• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilar 1. Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana

BAB IV. Hasil Penelitian dan Analisis Tiap Pilar

IV.2. Pilar 1. Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana

Lingkup analisis Pilar 1 dalam evaluasi ini termasuk penempatan lokasi, desain dan pembangunan satuan pendidikan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, perawatan serta pengawasan secara berkala.

Pada pilar I, terdapat berbagai upaya dari pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk mendukung penguatan sarana prasarana aman bencana di satuan pendidikan, antara lain:

1. Pemutakhiran Standar Bangunan Tahan Gempa (SNI 1726:2002) oleh Kementerian PUPR sebanyak dua kali di tahun 2012 dan 2019. Dalam pemutakhiran SNI ini, satuan pendidikan dimasukkan dalam Kategori Risiko IV, yang artinya bangunan sekolah harus didesain tahan gempa dengan kekuatan 1,5x lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan bangunan umum.

2. Kemendikbud khususnya Direktorat Sekolah Dasar selama 12 tahun terakhir telah memanfaatkan dana APBN reguler untuk melakukan rehabilitasi ruang kelas, gedung sekolah dan juga untuk pengadaan sarana prasarana peralatan untuk pendidikan dan teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan satuan pendidikan.

3. Terdapat mekanisme yang lebih jelas untuk rehabilitasi dan rekonstruksi satuan pendidikan. Pembangunan sekolah serta rehabilitasi dan rekonstruksi satuan pendidikan saat ini dilakukan oleh Direktorat Prasarana Strategis, Ditjen Cipta Karya, Kementerian PUPR. Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) menjadi lokasi prioritas renovasi dan rehabilitasi untuk sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi oleh Kementerian PUPR dan memastikan pengendalian mutu.

4. Pemetaan sekolah yang berada di lokasi rawan bencana berdasarkan berbagai jenis ancaman bencana menggunakan integrasi antara data dari Kemendikbud (DAPODIK) dan dari BNPB melalui InaRISK sehingga perencanaan untuk program SPAB menjadi lebih efektif dengan mengidentifikasi prioritas hingga di tingkat satuan pendidikan (Gambar 10).

5. Penyusunan modul pilar I sebagai bagian dari modul SPAB yang disusun oleh Kemendikbud dan UNICEF.

6. Sekitar 12 pemerintah daerah telah mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang mendukung program SPAB. Contohnya, pemerintah provinsi NTT mengeluarkan kebijakan (Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT terkait SPAB) dimana sarana prasarana keamanan di satuan pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam

Halaman 27 dari 100 akreditasi sekolah, yang kemudian mendorong penyediaan perlengkapan kedaruratan di setiap satuan pendidikan.

7. Penyediaan sarana prasarana darurat di masa pasca bencana yang lebih sistematis melalui distribusi tenda sekolah serta pengiriman perlengkapan belajar dan rekreasi di wilayah pasca bencana. Saat ini, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pengadaan tenda sekolah untuk masa darurat untuk didistribusikan saat diperlukan. Sebagai contoh, Direktorat Sekolah Dasar (SD) Kemendikbud menyalurkan bantuan untuk sekolah-sekolah yang terdampak gempa bumi dan tsunami Sulawesi Tengah (2018), dalam bentuk mendistribusikan tenda sekolah darurat untuk 211 SD, rehabilitasi pembangunan fasilitas pendidikan yang roboh sebanyak 50 ruangan di 218 SD, dan pengadaan peralatan belajar di 904 SD.

8. Upaya pemulihan pasca bencana di sektor pendidikan oleh Kementerian PUPR, misalnya pasca gempa bumi di Pidie Jaya dan Bireuen (2017), serta gempa bumi Lombok dan gempa tsunami di Sulawesi Tengah (2018). Kemitraan antara Kemendikbud dan lembaga non-pemerintah juga memegang peranan penting dalam pengadaan sekolah sementara yang umumnya bersifat semi-permanen dan berfungsi saat menunggu proses rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah selesai dilakukan.

9. Pemerintah responsif dalam penanganan COVID-19 di sektor pendidikan dimana salah satunya adalah pengadaan dan/ atau perbaikan fasilitas CTPS di sekolah-sekolah.

10. Alokasi anggaran rutin dialokasikan ke lokasi terdampak bencana dengan mengurangi anggaran perencanaan di daerah lain. Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan juga untuk rehabilitasi satuan Pendidikan, pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana peralatan Pendidikan dan TIK.

