• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal 1775) terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respons Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal 1775) terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822)"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

i

RESPONS KEPITING BAKAU (

Scylla serrata

Forskal 1775)

TERHADAP TINGKAT KEBUSUKAN

UMPAN KEONG EMAS (

Pomacea canaliculata

Lamarck 1822)

TAUFIK YULIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Respons Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal 1775) terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Taufik Yulianto

(4)
(5)

v

Mud crab is well known as omnivorous-vigorous-voracious-opportunistic-scavenger. These intertidal animals applies mainly chemoreception in their predatory behaviour. It has been commonly assumed that non fresh gold snail bait is better than fresh bait in stimulating the mud crab. This research's aim is to analyze mud crab response to different decaying level of gold snail bait. Their response were observed as time required to touch the bait and pattern and direction of the mud crab in approaching the baits. The different decaying level of gold snail baits were shown on Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) as 16.3 mg/100g (0 day); 534.1 mg/100g (3 days); and 887.4 mg/100g (6 days). The research was conducted from July 2009 until February 2011. The TVBN test for gold snail baits were conducted at Laboratory of BBPPHP Jakarta. The experiment was conducted in Pemalang. The result showed that the average period of mud crabs to touch the baits were 52.14 minutes; 61.57 minutes and 52.57 minutes. Anova test concluded no sufficient evidence of significant effect of TVBN content of gold snail bait on mud crab’s feeding behaviour. Movement pattern B, i.e. left and right deviation followed by straight forward movement to the bait, was commonly exhibited by the crabs. Consequences of time period required by the mud crab to approach the bait on fishing operation is discussed.

(6)
(7)

vii dan berbagai hewan-hewan kecil yang dapat mereka tangkap, tetapi mereka juga pemakan bangkai yang giat (vigorous scavenger) (Hill 1976). Sebagai pemakan bangkai mereka mudah tertangkap dengan trap berumpan baik dalam penangkapan komersial maupun rekreasional (Hill 2007). Kepiting bakau adalah pemakan bangkai yang rakus (voracious scavenger), yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuarin yang keruh dan berhutan bakau. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai oportunistik (opportunistic scavenger) (Webley 2008). Opportunistic scavenger umumnya mengadopsi strategi duduk dan menunggu (sit and wait strategy) untuk mencari bangkai (Rose dan Polis 1998

dalam Webley 2008) sehingga bangkai yang diperoleh adalah bangkai yang sudah membusuk.

Melihat bahwa umpan segar termasuk keong emas (Pomacea canaliculata

Lamarck 1822) banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting bakau, sementara itu kepiting bakau umumnya memakan bangkai yang mulai membusuk, maka dalam penelitian ini dilakukan pemberian umpan keong emas pada berbagai tingkat kebusukan kepada kepiting bakau. Umpan yang membusuk diduga akan memberikan stimulus yang lebih efektif terhadap respons kepiting bakau. Tingkat kebusukan umpan yang berbeda-beda didapat dengan penyimpanan pada suhu kamar pada jangka waktu yang berbeda-beda. TVBN (Total Volatile Basic Nitrogen) digunakan sebagai parameter kuantitatif untuk mengukur tingkat kebusukan umpan.

Hipotesis penelitian ini adalah kepiting bakau akan memberikan respons yang berbeda terhadap kadar TVBN umpan yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis respons kepiting bakau terhadap umpan keong emas yang berbeda tingkat kebusukannya, yang dilihat dari periode gerak mendekati umpan, serta pola dan arah gerakan kepiting bakau dalam mendekati umpan serta merancang alternatif strategi penangkapan kepiting bakau berdasarkan pengaruh beberapa tingkat kebusukan umpan terhadap tingkah laku kepiting bakau.

(8)

viii

untuk menyentuh umpan sejak umpan dijatuhkan ke dalam air adalah 30 menit dan terlama adalah 90 menit, pada jarak umpan 60 cm. Pada tiga tingkat kebusukan yang ditunjukkan oleh kadar TVBN 16,3 mg/100g (0 hari); 534,1 mg/100g (3 hari); and 887,4 mg/100g (6 hari) didapat rata-rata periode waktu kepiting bakau untuk menyentuh umpan adalah 52,14 menit; 61,57 menit dan 52,57 menit. Uji ragam menunjukkan bahwa semua perlakuan umur simpan memberikan nilai periode respons yang tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa perlakuan nilai TVBN yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda terhadap feeding behaviour

kepiting bakau.

(9)

ix

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

xi

RESPONS KEPITING BAKAU (

Scylla serrata

Forskal 1775)

TERHADAP TINGKAT KEBUSUKAN

UMPAN KEONG EMAS (

Pomacea canaliculata

Lamarck 1822)

TAUFIK YULIANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

xii

(13)

xiii

terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822)

Nama : Taufik Yulianto

NRP : C451070031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc. Anggota

Diketahui Ketua Program Studi

Teknologi Perikanan Tangkap

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(14)
(15)

xv

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rohman dan rohim yang Dia berikan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis Respons Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal 1775) terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822) ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Orang tua dan saudara-saudara saya atas dukungan yang tiada henti kepada penulis selama menempuh studi Pascasarjana;

2. Komisi pembimbing Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc. atas bimbingannya;

3. Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. atas arahannya;

4. Penguji luar komisi Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi., M.Si. atas arahannya;

5. Staf pengajar dan staf penunjang di Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap atas curahan ilmu dan bantuannya selama penulis menempuh studi di IPB;

6. Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan Jakarta atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas laboratorium.

Science does not promise absolute truth (Isaac Asimov 1920-1992) dan

Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011

(16)
(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada 16 Juli 1977 dari ayah Marijan dan ibu Darwati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan dasar dan menengah pertama diselesaikannya di Wonosobo. Pada tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Yogyakarta dan diterima di Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada kegiatan keorganisasian seperti Keluarga Mahasiswa Perikanan (KMP) Undip dan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (Himapikani). Penulis lulus dari pendidikan Sarjana pada tahun 2000 dengan predikat cumlaude dan wisudawan terbaik. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pengalaman bekerja penulis adalah: Staf Edukatif Primagama (2000 – 2001), Qualiy Control Manager PT Windika Utama Group Semarang (2001 – 2004), Dosen pada Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip Semarang (2004 – sekarang), dan Quality Assurance Consultant pada beberapa perusahaan swasta (2007 – sekarang).

Dalam rangka penyelesaian studi di Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap, Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian tentang

(18)
(19)

xix

DAFTAR ISTILAH

Alat tangkap ikan : Sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang digunakan untuk menangkap ikan.

Arah gerak : Orientasi gerak organisme terhadap titik tertentu. Asam amino : Senyawa-senyawa penyusun protein.

Attractant : Suatu senyawa dalam umpan yang dapat memikat

ikan untuk mendekat.

Bangkai : Organisme hidup yang telah mati.

Bubu : Alat tangkap ikan yang masuk ke dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan krustasea, dioperasikan dengan atau tanpa umpan.

Cannibal (kanibal) : Pemakan sesama jenisnya.

Fattening : Proses pembesaran kepiting bakau dimana kepiting bakau yang masih undersize ditangkap atau

tertangkap kemudian dibesarkan.

Hauling : Proses pengangkatan alat tangkap ikan dari dalam

perairan.

Kemoresepsi : Mekanisme biologis organisme berupa pengenalan atas stimulus kimiawi untuk mengumpulkan informasi tentang kimia lingkungan internal dan ekternalnya.

Nokturnal : Hewan yang lebih aktif beraktivitas pada malam hari.

Omnivorous scavenger : Organisme pemakan segala bangkai.

Opportunistic scavenger : Pemakan bangkai tidak mutlak, artinya selain memakan bagkai organisme ini juga memakan jenis makanan yang lain.

Organoleptik : Penilaian oleh panca indera.

(20)

xx

Pola gerak : Bentuk, model atau gaya khusus yang dilakukan organisme saat bergerak.

Predatory behaviour : Tingkah laku pemangsaan suatu organisme.

Respons : Tingkah laku organisme yang merupakan hasil dari stimulus internal maupun eksternal.

Scavenger : Organisme pemakan bangkai.

SNI : Standar Nasional Indonesia, suatu standar baku terhadap prosedur atau persyaratan tertentu. Starvasi : Teknik melaparkan suatu spesies uji sehingga

respons makannya akan lebih mudah dan cepat diamati.

Stimulus : Sesuatu yang menarik organisme atau bagian tubuhnya untuk memberikan aksi.

