• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pilihan Dilematis

Dalam dokumen Analisis Kebijakan Publik lay out (Halaman 40-44)

Pada pertemuan ini, mahasiswa akan diajak untuk menyelami salah satu perdebatan utama dalam kajian Analisa Kebijakan Publik, yaitu perdebatan tentang obyektivitas VS subyektivitas analisa kebijakan dan pilihan posisi seorang analis kebijakan. Untuk itu, dosen mengawali sesi ini dengan sedikit mengulang kembali materi sesi sebelumnya, tentang perspektif-perspektif dasar Rational-Comprehensive, Garbage-Can, dan

Mixed-Scanning yang banyak digunakan dalam kajian kebijakan publik. Dosen mengajak mahasiswa untuk mencermati bahwa dalam masing- masing perspektif analisa dan si analis diasumsikan mengambil posisi tertentu terhadap obyek kebijakan yang dikajinya.

Purwo Santoso 27 Sederhananya, kita bisa mengasumsikan bahwa perspektif

rational-comprehensive mewakili perspektif yang mengasumsikan bahwa analisis kebijakan harus bersifat obyektif dan analis harus mengambil jarak dan bersikap netral dari obyek kebijakan yang dikajinya. Analisis yang obyektif ditentukan dari sejauh mana analisis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah teknokratis dan prosedur yang ada. Karena itu, perspektif ini juga disebut perspektif Teknokratis-Administratif.

Sementara, Garbage-Can kita asumsikan sebagai perspektif yang mewakili asumsisubyektivitas analisis dan keterlibatan kepentingan analis dengan obyek kebijakan yang dikajinya adalah sebuah keniscayaan. Tarik- menarik kepentingan dalam proses kebijakaan juga menjadi sebuah keniscayaan yang lain, karena ada beragam aktor yang terlibat dalam proses kebijakan. Proses kebijakan tidak selalu didasari oleh suatu tujuan yang jelas dan terdefinisi dengan baik, tetapi bisa juga didasari untuk menemukan kompromi di antara berbagai kepentingan yang terlibat.

Terakhir, Mixed-Scanning mewakili perspektif yang melihat bahwa proses kebijakan merupakan proses yang meliputi dimensi teknis-administratif dan politis, serta mencari cara yang paling tepat untuk memadukan keduanya. Dalam perspektif ini, proses kebijakan dilihat sebagai proses untuk mengidentifikasi berbagai alternatif yang berpotensi menghasilkan di antara berbagai kepentingan yang terlibat dalam proses kebijakan, dilanjutkan dengan menentukan alternatif mana yang dianggap paling rasional dan efektif.

Di kutub teknokratis – administratif, analisis kebijakan diklaim sebagai kegiatan memilah-milah dan mengukur suatu kebijakan untuk menghasilkan informasi dan pengetahuan yang sifatnya obyektif. Di sini, diasumsikan bahwa analisis dan pengetahuan yang dihasilkannya bersifat obyektif, bebas nilai, dan tidak melayani kepentingan apapun. Tarik-menarik kepentingan politik, yang sangat kental mewarnai proses kebijakan, dianggap sebagai distorsi bagi upaya analisis; yang sayangnya; kemudian cenderung diabaikan dalam kebanyakan analisis yang dilakukan dengan perspektif ini.

Di kutub politis, konflik kepentingan dalam proses kebijakan dipandang sebagai sebuah keniscayaan, termasuk dalam analisis yang

28 Analisis Kebijakan Publik

menyertai proses tersebut. Tentunya ini membuat analisis yang dilakukan menjadi tidak obyektif dari perspektif teknokratis-administratif. Di situ, analisis yang dihasilkan bisa jadi muncul bukan sekedar sebagai pengetahuan yang bebas nilai atau tidak memihak, tetapi ditujukan agar bisa menjadi argumen untuk mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan agar menguntungkan bagi kepentingan tertentu.

Dosen memaparkan kepada mahasiswa bahwa, sebetulnya, kedua asumsi tersebut muncul dari ketegangan antara paradigma obyektivis/ positivis dan subyektivis, yang tentunya sudah dipahami oleh mahasiswa dalam berbagai mata kuliah metodologi yang telah diikuti sebelumnya. Dalam paradigma yang pertama, analisa dan analis, dituntut untuk berdiri mengatasi semua pertikaian dan silang – sengketa kepentingan dari aktor-aktor kebijakan yang terlibat dalam proses kebijakan yang dianalisis. Di sini diasumsikan bahwa rasionalitas manusia akan mampu menemukan sebuah jalan keluar yang secara obyektif diakui kebenarannya dan bisa diterima oleh semua aktor yang terlibat dalam suatu isu atau area kebijakan tertentu.

