan bahwa hanya benar-benar debitur kategori kelas kakap yang dapat dikenakan pelaksanaan paksa badan.

57

Pasal 97, 110 dan Pasal 121 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU No 37 Tahun 2004.

Selain itu dalam pelaksanaan paksa badan itu sendiri terdapat beberapa keistimewaan yang tentunya tidak akan menimbulkan efek jera bagai para debitur yang bersikap tidak kooperatif tersebut, diantaranya adalah tidak dikenakan wajib kerja selama dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau Rumah Tahanan Negara (Rutan). Bahkan, bagi objek paksa badan yang telah melakukan pembayaran utang lebih dari 50 persen dari sisa utangnya dapat mengajukan permohonan penangguhan paksa badan. Syaratnya, objek paksa badan harus membuat surat pernyataan kesanggupan untuk menyelesaikan sisa utang dalam jangka waktu paling lama tiga bulan.

Objek paksa badan juga bisa mendapat izin keluar Lapas/Rutan. Prosedurnya dengan mengajukan izin tertulis kepada Ketua Panitia Urusan Piutang Negara di tingkat cabang (Ketua Cabang). Izin bisa diberikan untuk keperluan antara lain melaksanakan ibadah di tempat ibadah, menghadiri sidang di pengadilan, mengikuti pemilu di tempat pemilu apabila di dalam Lapas/Rutan tidak ada Tempat Pemungutan Suara, dan menjalani pemeriksaan kesehatan atau pengobatan di rumah sakit, menghadiri pemakaman orang tua, suami/istri dan/atau anak, dan/atau menjadi wali nikah pada pernikahan anak/adik kandung. Izin ini dapat diberikan paling lama 2 x 24 jam, kecuali objek paksa badan harus menjalami pengobatan secara rawat inap. Biaya-biaya untuk melaksanakan kegiatan diizinkan tersebut ditanggung sendiri oleh objek pajak dan tidak dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hak-hak yang diberikan kepada objek paksa badan ini tentu bisa membuat iri hati narapidana lain. Sebab, ada perlakuan berbeda yang diberikan objek paksa badan

buat penghutang uang negara dengan tahanan atau narapidana di dalam Rutan atau Lapas.

Istilah paksa badan atau sandera ini jika dikaitkan dengan konsep

imprisonment for civil debts berarti merampas kebebasan atau kemerdekaan atau menahan si berhutang bertentangan dengan kemauannya. Tujuannya mendesak atau menekan si berhutang melaksanakan pembayaran hutangnya. Adapun alasan diberlakukannya kembali lembaga paksa badan atau sandera (Perma No. 1 Tahun 2000) adalah dalam rangka menghadapi si berhutang yang tidak kooperatif. Dalam hal ini, nilai perikemanusiaan harus dikaji dan diuji keseimbangannya dengan nilai kepentingan umum berdasarkan prinsip hak siapa yang lebih diutamakan.58

Menurut prinsip ini, kepentingan umum harus diutamakan atau diprioritas dari kepentingan individu. Dengan kata lain, menyelamatkan kepentingan umum, jauh lebih tinggi nilai harganya daripada melindungi kepentingan seorang si berhutang ‘nakal’. Oleh karena itu, nilai kemanusiaan dan HAM tidak layak dipergunakan sebagai tameng untuk melindungi si berhutang ‘nakal’ dari pertanggungjawaban hukum untuk membayar hutangnya.59

58

Akhmad Fauzi Noor, Etika debt collector dalam dunia perbankan,

http://banjarmasin.tribunnews.com/read/artikel/2011/4/16/81866/Etika-Debt-Collector-di-Dunia-

Perbankan,akses tanggal 22 Juni 2011.

59Ibid,.

Namun yang perlu diperhatikan adalah upaya hukum lembaga paksa badan atau sandera untuk memaksa si berhutang melunasi hutangnya sebagaimana yang diatur undang- undang hanya bisa dilakukan pejabat yang ditunjuk negara yaitu Pengadilan

Dokumen terkait