• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.4 Pola dan Arah Gerakan Kepiting Bakau Menuju Umpan Keong Emas

Pola dan arah gerakan dari 21 ekor kepiting bakau uji menuju umpan keong emas dibuat ilustrasinya (Lampiran 14 sampai dengan 35). Pola dan arah gerakan dari 21 ekor kepiting bakau uji menuju umpan keong emas tersebut selanjutnya Tabel 5 Pola gerakan kepiting bakau mendekati umpan keong emas

Jenis umpan Ulangan Deviasi/Orientasi Pola

(1) Umpan 0 hari 1 0 + + B 2 0 + B 3 0 0 + B 4 0 + B 5 + + A 6 0 + B 7 0 0 + B (2) Umpan 3 hari 1 0 + B 2 0 + + B 3 0 + B 4 + + A 5 0 – + C 6 0 + B 7 0 + + B (3) Umpan 6 hari 1 0 0 + B 2 0 + B 3 0 0 + B 4 + + A 5 + – + C 6 + + + A 7 0 + B Keterangan:

0: gerakan ke kanan atau ke kiri deviasi dari menuju ke arah umpan +: gerakan menuju ke arah umpan

–: gerakan menjauhi dari menuju ke arah umpan

dikelompokkan menggunakan matriks. Tanda nol (0) dinotasikan jika kepiting bakau bergerak ke kanan atau ke kiri deviasi dari menuju ke arah umpan, tanda positif (+) jika kepiting bakau bergerak menuju ke arah umpan dan tanda negatif (–) jika kepiting bakau bergerak menjauhi dari menuju ke arah umpan (Tabel 5).

Setelah pemberian tanda-tanda tersebut, tampak bahwa gerakan kepiting bakau menuju ke umpan keong emas dapat dipetakan menjadi 3 kelompok.

Kelompok A adalah gerakan selalu menuju ke arah umpan (semua tanda positif). Kelompok B adalah gerakan deviasi ke kanan atau ke kiri dilanjutkan gerakan menuju ke arah umpan (tanda nol dan positif). Kelompok C adalah gerakan menuju ke arah umpan tetapi ada gerakan menjauh (tanda positif dan negatif). Pola gerakan jika diprosentasekan dapat dibagi sebagai berikut: 15 pola gerakan (71,4%) masuk dalam kelompok B, 4 pola gerakan (19,0%) masuk kelompok A dan 2 pola gerakan (9,5%) masuk kelompok C.

Gambar 18 Pola gerakan A (selalu menuju ke arah umpan) kepiting bakau menuju umpan keong emas

: umpan keong emas

: kepiting bakau

Gambar 19 Pola gerakan B (deviasi ke kanan atau ke kiri dilanjutkan menuju ke arah umpan) kepiting bakau menuju umpan keong

Gambar 20 Pola gerakan C (gerakan menuju ke arah umpan tetapi ada gerakan menjauh) kepiting bakau menuju umpan keong

: umpan keong emas

: kepiting bakau

A B C D E F

: umpan keong emas

: kepiting bakau

4.2 Pembahasan

4.2.1 Parameter Mikrobiologi, Kimiawi dan Organoleptik Umpan

Bakteri pembusuk optimal tumbuh dan berkembang biak pada suhu kamar. Keong emas dalam kondisi mentah sehingga mengandung bakteri pada jaringan tubuhnya. Bakteri ini kemudian terus tumbuh dan berkembang biak selama umpan disimpan pada suhu kamar. Aktivitas pertumbuhan bakteri tampaknya optimal pada saat umpan berumur 3 hari sehingga jumlah bakteri tidak dapat dihitung hingga pengenceran tertinggi (pengenceran ke enam) (Gambar 12). Setelah mencapai titik optimalnya kadar bakteri kemudian cenderung menurun pada periode 6 hingga 12 hari dari sejumlah 44.000.000 koloni/gr turun menjadi 14.000.000 koloni/gr dan terakhir 3.000.000 koloni/gr. Hal ini diakibatkan menurunnya jumlah nutrisi untuk pertumbuhan per individu bakteri. Kompetisi antar individu bakteri meningkat karena naiknya populasi sementara jumlah bahan nutrisi yang terdapat pada umpan adalah tetap. Jika perhitungan TPC ini terus dilanjutkan untuk umpan yang berumur lebih dari 12 hari, dapat diduga jumlah TPC akan terus turun hingga mencapai titik nol akibat terus berkurangnya nutrisi untuk pertumbuhannya hingga ke titik terendah.

