BAB IV DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA
4.2. Interpretasi Data Penelitian
4.2.2. Pola Hubungan Patron Klien antara Petani dengan Buruh
masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya
ekonomi yang kompleks, seperti yang terjadi di Desa Rokan Baru. Bila dilihat
dari profil petani dan profil buruh tani di atas, Kondisi yang memicu timbulnya
hubungan patron klien di antara petani dengan buruh tani ini adalah karena adanya
ketimpangan sumber daya ekonomi di antara mereka. Ketimpangan itu berupa
kepemilikan luas lahan, penghasilan dan penyediaan lapangan pekerjaan. Petani
kecil, dan harus bekerja kepada petani untuk menutupi kekurangan sumber daya
yang dimilikinya.
Adanya perbedaan penguasaan atas sumber daya tersebut menempatkan
salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih superior (tinggi) yakni petani
dari luar Desa Rokan Baru, dan pihak yang lain menempati kedudukan yang lebih
inferior (rendah) yakni buruh tani. Penggolongan ini sesuai dengan apa yang
didefinisikan oleh Scott mengenai ikatan patron klien, Scott (1972, dalam Layn:
2008, 45) mendefinisikanbahwa ikatan patron klien didasarkan dan berfokus pada
pertukaran yang tidak setara yang berlangsung antara kedua belah pihak, serta
tidak didasarkan pada kriteria askripsi. Oleh karena itu siapa saja yang memiliki
modal maka ia dapat berstatus sebagai patron.
Meskipun ada perbedaan yang sangat mencolok dalam hal kepemilikan
sumber daya di antara petani dengan buruh tani, mereka tidak terlalu
mempermasalahkan hal ini dikarenakan adanya rasa saling membutuhkan di
antara keduanya. Hubungan yang saling membutuhkan ini tercipta karena adanya
pertukaran yang saling menguntungkan di antara keduanya. Di mana petani dari
luar Desa Rokan Baru akan memberikan pekerjaan bagi petani di Desa Rokan
Baru yang mau menjadi buruh taninya, sedangkan petani yang menjadi buruh tani
iniakan membantu pekerjaan yang diberikan oleh petani dari luar Desa Rokan
Baru. Scott (1972) menyebut fenomena seperti ini dengan istilah hubungan timbal
balik.
Dengan adanya hubungan timbal balik di antara petani (patron) dengan
buruh tani (klien), hubungan di antara keduanya selanjutnya mengarah pada
unsur-unsur di antaranya rekrutmen tenaga kerja, pengaturan kerja, waktu dan
pembayaran upah. Sedangkan dalam hubungan sosial terdapat aktivitas sosial
seperti dalam aktivitas utang piutang yang terjalin antara patron dengan klien,
pengembangan jaringan, dan tunjangan hari raya (THR).
a. Hubungan Timbal Balik dalam Hubungan Kerja
1. Rekrutmen Buruh Tani
Posisi petani dalam sistem perekrutan tenaga kerja bersifat
sentral. Artinya, petani mempunyai peranan secara penuh dalam
menentukan orang-orang yang akan di jadikan pekerja di lahan kelapa
sawit miliknya. Dalam memilih buruh tani, petani-petani ini menetapkan
beberapa kriteria-kriteria khusus demi kelancaran kegiatan ekonominya.
Kriteria khusus tersebut adalah kecekatan buruh tani dalam bekerja dan
sifat buruh tani yang dapat di percaya.