Sebaliknya, paradigma subyektivis melihat bahwa analisis kebijakan, niscaya, berlangsung dalam sebuah konteks relasi berbagai aktor kebijakan yang memiliki kepentingan yang beragam. Sebagai konsekuensinya, proses kebijakan maupun analisa kebijakan tidak steril dari relasi kepentingan tersebut. Analisis yang dilakukan, mau tidak mau, akan dihinggapi oleh subyektivitas. Karena itu, analisis di sini dilakukan bukan untuk menghasilkan suatu pengetahuan yang obyektif, namun lebih diarahkan untuk membangun inter-subyektivitas atau kesepahaman di antara relasi kepentingan terkait dengan kebijakan yang dianalisis.Dosen bisa mengingatkan mahasiswa pada simulasi tentang pemahaman kita dan orang lain di pertemuan sebelumnya!

Ujung dari ini semua adalah, bagaimanakah posisi si analis? Haruskah atas nama obyektivitas, si analis tetap berpura-pura berdiri dalam menara obyektivitas, dengan resiko besarnya potensi resistensi terhadap kesimpulan analisanya? Ataukah, dengan mengorbankan obyektivitas, si analis harus mengakui posisi subyektifnya, dengan resiko dicap tidak ilmiah? Kontras antara analisis yang mengacu

Purwo Santoso 29 pada obyektivisme dan inter-subyektivis-me dapat dilihat di Tabel III.1. Matriks Perbedaan Analisis Sebagai Kegiatan yang Obyektif dan Analisis Sebagai Kegiatan yang Subyektif.

Tabel III.1. Matriks Perbedaan Analisis Sebagai Kegiatan Yang Obyektif dan Analisis Sebagai Kegiatan yang Subyektif

ANALISIS SEBAGAI

KEGIATAN YANG OBYEKTIF

ANALISIS SEBAGAI KEGIATAN YANG SUBYEKTIF Asumsi tentang posisi

analisis dengan realitas yang dianalisis

Analis merasa berada di luar realita yang dianalisis

Analis merasa menjadi bagian dari realitas yang dianalisis Tipe analisis Analisis terhadap kebijakan Analisis untuk kebijakan Tipikal analis Ilmuwan, komentator, wartawan Politisi, policy maker, teknokrat Peran yang dijalankan

Analis

Memproduksi pengetahuan

tentang kebijakan Memproduksi kebijakan

Output yang diharapkan

Pengetahuan, teori, serta penyempurnaan metode analisis kebijakan, orientasi pemerintah

Basis informasi untuk pembuatan kebijakan, tawaran rumusan kebijakan tertentu

Sebagaimana dipahami dalam simulasi pada pertemuan sebelumnya,kecenderungan tidak lengkapnya informasi yang dimiliki oleh seseorang cenderung memunculkan blindspot atau titik-buta. Begitu juga dalam analisa kebijakan,keterbatasan rasionalitas dan pengetahuan para analis seringkali memunculkan berbagai titik- buta. Dalam paradigma subyektivis, analisis dilakukan untuk menarik berbagai titik-buta ini ke wilayah Terbuka Bagi Diskusi sehingga inter- subyektivitas bisa tercipta.

Lebih dari itu, begitu berharganya pengetahuan atau informasi yang dibutuhkan untuk membuat kebijakan, seringkali dalam praktek kebijakan, informasi ini menjadi komoditi politik. Penguasaan atas pengetahuan atau informasi menentukan nasib kepentingan setiap aktor dalam proses kebijakan yang diikutinya. Dengan demikian, muncul kecenderungan akan tidak pernah lengkapnya informasi dalam setiap proses kebijakan. Hal ini tentunya membuat analis menghadapi kesulitan yang luar biasa untuk menghimpun keseluruhan pengetahuan dan informasi yang dibutuhkan untuk melakukan suatu analisa yang

30 Analisis Kebijakan Publik

obyektif dengan hasil yang memuaskan semua pihak.1

B. Kontroversi Analisa untuk Kebijakan dan Analisa terhadap

Dalam dokumen Analisis Kebijakan Publik lay out (Halaman 40-44)