Gambar 10. InaRISK BNPB dengan integrasi data sekolah di lokasi rawan bencana

Hingga tahun 1990-an, pembangunan sekolah dilaksanakan oleh Kementerian PUPR.

Kemudian sejak 1990-an mulai dialihkan pelaksanaannya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak tahun 2019, Kementerian PUPR mendapatkan mandat dari Presiden untuk menangani sarana prasarana satuan pendidikan melalui Perpres No. 43 Tahun 2019 mengenai Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembangunan, Rehabilitasi, atau Renovasi Pasar Rakyat, Prasarana Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, dan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Menyusul Perpres ini, dilakukan pembentukan Pusat Pengembangan

Halaman 28 dari 100 Sarana Prasarana Pendidikan Olahraga dan Pasar (PPSPPOP) pada tahun 2019 dan tahun 2020 digantikan oleh Direktorat Prasarana Strategis di Dirjen Cipta Karya PUPR.

Konsep penanganan Pendidikan Aman Bencana yang diterapkan Kementerian PUPR adalah pemenuhan terhadap persyaratan teknis keandalan bangunan Gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan), dimana berupaya untuk memfasilitasi ruang belajar yang aman dan nyaman, fasilitas kegiatan belajar mengajar dan pengembangan karakter, infrastruktur dasar, sarana aksesibilitas. Contohnya seperti penerapan dan penyediaan: bangunan sekolah dengan konstruksi tahan gempa, guiding block pada selasar, lapangan upacara dan olahraga sekaligus untuk tempat evakuasi, ramp disabilitas dan wastafel, pintu ruangan mengarah ke luar, jalur pejalan kaki, toilet siswa untuk laki-laki dan perempuan.

Di sisi lain, bangunan satuan pendidikan juga perlu mempertimbangkan fungsi untuk menjadi tempat aman untuk melindungi para warga sekitar yang terdampak dari bencana. Seperti misalnya di Jakarta, sekolah-sekolah yang sudah direnovasi memiliki fungsi lain untuk menjadi tempat pengungsian bila terjadi banjir untuk warga sekitar sekolah. Hal ini tentunya perlu didukung dengan upaya manajemen pendidikan di masa darurat untuk memastikan proses belajar mengajar tidak terganggu di masa tanggap darurat hingga proses pemulihan.

“Fungsi bangunan satuan pendidikan yang utama adalah untuk mewadahi kegiatan belajar mengajar generasi masa depan, sekaligus mampu dijadikan tempat evakuasi apabila terjadi bencana“ ujar salah satu

narasumber di FGD IV.2.1. Relevansi

Tiga belas bencana yang terjadi di Indonesia telah berdampak cukup serius pada satuan pendidikan di Indonesia dari tahun 2010 hingga 201926. Selama 10 tahun terakhir tersebut, berbagai bencana tersebut telah menyebabkan lebih dari 62.687 satuan pendidikan terdampak dengan lebih dari 12 juta siswa terdampak27. Angka ini diperkirakan jauh lebih besar karena belum memasukkan seluruh bencana yang berskala kecil dan menengah.

Hal ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah bersama lembaga non-pemerintah dalam penguatan pilar I, yaitu memastikan fasilitas satuan pendidikan aman bencana, sudah sepantasnya dilakukan dan relevan dengan kebutuhan yang ada.

Hasil wawancara dan FGD menunjukkan bahwa upaya-upaya penguatan sarana prasarana terkait SPAB banyak dibantu oleh lembaga donor internasional seperti Bank Dunia dan juga dana-dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan. Masih sedikit lembaga non-pemerintah terutama LSM yang memiliki program yang terkait pada penguatan pilar 1.

Beberapa LSM yang bergerak di program SPAB sudah ada yang mulai merintis kegiatan-kegiatan terkait pilar 1, antara lain dengan melakukan penguatan bangunan sekolah (retrofitting), membangun dinding penahan longsor, membuat biopori dan sumur resapan untuk mencegah banjir, dan juga melakukan inspeksi teknis untuk mengkaji keamanan bangunan sekolah.

Di sisi lain, kualitas bangunan dipengaruhi oleh lemahnya sosialisasi terkait SNI bangunan tahan gempa (SNI 1726) dan juga masih kurangnya pengawasan dan inspeksi penerapan

26 Kemendikbud, "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia."

27 Ibid.

Halaman 29 dari 100 selama proses konstruksi yang menjadi dua faktor utama yang kerap muncul. Standar keamanan untuk bangunan sekolah baru meliputi jenis ancaman gempa dan kebakaran saja.

