• Tidak ada hasil yang ditemukan

An Anallysiis On Agrofforesttry Parttnershiip In Order To Miiniimiize Forestt Encroachmentt (Case Study of “Tumpangsari “for Food Crops at Plantation Forest Consession in Pulau Laut, South Kalimantan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "An Anallysiis On Agrofforesttry Parttnershiip In Order To Miiniimiize Forestt Encroachmentt (Case Study of “Tumpangsari “for Food Crops at Plantation Forest Consession in Pulau Laut, South Kalimantan)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

A

AN

NA

AL

LI

IS

SI

IS

S

P

PO

OL

LA

A

K

KE

EM

MI

IT

TR

RA

A

AN

A

N

A

AG

GR

RO

OF

FO

OR

RE

ES

ST

TR

RI

I

D

DA

AL

LA

AM

M

R

RA

AN

NG

GK

KA

A

M

ME

EN

NG

G

UR

U

RA

AN

NG

G

I

I

A

AN

NC

CA

AM

MA

AN

N

P

PE

ER

RA

AM

MB

BA

AH

HA

AN

N

H

HU

UT

TA

AN

N

(

(

SSTTUUDDIIKKAASSUUSSTTUUMMPPAANNGGSSAARRIITTAANNAAMMAANNPPAANNGGAANN DDIIIIUUPPHHHHKK--HHTT

P

PUULLAAUULLAAUUTTKKOOTTAABBAARRUU,,KKAALLIIMMAANNTTAANNSSEELLAATTAANN))

I

IM

MA

AN

N

S

SU

UY

YU

UD

DO

ON

NO

O

S

SE

EK

K

OL

O

LA

AH

H

P

PA

AS

SC

CA

A

S

SA

AR

RJ

JA

AN

NA

A

I

IN

NS

ST

TI

IT

TU

UT

T

P

PE

ER

RT

TA

AN

NI

IA

AN

N

BO

B

OG

GO

OR

R

2

(2)

P

PE

ER

RN

NY

YA

AT

TA

AA

AN

N

M

ME

EN

NG

G

EN

E

NA

AI

I

TE

T

ES

SI

I

S

S

DA

D

AN

N

S

SU

UM

MB

BE

ER

R

I

IN

NF

FO

O

RM

R

MA

AS

SI

I

S

SE

ER

RT

TA

A

P

PE

EL

LI

IM

MP

PA

AH

HA

AN

N

HA

H

AK

K

C

CI

IP

PT

TA

A*

*

D

Deennggaann iinnii ssaayyaa mmeennyyaattaakkaann bbaahhwwaa tteessiiss AAnnaalliissiiss PPoollaa KKeemmiittrraaaann

A

Aggrrooffoorreessttrrii DDaallaamm RRaannggkkaa MMeenngguurraannggii AAnnccaammaann PPeerraammbbaahhaann HHuuttaann ((SSttuuddii K

Kaassuuss TTuummppaannggssaarrii TTaannaammaann PPaannggaann ddii IIUUPPHHHHKK--HHTT PPuullaauu LLaauutt KKoottaabbaarruu,, K

KaalliimmaannttaannSSeellaattaann))aaddaallaahhkkaarryyaassaayyaaddeennggaannaarraahhaann ddaarriikkoommiissii ppeemmbbiimmbbiinngg

d

daann bbeelluumm ddiiaajjuukkaannddaallaamm bbeennttuukk aappaa ppuunnkkeeppaaddaa ppeerrgguurruuaann ttiinnggggii mmaannaappuunn.. S

Suummbbeerriinnffoorrmmaassiiyyaannggbbeerraassaallaattaauuddiikkuuttiippddaarriikkaarryyaayyaannggddiitteerrbbiittkkaannmmaauuppuunn

t

tiiddaakkddiitteerrbbiittkkaannddaarrii ppeennuulliissllaaiinntteellaahhddiisseebbuuttkkaannddaallaammtteekkssddaannddiiccaannttuummkkaann d

daallaammDDaaffttaarrPPuussttaakkaaddiibbaaggiiaannaakkhhiirrtteessiissiinnii.. D

Deennggaann iinnii ssaayyaa mmeelliimmppaahhkkaann hhaakk cciippttaa ddaarrii kkaarryyaa ttuulliiss ssaayyaa kkeeppaaddaa

I

InnssttiittuuttPPeerrttaanniiaannBBooggoorr

B

Booggoorr,, JJaannuuaarrii22001144

I

ImmaannSSuuyyuuddoonnoo P

(3)

R

RI

IN

NG

G

KA

K

AS

SA

AN

N

I

IMMAANN SSUUYYUUDDOONNOO.. AAnnaalliissiiss PPoollaa KKeemmiittrraaaann AAggrrooffoorreessttrrii ddaallaamm RRaannggkkaa

M

MeenngguurraannggiiAAnnccaammaann PPeerraammbbaahhaann HHuuttaann ((SSttuuddiiKKaassuussTTuummppaannggssaarriiTTaannaammaann

P

PaannggaannddiiIIUUPPHHHHKK--HHTTPPuullaauuLLaauuttKKoottaabbaarruu,,KKaalliimmaannttaannSSeellaattaann)).. DDiibbiimmbbiinngg

o

olleehhLLaaiillaannSSyyaauuffiinnaaddaannDDiiddiikkSSuuhhaarrjjiittoo..

