• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pintu Memasuki Hat

Dalam dokumen At-Thariq ilal Quluub Bagaimana Menyentuh Hati (Halaman 141-145)

Membuka pintu hati yang baru adalah pekerjaan yang sulit dan membingungkan. Memang tidaklah masuk akal bila engkau bertemu seseorang yang sama sekali belum kamu kenal lalu kamu katakan, "Maaf, saya ingin berkenalan dengan Anda?" Tentu orang itu akan memandangmu dengan penuh keheranan dan asing, bahkan boleh jadi akan memandangmu dengan sinis. Hal itu terjadi jika pertemuan itu terjadi di tempat umum. Lain halnya jika hal itu terjadi di masjid, pada waktu-waktu menjelang atau usai shalat, sampai batas tertentu masih bisa diterima dan masuk akal. Karena orang yang datang ke masjid tentu tidak memiliki prasangka sebagaimana orang di tempat umum tadi. Sama halnya jika hal itu terjadi di suatu acara resepsi, misalnya. Pada saat itu, ada perasaan saling berdekatan dan akrab. Lalu bagaimana jika kita tidak menemukan kondisi seperti ini? Bagaimana caranya? Inilah yang diarahkan Rasulullah saw. kepada kita dengan sabdanya, "Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga beriman, dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian saya tunjukkan suatu amal yang bila dikerjakan maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian!" Sungguh benar Rasulullah saw.

Langkah awal menuju hati adalah, "ucapkan salam kepadanya", baik orang itu kau kenal atau belum kau kenal, karena dakwah Islam ditujukan untuk semua dan engkau menginginkan mereka. Bila engkau telah meng-ucapkan salam kepadanya,

fardhu 'ain. Allah swt. berfirman,

"Apabila kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)," (An-Nisaa: 86)

Bukan sekedar mengucapkan salam seperti yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang, tanpa penghayatan dan tanpa pengaruh. Terkadang engkau mengucapkan, "Assalamu'alaikum," lalu sebagian mereka menjawab, "Kum salam." Tentu ini keliru. Seharusnya kau katakan, "Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh." Biarkanlah sebagian orang mengucapkan-nya sekedar sebuah tradisi namun kita tetap mengucapkannya sebagai ibadah. Yakni ketika kita mengucapkan salam itu, kita merasakannya sebagai sebuah doa, dan kita mengucapkannya juga dengan semangat berdoa. Selain itu, ketika mengucapkan salam, kita harus menghadapkan wajah kita kepada orang yang dituju. Rasul saw. bersabda, "Dan hendaklah engkau mendatanginya dari arah wajahnya!" Demikian itu karena wajah merupakan representasi seseorang. Engkau dapat mengamati bagaimana pengaruh ucapan salammu pada wajahnya. Engkau dapat melihat apakah ia merasa senang atau tidak kepadamu ketika bertemu, melalui cahaya wajahnya. Pada tahap kedua, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, "Senyummu di depan wajah saudaramu adalah sedekah." Beliau mengajak kita untuk tersenyum di hadapan orang yang kita temui, karena senyum yang hangat memiliki pengaruh yang besar dalam menggerakkan hati dan menghidupkan nurani. Sebuah syair bertutur:

Senyum laksana cahaya mentari benderang Muncul dari balik kalbu yang tercemar noda.

Selain itu, sertai senyumanmu itu dengan pandangan yang menggetarkan hati. Engkau mungkin merasa sedih karena seseorang menjabat tanganmu dengan tak acuh dan sikap dingin, seakan tidak bermanfaat dan tiada guna. la memandangmu dengan pandangan hampa dan senyuman yang dibuat-buat. Rasulullah saw. telah membimbing kita kepada rambu-rambu jalan menuju hati, dengan langkah-langkah yang alamiah dan wajar, tidak dibuat-buat dan tidak direkayasa: pelan-pelan, bertahap, dan sabar. Bila dalam menyebarkan kejahatan, setan menggunakan langkah-langkah yang bertahap, maka seorang da'i lebih patut menggunakannya untuk menebarkan

kebaikan dan menyelamatkan umat. Rasulullah saw. bersabda, "Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam: bila bertemu ucapkan salam, bila diundang maka penuhilah, bila meminta nasihat maka nasihatilah, bila bersin lalu memuj iAllah maka sambutlah dengan doa (yarhamukallah), bila sakit maka jenguklah, dan bila meninggal maka ta'ziyahlah." (HR. Muslim)

Kita telah membahas poin pertama dari hadits "Bila bertemu ucapkan salam kepadanya". Dalam hadits lain disebutkan, "Hendaklah engkau memulai dengan mengucapkan salam." Demikianlah, hendaknya engkau yang memulai mengucapkan salam itu, karena engkau yang mengharapkan dan berusaha untuk "mendapat"kannya. Persis sebagaimana jika engkau membutuhkan jenis obat tertentu maka engkau yang aktif mencarinya di apotek, sampai engkau mendapatkannya.