Kecekatan buruh tani dalam bekerja menjadi kriteria wajib yang
harus dipenuhi oleh buruh tani, sebab, kriteria ini menentukan
kemampuan buruh tani dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai buruh
tani, yaitu memanen buah kelapa sawit, mengontrol lahan dari pencurian
buah kelapa sawit, mengontrol lahan dari kebakaran lahan gambut, dan
membersihkan lahan kelapa sawit petani. Sedangkan, kepercayaan
merupakan kriteria paling sentral yang wajib dimiliki oleh buruh tani,
karena kriteria ini sangat terkait dengan kejujuran buruh tani dalam
menjalankan tugas-tugasnya sebagai buruh tani dan kejujuran buruh tani
tempat tinggal petani yang berada sangat jauh dari Desa Rokan Baru
sehingga berakibat pada lemahnya kontrol para petani terhadap
lahan-lahan kelapa sawit miliknya. Akibatnya, petani-petani dari luar Desa
Rokan Baru ini meletakkan “kepercayaan” sebagai kriteria khusus yang
paling sentral dalam merekrut buruh tani.
Untuk mendapatkan buruh tani yang sesuai dengan
kriteria-kriteria tersebut, petani-petani ini mencari buruh tani dengan
bertanya-tanya atau mengumpulkan informasi dari masyarakat Desa Rokan Baru
mengenai buruh tani yang dapat dipercaya dan cekatan dalam bekerja,
atau merekrut penduduk Desa Rokan Baru yang masih ada ikatan
keluarga atau pertemanan dengannya. Merekrut buruh tani dengan
mengumpulkan informasi dari masyarakat Desa Rokan Baru menjadi
pilihan bagi petani-petani yang tidak mengetahui atau tidak mengenal
buruh tani yang akan direkrutnya. Sedangkan, petani-petani yang
memiliki keluarga atau teman di desa ini biasanya lebih memilih
merekrut keluarga atau temannya tersebut sebagai orang yang dipercaya
menjadi buruh tani. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Irfan berikut
ini:
“Karena waktu saya beli ladang itu nggak ada saudara
atau orang yang saya kenal tinggal di desa itu, jadi
ladang yang saya beli itu bapak tanggung jawabkan ke
Bapak Giso untuk merawatnya, memanennya. Awal Saya
kenal Pak Giso waktu itu saya bertanya sama orang yang
punya warung kopi dekat jembatan yang mau ke arah
kantor kepala desa itu. Sambil pesan kopi saya tanya ke
yang punya warung tentang siapa kira-kira orang yang
bisa dipercaya jaga ladang di desa itu. yang punya
warung itu ngasih tiga nama. Dari tiga nama itu yang
saya datangi rumahnya Pak Giso. Waktu saya tawari Pak
Giso untuk menjaga ladang saya, Pak Giso langsung
mau”.
Informan lainnya, yaitu Bapak Mansur juga mengungkapkan seperti
berikut ini:
“Karena bapak punya abang di sana, jadi ladang bapak
yang di sana bapak serahkan ke abang bapak itu. Jadi
abang bapak yang jaga ladang bapak, yang manen,
mupuk, nyemprot. Bapak segan juga kalau menyuruh
orang lain yang jaga ladang bapak, karena ada abang
kita di situ, yahgak enaklah kalau kita menyuruh orang
lain yang jaga ladang kita itu, sedangkan kita punya
keluarga yang lebih membutuhkan pekerjaan itu di situ.”
Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Bapak Sumargo berikut ini:
“Kalau kita sudah kenal sama orang yang kita kerjakan
itu, lebih gampang. Karena kita sudah tahu kayak mana
dia kerja, sifatnya. Dan orang yang kita kerjakan juga
sudah tau kayak mana sifat kita. Jadi macam ada rasa
segan gitulah kalau kerjaan itu gak di kerjakan, karena
kita sudah ngasih uang juga sebelumnya.
Dari hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa, petani-petani
yang memilih mempekerjakan buruh tani dari kalangan keluarga atau
temannya ini memiliki alasan bahwa ada perasaan segan atau tidak enak
hati terhadap keluarga bila mempekerjakan orang lain di lahan kelapa
sawit miliknya. Alasan lainnya yaitu keluarga lebih mudah di percaya di
bandingkan dengan mempekerjakan orang yang tidak dikenal. Dari hasil
wawancara di atas juga menunjukkan bahwa dengan sumber daya yang
dimiliki, patron memberikan pengaruhnya kepada klien agar bisa
memberikan bantuan secara umum bagi kepentingan patron. Dalam hal
mencari nafkah bagi buruh tani, sehingga buruh tani ini akan
memperoleh keuntungan berupa upah dari petani, dan petani akan
memperoleh keuntungan berupa uang hasil panen dan kelancaran siklus
produksi karena kebutuhan petani akan tenaga kerja secara kontinu telah
tercapai.
