• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG

B. Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pernyataan

mengajukan permohonan pernyataan pailit. Pihak-pihak tersebut adalah:

1. Debitor sendiri

Ketentuan Pasal 2 ayat (1)UUK dan PKPU menyatakan bahwa:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga adalah pihak debitor sendiri dan satu atau lebih kreditor.

Ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menytakan bahwa:

“Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Sedangkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UUK dan PKPUmenyatakan bahwa: “Debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan”.

Dalam hal debitor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit telah terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan pernyataan pailit tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUK dan PKPU. Persetujuan dari suami atau istri tersebut berkaitan dengan harta bersama yang diperoleh selama pernikahan.

Debitor mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk dirinya sendiri (Voluntary Petition) biasanya dilakukan dengan alasan bahwa dirinya maupun kegiatan usaha yang dijalankannya tidak mampu lagi untuk melaksanakan seluruh kewajibannya terutama dalam melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para kreditornya. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor itu sendiri, kadang kala hakim mewajibkan pembuktian melalui audit pejabat publik meskipun jika dilihat dari sudut pandang hukum yang berlaku tidaklah tepat, karena hal tersebut hanya akan mempersulit debitor yang akan mengajukan permohonan pernyataan pailit. Akan tetapi, dalam Voluntary Petition ini terdapat kekhawatiran bahwa debitor dapat beritikad buruk dengan mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagai alasan untuk menghindari pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya. Dalam sejarahnya Voluntary Petition ini banyak dilakukan sebagai rekayasa debitor yang telah membuat utang sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk tidak membayar utang tersebut.47

Berkaitan dengan Voluntary Petition tersebut, Retno Wulan Sutantio mengemukakan kemungkinan terjadinya masalah-masalah sebagai berikut:48

a. Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor yang dilakukan dengan sengaja setelah membuat utang kanan kiri dengan maksud untuk tidak membayar, maka permohonan tersebut akan ditolak oleh pengadilan niaga. Perbuatan tersebut dalam bahasa Belanda disebut “knevelarij” dan diancam dengan Pasal 79a KUHP dengan hukuman penjara empat tahun.

47

b. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh teman baik atau keluarga debitor dengan alasan yang tidak kuat sehingga permohonan itu akan tidak diterima atau ditolak oleh pengadilan niaga. Tindakan ini dilakukan dengan maksud untuk menghambat agar kreditor lain tidak mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor tersebut atau setidak-tidaknya akan menghambat kreditor lain mengajukan permohonan pernyataan pailit.

Menurut Sutan Remy Syahdeini, bahwa rekayasa yang dilakukan debitor tersebut dapat pula dilakukan untuk menghilangkan jejak-jejak kecurangan (fraud) yang telah dilakukan oleh pengurus dari perusahaan debitor. Bahkan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor seringkali menimbulkan penafsiran sebagai upaya untuk menghindar dari tuntutan pidana.49

2. Satu atau lebih kreditor

Meskipun permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri (Voluntary Petition) menimbulkan kekhawatiran dengan menafsirkan permohonan tersebut sebagai upaya debitor untuk menghindari pembayaran utang-utangnya kepada para kreditornya, undang-undang secara tegas telah memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya kepada pengadilan niaga. Oleh karena itu, hak tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Ketentuan mengenai satu atau lebih kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga adalah ketentuan Pasal

2ayat (1) UUK dan PKPU sebagaimana debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri.