Setelah sekian lama kalian berdua terikat oleh salam, kalian saling mengenal, bahkan kalian sudah saling mengenal nama saudara masing-masing, lalu kalian berpisah untuk beberapa waktu lamanya, maka engkau harus menanyakan dan mencarinya, agar engkau memiliki kepastian tentangnya. Demikianlah. Hari-hari berlalu, sementara kalian berdua belum terhubungkan hingga berita pun tiada. Namun tiba-tiba terdengar berita bahwa ia sakit. Kata Rasul saw., "Jika ia sakit, jenguklah." Pergilah menemuinya dengan membawa sekedar hadiah yang tanpa memberatkan, lalu doakan ia dengan doa ma'tsur dari Rasulullah saw., namun jangan terlalu lama.

Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah saw. secara beransur-ansur, menjawab berbagai peristiwa yang terjadi. Karena itu, peristiwa dan kondisi juga merupakan faktor pembentuk ikatan dan pengukuh hubungan. Bila sahabatmu memiliki acara yang membahagiakannya lalu engkau diundang untuk menghadirinya, penuhilah undangan itu. Ia juga merupakan langkah yang dapat memperkokoh hubungan yang sudah terjalin sebelumnya. Selain itu juga dapat menanamkan fondasi akhlak pada jiwa, yang perkembangannya nanti menjadi akhlak mulia.

Akhlak tumbuh laksana pohon Bila kau siram dengan air kemuliaan.

sekali-kali engkau kehilangan peluang atau momen yang bisa kau manfaatkan untuk menjalin hubungan. Ketika engkau bertemu seseorang yang bersin kemudian mengucapkan, "Alhamdulillah," hadapkan wajahmu kepadanya —seperti yang telah dijelaskan sebelumnya— dan ucapkan, "Yarhamukallah ya akhi (semoga Allah merahmatimu wahai akhi)."

Bila ia menyahut dengan ucapan, "Yarhamuna wa yarhamukallah (semoga Allah merahmati kami dan Anda)," maka ucapkan kepadanya, "Jazakallab khairan

(semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)." Dapat pula kita ucapkan seperti yang Rasulullah saw. ajarkan kepada kita, "Yahdikumullah wa yuslib balakum (semoga Allah membimbing dan memperbaiki urusan kalian)." Seketika itu juga engkau bisa tanyakan kepadanya, "Dari mana engkau wahai akhi?" Ia akan menjawab — misalnya, "Dari Thanta (nama sebuah kota di Mesir, edt.)." "Dari kota seorang shalih bernama Sayyid Badawi? Apakah Anda mengenal Fulan? (sebutlah seorang tokoh yang terkenal)" Bila ia menjawab bahwa ia mengetahui, sebutkanlah namamu! Kemudian kau minta agar ia menyampaikan salam kepada orang itu. Ketika engkau memulai mengenalkan namamu hingga ia paham, ia pun akan segera menyebutkan namanya, pekerjaannya, dan seterusnya. Dan sinilah awal sebuah perkenalan.

Perlu kiranya saya jelaskan kepada saudaraku, para da'i, bahwa dakwah yang bertahap, pelan-pelan, dan ter-program untuk mencapai hati,—sering membutuhkan waktu berbilang bulan dan tahun— bukanlah sesuatu yang tanpa target dan tujuan. Dakwah Islam tidak keluar dari wilayah hukum-hukum alam dalam hal pertumbuh-an, perkembangan, dan perawatan. Seorang anak ketika baru lahir meminum asi ibunya karena belum memiliki gigi. Ini berlanjut beberapa saat sampai tumbuh giginya dan disapih oleh sang ibu. Setelah itu ia menyantap ma-kanan. Setelah semakin besar ia masuk pendidikan TK, dan demikianlah seterusnya sampai masa yang ditentu-kan oleh Allah swt. Melalui perjalanan hidup tersebut, pribadinya terbentuk hingga ia menjadi seorang manusia seutuhnya. Karenanya tidak mungkin seorang anak yang baru lahir, tiba-tiba menjadi seorang lelaki dewasa dalam sehari semalam.

Waktu dalam dakwah —baik bagi individu maupun masyarakat— merupakan unsur pokok dalam proses tarbiyah, takwiniyah, dan penanaman nilai. Selain itu, dibantu juga oleh situasi, baik yang alarm maupun yang direkayasa.

Dalam dokumen At-Thariq ilal Quluub Bagaimana Menyentuh Hati (Halaman 141-145)