• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.5 Pola Kemitraan Pada Tumpangsari Pendapatan Petan

Biaya produksi padi gogo ditunjukkan pada Tabel 25. Biaya produksi per hektar sebesar Rp 5 932 000 atau Rp 1 779 per kilogram GKG. Sebagian besar biaya produksi merupakan biaya untuk tenaga kerja, yaitu sekitar 71% dan sekitar 29% untuk biaya bahan dan sarana prasarana. Komposisi biaya tenaga kerja tersebut didominasi oleh biaya persiapan lahan dan pemanenan

sebesar Rp 2 960 000 per hektar atau 70% dari total biaya tenaga kerja

sebesar Rp 4 210 000. Pendapatan peserta tumpangsari per hektar sebesar Rp 10 032 000 dari penjualan gabah dengan harga sebesar Rp 3 000 per

kilogram. Pada kondisi tersebut keuntungan tumpangsari bagi petani sebesar Rp 4 100 000 per hektar atau Rp 1 230 per kilogram. R/C kegiatan tumpangsari

padi sebesar 1.69. Angka R/C tersebut menunjukkan bahwa usahatani tumpangsari padi di hutan tanaman menguntungkan karena lebih besar dari 1 (Soekartawi et al. 1986). Dengan demikian dari sisi petani maka pelaksanaan

tumpangsari di areal hutan tanaman menguntungkan terutama dari sisi: (1) kesempatan untuk bercocok tanam dalam pemenuhan bahan pangan,

(2) pendapatan dari usaha produksi padi tumpangsari yang menguntungkan, (3) penyerapan tenaga kerja

Tabel 25 Biaya produksi padi tumpangsari

Kegiatan Fisik Biaya

(Rp) A.Biaya tenaga kerja

1. Persiapan lahan 2 000 000 2. Penanaman 8 HOK 480 000 3. Pemeliharaan - Penyiangan 12 HOK 660 000 - Herbisida 2 HOK 110 000 4.Pemanenan 16 HOK 960 000 Jumlah biaya tenaga kerja 4 210 000 70.97% B. Biaya bahan 1.Benih 60 kg 300 000 2.Herbisida 3 liter 225 000 3.Insektisida 50 000 4.Sarana prasarana

- Pondok kerja 1 unit 842 000 - Cangkul,sabit, dll set 305 000 Jumlah biaya bahan 1 722 000 29.03% C.Total Biaya 5 932 000 D.Pendapatan 10 032 000 E.Keuntungan bersih 4 100 000 F.R/C ratio 1.69

Berdasar penelitian Yuliono et al.(2011) biaya rata-rata ladang berpindah di desa Harutai Loksado Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan (setelah dikeluarkan biaya untuk acara ritual) sebesar Rp 5 758 423 dengan R/C sebesar 0.94 sehingga belum bisa dikatakan layak secara ekonomi. Meskipun ladang berpindah tidak layak secara ekonomi tetapi tetap dilakukan karena merupakan tradisi untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Secara tradisional sebagaimana kegiatan bertani di masyarakat, tumpangsari padi dilakukan hanya pada satu kali musim tanam yaitu pada sekitar bulan Oktober–April. Setelah dilakukan panen lahan bekas tumpangsari tidak diusahakan lagi oleh petani. Dari sisi potensi, baik lantai hutan/lahan yang belum tertutup oleh tanaman pokok dan dari sisi ketersediaan air masih sangat potensial untuk diusahakan lebih lanjut dengan jenis tanaman palawija lain, setidaknya pada saat umur tanaman pokok masih 1 tahun. Kondisi tersebut didukung data hari hujan dan curah hujan beberapa tahun terakhir sebagaimana Lampiran 6. Distribusi curah hujan dan hari hujan pada tahun 2012 disajikan pada Gambar 16.

0 5 10 15 20 25 30 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des

Cu ra h H uj an ( m m ) Bulan Curah Hujan Hari Hujan H ari H uja n

Gambar 16 Distribusi curah hujan dan hari hujan di Pulau Laut tahun 2012

Peluang peningkatan usahatani tumpangsari dapat ditingkatkan dengan pelaksanaan kegiatan (1) penanaman jenis tanaman lain setelah panen padi dan (2) nilai tambah melalui proses penggilingan padi menjadi beras. Penanaman

jenis tanaman musiman lain sangat dimungkinkan mengingat umur tanaman A. mangium masih berumur di bawah 1 tahun dan tajuk masih belum menutup.