2. Pengaturan Sistem Pengupahan, Kerja dan Waktu
Pada dasarnya dalam hubungan patron klien, terdapat pertukaran
ekonomi di mana buruh tani sebagai orang yang memberikan tenaganya
kepada petani akan mendapatkan upah dari petani. Upah dalam hubungan
patron klien merupakan salah satu bentuk jaminan sosial yang diberikan
patron kepada klien. Bagi buruh tani (klien) di desa ini, upah merupakan
alasan mereka mau bekerja kepada petani (patron) untuk memenuhi
kebutuhan keluarga mereka yang beraneka ragam.
Sistem pengupahan yang diterima buruh tani tergantung dari
jenis pekerjaan yang ia kerjakan. Artinya, setiap jenis pekerjaan yang
dilakukan oleh buruh tani, memiliki sistem pengupahan sendiri-sendiri
dan semua itu tergantung dari kesepakatan antara buruh tani dengan
petani. Dalam pekerjaan memanen buah kelapa sawit misalnya, besar
kecilnya upah yang diterima buruh setiap panen sangat tergantung dari
sistem pengupahan yang di sepakati antara petani dengan buruh tani.
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Ambik berikut ini:
“Sebenarnya pendapatan dari menjaga ladang itu nggak
menentu, itu tergantung dari kesepakatan kita dengan orang
yang ladangnya kita jaga. Jadi kalau sama bapak,
kesepakatan kita dengan orang yang ladangnya kita jaga itu
gini, satu kilo buah sawit dikalikan Rp. 250, jadi kalau
manen dapat 1 ton kita dapat upah Rp. 250.000, kalau manen
dapat 2 ton bapak dapat Rp. 500.000. Tapi kalau kita manen
dapat se ton dan harga sawit di toke cuma Rp. 500,
penghasilan manen itu dibagi dua, setengah jadi penghasilan
untuk orang yang ladangnya kita jaga, dan setengah lagi jadi
gaji kita. manen setiap 2 minggu sekali”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Sakimun berikut ini:
“Upah manen sawit itu kalau bapak hitungannya per kilonya
dikalikan Rp. 150. Jadi kalau manen dapat satu ton, upah
bapak Rp. 150.000. tapi kadang-kadang kalau uang
manennya dapat banyak, bapak dikasih lebih sama orang itu.
tapi kalau dapatnya sedikit ya uang sawit itu dibagi dua,
setengah untuk upah bapak, setengah lagi untuk yang punya
ladang”
Informan lainnya, yaitu Bapak Ikhsan (Sekretaris Desa Rokan
Baru) juga mengatakan berikut ini:
“Upah tukang panen di sini biasanya hitungannya per
kilogram buah sawit yang ditimbang. jadi ada yang tukang
panen digaji per kilonya dikalikan Rp. 150, ada yang Rp.
250, dan ada juga per kilonya dikalikan Rp. 300. Jadi itu
tergantung kesepakatan antara tukang panen sama yang
punya kebun. Biasanya yang di kalikan Rp. 150 itu letak
ladangnya dekat jalan besar tempat nimbang sawit, jadi
nggak perlu melangsir buah lagi. Yang dikalikan Rp. 250 itu
biasanya letak ladangnya lumayan masuk ke dalam, jadi
tukang panen harus melangsir buah lagi ke jalan besar biar
bisa ditimbang. Dan kalau yang Rp. 300 itu letak ladangnya
itu jauh kali dari jalan besar atau tempat timbangan.
Jalan-jalan menuju Ladang-ladang di sinikan semuanya nggak bisa
dilewati mobil ngangkat buah, jadi buah sawit itu harus
dilangsir lagi keluar ke jalan besar biar bisa di timbang.