Sedangkan jenis ancaman lainnya seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, dan angin puting beliung belum disusun. Hal ini dapat dilakukan dengan berkolaborasi bersama pihak akademisi dan asosiasi profesi untuk menyusun berbagai standar untuk berbagai jenis ancaman.

“Inti dari pembangunan Bangunan Gedung untuk mendukung Sarana Prasarana pendidikan yang Aman dari Bencana adalah terpenuhinya persyaratan teknis dalam pembangunannya, bangunan gedung harus Andal. Keandalan yang dimaksud antara lain: Keamanan, Kemudahan,

Kenyamanan, Kesehatan” ujar perwakilan Kementerian PUPR dalam wawancara

Di sisi lain, pemerintah juga harus aktif menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lainnya. Pihak swasta perlu dilibatkan minimal dari dua aspek. Aspek pertama adalah mengajak pihak-pihak yang berpengaruh dalam proses pembangunan dan pemeliharaan bangunan, seperti misalnya para kontraktor, asosiasi profesi, dan juga tim yang berfungsi melakukan inspeksi dan pengawasan terhadap keamanan bangunan, seperti misalnya Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG). Pemerintah daerah wajib membentuk TABG yang membantu penyelenggaraan bangunan gedung tertentu sesuai dengan Permen PUPR No. 11 Tahun 2018 Tentang Tim Ahli Bangunan Gedung, Pengkaji Teknis, dan Penilik Bangunan.

Aspek lainnya adalah mengajak pihak swasta untuk berkolaborasi dalam memobilisasi sumber daya, termasuk dukungan pendanaan, untuk mendukung perwujudan fasilitas satuan pendidikan yang aman bencana. Hal ini disebabkan besarnya jumlah satuan pendidikan yang berada di wilayah rawan bencana. Pemetaan InaRISK dan DAPODIK yang bersumber dari Kemendikbud dan BNPB (2019) menunjukkan setidaknya 52.902 satuan pendidikan berada di wilayah rawan gempa bumi, 2.417 satuan pendidikan berada di wilayah rawan tsunami, 54.080 satuan pendidikan berada di wilayah rawan banjir, 15.597 satuan pendidikan berada di wilayah rawan longsor, dan 1.685 satuan pendidikan berada di wilayah rawan letusan gunung api.

BNPB bersama berbagai instansi terkait telah mengeluarkan Peta Risiko Bencana, antara lain untuk ancaman gempa bumi, tsunami, gunung api, kerentanan gerakan tanah (yang dapat memicu longsor), serta juga peta risiko bencana lainnya seperti untuk risiko banjir. Sayangnya belum ada upaya sosialisasi yang terstruktur, sistematis, dan massif khususnya untuk warga satuan pendidikan terkait peta-peta ini. Sedangkan peta-peta ini seharusnya bisa menjadi dasar penentuan langkah untuk setiap daerah khususnya yang memiliki risiko bencana dalam kaitannya membangun kesadaran dan literasi bencana, menjadi informasi awal untuk meningkatkan kewaspadaan, membangun strategi untuk penempatan lokasi sekolah aman, rekayasa sarana prasarana yang lebih aman serta mengetahui bagaimana tindakan penyelamatannya.

Berdasarkan hasil studi pustaka dan FGD, lokasi satuan pendidikan yang aman bencana sebaiknya menghindari:

a) Zona Kawasan Rawan Bencana tinggi di wilayah gunung api

b) Zona Kawasan Rawan Bencana tinggi di wilayah rawan gerakan tanah

Halaman 30 dari 100 c) Zona sempadan jalur patahan aktif dengan perimeter 10-15 meter di kedua sisi jalur

patahan aktif

d) Zona sempadan pantai Rawan Tsunami minimal 100-200 meter dari titik pasang tertinggi, atau dengan waktu tunggu yang pendek

e) Wilayah berpotensi banjir bandang f) Zona likuefaksi masif pasca gempa bumi

Namun, pemilihan lokasi sekolah berada pada ranah pemerintah daerah (dari provinsi, kab/kota, hingga ke tingkat kelurahan/ desa). Hal ini menjadi temuan menarik mengingat di tingkat pusat, Seknas SPAB belum mengikutsertakan Kemendagri dan juga di tingkat daerah.

Perlu diingat pula bahwa upaya relokasi sekolah merupakan suatu hal yang kompleks dan melibatkan sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai kumpulan komunitas dan dipengaruhi berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan politis.

Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam hal perwujudan program SPAB, termasuk juga dalam mengalokasikan dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah.