Berdasarkan data peserta tumpangsari hasil produksi padi sebagian besar dijual. Hal tersebut didukung bahwa produksi padi selama satu musim sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan keluarga selama satu tahun. Dengan rata-rata produksi padi 3 ton per hektar maka jumlah beras yang dihasilkan sekitar 1 680 kilogram cukup untuk kebutuhan pangan bagi 4 anggota keluarga sekitar 556 kilogram atau 33%. Kelebihan panen dapat dijual petani bukan dalam bentuk gabah kering tetapi sudah dalam bentuk beras. Masyarakat Dayak di hutan Mawas Kalimantan Tengah pada awalnya untuk mencukupi kebutuhan pangan cukup membuka ladang 0.5-1 hektar saja (Akbar 2011).

Penjualan dalam bentuk beras akan diperoleh nilai tambah per kilogram gabah sebesar Rp 1 915. Untuk itu perlu bantuan modal usaha dalam pemro- sesan penggilingan tersebut. Perusahaan dapat menjalin kemitraan dalam proses penggilingan beras lebih lanjut dan pemasaran. Menurut Kadir dan Nurhayati (2011) kendala utama yang dihadapi petani selain pengetahuan tentang budidaya tanaman diantaranya adalah modal kerja. Kebijakan agroforestri dari perusahaan perlu dikembangkan lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu mendapat

perhatian dalam perumusan kebijakan pengembangan agroforetri adalah: (1) sosialisasi secara intensif dan menyamakan persepsi mengenai sistim

agroforestri, (2) peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat hutan mengenai pengelolaan sistim agroforestri, (3) perlunya pemberian insentif kepada masyarakat baik berupa modal maupun fasilitas dalam bentuk lainnya, (4) penyediaan pasar bagi produk agroforestri, (5) pengembangan kelembagaan di tingkat masyarakat untuk mendukung agroforestri, (6) pembagian hasil yang proporsional (Suryandari & Alviya 2006). Dengan melihat kebutuhan bahan pangan beras di Kotabaru maka pemasaran masih sangat terbuka. Perkiraan nilai tambah tersebut dapat dilihat pada Tabel 26, sedangkan data pemanfaatan produksi, kendala, dan harapan petani tumpangsari ditunjukkan pada Tabel 27. Dari Tabel 27 terlihat bahwa permasalahan modal usaha dan saprodi sangat

diperlukan dalam kegiatan tumpangsari dan diharapkan mendapat bantuan dari perusahaan baik langsung maupun tidak langsung.

Tabel 26 Perkiraan nilai tambah pemrosesan beras

Uraian Tarif/harga (Rp) Biaya Produksi dan handling

Harga gabah 3 000 Milling cost

- Upah penggilingan 340 - Biaya angkut gabah 500 - Biaya angkut beras 340 - Lain-lain 25 Jumlah biaya produksi 4 205 Pendapatan 6 120 Nilai tambah per kg gabah 1 915

Tabel 27 Pemanfaatan produksi, kendala, harapan peserta tumpangsari Uraian Prosentase (%) Pemanfaatan hasil produksi

- Konsumsi sendiri 25.0 - Sebagian dijual 75.0 - Seluruhnya dijual - Hambatan dalam program

- Lokasi (terlalu jauh) 16.1 - Hama/ penyakit 26.8 - Modal usaha 57.1 - Adanya lahan garapan sendiri - Harapan bantuan

- Bantuan saprodi 89.3 - Bantuan penyuluhan 10.7 - Bantuan pemasaran - - Lain-lain -

Pertumbuhan Tanaman Pokok Hutan Tanaman Acacia mangium

Data pertumbuhan yang mencakup diameter dan tinggi, serta volume pohon tanaman pokok Acacia mangium pada lokasi tanaman tumpangsari dan tanaman non tumpangsari disajikan pada Tabel 28. Secara statistik pertumbuhan diameter berbeda secara signifikan pada tanaman A mangium sampai umur 2 tahun sedangkan pada umur 3 dan 4 tahun tidak berbeda. Perbandingna antara diameter A. mangium pada lokasi tumpangsari dan non tumpangsari: umur 6 bulan, 2 tahun, 3 tahun, dan 4 tahun berturut-turut sebesar 2.27 ± 0.57 cm dan 1.048 ± 0.302 cm; 12.90±1.65 cm dan 9.68 ± 2.83cm; 14.23±1.92 cm dan 13.2±1.44 cm; serta 18.62± 2.68 cm dan 18.46±2.38 cm.