Tingkat kesegaran produk perikanan umumnya juga bisa diukur dari nilai pH-nya. Umumnya makin turun kualitas produk perikanan maka diikuti dengan penurunan nilai pH. Pada uji pH terhadap umpan, tampak bahwa nilai pH tidak memiliki pola trend penurunan atau kenaikan yang teratur sepanjang waktu penyimpanan. Meskipun tidak terlihat trend yang teratur, tampak bahwa pada saat nilai rata-rata pH terendah (6,92) maka nilai TPC berada pada titik tertinggi (TBUD) (lihat Gambar 12 dan Gambar 13). Dengan demikian dimungkinkan ada korelasi antara rendahnya pH dengan tingginya aktivitas pertumbuhan mikroba yang mendegradasi kualitas umpan. Tingginya aktivitas mikroorganisme diduga berkorelasi dengan tingginya proses penguraian senyawa kompleks menjadi molekul-molekul sederhana sehingga menghasilkan ion H yang terukur sebagai nilai pH.

Kadar TVBN rata-rata dalam umpan memiliki pola trend kenaikan yang teratur dan terus-menerus sepanjang waktu penyimpanan dari 16,3267 mg/100g menjadi 1084,3341 mg/100g. Mengingat bahwa nilai TVBN menunjukkan nilai

kadar nitrogen hasil penguraian senyawa kompleks berbasis nitrogen, maka proses dekomposisi umpan yang berarti menguraikan protein di dalamnya akan mengakibatkan meningkatnya nilai TVBN. Makin turun kualitas umpan akibat penyimpanan pada suhu ruang akan makin meningkatkan kadar TVBN dalam umpan.

Pertumbuhan bakteri pada organisme yang telah mati (bangkai) mengakibatkan degradasi kualitas akibat penguraian bahan-bahan penyusun organisme menjadi senyawa yang lebih sederhana. Protein pada keong emas akan terdegradasi menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana berbasis nitrogen. Dengan demikin terdapat korelasi antara aktivitas pertumbuhan bakteri dengan kadar nitrogen terurai (TVBN). Berbeda dengan aktivitas bakteri yang tergantung dengan nutrisi yang ada, kadar TVBN bersifat akumulatif pada tiap waktu penyimpanan sehingga makin lama waktu simpan akan makin tinggi kadar TVBN yang terukur.

Nilai organoleptik rata-rata umpan mengalami penurunan secara kontinyu dan teratur dan kemudian konstan. Secara organoleptik, umpan dapat dikatakan layak memenuhi syarat sebagai umpan hingga umur simpan 6 hari. Mulai umur 9 hari tekstur umpan telah berubah menjadi cair sehingga menjadi tidak operasional untuk digunakan dalam kegiatan penangkapan. Dalam penelitian ini fokus juga hanya pada umpat padat karena menggunakan media air dalam percobaannya. Melihat kondisi organoleptik tersebut maka yang memungkinkan untuk digunakan dalam penelitian inti adalah umpan segar (umur simpan 0 hari) dengan umpan yang telah disimpan selama 3 dan 6 hari. Organoleptik ini dibuat dengan persepsi indera manusia, bukan persepsi indera kepiting bakau. Meskipun demikian syarat tekstur yang masih berbentuk padat merupakaan persyaratan umum operasional umpan di perairan.

4.2.2. Gerakan dan Tingkah Laku Alamiah Kepiting Bakau

Aktivitas gerak dan pemangsaan kepiting bakau serta respons terhadap stimulus lebih banyak dilakukan pada malam hari. Hill (1978) mengungkapkan bahwa melalui transmiter ultrasonik disimpulkan bahwa Scylla serrata selama 24 jam rata-rata aktif selama 13 jam, mayoritas pada malam hari. Jarak yang

ditempuh per malam mencapai rata-rata 461 m pada kisaran 219 m dan 910 m. Mayoritas pergerakan lambat, dengan modal speed 10 – 19 m/dt. Pergerakan lambat tersebut tidak bergantung pada arah arus dan diasumsikan berhubungan dengan contact chemoreception terhadap lokasi mangsa. Kurang lebih sepertuju gerakan lebih cepat daripada 70 m/dt, lebih sering karena melawan arus dan mungkin berhubungan dengan rangsang penciuman terhadap lokasi mangsa.