TBUD (tidak bisa untuk dihitung)

: Suatu kondisi uji TPC dimana koloni bakteri yang tumbuh pada media agar sangat banyak hingga saling overlap antar koloni sehingga sulit untuk dihitung.

Thawing : Proses melelehkan makanan atau bahan yang telah

dibekukan. Tingkat kebusukan

(decaying level)

: Tingkat penurunan kualitas umpan karena aktivitas kimiawi dan mikrobiologis yang dicirikan dengan adanya perubahan-perubahan fisika maupun kimiawi.

TPC (Total Plate Count) : Jumlah mikroorganisme hidup yang terdapat dalam suatu produk yang diuji.

TVBN (Total Volatile Based Nitrogen)

: Jumlah basa nitrogen yang mudah menguap (volatil).

Umpan (bait) : Salah satu bentuk rangsangan berupa fisika maupun kimiawi yang dapat memberikan respons terhadap ikan tertentu dengan tujuan untuk penangkapan ikan.

(21)

xxi

Viscera : Organ dalam (umumnya di dalam cavity) suatu

organisme.

Voracious scavenger : Pemakan bangkai yang rakus.

(22)
(23)

xxiii 2.2. Habitat dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau ... 7 2.3. Daur Hidup Kepiting Bakau ... 10 2.4. Pergerakan Kepiting Bakau ... 11 2.5. Teknologi Penangkapan Kepiting Bakau ... 11 2.6. Karakteristik Keong Emas ... 12 3.2.1.Uji Laboratorium untuk Sampel Umpan ... 20 3.2.2.Pengamatan Tingkah Laku Alamiah Kepiting Bakau ... 23 3.3. Rancangan Penelitian ... 24 3.4. Rancangan Percobaan ... 27 3.5. Analisis Data ... 29

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31 4.1. Hasil ... 31 4.1.1.Parameter Mikrobiologi, Kimiawi dan Organoleptik Umpan ... 31 4.1.2.Gerakan dan Tingkah Laku Alamiah Kepiting Bakau ... 34 4.1.3.Respons Kepiting Bakau terhadap Umpan Keong Emas ... 37 4.1.4.Pola dan Arah Gerakan Kepiting Bakau Menuju Umpan Keong

(24)

xxiv

Emas ... 47 4.2.5.Strategi Penangkapan Kepiting Bakau ... 48 4.2.6.Rekomendasi Penelitian Lanjutan ... 49

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 51 5.1. Kesimpulan ... 51 5.2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53

(25)

xxv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jadwal kegiatan penelitian ... 19 2. Bagan waktu penyiapan sampel umpan dan pengujian laboratorium ... 21 3. Lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau uji ... 26 4. Periode yang diperlukan kepiting bakau untuk menyentuh umpan

(26)

xxvi

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian respons kepiting bakau tehadap umpan keong emas ... 4 2. Kepiting bakau (Scylla serrata Forskal 1775) ... 8 3. Alat tangkap kepiting bakau di Indonesia ... 12 4. Keong emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822) ... 13 5. Sampel daging keong emas pada berbagai umur simpan: 0, 3, 6, 9, dan

12 hari (dari kanan ke kiri) siap untuk diuji di laboratorium ... 21 6. Uji TPC sampel umpan pada berbagai umur simpan ... 22 7. Pengukuran pH sampel umpan pada berbagai umur simpan dengan pH

meter ... 23 8. Uji TVBN sampel umpan pada berbagai umur simpan ... 24 9. Viscera keong emas dipersiapkan sebagai umpan ... 25 10. Kepiting bakau uji, semua berjenis kelamin jantan dengan lebar

karapas 12 cm dan berat 350 gram ... 26 11. Wind rose untuk mengamati pola dan arah gerak (tampak atas) ... 28 12. Perkembangan nilai TPC sampel umpan keong emas pada

berbagai umur simpan ... 31 13. Perkembangan nilai pH sampel umpan keong emas pada

berbagai umur simpan ... 32 14. Perkembangan nilai TVBN sampel umpan keong emas pada

berbagai umur simpan ... 33 15. Perkembangan nilai organoleptik sampel umpan keong emas

pada berbagai umur simpan ... 34 16. Kepiting bakau pada posisi bersiaga karena stimulus dari arah depan .... 35 17. Kepiting yang terluka akibat pertarungan antar mereka ... 36 18. Pola gerakan A (selalu menuju ke arah umpan) kepiting bakau

menuju umpan keong emas ... 39 19. Pola gerakan B (deviasi ke kanan atau ke kiri dilanjutkan menuju

ke arah umpan) kepiting bakau menuju umpan keong emas ... 40 20. Pola gerakan C (gerakan menuju ke arah umpan tetapi ada gerakan

(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur uji TPC dan TVBN ... 57 2. Score sheet organoleptic daging keong emas mentah ... 61 3. Uji t lebar karapas kepiting bakau uji ... 62 4. Uji t lebar berat tubuh kepiting bakau uji ... 63 5. Nilai pH sampel umpan keong emas pada berbagai umur simpan ... 64 6. Nilai TVBN sampel umpan keong emas pada berbagai umur simpan ... 64 7. Uji homogenitas kadar TVBN sampel umpan keong emas ... 65 8. Uji normalitas kadar TVBN sampel umpan keong emas ... 66 9. Uji Kruskal-Wallis TVBN sampel umpan keong emas ... 67 10. Nilai organoleptik sampel umpan pada berbagai umur simpan ... 68 11. Uji homogenitas periode gerak kepiting bakau menuju umpan

keong emas ... 69 12. Uji normalitas periode gerak kepiting bakau menuju umpan

keong emas ... 70 13. Uji anova periode gerak kepiting bakau menuju umpan

keong emas ... 71 14. Pencatatan pola dan arah gerak kepiting bakau ... 72 15. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

ulangan pertama ... 73 16. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

ulangan kedua ... 74 17. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

ulangan ketiga ... 75 18. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

ulangan keempat ... 76 19. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

ulangan kelima ... 77 20. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

ulangan keenam ... 78 21. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 0 hari,

(28)

xxviii

ulangan kedua ... 81 24. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 3 hari,

ulangan ketiga ... 82 25. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 3 hari,

ulangan keempat ... 83 26. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 3 hari,

ulangan kelima ... 84 27. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 3 hari,

ulangan keenam ... 85 28. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 3 hari,

ulangan ketujuh ... 86 29. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

ulangan pertama ... 87 30. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

ulangan kedua ... 88 31. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

ulangan ketiga ... 89 32. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

ulangan keempat ... 90 33. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

ulangan kelima ... 91 34. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

ulangan keenam ... 92 35. Pola dan arah gerak kepiting bakau menuju umpan umur 6 hari,

(29)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penggunaan berbagai jenis umpan dalam penangkapan kepiting bakau (Scylla serrata Forskal 1775) telah banyak diteliti. Almada (2001) meneliti tentang tingkat kesukaan kepiting bakau terhadap umpan belut, kulit sapi dan ikan nila pada skala laboratorium. Amaludin et al. (2005) meneliti tentang penggunaan umpan ikan selar (Selar sp) dan ikan keting (Aurius spp) pada alat tangkap wadong untuk penangkapan kepiting bakau. Penangkapan kepiting bakau menggunakan alat tangkap pintor dengan umpan belut laut, ikan pari dan usus ayam diteliti oleh Triputra et al. (2008). Umpan memiliki peranan penting dalam menarik kepiting bakau untuk mendekati alat tangkap bubu (trap) (Tiku 2004).

Di perairan pantai daerah Pemalang kepiting bakau ditangkap dengan menggunakan bubu atau pancing dengan umpan. Salah satu jenis umpan yang digunakan adalah keong emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822). Umpan ini dipilih karena mudah didapat, harganya relatif murah, serta dianggap sebagai hama tanaman pertanian yang perlu diberantas. Keong emas yang digunakan sebagai umpan biasanya dipakai yang kondisi organ tubuhnya masih dalam keadaan segar. Dalam praktiknya keong emas yang masih hidup diambil dagingnya dan langsung digunakan sebagai umpan. Sementara itu dalam penangkapan kepiting bakau di perairan daerah Cilacap nelayan menggunakan bangkai belut, ular dan ikan rucah (Amaludin et al. 2005).