Selama berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit pada umumnya diajukan oleh kreditor, baik kreditor yang merupakan perusahaan maupun kreditor perorangan. Dalam hukum kepailitan dikenal prinsip paritas creditorum, artinya bahwa semua kreditor konkuren mempunyai hak yang sama atas pembayaran piutangnya. Hasil kekayaan debitor yang telah dijual akan dibagikan secara seimbang dan proporsional menurut besarnya piutang mereka masing-masing, kecuali apabila diantara para kreditor tersebut terdapat alasan-alasan yang sah untuk didahulukan karena kreditor tersebut memiliki hak jaminan kebendaan (secured creditor) atau kreditor tersebut memiliki preferensi untuk diistimewakan.50

Mengenai seorang kreditor dapat mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit, ketentuan ini dalam praktiknya, baik yang terjadi di negeri Belanda maupun di peradilan Indonesia (sebelum dibentuknya pengadilan niaga) bila hanya seorang kreditor saja tidak boleh mengajukan kepailitan. Namun demikian, ada juga sarjana yang berpendapat bahwa seorang saja kreditor boleh mengajukan kepailitan debitornya, asalkan debitor tersebut memiliki lebih dari seorang kreditor, bila tidak, kepailitan akan kehilangan rasionya karena tujuan kepailitan adalah untuk melindungi para kreditor yaitu untuk mengadakan pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor. Sementara itu yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis,

maupun kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan preferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Apabila terdapat sindikasi kreditor, maka masing-masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU.51

Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditor. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditor yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditor tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh waktu, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitor pailit. Meskipun akhirnya secara logis, kepailitan idealnya lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditor bersaing (konkuren) yang tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitor, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan mereka terhadap harta debitor. Sementara itu, kreditor yang dijamin (kreditor separatis maupun preferen) karena hak mereka relatif telah terjamin dari alokasi hasil penjualan harta debitor (misalnya pemegang hak tanggungan/fidusia-pelunasan yang diambil dari penjualan barang jaminan), maka bagi mereka, kebutuhan untuk mengajukan

Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU menyatakan bahwa:

“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”.

kepailitan tidak semendesak kreditor konkuren dalam menjamin pelunasan piutang-piutang mereka.52

a. Kreditor Konkuren

Adapun golongan kreditor dalam kepailitan sebagaimana yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah:

Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro rata parte; artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibanding piutang mereka secara keseluruhan dan seluruh harta kekayaan debitor. Dengan demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan piutang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.53

Dengan kata lain, kreditor konkuren adalah kreditor yang tidak termasuk dalam golongan kreditor separatis dan preferen. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dari hasil penjualan atau pelelangan harta pailit sesudah diambil bagian golongan kreditor separatis dan preferen.54

b. Kreditor preferen

Kreditor preferen adalah kreditor yang diistimewakan, yaitu kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa. Hak istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1134 Kitab

52Sunarmi, Op.Cit., hal. 43-44.

Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang yang berpiutang, sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.55 Dengan demikian, kreditor preferen merupakan kreditor yang pelunasan piutangnya lebih didahulukan dari kreditor separatis dan konkuren dalam proses kepailitan.56

c. Kreditor separatis

Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Saat ini sistem hukum jaminan Indonesia mengenal beberapa macam jaminan. Pertama, jaminan gadai, diatur dalam Bab XX Pasal 1150-1160 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai, seorang pemberi gadai (debitor) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor). Kedua, jaminan hipotek, diatur dalam Bab XXI Pasal 1162-1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal dua puluh meter persegi dan sudah terdaftar di syahbandar, serta pesawat terbang. Ketiga, jaminan hak tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah. Dan keempat, jaminan hak fidusia, diatur dalam

55

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak tanggungan.57

Kreditor separatis merupakan kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena kepailitan. Artinya, para kreditor separatis ini tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun debitornya telah dinyatakan pailit. Tergolong sebagai kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Dari hasil penjualan benda-benda jaminan tersebut, kreditor akan mengambil pelunasan atas piutangnya dan sisanya akan dikembalikan pada harta pailit. Apabila ternyata hasil penjualan benda jaminan itu kurang dari jumlah piutangnya, maka terhadap sisa piutang yang belum terbayar tersebut kreditor akan menggabungkan diri dengan kreditor lain sebagai kreditor konkuren.58

3. Kejaksaan untuk kepentingan umum

Permohonan pernyataan pailit juga dapat diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum sebagaimana yang telah diatur dalam UUK dan PKPU juncto PeraturanPemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum.