Warner (1977) menyatakan bahwa organ penting dalam pergerakan pemangsaan kepiting adalah kaki-kaki, mulut, dan capit. Kaki-kaki berfungsi sebagaimana spesies lain berlari, berenang, melompat, memanjat, atau menggali. Mulut berfungsi untuk mengontrol berbagai jenis makanan. Capit berfungsi untuk menangkap mangsa, menghalau lawan, dan memikat pasangan.

Penutupan mata kepiting bakau yang dilakukan dengan menggunakan plester penutup luka mengakibatkan stres yang akhirnya menyebabkan kepiting bakau mati. Meskipun kemoresepsi adalah modus dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau, suatu tindakan modifikasi pada penglihatan akan menganggu aktivitas alamiah mereka. Hal ini selanjutnya akan mempengaruhi tingkah laku secara keseluruhan termasuk feeding behaviour.

Mata kepiting bakau adalah mata majemuk. Mata tersebut terdiri atas beberapa ribu unit optik atau ommatidia yang masing-masing memiliki sebuah

cuticular facet atau kornea pada bagian luar, sebuah perangkat pengumpul cahaya atau cone, dan di dalamnya terdapat sekumpulan sel sensori atau retinulae.

Retinulae sensitif terhadap terhadap cahaya karena mengandung pigmen fotosensitif. Masing-masing ommatidium memiliki lapang pandang yang relatif kecil dan gambaran visual disusun oleh keseluruhan mata yang berfikir sebagai mosaik, tiap potongan mewakili input dari sebuah ommatidium.

Mata kepiting bakau berada pada ujung sebuah batang atau tangkai yang dapat memendek ke dalam rongga di dalam karapas untuk perlindungan. Perlakuan menutup mata kepiting dengan menutup batang atau ujung batang tempat kornea berada sulit dilakukan karena ketika ada benda yang menuju mata maka tangkai mata tersebut akan segera masuk ke dalam rongga (Warner 1977). Oleh karena itu, maka penutupan dengan plester luka dilakukan dengan menempelkannya pada rongga tempat batang mata. Hal ini menyebabkan gerak

tangkai mata keluar masuk rongga menjadi terganggu. Padahal gerakan ini merupakan gerakan alami dari mata saat merespons stimulus yang diterima, yaitu ketika mata akan memperluas kisaran pandangnya maka tangkai mata akan menjulur keluar, sementara jika ada respons yang dianggap membahayakan mata maka tangkai mata akan ditarik masuk ke dalam rongga. Gangguan ini selanjutnya menimbulkan stres. Menurut Lawrence (2008) dalam Branson (2008), ketika binatang tidak “feeling well and functioning well” maka prinsip

animal welfare tidak terpenuhi. Penutupan rongga mata jelas menyebabkan fungsi mata menjadi tidak optimal dan selanjutnya kepiting bakau merasa tidak nyaman dalam aktivitasnya. Mengutip Pottinger (2008) dalam Branson (2008) penutupan mata dapat dianggap sebagai salah satu bentuk stressor, yaitu stimulus tidak tetap yang membuat binatang bereaksi dengan stress response, yang selanjutnya menyebabkan kepiting bakau stres. Weiss (1972) dalam Lawrence (2008) menyatakan bahwa stress memberikan efek yang luas terhadap pertumbuhan, reproduksi, sistem kekebalan, dan tingkah laku. Tampak bahwa tingkah laku makan (feeding behaviour) kepiting bakau menjadi berubah dengan adanya penutupan rongga mata. Kepiting bakau yang tidak melakukan aktivitas makan ini selanjutnya mati.

Penyatuan kepiting bakau dalam satu wadah ternyata menimbulkan pertarungan antara mereka yang menyebabkan spesies terlemah mati. Warner (1977) menyatakan bahwa kebanyakan tingkah laku sosial kepiting, jika digambarkan pada kehidupan sosial manusia, adalah unfriendly (tidak ramah). Kepiting seringnya menghindari bertemu satu sama lain, jika mereka bertemu maka mereka akan saling mengancam satu sama lain, mereka bisa saja bertarung, secepatnya yang satu akan manarik diri dan menghindari pertemuan. Interaksi dalam kelompok kepiting cenderung kompetitif daripada kooperatif.