Sebagai contoh, pemerintah provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan dana sekitar 2 triliun rupiah untuk merenovasi 147 satuan pendidikan di tahun 2019. Hal ini bisa direplikasi oleh pemerintah daerah lainnya untuk mendukung sarana prasarana yang aman di satuan pendidikan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat Kementerian PUPR hanya diberikan mandat untuk melakukan renovasi di wilayah 3T saja berdasarkan Peraturan Presiden yang berlaku. Kebijakan ini juga minim diketahui pemerintah daerah yang berimbas pada ketergantungan yang tidak seharusnya kepada Pemerintah Pusat.

IV.2.2. Efektivitas dan Efisiensi

Program SPAB belum masuk secara merata dan belum menjadi program prioritas, khususnya untuk implementasi pilar I. Peran Sekretariat Nasional SPAB di tingkat nasional dan juga Sekretariat Bersama SPAB di daerah belum optimal termasuk tentang kolaborasi dengan pihak terkait untuk mendukung terpenuhinya sarana prasarana SPAB. Hal ini tercermin dari hanya 2 dari 24 capaian (8%) yang masuk dalam pilar I dalam Peta Jalan Program SPAB di tahun 2015-2019, yaitu penyusunan modul Pilar I dan pengadaan peralatan darurat.

Selain itu, program fasilitas satuan pendidikan aman bencana ini juga ternyata belum menjadi program prioritas baik di kalangan pemerintah daerah maupun di satuan pendidikan yang menjadi penyebab belum optimalnya implementasi program SPAB termasuk pemenuhan terkait dengan pilar 1 SPAB.

Kementerian PUPR semenjak tahun 2019 telah melakukan identifikasi untuk penanganan sekolah yang perlu diperbaiki. Dari ±10.000 satuan pendidikan yang terdata memiliki kerusakan di Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), telah diverifikasi terdapat ±3.600 sekolah yang harus diperbaiki, dan sampai tahun 2019 baru selesai 1,467 sekolah. Data dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa terdapat ±1000 data madrasah yang tergolong kategori rusak ringan hingga berat, dan setelah diverifikasi terdapat 419 madrasah yang dapat ditindaklanjuti, dan sebanyak 144 unit sudah selesai ditangani (Gambar 11).

Hal ini menunjukkan bahwa selama laju intervensi yang dilakukan oleh Kementerian PUPR berada di sekitar 1,500 – 1,600 satuan pendidikan per tahunnya. Laju ini perlu ditingkatkan lagi mengingat bahwa lebih dari 50,000 satuan pendidikan berada di lokasi rawan gempa dan juga lebih dari 50,000 satuan pendidikan berada di lokasi rawan banjir. Dengan laju yang ada,

Halaman 31 dari 100 Indonesia akan membutuhkan sekitar lebih dari 33 tahun untuk memperbaiki 50,000 satuan pendidikan.

Di sisi lain, hasil wawancara dengan perwakilan Kementerian PUPR juga menyebutkan bahwa data kerusakan satuan pendidikan yang terekam di Kemendikbud dan Kemenag belum menggunakan standar penilaian yang baku, sehingga setelah dilakukan verifikasi oleh petugas dari PUPR, banyak data yang tidak sesuai. Tidak adanya standar penilaian yang baku akan memperpanjang proses dan menyebabkan inefisiensi.

Gambar 11. Penanganan Sekolah dan Madrasah oleh Kementerian PUPR pada tahun 2019

Selain itu, masih banyak satuan pendidikan yang belum mengetahui dan belum memiliki Sertifikat Laik Fungsi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sertifikat Laik Fungsi (SLF) adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah daerah terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun sesuai Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan telah memenuhi persyaratan kelaikan teknis sesuai fungsi bangunan berdasar hasil pemeriksaan dari instansi terkait. SLF diterbitkan dengan masa berlaku 5 tahun untuk bangunan umum, termasuk untuk satuan pendidikan.

Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas aman bencana tidak lepas dari perlunya pengawasan yang ketat selama proses konstruksi, mengingat pengerjaan bangunan satuan pendidikan secara teknis yang menentukan kualitas bangunan meskipun perencanaan sudah disusun dengan baik.