Degradasi hutan saat ini menjadi isu yang sangat penting dengan adanya pemanasan global. Secara garis besar fungsi hutan mencakup ekonomi, sosial, dan ekologi. Luas kawasan hutan di Indonesia kurang lebih 133 juta hektar, 31% lebih diantaranya tidak bervegetasi hutan (Kemenhut 2011). Laju deforestasi pada tahun 2000-2009 seluas 1.5 juta hektar per tahun dan Pulau Kalimantan sebagai penyumbang deforestasi terbesar lebih dari 36% (Sumargo et al. 2009). Pada tahun 2011 hutan seluas 832 ribu hektar terdegradasi (Kemenhut 2011).

Terdapat kurang lebih 35% desa/kelurahan di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan (Ditjen Planologi 2010). Peningkatan jumlah penduduk dan industri kehutanan, perkebunan, pertambangan telah mempersempit luasan hutan untuk perladangan sehingga masa bero diperpendek dan lahan terdegradasi. Adanya pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mendorong akses masyarakat untuk merambah hutan dengan semakin sempitnya areal untuk bertani (Setyawan 2010). Undang-undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan yang dimaksud merambah adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

Tujuan penelitian adalah untuk menggali potensi lahan hutan untuk tanaman pangan dengan sistim tumpangsari, menganalisis ancaman perambahan hutan, menghitung biaya produksi dan pendapatan tumpangsari. Manfaat penelitian yaitu terbukanya peluang di hutan tanaman untuk tanaman pangan tanpa merubah fungsi hutan, menurunkan konflik, meningkatkan pertumbuhan tegakan dan menjaga ketahanan pangan.

Penelitian dilakukan di hutan tanaman secara tumpangsari di hutan tanaman Pulau Laut di Semaras dan hutan alam sekunder pada perladangan berpindah di Pulau Laut di Mekarpura dan Senakin Kabupaten Kotabaru. Waktu penelitian pada musim tanam padi Bulan Oktober 2011-Januari 2013.

Plot contoh pengamatan dibuat dengan ukuran 2.5 x 2.5 meter sebanyak 20 plot pada masing-masing lokasi untuk megukur produktivitas tanaman padi. Pengukuran pertumbuhan tanaman pohon dilakukan pada plot contoh di lokasi tanaman tumpangsari dan non tumpangsari. Pengambilan data peserta tumpangsari, sosial ekonomi masyarakat dan data demografi lainnya dilakukan secara purposive sampling. Jenis data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran lapangan langsung dan wawancara, sedangkan data sekunder didapat dari berbagai sumber termasuk instansi terkait.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa produktivitas padi sistim tumpangsari di areal hutan tanaman sebesar 3.344 ton ha-1 lebih tinggi dari produksi padi di hutan alam sekunder sebesar 3.12 ton ha-1 dan berbeda secara signifikan. Produksi padi ladang berpindah pada hutan sekunder di Pulau Laut dan di Senakin masing-masing sebesar 3.12 ton ha-1 dan 3.173 ton ha-1 ..

(4)

merupakan biaya tenaga kerja sedangkan sisanya 29% biaya bahan dan sarana prasarana. Komposisi biaya tenaga kerja tersebut didominasi biaya persiapan lahan dan pemanenan sebesar Rp 2 960 000 ha-1 atau 70% dari total biaya tenaga

kerja sebesar Rp 4 210 000 ha-1. Pendapatan peserta tumpangsari sebesar Rp 10 032 000 ha-1 dari penjualan gabah dengan harga sebesar Rp 3 000 kg-1.

Pada kondisi tersebut keuntungan tumpangsari bagi petani sebesar Rp 4 100 000 ha-1 atau Rp 1 230 kg-1 dengan R/C kegiatan tumpangsari padi sebesar 1.69. Pertumbuhan A. mangium yang ditanam dengan sistim tumpangsari lebih baik dari pada yang ditanam secara non tumpangsari. Pertumbuhan diameter dan volume berbeda signifikan sampai pada umur 6 bulan dan 2 tahun sedangkan pada umur 3 tahun dan 4 tahun tidak berbeda signifikan. Pertumbuhan diameter di lokasi tumpangsari dan non tumpangsari berturut-turut umur 6 bulan: 2.27±0.57 cm dan 1.048±0.30 cm; umur 2 tahun:12.90±1.65 cm dan 9.68±2.83 cm. Pertumbuhan tinggi berbeda signifikan antara lokasi tumpangsari dan non tumpangsari.