4.2.3 Respons Kepiting Bakau terhadap Umpan Keong Emas

Periode yang diperlukan kepiting untuk menyentuh umpan sejak umpan dijatuhkan ke dalam air adalah 30 hingga 90 menit. Saat umpan dijatuhkan ke dalam air, kepiting tidak langsung bereaksi terhadap umpan. Ini menunjukkan bahwa respons kepiting bakau terhadap umpan cenderung lambat. Reaksi yang

lambat ini diduga disebabkan lambatnya stimulus kimiawi umpan dapat sampai kepada reseptor kepiting bakau. Weissburg dan Zimmerfaust (1994) menyatakan bahwa dalam perairan estuarin pasang surut, metabolit kimiawi dari bangkai dapat menyebar karena arus hingga dapat dideteksi oleh pemakan bangkai. Tidak adanya arus dalam eskperimen ini menyebabkan penyebaran metabolit kimiawi dari umpan keong emas bergerak lambat hingga sampai reseptor kepiting bakau.

Uji ragam (anova) menyimpulkan tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa perlakuan nilai TVBN yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda terhadap feeding behaviour kepiting bakau. Hal ini dilihat dari data periode yang dibutuhkan kepiting bakau untuk menyentuh umpan keong emas yang tidak berbeda nyata.

Pada hipotesis diutarakan bahwa kepiting bakau akan memberikan respons yang berbeda terhadap kualitas umpan yang berbeda. Perbedaan kualitas umpan tersebut berkaitan dengan perbedaan umur simpan atau perbedaan tingkat kebusukan. Degradasi kualitas bahan umpan dapat dilihat dari perubahan kadar TVBN sehingga respons kepiting bakau akan berbeda untuk kadar TVBN yang berbeda-beda. Melihat hasil penelitian ini maka tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa perlakuan nilai TVBN yang berbeda (berarti menunjukkan kualitas umpan yang berbeda) akan memberikan respons yang berbeda terhadap

feeding behaviour kepiting bakau.

Definisi bangkai tidak selalu merujuk kepada sesuatu yang busuk, tapi lebih tepat untuk mendeskripsikan organisme yang telah mati. Meskipun demikian, mengingat bahwa organisme yang telah mati pastilah akan mengalami perubahan- perubahan mikrobiologis dan kimiawi yang secara kuantitatif dapat dilihat dari nilai kadar bakteri total (TPC) dan TVBN, maka seharusnyalah ada korelasi antara nilai TVBN dengan respons kepiting bakau.

Tidak berbedanya respons yang diberikan oleh kepiting bakau terhadap kualitas umpan yang berbeda diduga akibat tidak cukup berbedanya stimulus yang ditimbulkan umpan untuk dapat mempengaruhi respons kepiting bakau. Artinya, dengan kadar TVBN 16 mg/100g, 534 mg/100g, dan 887 mg/100g yang telah diuji statistik berbeda nyata, masih belum atau tidak cukup untuk memberi beda nyata terhadap respons menarik kepiting bakau untuk mendekat ke umpan. Pada

konsentrasi tertentu, metabolit volatil yang dihasilkan oleh mikroba dapat berperan untuk memberikan isyarat keberadaan bangkai kepada pemakan bangkai (Shivik 2006). Sementara itu jika digunakan umpan dengan kadar TVBN yang lebih tinggi yaitu 977 mg/100g (umur simpan 9 hari) atau 1.084 mg/100g (umur simpan 12 hari) sebagai pembanding, umpan tersebut sudah hancur tekturnya. Dalam penelitian ini fokus hanya pada umpan padat karena percobaan dilakukan dengan menggunakan media air. Tekstur umpan yang hancur juga menjadi sulit digunakan dalam operasi penangkapan menggunakan perangkap. Meskipun demikian, penelitian lanjutan dengan menggunakan umpan berkadar TVBN 977 mg/100g (umur simpan 9 hari) atau 1.084 mg/100g (umur simpan 12 hari) yang bentuknya telah berubah menjadi cair dapat dapat dilakukan. Penelitian ini misalnya dengan menggunakan umpan yang diolesi cairan tersebut atau menggunakan umpan padat yang bersifat menyerap cairan tersebut.

Lokkeborg (1990) dalam Ferno (1994) menyatakan bahwa asam amino merupakan attractant utama yang menarik ikan pada perikanan long line dengan umpan ikan mackerel. Perubahan kuantitatif akibat pelepasan attractant dari umpan memungkinkan terjadinya perubahan kualitas kimiawi (Daniel dan Bayer 1987 dalam Ferno 1994). Aktivitas mikroba dan degradasi autolisis jaringan termasuk dekarboksilase asam amino dapat menurunkan ketertarikan ikan terhadap umpan (Lehninger 1975 dalam Ferno 1994). Peningkatan kadar TVBN akan diikuti oleh peningkatan kadar asam amino bebas (free amino acid/FAA)

(Bolumar et al. 2001).