Halaman 32 dari 100

“Sudah ada SNI, Peraturan Menteri, Pedoman terkait pilar 1 namun berdasarkan hasil asesmen lapangan, hampir semua sekolah tidak memenuhi persyaratan teknis” kata perwakilan Kementerian PUPR dalam

wawancara

Pada beberapa pelaksanaan, pembangunan bangunan satuan pendidikan juga melibatkan padat karya, yang masih harus diawasi terutama tingkat pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh para tim bangunan yang masih awam dengan konsep pembangunan bangunan satuan pendidikan yang tahan gempa bumi maupun sesuai konsep bangunan pendidikan yang aman bencana. Rendahnya pemahaman tentang konstruksi bangunan yang tahan bencana menjadi tantangan SDM, terutama di daerah dengan kapasitas tenaga ahli yang terbatas. Selain itu, penerapan desain dan spesifikasi bangunan satuan pendidikan masih berbeda-beda di setiap daerahnya, sehingga sulit untuk memastikan kualitas bangunan yang telah dibangun.

Kelengkapan sarana prasarana juga banyak yang belum memenuhi dan belum ramah anak.

Sarana dan prasarana untuk anak disabilitas masih kurang diperhatikan. Pemenuhan kebutuhan fasilitas sarana prasarana yang aman di satuan pendidikan salah satunya juga harus memenuhi aspek ramah anak. Sampai saat ini, masih terdapat sekolah yang belum menerapkan dengan baik, misalnya, masih ditemukan fasilitas meja di kelas untuk para siswa memiliki sudut yang lancip yang bisa berbahaya dan atau penempatan rambu evakuasi yang tidak terlihat jelas oleh anak-anak.

IV.2.3. Dampak

Kejadian bencana seperti gempa Lombok dan gempa-tsunami-likuifaksi masif di Sulawesi Tengah di tahun 2018 telah menunjukkan bahwa ancaman bencana memiliki dampak yang signifikan di sektor pendidikan. Dari 492 fasilitas umum yang terdampak di Lombok, 373 (87%) diantaranya adalah fasilitas pendidikan. Secara akumulatif, bencana di Lombok dan Sulawesi Tengah telah merusak lebih dari 2,500 satuan pendidikan dan berdampak pada lebih dari 140,000 siswa.

Selain itu, berdasarkan data Kemendikbud, terdapat lebih dari 62,000 satuan pendidikan yang terkena dampak akibat berbagai ancaman bencana, baik karena kebakaran hutan dan lahan, gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan angin puting beliung28. Namun, jumlah ini diperkirakan jauh lebih besar karena umumnya data kerusakan sekolah akibat bencana yang dikumpulkan oleh Kemendikbud masih sebatas kerusakan akibat bencana berskala menengah hingga besar. Sedangkan, jumlah kejadian bencana berskala kecil merupakan kejadian yang lebih sering terjadi dan kejadian ini juga bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap fasilitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.

IV.2.4. Keberlanjutan

Pasca gempa Sumatera Barat pada tahun 2009, sekolah dimasukkan ke dalam Kategori Risiko IV dimana bangunan sekolah harus didesain tahan gempa dengan faktor keamanan 1.5 kali lebih kuat dimana ini adalah tingkat keamanan paling tinggi untuk bangunan. Selama 12 tahun terakhir tersebut, regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mendukung untuk perwujudan fasilitas satuan pendidikan aman bencana. Namun hal ini belum bersifat mengikat terutama terkait wewenang dan tupoksi lembaga yang terlibat, termasuk pula terdapat

28 Ibid.

Halaman 33 dari 100 ketidak jelasan mengenai peran setiap lembaga dalam implementasi program SPAB khususnya dalam pilar 1.

Saat ini, Kementerian PUPR telah menetapkan petunjuk teknis standardisasi desain dan penilaian kerusakan sekolah dan madrasah melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Cipta Karya No. 47/SE/DC/2020 tanggal 27 Oktober 2020. Petunjuk Teknis Standardisasi Desain Sekolah dan Madrasah yang diharapkan dapat menjaga kualitas dokumen rencana teknis dalam pembangunan dan rehabilitasi/renovasi sekolah dan madrasah, selain itu juga Petunjuk Teknis Penilaian Kerusakan Sekolah dan Madrasah dapat digunakan sebagai instrumen untuk melakukan identifikasi tingkat kerusakan bangunan sebagai dasar untuk menentukan penanganan yang dibutuhkan. Dokumen ini nantinya yang akan menjadi panduan petunjuk teknis dalam perencanaan pembangunan bangun satuan pendidikan yang aman bencana sesuai dengan tujuan pilar I SPAB.