Kecuali ladang-ladang yang di pinggir jalan besar, nggak
perlu melangsir lagi, tinggal tumpuk saja di pinggir jalan
besar itu. Di sini manen sawit rata-rata 2 minggu sekali”
Dari hasil wawancara di atas di peroleh gambaran bahwa, upah
menggunakan sistem berat kelapa sawit per kilogramnya. Jadi besar
kecilnya upah buruh tani sangat tergantung dari total berat buah kelapa
sawit yang di timbang. Misalnya, jika buah kelapa sawit yang di panen
Bapak Ambik memiliki berat total 1 ton, dan kesepakatan upah Bapak
Ambik dengan petani yang lahannya ia panen per kilogramnya dikalikan
Rp. 250, maka total upah yang diterima oleh Bapak Ambik adalah Rp.
250.000. Kesepakatan yang terjadi antara petani dengan buruh tani
mengenai sistem pengupahan ini juga sangat di pengaruhi oleh lokasi
lahan kelapa sawit yang dimiliki oleh petani. Jadi semakin jauh letak
lahan kelapa sawit petani dari jalan besar (tempat menimbang buah
sawit), maka semakin besar pula hitungan upah berdasarkan berat per
kilogram buah kelapa sawit yang diterima oleh buruh tani. Siklus panen
buah kelapa sawit di desa ini rata-rata dua Minggu sekali. Jadi, setiap dua
Minggu sekali buruh tani wajib memanen buah kelapa sawit milik petani.
Upah buruh tani dari pekerjaan memupuk kelapa sawit dan
menyemprot rumput liar dengan racun tanaman juga tergantung dari
sistem pengupahan yang disepakati oleh petani dan buruh tani. Ini seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Mansur berikut ini:
“Upah memupuk itu kalau sama bapak Rp. 10.000 per
karung pupuk ukuran 50 kg, jadi besar kecilnya upah yang
bapak terima tergantung dari banyaknya karung pupuk yang
di suruh pemilik untuk di pupukkan ke sawitnya lah. Kalau
upah nyemrot rumput sama bapak itu per hektarnya Rp.
250.000 per hektar. Kerja memupuk sawit biasanya 3-4
bulan sekali di suruh, dan nyemprot biasanya 3 bulan sekali.
“Memupuk 3 bulan sekali itu upahnya bapak kasih per
karung itu Rp. 8.000, dan kalau nyemprot rumput itu
upahnya bapak kasih per hektarnya Rp. 200.000 per hektar.
Kesepakatan sama yang bapak suruh ngerjakan ladang
bapak begitu.
Dari hasil wawancara di atas di peroleh gambaran bahwa besar
kecilnya upah buruh tani dari pekerjaan memupuk sawit sangat
tergantung pada kuantitas pupuk yang akan di kerjakan. Siklus pekerjaan
memupuk ini tidak menentu, ada yang dilakukan 3 bulan sekali dan ada
juga yang dilakukan 4 bulan sekali. Upah dari pekerjaan membersihkan
lahan dengan racun tanaman juga sangat tergantung dari luas lahan yang
dikerjakan. Semakin luas lahan kelapa sawit yang di bersihkan maka
semakin banyak upah yang di terima buruh tani. Siklus pekerjaan
membersihkan lahan kelapa sawit dari rumput liar ini dilakukan 3 bulan
sekali.