Kepiting bakau dikenal sebagai pemakan segala bangkai (omnivorous-scavenger) (Ariola 1940 dan Moosa et al. 1985 dalam Mulya 2000). Kepiting bakau umumnya memangsa gastropoda, bivalve dan berbagai hewan-hewan kecil yang dapat mereka tangkap, tetapi mereka juga pemakan bangkai yang giat

(30)

et al. (1996) menyatakan berbagai hewan karnivora dan omnivora akan segera memangsa bangkai segar begitu mereka menemukannya karena ini merupakan sumber nutrisi yang setara dengan mangsa yang biasa mereka tangkap dalam kondisi hidup. Ketika jumlah bangkai dalam suatu ekosistem berlimpah maka kestabilan populasi opportunistic scavenger akan lebih terjaga. Opportunistic scavenger umumnya mengadopsi strategi duduk dan menunggu (sit and wait strategy) untuk mencari bangkai (Rose dan Polis 1998 dalam Webley 2008) sehingga bangkai yang diperoleh adalah bangkai yang sudah membusuk. Bertolak dari hal ini, maka diduga penggunaan keong emas dalam kondisi segar sebagai umpan adalah kurang tepat dan jika umpan ini dibiarkan mengalami degradasi mutu (membusuk) akan memberikan stimulus yang lebih efektif terhadap respons kepiting bakau. Hal ini menarik untuk diteliti mengingat bahwa Lokkeborg (1990) dalam Ferno (1994) menyatakan bahwa asam amino merupakan attractant

utama yang menarik ikan pada perikanan long line dengan umpan ikan mackerel. Pertanyaannya adalah apakah kepiting bakau memiliki pola yang sama dalam ketertarikannya terhadap attractant umpan.

Dalam perairan keruh atau gelap maka penglihatan menjadi tidak berfungsi dalam pencarian bangkai dan kemoresepsi akan lebih berfungsi seperti digunakan oleh banyak gastropoda dan krustasea estuarin (Ferner dan Weissburg 2005). Kemoresepsi adalah mekanisme biologis organisme berupa pengenalan atas stimulus kimiawi untuk mengumpulkan informasi tentang kimia lingkungan internal dan eksternalnya yang terkait erat dengan stimulus kimiawi umpan yang ditangkap oleh organ reseptor kepiting bakau. Hill (1978) menyatakan bahwa kemoresepsi lebih dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau. Perbedaan atau perubahan kimiawi umpan mempengaruhi stimulus kimiawi yang dihasilkan dan akhirnya juga akan berpengaruh terhadap kemoresepsi yang timbul. Artinya, susunan kimiawi umpan berhubungan erat dengan kemoresepsi yang selanjutmya berpengaruh terhadap ketertarikan kepiting bakau terhadap umpan.

(31)

yang lebih sederhana seperti hipoksantin dan trimetilamin yang menjadi indikator kebusukan daging. Umur simpan diduga menyebabkan perbedaan kadar senyawa-senyawa tersebut yang diikuti pula dengan perbedaan sifat-sifat organoleptik seperti bau, kenampakan, rasa, dan tekstur. Perbedaan organoleptik umpan dan kadar senyawa-senyawa hasil degradasi diduga akan memberikan stimulus yang berbeda terhadap kemoresepsi kepiting bakau.

Beberapa parameter mikrobiologi dan kimiawi dapat digunakan untuk melihat degradasi umpan (tingkat kebusukan) selama penyimpanan, seperti TPC

(Total Plate Count), pH, dan TVBN (Total Volatile Basic Nitrogen). Penyimpanan pada suhu kamar akan meningkatkan kadar bakteri total dalam umpan, mengubah pH, dan selanjutnya mengubah kadar TVBN.

1.2 Permasalahan

Mengingat bahwa kemoresepsi berperan dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau dan TVBN merupakan parameter kimiawi yang berubah menurut waktu penyimpanan, maka pada penelitian ini dilihat hubungan antara kadar TVBN pada berbagai periode waktu penyimpanan umpan dengan respons kepiting bakau.

Untuk menghilangkan faktor penglihatan kepiting bakau dalam mendeteksi umpan dan untuk lebih meyakinkan bahwa kemoresepsi memang dominan dalam aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau, maka dicoba perlakuan pemberian umpan terhadap kelompok kepiting bakau yang ditutup organ penglihatannya pada penelitian pendahuluan. Pada penelitian ini tidak dilakukan perusakan organ penglihatan karena teknik ini diindikasikan akan mengakibatkan stres yang selanjutnya akan mempengaruhi predatory behaviour kepiting bakau.

(32)

1.3Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut maka diduga bahwa kepiting bakau akan memberikan respons yang berbeda terhadap kualitas umpan yang berbeda. Perbedaan kualitas umpan tersebut berkaitan dengan perbedaan umur simpan. Degradasi kualitas (tingkat kebusukan) bahan umpan dapat dilihat dari perubahan kadar TVBN sehingga respons kepiting bakau akan berbeda untuk kadar TVBN yang berbeda-beda.

1.4Kerangka Pemikiran

Mengingat sifat kepiting bakau sebagai pemakan segala bangkai, umpan untuk menangkapnya sebaiknya adalah umpan yang kondisinya telah busuk. Keong emas jika disimpan pada suhu kamar akan mengalami degradasi dan

(33)

degradasi ini makin meningkat seiring dengan waktu simpan. Besaran dan interval waktu simpan umpan pada suhu kamar ditentukan dalam penelitian pendahuluan. Untuk melihat parameter kuantitatif degradasi mutu umpan dilakukan uji mikrobiologi dan kimiawi yaitu TPC, pH, dan TVBN. Parameter-parameter ini digunakan untuk membuat latar belakang respons kemoresepsi kepiting bakau terhadap umpan pada berbagai umur simpan.

Umpan dengan kadar TVBN yang berbeda-beda ini selanjutnya diujicobakan kepada kepiting bakau. Individu kepiting bakau pada percobaan tersebut akan memiliki karakteristik yang seseragam mungkin (homogen). Berbagai faktor di luar umur simpan umpan juga didesain sama seperti air yang digunakan dan wadah. Respons kepiting bakau terhadap umpan yang diamati adalah: periode gerak pemangsaan, arah, dan pola gerakan (Gambar 1).

Analisis terhadap tingkah laku kepiting bakau terhadap umpan pada umur simpan yang berbeda digunakan untuk merancang strategi alternatif penangkapan berdasarkan hubungan antara tingkah laku target spesies terhadap stimulus umpan.

1.5Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis respons kepiting bakau terhadap umpan keong emas yang berbeda tingkat kebusukannya, yang dilihat dari periode gerak mendekati umpan, serta pola dan arah gerakan kepiting bakau dalam mendekati umpan;

1.6Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:

1) Referensi bagi penelitian lanjutan di lapangan yang menyangkut penggunaan umpan pada penangkapan kepiting bakau;

(34)
(35)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Kepiting Bakau

Menurut Kasry (1996) dalam Mulya (2000), ciri-ciri anatomi kepiting bakau antara lain adalah: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depan di antara kedua tungkai matanya terdapat enam buah duri, capit kananya lebih besar daripada capit kirinya dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki jalan dan satu pasang kaki renang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujung yang dilengkapi pendayung. Selanjutnya Sulistiono el al. (1992) yang dikutip oleh Mulya (2000) menyatakan bahwa karapas berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, berbentuk alur H antara

gatric dan cardiac jelas, empat gigi triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting bakau betina berbentuk sedikit membulat.

2.2 Habitat dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau

Kepiting bakau atau mud crab (Scylla sp) dapat ditemukan di sepanjang daerah Indo Pasifik (Angell 1992). Menurut Moosa el al. (1985) dalam Cholik dan Hanafi (1992), di Indonesia dikenal ada dua genus Scylla. Spesies dari jenis pertama adalah Scylla serrata dan Scylla serrata var. paramimosain yang berwarna kemerahan atau kecoklatan. Spesies dari jenis kedua adalah Scylla tranquebarica dan Scylla oceanica yang berwarna hijau keabu-abuan. Scylla serrata adalah spesies yang dominan (80%) tertangkap di Indonesia. Scylla serrata dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah pesisir dan perairan payau Indonesia, pada salinitas 2 – 38 ppt (Hill 1974 dalam Cholik dan Hanafi 1992).

Kepiting bakau dikenal sebagai pemakan segala bangkai (omnivorous-scavenger) dan pemakan sesama jenis (cannibal) (Ariola 1940 dan Moosa et al.