Dalam UUK dan PKPU terdapat beberapa kewenangan kejaksaan dalam kepailitan. Pertama, Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPUjuncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan

57

pernyataan pailit demi kepentingan umum. Kedua, Pasal 10 ayat (1) UUK dan PKPU, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan agar pengadilan meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor dalam perkara kepailitan. Ketiga, Pasal 93 ayat (1) dan Pasal 93 ayat (2) UUK dan PKPU, bahwa pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih setelah mendengar hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik ditempatkan di rumah tahanan maupun di rumahnya sendiri, dibawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh Kejaksaan yang ditunjuk oleh hakim pengawas.59

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, tidak merinci dan menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”. Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepentingan umum dapat diartikan sebagai kepentingan yang bukan merupakan kepentingan kreditor ataupun pemegang saham. Kepentingan umum tersebut dapat saja masyarakat umum dalam pengguna jasa. Dalam hal yang sedang diajukan untuk pailit adalah suatu perusahaan transportasi atau perusahaan yang mengelola bahan-bahan yang sedang dalam proses kepailitan apalagi bila permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh pihak debitor. Sekalipun prosedur telah dilengkapi, hendaklah masalah kepentingan umum perlu dipertimbangkan.60

59

Apabila dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak menjelaskan mengenai “kepentingan umum”, maka dalam UUK dan PKPU telah diatur dengan jelas sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU, bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

a. Debitor melarikan diri;

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c. Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Ketentuan-ketentuan yang dikategorikan sebagai “kepentingan umum” tersebut di atas belum bersifat limitatif, khususnya ketentuan yang disebutkan dalam huruf c, d, e, dan f. Bahkan dalam penjelasan mengenai “kepentingan umum” tersebut justru sarat dengan ketidakpastian. Tidak adanya pengertian “kepentingan umum” yang bersifat limitatif memberikan kebebasan kepada hakim

untuk memberikan penafsiran yang lebih luas, sehingga rumusan dengan “blanconorm”61 sangat diperlukan. Namun, pembentuk undang-undang dapat menggunakannya sehemat mungkin dan dapat pula menggunakan “blanconorm” secara boros.62

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, “kepentingan umum” sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU sungguh sangat luas dan tidak berbatas. Dalam penjelasan tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Sementara dalam contohnya dikemukakan “dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum”. Dengan demikian, bukankah kejaksaan dapat memberikan pengertian yang subjektif terhadap apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”. Dengan kata lain, kejaksaanlah yang memiliki otoritas untuk menentukan apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” berkaitan dengan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor.63

Lebih lanjut menurut Sutan Remy Sjahdeini, bahwa dari contoh termasuk “kepentingan umum” tersebut adalah “debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat”, berarti kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap setiap debitor yang memperoleh kredit dari bank BUMN. Kemudian dari

61Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 103. Blanketnorm atau blanconorm (terjemahan secara harfiah dalam bahasa Indonesia: “norma kosong” atau “kaidah kosong”) adalah kelonggaran yang diberikan oleh perundang-undangan kepada hakim dengan menunjukkan kepada pengertian kewajaran, keadilan dan kesusilaan, itikad baik, alasan mendesak dan sebagainya. Dalam Sunarmi, Op.Cit., hal. 51.

contoh termasuk “kepentingan umum” adalah “debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu”, berarti memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap setiap debitor dari setiap bank yang dianggap “tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan utang piutang yang telah jatuh waktu.64

Sutan Remy Sjahdeini juga berpendapat bahwa sehubungan dengan penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut, bahwa dalam pengertian umum termasuk pula “dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum”, maka berarti UUK dan PKPU telah memberikan “blank check” kepada kejaksaan. Hal yang demikian membuka peluang atau kemungkinan terjadinya “abuse of power” oleh pihak kejaksaan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan perubahan mengenai ruang lingkup “kepentingan umum” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU dengan pengertian yang spesifik, bukan seperti yang diberikan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut.65

