• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tukang Sapu dan Tukang Sampah

Dalam dokumen At-Thariq ilal Quluub Bagaimana Menyentuh Hati (Halaman 121-124)

Ada seorang akh bertanya kepada saya tentang "kiat sukses memikat hati". Saya katakan, "Kita percaya bahwa manusia itu sama. Ini tercermin ketika kaum muslimin berada dalam masjid. Yang miskin duduk ber-dampingan dengan yang kaya, yang lemah berdam-pingan dengan yang kuat, tukang sapu dan tukang sampah sama seperti kebanyakan manusia lain dalam masjid. Tetapi sayang, hal ini tidak diaplikasikan di luar masjid. Apakah ketika Anda lewat di jalanan dan berte-mu salah seorang tukang sapu, Anda mengucapkan salam padanya?". "Tidak," jawabnya.

Saya katakan, "Itu kerana Anda tidak peduli kepada-nya. Sungguh, Rasul saw. telah melarang perbuatan demikian melalui sabdanya, 'Janganlah kalian menganggap remeh suatu kebaikan walau itu hanya sekedar bermuka ceria ketika bertemu saudaramu.' Bila Anda melakukan hal itu, lalu Anda ucapkan salam padanya, baik kenal maupun tidak, berarti Anda telah menghargai dinnya dan memberinya rasa optimis dalam menatap kehidupan, kerana sebelumnya ia merasa dari golongan terasing dalam masyarakat. Ia merasa tidak seorang pun yang mau memalingkan wajah ke arahnya, tidak seorang pun yang menghargainya atau sekedar mengajaknya berbi-cara dengan baik.

Bila Anda ucapkan salam kepadanya di suatu hari, maka ia akan menantimu lewat di jalan itu, hanya untuk mendapatkan salam darimu. Ketahuilah, telah banyak orang yang mengabaikan sesuatu yang selama im la cari-cari dan dambakan."

Pada hakikatnya tukang sapu dan tukang sampah yang bekerja sebagai petugas mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah dan dari jalanan ke jalanan, berhak mendapat penghargaan. Kerana kita merasa terbantu dengan pekerjaan yang sulit dan

kotor ini.

Oleh kerana itu, negara berkewajiban memberikan gaji yang berlipat atau memberinya tunjangan biaya kesehatan. Kerana pada hakikatnya ia lebih mudah ter- serang banyak penyakit, yang disebabkan oleh seringnya berhubungan dengan kotoran-kotoran itu. Jika kita memahami tujuan dakwah, yaitu dakwah pembenahan, guna mewujudkan masyarakat islami, maka tidak akan terlewat dari pikiran kita untuk memahami kenyataan ini, yang dapat menyatukan hati dan menjernihkan akhlak.

Pada suatu hari saya berada di Masjid Kurmuz, Iskandaria, membicarakan tentang hal ini bersama bebe-rapa ikhwah. Ketika saya selesai berbicara, tiba-tiba saya dihampiri seorang pemuda, seraya mengatakan, "Saya sangat terkesan dengan pembahasan ini." Setelah saya tanya, ternyata ia bekerja sebagai tukang kebersihan dan tukang sapu. Lalu saya katakan, "Bukankah kannas (tukang sapu) itu kan-nas (sama seperti manusia lain)?'" Sungguh, ini kata-kata spontan belaka, yang kebetulan saja berlaku.

Perdebatan

Sarana untuk mengajak manusia kepada Allah sangat banyak dan beragam. Yang paling umum digu-nakan adalah komunikasi verbal, untuk menyampaikan pesan kepada akal, perasaan, dan hati, baik dengan ungkapan maupun tulisan. Suatu pembicaraan sering berlanjut dengan diskusi dan perdebatan, padahal tidak semua da'i menguasai berbagai persoalan agama, baik penafsiran maupun aplikasinya. Perdebatan sering men-jadi demikian seru dan memanas, masing-masing pihak ingin memenangkan pendapatnya atas pendapat pihak lain. Kondisi seperti ini mengharuskan adanya pihak yang kalah dan pihak yang menang {win-loss solution).