(36)

Sebagai pemakan bangkai mereka mudah tertangkap dengan perangkap berumpan baik dalam penangkapan komersial maupun rekreasional (Hill 2007). Kepiting bakau adalah pemakan bangkai yang rakus (voracious scavenger), yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuarin yang keruh dan berhutan bakau. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai oportunistik (opportunistic scavenger) (Webley 2008). Garthe et al. (1996) menyatakan berbagai hewan karnivora dan omnivora akan segera memangsa bangkai segar begitu mereka menemukannya karena ini merupakan sumber nutrisi yang setara dengan mangsa yang biasa mereka tangkap dalam kondisi hidup. Ketika jumlah bangkai dalam suatu ekosistem berlimpah maka kestabilan populasi opportunistic scavenger

akan lebih terjaga. Opportunistic scavenger umumnya mengadopsi strategi duduk dan menunggu (sit and wait strategy) untuk mencari bangkai (Rose dan Polis 1998 dalam Webley 2008) sehingga bangkai yang diperoleh adalah bangkai yang sudah membusuk.

Dalam perairan keruh atau gelap maka penglihatan menjadi tidak berfungsi dalam pencarian bangkai dan kemoresepsi akan lebih berfungsi seperti digunakan oleh banyak gastropoda dan krustasea estuarin (Ferner dan Weissburg 2005). Kemoresepsi adalah mekanisme biologis organisme berupa pengenalan atas stimulus kimiawi untuk mengumpulkan informasi tentang kimia lingkungan internal dan eksternalnya yang terkait erat dengan stimulus kimiawi umpan yang ditangkap oleh organ reseptor kepiting bakau. Hill (1978) menyatakan bahwa kemoresepsi lebih dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau.

(37)

Hill (1979) menyatakan bahwa kepiting bakau mencari lokasi mangsa dengan kemoresepsi dan dactyls pada kaki-kaki jalannya. Mangsa utamanya adalah bivalvia dan kepiting-kepiting kecil.

Menurut Pagcatipunan (1972); Hill (1976); Hutching dan Sesanger (1987)

dalam Mulya (2000), kepiting bakau dewasa juga pemakan organisme benthos dan organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, dan jenis-jenis gastropoda dan krustasea. Selain itu kepiting bakau yang hidup di sekitar hutan bakau juga memakan akar-akar pohon bakau

(pneumatophore).

Perairan di sekitar hutan bakau sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia (Hill 1976 dalam Mulya 2000). Pendapat ini didukung Moosa et al. (1985) yang menyatakan kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal (dekat hutan bakau) yang bersubstrat lumpur.

Di alam biasanya kepiting bakau yang lebih besar akan menyerang kepiting yang lebih kecil dan melumpuhkannya dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan, selanjutnya mengambil bagian-bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkannya untuk menyerang musuh dengan ganas atau merobek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya (Arriola 1940 dalam Moosa et al. 1985). Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan, tetapi pada malam hari lebih aktif dibandingkan siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nokturnal yang aktif pada malam hari.

Dalam hasil penelitian Almada (2001), dijelaskan bahwa waktu makan kepiting bakau cenderung pada malam hari yaitu sekitar pukul 18.00 – 06.00 WIB. Waktu makan yang dominan yaitu pada selang waktu 18.00 – 24.00 WIB, yang diindikasikan dengan persentase berat pakan yang dikonsumsi pada selang waktu tersebut.

(38)

(1992), menyatakan di India umpan yang banyak diberikan adalah keong, cerithidia, dan ikan rucah. Pakan buatan justru tidak digunakan. Di Bangladesh, umpan yang digunakan adalah potongan daging ikan hiu, ikan pari, belut, dan ikan rucah (Khan dan Alam 1992). Secara konvensional pakan yang dipakai untuk budi daya kepiting bakau pada umumnya adalah ikan rucah, kerang-kerangan, dan limbah dari pabrik pengolahan ikan (Chalyakam dan Parnichsula 1978; Lijauco et al. 1980; Bensam 1986; Marichamy et al. 1986 dalam Cheong et al. 1992).

2.3 Daur Hidup Kepiting Bakau

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau atau tambak. Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina yang telah melakukan perkawinan ini akan beruaya ke perairan bakau atau tambak ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau, di tambak atau sela-sela bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya berlimpah (Kasry 1996).

(39)

Menurut Ong (1977) dalam Moosa et al. (1985), kepiting bakau mulai dari telur hingga dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut adalah zoea, megalopa, kepiting muda, dan kepiting dewasa. Pada setiap kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang yang antara lain ditandai dengan setae renang pada endopod maxilliped-nya (Warner 1977 dalam Kasry 1996). Megalopa yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda diperlukan waktu 11 – 12 hari (Motoh 1977 dalam

Dianthani 2002).

2.4 Pergerakan Kepiting Bakau

Respons kepiting bakau terhadap rangsangan umpan dapat dilihat dari kecepatan pergerakan (speed of movement) kepiting bakau menuju umpan. Hill (1978) mengungkapkan bahwa melalui transmiter ultrasonik disimpulkan bahwa

Scylla serrata selama 24 jam rata-rata aktif selama 13 jam, mayoritas pada malam hari. Jarak yang ditempuh per malam mencapai rata-rata 461 m pada kisaran 219 m dan 910 m. Mayoritas pergerakan lambat, dengan modal speed 10 – 19 m/dt. Pergerakan lambat tersebut tidak bergantung pada arah arus dan diasumsikan berhubungan dengan contact chemoreseption terhadap lokasi mangsa. Kurang lebih sepertujuh gerakan lebih cepat daripada 70 m/dt, lebih sering karena melawan arus dan mungkin berhubungan dengan rangsang penciuman terhadap lokasi mangsa.

2.5 Teknologi Penangkapan Kepiting Bakau

(40)

Di Bangladesh alat tangkap kepiting bakau adalah boom (bamboo trap), don (angling without hook), iron hook dan scoopnet (Khan dan Alam 1992).

Gambar 3 Alat tangkap kepiting bakau di Indonesia (Cholik dan Hanafi 1992)

2.6 Karakteritik Keong Emas

(41)

Gambar 4 Keong emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822)

Keong mas diketahui mengandung asam omega 3, 6 dan 9. Dari hasil uji proksimat, kandungan protein pada keong mas berkisar antara 16 hingga 50 persen. Selain banyak mengandung protein, hewan dari keluarga moluska ini juga kaya akan kalsium (BP2TP 2008).

2.7 Umpan

Umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan berupa fisik maupun kimiawi yang dapat menyebabkan respons ikan tertentu dalam tujuan penangkapan ikan (Hendrotomo 1989). Penggunaan umpan dalam proses penangkapan ikan berfungsi sebagai pemikat (attractor). Penggunaan attractor

umpan dalam pengoperasian bubu sudah dikenal luas oleh nelayan. Berdasarkan kondisinya umpan dapat dibedakan menjadi umpan hidup (live bait) dan umpan mati (dead bait), sedangkan menurut asal umpan dapat dibedakan menjadi umpan alami (natural bait) dan umpan buatan (artificial bait) (Leksono 1983).

Menurut Leksono (1983), beberapa pertimbangan dalam menentukan alternatif terhadap jenis ikan sebagai umpan adalah:

1) umpan harus digunakan pada alat tangkap yang telah ada;

2) umpan dapat memenuhi selera ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan; 3) umpan mudah didapat dalam jumlah banyak serta kontinuitas yang baik; 4) lokasi sumberdaya relatif dekat serta mudah dalam penanganannya; dan 5) biaya pengadaannya relatif murah.

Djatikusumo (1975) dalam Tiku (2004) menyatakan bahwa umpan yang baik harus memenuhi syarat sebagai berikut:

(42)

2) mempunyai warna yang mengkilap sehingga mudah terlihat dan menarik bagi ikan yang menjadi tujuan penangkapan;

3) mempunyai bau yang spesifik untuk merangsang ikan datang; 4) harga terjangkau;

5) mempunyai ukuran yang memadai; dan

6) disenangi oleh ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

Kandungan kimia yang terkandung dalam umpan merupakan salah satu faktor penentu dalam proses penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Perbedaan jenis umpan dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada bubu. Hal tersebut disebabkan karena bau yang dikeluarkan oleh kandungan kimia dari umpan tersebut. Bau yang dikeluarkan oleh suatu umpan berbeda berdasarkan kandungan asam amino yang merupakan bagian dari rangkaian protein (Syandri 1988 dalam Tiku 2004).