Pemenuhan kebutuhan fasilitas sarana dan prasarana yang aman dari bencana dapat juga dimasukkan ke dalam salah satu indikator akreditasi sekolah, seperti yang sudah terlaksana di beberapa sekolah di NTT meski belum optimal. Dengan demikian, satuan pendidikan yang ingin memperoleh akreditasi sekolah harus memenuhi seluruh indikator termasuk diantaranya adalah pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana aman bencana. Hal ini menunjukkan pula pemerintah daerah dapat berperan penting dalam memastikan perwujudan pilar I.

Namun, salah satu kelemahan dalam aspek keberlanjutan adalah belum adanya mekanisme pemantauan dan pengawasan terhadap penerapan kebijakan yang sudah ada. Sebagai contoh adalah penerapan pembangunan sekolah sesuai dengan SNI tahan gempa yang sudah ada, penggunaan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan pengawasan dari tim ahli, dimana saat ini tidak ada sistem yang bisa mengetahui berapa sekolah yang sudah menerapkan pembangunan sesuai SNI, berapa sekolah yang sudah memiliki SLF, dan berapa sekolah yang bangunannya sudah melakukan audit keselamatan bangunan yang dilakukan oleh tim ahli.

Gambar 12. Cuplikan paparan dari Kementerian PUPR saat Lokakarya Pilar I

IV.2.5. Inovasi

Beberapa langkah inovatif yang sudah dilakukan terkait pilar I, antara lain:

• Pemetaan sekolah yang terletak di wilayah rawan bencana yang berasal dari integrasi data dari Kemendikbud (Dapodik) dan BNPB (InaRISK), yang kemudian bisa diakses oleh publik melalui platform InaRISK (https://inarisk.bnpb.go.id/). Dari pemetaan ini,

Halaman 34 dari 100 Seknas SPAB juga memiliki data satuan pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana.

• Pengembangan aplikasi pengkajian keselamatan bangunan, yaitu VISUS - Visual Inspection for defining the Safety Upgrading Strategies (dikembangkan oleh UNESCO dan University of Udine, Italy) dan STEP-A (dikembangkan oleh UNDP bersama stakeholder Konsorsium Pendidikan Bencana – KPB). Aplikasi-aplikasi ini membantu warga sekolah untuk mengkaji tingkat keamanan bangunan terhadap berbagai jenis ancaman bencana. Namun, sayangnya aplikasi-aplikasi ini belum digunakan secara massal.

• Pengembangan platform informasi pemetaan satuan Pendidikan terdampak bencana untuk rehabilitasi rekonstruksi berbasis website hasil kerja sama UNICEF, Plan, dan Pusat Data Pendidikan (Pusdapendik) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah, dimana publik bisa mengetahui dampak dan juga capaian sejauh ini terkait upaya pemulihan di sektor pendidian pasca gempa dan tsunami Sulawesi Tengah 2018.

IV.2.6. Pembelajaran

Kualitas Data Pokok Pendidikan (dapodik) Kemendikbud. Berdasarkan temuan Kementerian PUPR saat mengidentifikasi kerusakan sekolah, data yang diberikan dari data pokok Pendidikan dirasa belum memiliki standar yang baku, karena ditemukan perbedaan saat petugas di lapangan dengan petugas yang melakukan input dapodik.

Alokasi Pendanaan. Pendanaan untuk pemenuhan sarana prasarana aman bencana masih bergantung pada pusat, sebaiknya bisa memperhatikan dan memanfaatkan sumber pendanaan lainnya supaya bisa lebih independen.

Monitoring dan Evaluasi mengenai Teknis Konstruksi Bangunan Tahan Gempa.

Pemahaman tentang keandalan bangunan belum menjadi prioritas SDM yang ditugaskan melakukan pengawasan kegiatan konstruksi, terutama di daerah dengan akses sulit. Penerapan desain dan spesifikasi bangunan masih berbeda-beda di setiap daerahnya, sehingga sulit untuk memastikan keseragaman keandalan bangunan gedung yang telah dibangun. Sampai saat ini masih sering ditemukan kegagalan bangunan satuan pendidikan akibat bencana alam seperti

Pemahaman tentang keandalan bangunan belum menjadi prioritas SDM yang ditugaskan melakukan pengawasan kegiatan konstruksi, terutama di daerah dengan akses sulit. Penerapan desain dan spesifikasi bangunan masih berbeda-beda di setiap daerahnya, sehingga sulit untuk memastikan keseragaman keandalan bangunan gedung yang telah dibangun. Sampai saat ini masih sering ditemukan kegagalan bangunan satuan pendidikan akibat bencana alam seperti

Dokumen terkait