Peningkatan kadar TVBN pada umpan keong emas akan diikuti dengan peningkatan kadar asam amino bebas. Kepiting bakau diduga lebih tertarik kepada umpan busuk atau umpan berkadar TVBN tinggi karena dia adalah

scavenger. Selain itu, jika pola ketertarikan ikan kepada asam amino yang dikandung umpan juga dijumpai pada kepiting bakau maka diduga dengan makin tingginya FAA pada umpan maka ketertarikan kepiting bakau juga akan makin meningkat. Respons yang tidak berbeda nyata diduga karena ketertarikan kepiting bakau adalah pada kandungan tertentu komponen penyusun TVBN. TVBN tersusun atas ammonia, dimetilamin, dan trimetilamin. Pada penelitian ini tidak dilakukan pemisahan ketiga komponen tersebut. Jika ketertarikan kepiting bakau

hanya pada salah satu komponen tersebut maka respons kepiting bakau terhadap TVBN menjadi tidak berbeda nyata. Penelitian lanjutan dengan memisahkan tiga komponen TVBN dan mengujicobakannya kepada kepiting bakau perlu dilakukan.

Penentuan jenis asam amino bebas yang dihasilkan umpan keong emas belum dilakukan pada penelitian ini. Fujaya (2004) menyatakan bahwa ada jenis asam amino yang menurunkan respons makan ikan. Peningkatan kadar asam amino bebas yang sejalan dengan peningkatan kadar TVBN justru dapat memberikan stimulus yang negatif bagi kepiting bakau jika asam amino yang dihasilkan adalah yang menurunkan responsnya. Penelitian lanjutan untuk melihat kadar asam amino bebas pada umpan, memisahkan komponen- komponennya dan mengujicobakannya kepada kepiting bakau perlu dilakukan.

4.2.4 Pola dan Arah Gerakan Kepiting Bakau Menuju Umpan Keong Emas

Selain waktu dan kecepatannya yang berbeda-beda, gerakan kepiting bakau saat mendekati umpan keong emas antar perlakuan dan ulangan menunjukkan pola yang berbeda-beda.

Tampak bahwak kepiting bakau menuju umpan keong emas tidak dalam pola 1 garis lurus dari posisi awal tetapi melalui pola acak dan tidak teratur. Setelah umpan dimasukkan ke dalam kotak, kepiting juga tidak spontan mengejar atau bergerak menuju umpan tetapi bertahap melewati area-area (yang dibagi dengan wind rose). Melalui beberapa tahapan pergerakan kepiting akhirnya menyentuh umpan keong emas. Pergerakannya khas yaitu pindah dari suatu titik ke titik lain kemudian berdiam diri untuk beberapa saat. Area D adalah area yang umumnya tidak digunakan kepiting bakau untuk berdiam diri. Kebanyakan pola menunjukkan gerakan kepiting bakau menuju umpan tersebut melalui rute dekat atau merapat dinding kotak.

Jika melihat tiga kelompok pola gerakan, tampak bahwa pola B yaitu gerakan deviasi ke kanan atau ke kiri dilanjutkan gerakan menuju ke arah umpan (tanda nol dan positif) adalah paling dominan. Deviasi ke kanan atau ke kiri adalah gerakan menuju dinding kotak percobaan. Kepiting bakau tampaknya merasa aman untuk bergerak jika dekat dengan dinding.

Jika dikelompokkan berdasarkan umur simpan (kadar TVBN), maka umpan umur simpan 0 hari memiliki 6 pola gerak B dan 1 pola gerak A; umpan umur simpan 3 hari memiliki 5 pola gerak B, 1 pola gerak A dan 1 pola gerak C; serta umpan umur simpan 6 hari memiliki 4 pola gerak B, 2 pola gerak A dan 1 pola gerak C. Gerakan menjauh (orientasi negatif) hanya terjadi pada umpan umur simpan 3 dan 6 hari.

Dengan bermacam pola yang dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, semuanya menunjukkan bahwa kepiting bakau menyentuh umpan. Ini mengandung arti bahwa stimulus umpan keong emas dapat direspons oleh kepiting bakau sehingga mereka bergerak mendekat. Hanya saja periode yang diperlukan untuk mendekat antar semua perlakuan adalah tidak berbeda nyata.

Dokumen terkait