Reseptor penciuman (olfactory) pada ikan memiliki respons yang tinggi pada asam amino, tetapi asam amino relatif tidak efektif untuk respons pada indera perasa (gustatory). Kadar protein dan lemak yang tinggi akan menimbulkan bau yang menyengat dari umpan (Caprio 1982).

Kandungan alanin, glisin, prolin pada asam amino merupakan komponen utama penurun nafsu makan ikan (Fujaya 2004), sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan stimulator penciuman yang akan berakibat menurunnya respons makan pada ikan (Caprio 1982).

Lokkeborg (1990) dalam Ferno (1994) menyatakan bahwa asam amino merupakan attractant utama yang menarik ikan pada perikanan long line dengan umpan ikan mackerel. Tingkat pelepasan asam amino berjalan cepat pada 1,5 jam pertama kemudian diikuti penurunan pada laju yang lebih rendah dan setelah 24 jam terendam dalam air laut laju penurunan menjadi konstan.

Perubahan kuantitatif akibat pelepasan attractant dari umpan memungkinkan terjadinya perubahan kualitas kimiawi (Daniel dan Bayer 1987

(43)

Pada jack mackerel (Trachurus japonica), red sea bream (Pagrus major),

dan rainbow trout (Oncohynchus mykiss), campuran tirosin, fenilalanin, lisin, dan histidin serta triptofan dan valin, diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan (Fujaya 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dari kelompok nukleotida,

inosine-5’-monophosphate (IMP), inosine, adenosine-5’-diphosphate (ADP), guaninosine-5’-monophosphate (GNP), dan uridine-5’-monophosphate (UMP)

juga diidentifikasi sebagai perangsang nafsu makan pada ikan.

2.8 Aspek Kimiawi Protein

Keong emas termasuk produk berprotein tinggi. Penyimpanan pada suhu kamar akan menyebabkan terurainya protein yang terkandung di dalamnya. Kebusukan akan kerusakan daging ditandai oleh terbentuknya senyawa- senyawa berbau busuk seperti amonia, H2S, indol, dan amin, yang merupakan hasil pemecahan protein oleh mikroorganisme. Daging yang rusak memperlihatkan perubahan organoleptik, yaitu bau, warna, kekenyalan, penampakan, dan rasa. Diantara produk-produk metabolisme dari daging yang busuk, kadaverin dan putresin merupakan dua senyawa diamin yang digunakan sebagai indikator kebusukan daging (Luthana 2009).

Produk kadaverin dan putresin di dalam daging terjadi melalui reaksi sebagai berikut:

Peningkatan konsentrasi kadaverin dan putresin umumnya terjadi secara nyata jika jumlah total mikroba mencapai 4 X 107 koloni/gram. Perubahan bau menyimpang (off odor) pada daging biasanya terjadi jika total bakteri pada permukaan daging mencapai 7,5 – 107,0 koloni/cm2, diikuti dengan pembentukan lendir pada permukaan jika jumlah bakteri mencapai 8,0 – 107,5 koloni/cm2.

lisin dekarboksilase H2N(CH2)5NH2 kadaverin

(44)

Putresin merupakan senyawa diamin yang diproduksi oleh Pseudomonas, sedangkan kadaverin terutama diproduksi oleh Enterobacter.

Kerusakan pada ikan ditandai dengan terbentuknya trimetilamin (TMA) dari reduksi trimetilamin oksida (TMAO), sebagai berikut:

TMAO merupakan komponen yang normal terdapat di dalam ikan laut, sedangkan pada ikan yang masih segar TMA hanya ditemukan dalam jumlah sangat rendah atau tidak ada. Produksi TMA mungkin dilakukan oleh mikroorganisme, tetapi daging ikan juga mengandung enzim yang dapat mereduksi TMAO. Tidak semua bakteri mempunyai kemampuan yang sama dalam mereduksi TMAO menjadi TMA, dan reduksi tergantung dari pH ikan.

Histamin, diamin, dan senyawa volatil (total volatile substances) juga digunakan sebagai indikator kebusukan ikan. Histamin diproduksi dari asam amino histidin oleh enzim histidin dekarboksilase yang diproduksi oleh mikroorganisme.

Histamin merupakan penyebab keracunan scromboid. Seperti halnya pada daging, kadaverin dan putresin merupakan diamin yang juga digunakan sebagai indikator kebusukan ikan. Senyawa volatil yang digunakan sebagai indikator kebusukan ikan termasuk TVB-N (total votatile base nitrogen), TVA (total volatile acids) TVS (total volatile substance), dan TVN (total volatile nitrogen). TVB-N adalah jumlah basa nitrogen yang mudah menguap dan yang termasuk TVB-N adalah amonia, dimetilamin, dan trimetilamin, sedangkan TVN terdiri dari TVB dan senyawa nitrogen lainnya yang dihasilkan dari destilasi uap terhadap contoh, dan TVS atau VRS (volatile reducing substance) adalah senyawa

(45)

hasil aerasi dari produk dan dapat mereduksi larutan alkalin permanganat. Yang termasuk TVA adalah asam asetat, propionat dan asam-asam organik lainnya. Batas TVN maksimum untuk udang yang bermutu baik di Jepang dan Australia adalah 30 mg TVN/100 gram dengan maksimum 5 mg trimetilamin nitrogen/100 gram.

Peningkatan kadar TVBN akan diikuti oleh peningkatan kadar asam amino bebas (free amino acid/FAA). Bolumar et al. (2001) menyatakan bahwa dalam penyimpanan sosis fermentasi sejak hari ke-1, ke-5, ke-13 hingga hari ke-26 terjadi peningkatan kadar TVBN sebagai berikut: 31,60 mg/100g; 40,25 mg/100g; 41,23 mg/100g; dan 50,90 mg/100g. Sementara itu kadar FAA sejak hari ke-1, ke-5, ke-13 hingga hari ke-26 adalah: 572,83 mg/100g; 755,13 mg/100g; 811,81 mg/100g; dan 1.322,33 mg/100g.

(46)
(47)

19

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Jadwal penelitian ini ditampilkan pada Tabel 1. Studi pendahuluan dimulai pada 23 Juli hingga 3 Agustus 2009 berupa penyiapan sampel umpan keong emas di Pemalang. Dilanjutkan dengan uji mikrobiologi dan kimiawi sampel umpan yang telah disiapkan di Laboratorium Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBPPHP) di Jakarta pada tanggal 4 sampai dengan 11 Agustus 2009. Studi pendahuluan untuk melihat tingkah laku alami kepiting bakau seperti pergerakan, tingkah laku pemangsaan, kompetisi, serta perlakuan penutupan mata kepiting bakau dilaksanakan pada 6 sampai 11 Desember 2009 di Semarang.

Penelitian inti/lapangan X X

Analisis data, pembahasan,

penulisan X X

Penelitian inti berupa penyiapan umpan, pengondisian kepiting bakau uji dan perlakuan pemberian umpan keong emas kepada kepiting uji dilaksanakan pada 20 Mei sampai dengan 25 Juni 2010 di Pemalang. Pada periode Agustus 2010 hingga Februari 2011 dilakukan analisis data, pembahasan dan penulisan hasil penelitian.

3.2 Studi Pendahuluan

(48)

lakunya setelah diberi perlakuan. Penutupan mata ini bertujuan untuk menghilangkan faktor penglihatan sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan.

Studi pendahuluan juga dilakukan untuk menguji perubahan-perubahan mikrobiologis dan kimiawi pada umpan yang disimpan pada suhu kamar. Pengujian laboratorium ini bertujuan untuk menentukan tingkatan kualitas umpan berdasarkan perubahan-perubahan kadar TPC, pH, dan TVBN pada tingkat yang signifikan atau tidak antar rentang waktu penyimpanan.

3.2.1 Uji Laboratorium untuk Sampel Umpan

Pengujian laboratorium dilakukan untuk sampel keong emas. Keong emas dalam kondisi hidup diambil dari lahan pertanian di Pemalang. Keong emas kemudian dipelihara dalam bak air dan diberi makan secara rutin dengan daun-daunan seperti daun talas dan daun ubi jalar.

Pada interval waktu yang telah dirancang, dimulai pada hari pertama, sebagian keong emas hidup dibunuh, dikeluarkan seluruh bagian di dalam cangkang (viscera), dimasukkan ke dalam toples dan disimpan. Bagian tersebut yang digunakan sebagai sampel umpan sementara cangkangnya dibuang. Tujuan sampel dimasukkan ke dalam toples plastik dan ditutup rapat adalah untuk mencegah terkontaminasinya sampel oleh lalat. Sampel tersebut kemudian disimpan pada suhu kamar.