Dari semua sistem pengupahan yang disepakati oleh petani dan
buruh tani (baik itu sistem pengupahan memanen sawit, memupuk kelapa
sawit, dan membersihkan lahan kelapa sawit dari rumput-rumput liar)
semuanya bersifat tidak tertulis, namun sudah menjadi kewajiban dari
petani untuk memberikan upah-upah tersebut kepada buruh tani sebagai
ganjaran nyata atas pekerjaan buruh tani terhadap lahan kelapa sawit
miliknya. Dalam relasi patron klien antara petani dengan buruh tani juga
menunjukkan bahwa masing-masing aktor memiliki posisi tawar. Buruh
tani (klien) meskipun sangat bergantung kepada petani (patron), tetap
memiliki posisi tawar. Begitu juga dengan petani (patron), modal yang
kepada buruh tani (klien) maupun memberikan keputusan yang
merugikan klien. Artinya, dengan adanya posisi tawar yang dimiliki oleh
petani, membuat hubungan yang dibangun di antara keduanya tidak
bersifat eksploitasi, akan tetapi lebih mengarah kepada hubungan yang
bersifat saling menguntungkan.
Pengaturan sistem pengupahan, pekerjaan, dan waktu dalam
hubungan antara petani dengan buruh tani ini menunjukkan bahwa di
dalam sebuah interaksi sosial masing-masing aktor di atas melakukan
hubungan timbal balik. Ini berdasarkan pada asumsi Scott (1992, 91-91)
yang menjelaskan bahwa hubungan patron kilen berawal dari adanya
pemberian barang atau jasa dalam berbagai bentuk yang sangat berguna
atau diperlukan oleh salah satu pihak, sementara bagi pihak yang
menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas
barang tersebut. Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa
materi, melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan
mengharapkan materi atau uang dari klien, melainkan mengharapkan
imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron.Seperti halnya dalam kasus
petani dengan buruh tani di Desa Rokan Baru, petani(patron) dengan
sumber daya yang dimilikinya memberikan pengaruh kepada buruh tani
(klien) dengan memberikan pekerjaan dan upah kepada buruh tani
(klien), sebagai imbalan buruh tani harus meluangkan waktu dan
b. Hubungan Timbal Balik dalam Hubungan Sosial
Hubungan antara petani dengan buruh tani tidak hanya terlekat
pada hubungan kerja atau ekonomi saja, melainkan ada relasi-relasi sosial
yang saling terlekat (luwes dan meluas) di antara mereka. Hal ini
disebabkan karena hubungan kerja atau ekonomi yang terjadi terus
menerus (intensif) menjadikan interaksi antara petani dan buruh tani lebih
intensif, akrab, intim,saling mengenal pribadinya dan saling mempercayai
satu sama lain. Singkatnya, adapun wujud hubungan timbal balik antara
patron dengan klien dalam aspek hubungan sosial dapat dilihat dari
hubungan utang, jaringan, dan pemberian bonus tunjangan hari raya
(THR) kepada klien.
Wujud dari hubungan timbal balik dalam aspek hubungan sosial
yang pertama dapat ditunjukkan dengan adanya kepentingan keluarga dari
buruh tani untuk berhutang kepada petani. Hubungan utang antara buruh
tani dengan petani ini biasanya dalam bentuk uang. Pada umumnya para
buruh tani berhutang pada petani dikarenakan kebutuhan mereka untuk
kehidupan sehari-hari tidak mencukupi. Hubungan utang ini merupakan
wujud dari solidaritas dalam hubungan kerja antara petani terhadap buruh
tani. Selain petani memberikan pekerjaan kepada buruh tani, petani juga
membantu dalam bentuk memberi pinjaman uang untuk membantu
keluarga buruh tani (patron) dari kesulitan ekonomi. Hubungan hutang ini
juga membuktikan tingkat ketergantungan buruh tani kepada petani, hal ini
mereka sehari-hari, berhutang kepada petani pun menjadi pilihan bagi
buruh tani.
Ada beberapa situasi yang menyebabkan buruh tani (klien)
berhutang kepada petani (patron), yaitu:
1. Kebutuhan untuk Berobat
Di saat buruh tani jatuh sakit, buruh tani sering mengalami
kesulitan dalam masalah biaya untuk berobat, apalagi saat hasil
panen sawit dari lahan pribadi dan upah dari petani sedikit.
Maka
solusi buruh tani untukmengatasi masalah biaya kesehatanatau berobat adalah meminjam uang kepada petani.