"...Dan diatas tiap-tiap orangyang berpengetahuan itu ada lagi YangMaha Mengetahui." (Yusuf: 76)

Kebenaran hakiki ada pada ayat-ayat Qur'an yang qath'iy, keteladanan yang diperagakan dalam perjalanan hidup Rasulullah saw., dan realita hidup orang-orang yang berpegang teguh pada keduanya, yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun yang berakal.

munculnya debat kusir, kerana debat semacam ini tidak membuahkan suatu kebaikan sedikit pun. Al-Qur'an mengisyaratkan hal tersebut pada ayat berikut,

"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macamperumpa-maan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah" (Al-Kahfi: 54)

"Mereka berkata, cHai Nub, sesungguhnya kamu telah berbantahan dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami adzabyang kamu ancamkan kepada kami,jika kamu termasuk orang- orang yang benar." (Huud: 32)

"Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang telah mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang tuli dapat mendengarpanggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.

Dan kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (mema-lingkan) orang-orang buta dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun) mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu mereka berserah diri." (An- Naml: 80-81)

Berdebat dengan orang-orang seperti ini tidak ada manfaatnya, ia hanya akan menemui jalan buntu. Kerana itulah Allah swt. menyuruh Rasul saw. agar berdak-wah dengan hikmah (bijaksana) dan memberi mauizhah hasanah (pelajaran yang baik), juga mewajibkan pada orang-orang yang beriman agar mendebat orang lain dengan cara yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan kesu-cian dan kebenaran yang terkandung dalam dakwah itu, yang dikukuhkan dengan tanggung jawab seorang muslim terhadap keyakinannya.

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang (lebih) baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orangyang mendapat petunjuk." (An-Nahl: 125)

Sebagian pemuda cenderung menyukai perdebatan dan berlarut-larut dalam diskusi, hanya kerana ingm dikagumi dan ingin mengalahkan pihak lam, atau kerana sesuatuyang lain. Menghadapi orang seperti ini, seorang da'i harus dapat menyimpulkan pembicaraan bila telah tampak jelas mana "benang putih" dan mana pula "benang hitam"nya. Sebab, perdebatan yang tidak menghasilkan kesepakatan dan tanpa kata akhir justeru dapat menumbuhkan kebencian dalam jiwa, mengotori dan menutupinya, serta merusak rasa cinta kasih. Selain itu ia hanya akan menguras potensi tanpa faedah, bahkan tidak menyumbangkan kebaikan apa pun bagi dakwah itu sendiri. Perlu dipahami juga bahwa sasaran dakwah tidak hanya pada akal, sebab di tengah umat ini terdapat jutaan orang beriman yang awam namun mudah tersentuh hatinya. Kerana itu, melayani orang yang suka berdebat tanpa batas adalah kesia-siaan belaka dan membuang-buang waktu, padahal waktu adalah kehidupan itu sendiri. Harus disadari juga bahwa kita tidak berada pada suatu masa yang akal pikiran dianggap segala-galanya hingga menuntut curahan perhatian pada perdebatan dan diskusi sengit yang tak banyak berarti.

Lain halnya bila Anda bertemu seseorang lalu terjadi perdebatan panjang dengannya, namun Anda menemu-kan dengan jelas "benang putih" dan "benang hitam-nya" sejelas sinar matahari di siang bolong, sedangkan ia masih antusias untuk terus melakukan perbmcangan. Dalam kondisi seperti ini, biarkanlah ia, sembari menjaga etika debat yang baik. Jangan sampai ia lari kerana sikapmu, sehingga membuat orang-orang yang berpengetahuan sepertinya juga lari darimu. Insya Allah, etika baik, kesabaran, dan ketelatenanmu akan memperbanyak pendukung untuk membantumu dalam mengha-dapinya, lalu kebenaran dan keadilan yang engkau ingin-kan pun dapat tercapai, meskipun tentu memperlukan waktu. Nanti, ia akan datang kepadamu dengan ketulusan hati dan kelapangan dada.

Imam Hasan Al-Banna menyatakan dalam salah satu dari sepuluh wasiatnya: "Jangan memperbanyak debat dalam soal apa pun dan bagaimana pun, sebab perdebatan tidak membuahkan kebaikan."

Dakwah Fardiyah adalah Pangkal dari Dakwah

Dalam dokumen At-Thariq ilal Quluub Bagaimana Menyentuh Hati (Halaman 121-124)