Pada hari ketiga, keenam, dan kesembilan, dilakukan proses penyiapan dan penyimpanan sampel daging keong emas seperti di atas. Kemudian pada hari kesebelas semua sampel tersebut dibawa ke Laboratorium Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBPPHP) di Jakarta. Dibawa pula keong emas yang masih dalam kondisi hidup yang akan diuji sebagai sampel segar atau belum mengalami proses penyimpanan.

(49)

akan dipraktikkan di lapangan maka penyebutan umur simpan dalam satuan hari akan lebih praktis. Bagan waktu penyiapan sampel umpan pada Tabel 2.

Gambar 5 Sampel daging keong emas pada berbagai umur simpan: 0, 3, 6, 9, dan 12 hari (dari kanan ke kiri) siap untuk diuji di laboratorium

Tabel 2 Bagan waktu penyiapan sampel umpan dan pengujian laboratorium

Kegiatan

Keterangan: P. = penyiapan; Uji = uji pH,TPC,TVBN; Hasil = pembacaan hasil uji

(50)

Pengujian jumlah bakteri total (TPC) dalam sampel umpan dilakukan berdasarkan prosedur Standar Nasional Indonesia Nomor SNI 01-2332.3:2006 (Gambar 6). Penghitungan dilakukan hanya 1 kali ulangan. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa untuk tiap 1 kali ulangan telah dilakukan secara triplo kemudian dirata-rata. Perhitungan TPC juga tidak ditujukan untuk mencari beda nyata antar perlakuan, tetapi untuk mendukung analisis terhadap pengujian kadar TVBN.

Gambar 6 Uji TPC sampel umpan pada berbagai umur simpan

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter 220 Merk Corning (Gambar 7). Sampel dihomogenkan kemudian ujung probe dicelupkan ke dalam sampel. Nilai pH akan muncul pada displai pH meter ketika pH meter diaktifkan. Ketika akan digunakan untuk mengukur pH sampel selanjutnya, ujung

probe disterilisasi dengan alkohol 90% dan dibilas dengan aquadest. Pengukuran pH untuk tiap sampel dilakukan pada 5 kali ulangan.

(51)

Gambar 7 Pengukuran pH sampel umpan pada berbagai umur simpan dengan pH meter

Pengamatan organoleptik (bau, penampakan, dan tekstur) juga dilakukan untuk tiap sampel dengan skor 1 sampai dengan 10. Mengingat belum ada referensi atau SNI tentang organoleptik keong emas mentah, maka dicoba dibuat

organoleptic score sheet (Lampiran 2) yang diadaptasi dari produk perikanan lain. Skor organoleptik yang ada dalam organoleptic score sheet adalah skor organoleptik berdasarkan persepsi manusia (human perception).

3.2.2Pengamatan Tingkah Laku Alamiah Kepiting Bakau

Lima ekor kepiting bakau dengan lebar karapas 12 cm diambil dari tambak di Semarang. Kepiting tersebut dipelihara dalam bak berbahan styrofoam yang diisi air yang diambil dari tambak habitat aslinya. Jumlah air diatur sedemikian rupa sehingga tidak seluruh bagian tubuh kepiting bakau terendam air.

(52)

Tingkah laku pemangsaan serta gerakannya sewaktu mendekat ke umpan didokumentasikan.

Gambar 8 Uji TVBN sampel umpan pada berbagai umur simpan

Terkait dengan fungsi organ visualnya, dilakukan penutupan mata dengan plester penutup luka. Penutupan dilakukan terhadap 2 rongga mata kepiting bakau, kemudian dilihat tingkah lakunya setelah diberi perlakuan. Penutupan mata ini bertujuan untuk menghilangkan faktor penglihatan sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan.

Untuk melihat perilaku kompetisi antar mereka, maka 5 kepiting bakau selanjutnya disatukan dalam satu wadah. Berbagai tingkah laku yang terkait dengan interaksi antar mereka dicatat.

3.3 Rancangan Penelitian

(53)

untuk perlakuan, dalam waktu 2 jam sebelum dipakai umpan dilelehkan

(thawing).

Gambar 9 Viscera keong emas dipersiapkan sebagai umpan

Kepiting bakau sebagai sampel (spesimen) yang akan diuji diambil dari tambak pembesaran (fattening) di Pemalang. Kepiting bakau ini merupakan kepiting hasil penangkapan yang dibesarkan di tambak hingga mencapai ukuran komersial (lebar karapas 12 cm dan berat 350 gram). Sampel kepiting bakau dipilih yang memiliki ukuran lebar karapas dan berat badan hampir seragam, serta berjenis kelamin yang sama (jantan) (Tabel 3). Kepiting bakau yang telah diseleksi dikumpulkan dalam kurungan bambu (cage) dan tetap dipelihara di dalam tambak. Cage yang digunakan adalah yang biasa digunakan untuk produksi soft shell crab dengan isi 1 ekor kepiting bakau pada tiap cage. Kepiting bakau ini kemudian akan diambil secara bergiliran pada saat perlakuan.

(54)

hitung untuk berat adalah 133,6, lebih besar dari nilai t tabel(0,01/2; 21-1) sebesar 2,845 (Lampiran 4).

Gambar 10 Kepiting bakau uji, semua berjenis kelamin jantan dengan lebar karapas 12 cm dan berat 350 gram

Tabel 3 Lebar karapas dan berat tubuh kepiting bakau uji Kepiting bakau ke- Lebar karapas (cm) Berat tubuh (gram)

(55)

Pada hari pertama kepiting bakau tersebut diberi pakan 1 kali pada pagi hari. Umumnya kebiasaan pemberian pakan untuk tujuan budidaya adalah 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Pakan yang digunakan adalah ikan rucah. Pada hari kedua kepiting bakau tidak diberi pakan pada pagi hari. Pada saat jadwal pemberian pakan sore hari, perlakuan pemberian umpan keong emas dilakukan pada kepiting uji. Pengkondisian ini bertujuan untuk melaparkan (starvasi) kepiting bakau sehingga diharapkan responsnya terhadap umpan akan lebih cepat dan lebih mudah untuk diamati. Pada hari kedua ini diujicobakan perlakuan pemberian umpan keong emas pada masing-masing umur simpan terhadap 1 ekor kepiting bakau. Perlakuan ini merupakan ulangan pertama dari perlakuan.

Pada hari ketiga kepiting bakau tersebut diberi pakan 1 kali pada pagi hari. Pada hari keempat kepiting bakau tidak diberi pakan pada pagi hari. Pada saat jadwal pemberian pakan sore hari, perlakuan pemberian umpan keong emas dilakukan pada kepiting uji. Pada hari keempat ini diujicobakan perlakuan pemberian umpan keong emas pada masing-masing umur simpan terhadap 1 ekor kepiting bakau. Perlakuan ini merupakan ulangan kedua dari perlakuan. Perlakuan yang sama dan berulang dilakukan terus untuk tiap ulangan hingga ulangan ketujuh.

3.4 Rancangan Percobaan

Penelitian bertujuan untuk melihat respons kepiting bakau terhadap pemberian umpan keong emas yang disimpan pada tiga tingkat kebusukan yang berbeda sehingga mengandung kadar TVBN yang berbeda-beda. Tiap taraf dilakukan pada tujuh kali ulangan. Rancangan pengukuran respons kepiting bakau adalah periode pergerakan kepiting bakau menuju umpan sejak umpan dimasukkan ke dalam air hingga kepiting bakau menyentuh umpan (dalam detik). Kecepatan gerak ini terkait dengan cakupan stimulus yang dihasilkan umpan

(zone of influence). Selain mengumpulkan data kuantitatif tersebut, dilihat juga arah serta jalur atau pola (track) pergerakannya. Tools berupa wind rose

(56)

hari. Rancangan perlakuan ini diterapkan pada kepiting bakau uji yaitu kepiting bakau ukuran layak tangkap (lebar karapas 12 cm, berat 350 gram). Rataan umum yang dibandingkan adalah rataan periode gerak kepiting bakau terhadap 3 jenis umpan yang berbeda kadar TVBN-nya.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap, mengingat percobaan dilakukan dalam skala laboratorium dengan kondisi lingkungan yang dikondisikan sama serta hewan uji yang disimulasikan memiliki karakteristik yang homogen (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Data yang dikumpulkan adalah data periode, arah, dan jalur pergerakan kepiting bakau saat mendekati umpan dari 21 ekor kepiting bakau yang diberi perlakuan. Sebelum dilakukan pengujian, semua sampel kepiting bakau ditempatkan pada kondisi yang sama (lihat rancangan penelitian). Pemberian pakan dilakukan setengah dari porsi pakan yang biasa diberikan dalam upaya budidaya kepiting bakau. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melaparkan kepiting bakau pada periode pengamatan percobaan sehingga responsnya terhadap umpan diharapkan akan lebih cepat dan mudah diamati.