Perbedaan pertumbuhan A.mangium yang ditanam dengan sistim tumpangsari lebih baik dari pada yang ditanam non tumpangsari terutama pada umur di bawah 2 tahun. Hal ini disebabkan pada tanaman tumpangsari secara tidak langsung terpelihara dengan adanya pemeliharaan tanaman padi gogo oleh

petani. Berdasarkan penelitian Hasan (1999) tanaman A. mangium yang ditanam secara tumpangsari bila dibandingkan tanaman monokultur, mempunyai aliran permukaan yang lebih kecil, peresapan yang lebih besar dan transfer air yang lebih kecil. Hal ini memperlihatkan bahwa tanaman tumpangsari sangat baik untuk menunjang ketersediaan air di dalam tanah dan konservasi air. Perbedaan pertumbuhan diameter dan tinggi yang signifikan terjadi sampai pada umur 2 tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena pada umur 2 tahun tajuk A. mangium sudah mulai bersinggungan sehingga terjadi persaingan fotosintesa. Tabel 28 Pertumbuhan tanaman pokok Acacia mangium pada lahan tumpangsari

dan non tumpangsari. Umur

tegakan Parameter

Tumpangsari Non tumpangsari

Uji t Rata-rata St Dev Rata-rata St Dev 4 tahun Diameter (cm) 18.62 2.68 18.46 2.38 ** Tinggi (m) 19.35 1.77 17.04 1.1 * Volume (M3) 0.1971 0.0734 0.1691 0.051 ** 3 tahun Diameter (cm) 14.23 1.92 13.2 1.44 ** Tinggi (m) 16.24 1.56 13.2 1.44 ** Volume (M3) 0.0975 0.0327 0.086 0.0126 ** 2 tahun Diameter (cm) 12.90 1.65 9.68 2.83 * Tinggi (m) 11.32 1.21 8.88 2.01 * Volume (M3) 0.0566 0.018 0.0293 0.0167 * 6 bulan Diameter (cm) 2.27 0.57 1.048 0.302 * Tinggi (m) 2.42 0.50 0.89 0.27 * Volume (M3) 0.0023 0.0002 0.0019 0.0004 *

* berbeda signifikan; ** tidak berbeda signifikan

Berkenaan dengan hal tersebut maka dari sisi silvikultur pengelolaan hutan tanaman dengan sistim tumpangsari sangat berpengaruh positif pada tegakan sampai dengan umur 2 tahun. Untuk meningkatkan produktivitas lahan maka perlu perlakuan penjarangan pada tanaman A. mangium dimulai pada saat umur dibawah 2 tahun.

Pada umur 4 tahun pelaksanaan tumpangsari masih berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi pohon A. mangium dibandingkan di lokasi non tumpangsari. Dari sisi perusahaan maka pelaksanaan tumpangsari di areal hutan tanaman menguntungkan terutama dari sisi: (1) pertumbuhan tanaman pokok hutan, (2) penghematan biaya pemeliharaan terutama pada umur sampai dengan 6 bulan, (3) penurunan biaya/ resiko perlindungan hutan, (4) mengurangi atau mencegah konflik lahan

Dengan demikian tumpangsari di hutan tanaman sangat penting didasarkan antara lain bahwa di areal hutan tanaman monokultur, produktivitas tanaman masih rendah, lahan belum termanfaatkan secara optimal, dan keanekaragaman hayati relatif rendah, sehingga memungkinkan terjadinya serangan hama dan penyakit. Oleh karena itu, tumpangsari diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut, sekaligus memberikan nilai tambah berupa

meningkatnya pendapatan petani dan terpeliharanya tanaman hutan tanaman secara lebih baik.

5.6 Tantangan Pengelolaan Hutan Tanaman Pulau Laut Pola Kemitraan

Dokumen terkait