Dalam latar belakang lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 disebutkan bahwa untuk mempertegas mekanisme bagi kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum, dipandang perlu mengaturnya dalam peraturan pemerintah. Dengan adanya pengaturan tersebut, diharapkan dapat membantu menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap penyelesaian utang piutang dunia

64

usaha dan mendorong minat para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.66

Sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai setelah kemerdekaan, dalam perkara-perkara kepailitan, belum pernah terjadi kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit berdasarkan kepentingan umum. Oleh karena itu, belum dijumpai adanya penafsiran oleh hakim tentang kepentingan umum dalam kepailitan. Tidak adanya rumusan kepentingan umum merupakan salah satu factor yang menyebabkan kejaksaan pada masa berlakunya Faillissement Verordening dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, belum pernah mengajukan permohonan pernyataan pailit. Kondisi ini tentu dapat menghilangkan

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 menyatakan bahwa: “Wewenang kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah untuk dan atas nama kepentingan umum”.

Kemudian penjelasan Pasal 1 tersebut menyatakan bahwa:

“Apabila kejaksaan mengajukan permohonan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya kejaksaan bertindak demi dan untuk mewakili umum”. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa:

“Dalam permohonan pernyataan pailit tersebut, kejaksaan dapat melaksanakannya atas inisiatif sendiri atau berdasarkan masukan dari masyarakat, lembaga, instansi pemerintah dan badan lain yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komite Kebijakan Sektor Keuangan”.

kepercayaan masyarakat khususnya investor dalam penyelesaian utang piutang mereka. Sebab filosofinya adalah bahwa bila seseorang tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka hal ini merupakan dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, apalagi bila hal ini berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.67

Setelah berlakunya UUK dan PKPU, barulah dijumpai adanya satu perkara kepailitan untuk kepentingan umum yang diajukan oleh Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam v. PT. Aneka Surya Agung, dengan nomor 02/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Niaga mengutip ketentuan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU, serta penjelasan ketentuan pasal tersebut yang mencantumkan keadaan-keadaan yang memungkinkan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit untuk kepentingan umum.68

4. Bank Indonesia

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK dan PKPU juga dinyatakan bahwa tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit oleh kejaksaan untuk kepentingan umum adalah sama dengan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor atau kreditor, dengan ketentuan bahwa permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa menggunakan jasa advokat.

Permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang merupakan bank hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU. Menurut penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut,

67

yang dimaksdud dengan “bank” adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Lebih lanjut penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut menjelaskan bahwa pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan.

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut tidak mengemukakan apa yang menjadi alasan mengapa hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitor adalah bank. Dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut, maka UUK dan PKPU telah memberlakukan standar ganda (double standard). Ketentuan bahwa hanya Bank Indonesia yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit dalam hal debitor adalah suatu bank, telah merampas hak

kreditor dari bank. Kreditor dari bank selain para nasabah penyimpan dana juga terdiri atas banyak bank, yang memberikan fasilitas kepada bank-bank tersebut melalui interbank money market. Bank sebaga kreditor dalam menghadapi debitor non bank dapat mandiri menjalankan haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, tetapi apabila bank sebaga kreditor menghadapi debitor yang merupakan bank, haknya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tersebut hilang berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut.69

Sutan Remy Sjahdeini juga berpendapat bahwa untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan agar dapat diberikan putusan oleh pengadilan untuk menyatakan suatu bank pailit harus melibatkan Bank Indonesia. Akan tetapi, dalam hal menyangkut debitor yang merupakan bank, untuk menghindari adanya standar ganda dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, hendaknya permohonan pernyataan pailit tetap dapat diajukan oleh pihak-pihak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, yaitu bank itu sendiri selaku debitor, kreditor, dan kejaksaan untuk kepentingan umum, namun permohonan tersebut hanya dapat diajukan setelah sebelumnya memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.70

Bank Indonesia sudah sewajarnya melaksanakan kewenangannya dalam kepailitan untuk menunjang perekonomian nasional. Sehubungan dengan hal

Dokumen terkait