Gambar 11 Wind rose untuk mengamati pola dan arah gerak (tampak atas)

(57)

dilakukan di dalam sebuah kotak berbahan styrofoam berukuran 60 X 40 cm dengan tinggi 20 cm. Volume air diatur sedemikian rupa sehingga hanya setengah badan kepiting bakau yang terendam air. Ini merupakan model bagi lingkungan intertidal yang menjadi habitat kepiting bakau. Media air yang digunakan diambil dari habitat asli kepiting bakau tersebut. Kepiting bakau ditempatkan merapat pada dinding kiri kotak sementara umpan dicelupkan hingga ke dasar kotak, merapat pada dinding kanan kotak. Sejak umpan masuk ke dalam air, stopwatch

dihidupkan. Stopwatch dimatikan saat kepiting bakau telah menyentuh umpan. Pada tiap perlakuan dan ulangan dilakukan penggantian kepiting uji dan air media.

3.5Analisis Data

Data perubahan mikrobiologis dan kimiawi serta organoleptik umpan keong emas diplotkan menurut waktu penyimpanan sehingga bisa dilihat pola kecenderungannya (trend-nya). Perlakuan yang dikenakan kepada kepiting uji menghasilkan data periode yang diperlukan oleh kepiting bakau untuk mendekati umpan. Periode ini merupakan ukuran kecepatan pergerakan (yang berhubungan dengan pemangsaan). Data-data ditabulasikan dalam tabel. Model dari rancangan percobaan tersebut adalah sebagai berikut di bawah ini (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Yij = periode gerak kepiting bakau pada perlakuan kadar TVBN ke-i; μ = rataan periode gerak kepiting bakau;

αi = pengaruh perlakuan (kadar TVBN) ke-i;

εij = pengaruh acak pada kadar TVBN ke-i pada ulangan ke-j. Hipotesis dari perlakuan tersebut adalah:

H0 : α1 = α2 = α3 = 0 (kadar TVBN umpan tidak berpengaruh terhadap periode gerak pemangsaan kepiting bakau);

(58)

Data diolah menggunakan analysis of variance (anova) untuk menentukan nilai F. Nilai F selanjutnya dibandingkan dengan F tabel, dan jika hasilnya lebih besar daripada F tabel maka H0 ditolak dan dilakukan uji lanjutan menggunakan uji benda nyata terkecil (BNT, least significance difference) atau uji beda nyata jujur (BNJ, uji Tukey, honest significance difference) yang bertujuan untuk melihat pasangan perlakuan mana yang berbeda nyata.

(59)

31

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Parameter Mikrobiologi, Kimiawi dan Organoleptik Umpan

(60)

Aktivitas mikroba pada sampel umpan akan mengubah kadar pH-nya. Kadar pH rata-rata dalam sampel umpan mengalami penurunan pada periode 0 hingga 3 hari dari 7,37 menjadi 6,92. Pada periode 3 hingga 6 hari kadar pH rata-rata meningkat dari 6,92 menjadi 7,32. Trend penurunan pH kembali terjadi pada periode 6 hingga 12 hari dari 7,32 ke 7,30 dan selanjutnya 7,13 (Lampiran 5 dan Gambar 13). Tampak bahwa nilai pH tidak memiliki pola trend penurunan atau kenaikan yang teratur sepanjang waktu penyimpanan. Meskipun tidak terlihat trend yang teratur, tampak bahwa pada saat nilai rata-rata pH sampel umpan keong emas terendah maka nilai TPC-nya berada pada titik tertinggi.

Kadar TVBN rata-rata dalam sampel umpan mengalami kenaikan pada periode 0 hingga 12 hari (Lampiran 6 dan Gambar 14) dari 16,3267 mg/100g menjadi 1084,3341 mg/100g. Tampak bahwa nilai TVBN memiliki pola trend kenaikan yang teratur dan terus-menerus sepanjang waktu penyimpanan.

6.60

Uji additivitas terhadap data nilai TVBN terpenuhi, tetapi uji homogenitas dan normalitas terhadap data nilai TVBN menunjukkan bahwa kedua asumsi tersebut tidak mendukung untuk dilakukannya uji ragam (anova) sehingga

(61)

digunakan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 7, 8, dan 9). Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa semua perlakuan umur simpan memberikan nilai TVBN yang berbeda nyata dilihat dari nilai Pvalue sebesar 0,000; lebih kecil daripada nilai kritis 0,05 sehingga semua sampel umpan pada berbagai umur simpan dapat digunakan dalam penelitian inti. Umpan dapat digunakan sebagai faktor pembeda karena memiliki perbedaan kadar TVBN atau perbedaan kualitas yang signifikan antar waktu penyimpanan.

Gambar 14 Perkembangan nilai TVBN sampel umpan keong emas pada berbagai umur simpan

Nilai organoleptik rata-rata sampel umpan mengalami penurunan pada periode 0 hingga 6 hari (Lampiran 10 dan Gambar 15) dari 10 menjadi 1. Sampel umpan keong emas segar memiliki nilai 10 ditandai dengan bau yang segar spesifik keong emas mentah, kenampakan yang coklat cerah spesifik keong emas mentah dan tekstur yang kenyal, liat, kompak. Kemudian pada usia simpan 3 hari bau menjadi basi, kenampakan coklat dan sebagian kehitaman dan tekstur sebagian masih kenyal, sebagian melunak. Penurunan nilai organoleptik terus terjadi sehingga pada umur simpan 6 hari bau sangat basi, kenampakan kehitaman, masih ada kekuningan dan tekstur lebih banyak bagian lunak, sedikit

(62)

bagian yang kenyal. Pada periode 9 hingga 12 hari perubahan organoleptik relatif konstan pada skor 1 ditandai dengan bau sangat busuk, kenampakan sangat kehitaman dan tekstur hancur menjadi cairan kental.

0

Gambar 15 Perkembangan nilai organoleptik sampel umpan keong emas pada berbagai umur simpan

4.1.2. Gerakan dan Tingkah Laku Alamiah Kepiting Bakau

Kepiting bakau lebih aktif bergerak pada malam hari, sedang pada siang hari dia cenderung berdiam diri. Stimulus atau gangguan akan direspons lebih cepat oleh kepiting bakau pada malam hari. Meskipun gangguan atau stimulus yang dikenakan pada siang hari tetap direspons tetapi tidak seganas dan sereaktif respons yang diberikan pada malam hari.

Rekaman tingkah laku kepiting bakau menunjukkan bahwa kepiting berjalan menyamping dengan kaki-kaki jalannya untuk mendekati mangsa maupun umpan atau bereaksi menjauh terhadap stimulus gangguan. Jika gangguan diberikan dari arah depan, kepiting bakau bersiaga dengan mengangkat kedua capitnya (chela). Kedua ujung capit (dactylus) juga tampak terbuka, seperti posisi siap mencapit. Jika stimulus berupa benda berbentuk batang didekatkan dari depan, sebelum

(63)

benda tersebut menyentuh kepiting bakau capitnya telah terlebih dahulu mencapit benda tersebut.

Gambar 16 Kepiting bakau pada posisi bersiaga karena stimulus dari arah depan

Umpan ikan rucah yang diberikan pada siang hari baru dimakan pada saat malam hari. Ini menandakan bahwa kepiting bakau bereaksi lambat terhadap umpan. Kepiting menyobek umpan dengan ujung capitnya hingga menjadi bagian yang lebih kecil kemudian baru memangsanya. Tampak bahwa capit selain berperan penting dalam mekanisme pertahanan diri, juga berperan besar dalam tingkah laku pemangsaan.

(64)

Gambar 17 Kepiting yang terluka akibat pertarungan antar mereka

Untuk melihat reaksi sekelompok kepiting bakau terhadap umpan maka dilakukan penyatuan beberapa ekor kepiting dalam 1 wadah. Tujuannya adalah untuk melihat tingkah laku kompetisi antar individu dalam memperebutkan umpan, juga untuk melihat interaksi-interaksi tingkah laku di antara mereka. Penyatuan ini juga direncanakan untuk melihat reaksi sekelompok kepiting bakau terhadap umpan yang dipasang pada alat tangkap rakkang. Direncakan alat tangkap rakkang dengan umpan keong emas dicelupkan ke dalam wadah yang berisi kelompok kepiting bakau, kemudian alat tangkap diangkat pada interval waktu tertentu (misalnya 15, 30, 45, dan 60 menit).

(65)

lainnya, demikian pula sebaliknya ada yang lebih lemah daripada lainnya. Kepiting bakau yang lemah umumnya terluka parah. Beberapa bentuk luka yang terjadi adalah: pecah atau berlubang pada bagian capitnya, putus pada beberapa bagian atau ruas kaki-kakinya, lepas kaki-kakinya, dan berlubang pada bagian karapas abdomen. Kepiting bakau yang kalah bertarung ini kemudian mati.

Dengan bertolak dari fakta ini maka rencana pengamatan untuk melihat reaksi sekelompok kepiting bakau di dalam suatu wadah terhadap umpan yang dipasang pada alat tangkap rakkang sulit dilakukan.

4.1.3 Respons Kepiting Bakau terhadap Umpan Keong Emas

Periode terpendek yang diperlukan kepiting untuk menyentuh umpan sejak umpan dijatuhkan ke dalam air adalah 30 menit dan terlama adalah 90 menit untuk jarak umpan 60 cm dari kepiting bakau (Tabel 4). Saat umpan dijatuhkan ke dalam air, kepiting tidak langsung bereaksi terhadap umpan. Ini menunjukkan bahwa respons kepiting bakau terhadap umpan cenderung lambat.

Tabel 4 Periode yang diperlukan kepiting bakau untuk menyentuh umpan keong emas menurut jenis umpan (U0, U3, U6)

Ulangan ke- U0 U3 U6

Keterangan: U0 (umur simpan 0 hari), U3 (umur simpan 3 hari), U6 (umur simpan 6 hari)

Uji additivitas, homogenitas, dan normalitas terhadap data nilai periode menunjukkan bahwa semua asumsi mendukung untuk dilakukannya uji ragam

(66)

dikatakan tidak cukup bukti untuk menyatakan bahwa perlakuan nilai TVBN yang berbeda akan memberikan respons yang berbeda terhadap feeding behaviour

kepiting bakau (Lampiran 11, 12, dan 13).

4.1.4 Pola dan Arah Gerakan Kepiting Bakau Menuju Umpan Keong Emas

Pola dan arah gerakan dari 21 ekor kepiting bakau uji menuju umpan keong emas dibuat ilustrasinya (Lampiran 14 sampai dengan 35). Pola dan arah gerakan dari 21 ekor kepiting bakau uji menuju umpan keong emas tersebut selanjutnya

Tabel 5 Pola gerakan kepiting bakau mendekati umpan keong emas

Jenis umpan Ulangan Deviasi/Orientasi Pola

(1) Umpan 0 hari 1 0 + + B

0: gerakan ke kanan atau ke kiri deviasi dari menuju ke arah umpan +: gerakan menuju ke arah umpan

–: gerakan menjauhi dari menuju ke arah umpan

dikelompokkan menggunakan matriks. Tanda nol (0) dinotasikan jika kepiting bakau bergerak ke kanan atau ke kiri deviasi dari menuju ke arah umpan, tanda positif (+) jika kepiting bakau bergerak menuju ke arah umpan dan tanda negatif (–) jika kepiting bakau bergerak menjauhi dari menuju ke arah umpan (Tabel 5).

(67)

Kelompok A adalah gerakan selalu menuju ke arah umpan (semua tanda positif). Kelompok B adalah gerakan deviasi ke kanan atau ke kiri dilanjutkan gerakan menuju ke arah umpan (tanda nol dan positif). Kelompok C adalah gerakan menuju ke arah umpan tetapi ada gerakan menjauh (tanda positif dan negatif). Pola gerakan jika diprosentasekan dapat dibagi sebagai berikut: 15 pola gerakan (71,4%) masuk dalam kelompok B, 4 pola gerakan (19,0%) masuk kelompok A dan 2 pola gerakan (9,5%) masuk kelompok C.

Gambar 18 Pola gerakan A (selalu menuju ke arah umpan) kepiting bakau menuju umpan keong emas

: umpan keong emas

: kepiting bakau

(68)

Gambar 19 Pola gerakan B (deviasi ke kanan atau ke kiri dilanjutkan menuju ke arah umpan) kepiting bakau menuju umpan keong

Gambar 20 Pola gerakan C (gerakan menuju ke arah umpan tetapi ada gerakan menjauh) kepiting bakau menuju umpan keong

: umpan keong emas

: kepiting bakau

A B C D E F

: umpan keong emas

: kepiting bakau

(69)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Parameter Mikrobiologi, Kimiawi dan Organoleptik Umpan

Bakteri pembusuk optimal tumbuh dan berkembang biak pada suhu kamar. Keong emas dalam kondisi mentah sehingga mengandung bakteri pada jaringan tubuhnya. Bakteri ini kemudian terus tumbuh dan berkembang biak selama umpan disimpan pada suhu kamar. Aktivitas pertumbuhan bakteri tampaknya optimal pada saat umpan berumur 3 hari sehingga jumlah bakteri tidak dapat dihitung hingga pengenceran tertinggi (pengenceran ke enam) (Gambar 12). Setelah mencapai titik optimalnya kadar bakteri kemudian cenderung menurun pada periode 6 hingga 12 hari dari sejumlah 44.000.000 koloni/gr turun menjadi 14.000.000 koloni/gr dan terakhir 3.000.000 koloni/gr. Hal ini diakibatkan menurunnya jumlah nutrisi untuk pertumbuhan per individu bakteri. Kompetisi antar individu bakteri meningkat karena naiknya populasi sementara jumlah bahan nutrisi yang terdapat pada umpan adalah tetap. Jika perhitungan TPC ini terus dilanjutkan untuk umpan yang berumur lebih dari 12 hari, dapat diduga jumlah TPC akan terus turun hingga mencapai titik nol akibat terus berkurangnya nutrisi untuk pertumbuhannya hingga ke titik terendah.

Tingkat kesegaran produk perikanan umumnya juga bisa diukur dari nilai pH-nya. Umumnya makin turun kualitas produk perikanan maka diikuti dengan penurunan nilai pH. Pada uji pH terhadap umpan, tampak bahwa nilai pH tidak memiliki pola trend penurunan atau kenaikan yang teratur sepanjang waktu penyimpanan. Meskipun tidak terlihat trend yang teratur, tampak bahwa pada saat nilai rata-rata pH terendah (6,92) maka nilai TPC berada pada titik tertinggi (TBUD) (lihat Gambar 12 dan Gambar 13). Dengan demikian dimungkinkan ada korelasi antara rendahnya pH dengan tingginya aktivitas pertumbuhan mikroba yang mendegradasi kualitas umpan. Tingginya aktivitas mikroorganisme diduga berkorelasi dengan tingginya proses penguraian senyawa kompleks menjadi molekul-molekul sederhana sehingga menghasilkan ion H yang terukur sebagai nilai pH.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian respons kepiting bakau terhadap umpan
Gambar 4 Keong emas (Pomacea canaliculata Lamarck 1822)
Tabel 2 Bagan waktu penyiapan sampel umpan dan pengujian laboratorium
Gambar 6 Uji TPC sampel umpan pada berbagai umur simpan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa di Posyandu Lansia di RW I Pagesangan Surabaya di dapatkan bahwa sebanyak 22 lansia (36,7%) mengalami de- presi ringan dan

pengendalian internal pada penggajian yang diterapkan oleh PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan dalam melaksanakan setiap proses transaksi pembayaran gaji

Dengan berlakunya Undang-Undang No 7 tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang terkait dengan pengawasan yaitu Bahwa Bawaslu (Badan

CHAPTER IV INTERPRETATION AND

Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa waktu tunggu pengurusan perijinan lebih dari 15 (lima belas) hari kerja antara lain disebabkan oleh faktor kepemimpinan dalam

Oleh karena itu, hasil pengukuran kecepatan arus pada perairan Sei Carang yang memiliki kisaran sebesar 0,1 m/s sampai 0,26 m/s dapat disimpulkan juga terdapat

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan enam orang siswa kelas X IPS 2, mengatakan bahwa guru sosiologi sudah menggunakan pertanyaan secara jelas dan singkat