Dengan demikian kegiatan agroforestri tumpangsari di hutan tanaman menguntungkan baik bagi petani maupun bagi pemegang konsesi hutan tanaman. Berdasar analisa trend terjadi peningkatan jumlah penduduk Kotabaru tetapi sebaliknya terjadi penurunan produksi bahan pangan beras. Kotabaru akan mengalami defisit bahan pangan beras pada tahun 2014 sebesar 525 ton dan terus meningkat menjadi 8 557 ton pada tahun 2017. Demikian halnya di Pulau

Laut terjadi defisit tahun 2013 sebesar 2 869 ton dan terus meningkat menjadi 9 677 ton pada tahun 2017. Berdasar kondisi tersebut maka peran tumpangsari

di hutan tanaman sangat mendesak untuk diterapkan. Lahan hutan tanaman yang siap untuk dilaksanakan tumpangsari per tahun di hutan tanaman Pulau Laut kurang lebih 4 263 ha. Dengan asumsi seluruh areal dapat ditumpangsarikan maka potensi produksi beras setiap tahun sekitar 7 983 ton.

Perijinan kebun yang ekspansif dan tumpang tindih di Pulau Laut telah menyebabkan semakin sempitnya areal bercocok tanam bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan subsistennya. Hal ini menyebabkan terjadinya perambahan, seluas kurang lebih 3 714 hektar, terutama pada sisi bagian barat areal kerja konsesi hutan tanaman sebesar 64.2%. Perambahan tersebut disamping dipicu oleh ekspansifnya perluasan kebun juga karena kegiatan pembangunan hutan tanaman terkonsentrasi di sisi bagian timur. Pengaturan blok tanaman menjadi sangat penting untuk mencegah perambahan lebih lanjut. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tumpangsari cukup menguntungkan bagi petani dan pemegang konsesi hutan tanaman. Terdapat potensi produksi padi di hutan tanaman Pulau Laut yang bila dimanfaatkan secara optimal dapat menutup defisit bahan pangan di Kotabaru yang akan terjadi mulai tahun 2014. Tumpangsari padi merupakan bentuk awal proses kemitraan dengan masyarakat sekitar hutan. Bentuk kemitraan tersebut dapat ditingkatkan lebih lanjut menuju kemitraan yang lebih luas terhadap pengelolaan tegakan hutan tanaman sehingga mengurangi ancaman perambahan.

K

(5)

S

S

U

U

M

M

M

M

A

A

R

R

Y

Y

I

IMMAANN SSUUYYUUDDOONNOO.. AAnn AAnnaallyyssiiss OOnn AAggrrooffoorreessttrryy PPaarrttnneerrsshhiipp IInn OOrrddeerr TToo

M

Miinniimmiizzee FFoorreesstt EEnnccrrooaacchhmmeenntt (Case Study of Tumpangsari for Food Crops at Plantation Forest Consession in Pulau Laut, South Kalimantan) U

Unnddeerrddiirreeccttiioonnooff LLaaiillaannSSyyaauuffiinnaaddaannDDiiddiikkSSuuhhaarrjjiittoo..

Forest degradation is becoming a very important issue with global warming . Broadly speaking, the functions of forests include economic, social, and ecological. Forest area in Indonesia covers approximately 133 million hectares, 31% of them are not vegetated (Ministry of Forestry 2011). The rate of deforestation in 2000-2009 covering 1.5 million hectares per year and the island

of Borneo as the greatest contributor to deforestation of more than 36% (Sumargo et al. 2009). In 2011 forest area of 832 thousand hectares were

degraded (Ministry of Forestry 2011).

There is approximately 35% rural/urban or in and around the forest areas (Directorate General of Planology 2010). Surrounding community and in the forest in general farming by clearing forests for agriculture to meet their food needs. Increasing population and industrial forestry, plantation, mining has been narrowed the forest so area for cultivation fallow periods are shortened and degraded. The release of forest land for plantations encourage public access to forests penetrated by the limited acreage for farming (Setiawan 2010). The Law 41 of 1999 on Forestry explain occupation is clearing forest without permission from the authorities. Many of the overlapping licenses between central and local

government policies due to the orientation of the respective interests (Kartodihardjo 2006) .

Habits of the population around the forest to meet the food needs (subsistence) with a system of shifting cultivation is still the tradition by opening

the forest. On the other hand there is plantation forest land ready for planting crops that can be used continuously for food crops.

The objectives of the study was to explore the potential of forest land for agroforestry (“tumpangsari”) of food crops, forest encroachment analyzes, calculating the cost of production and revenue intercropping. The benefits of research are opening up opportunities in plantations for food crops without changing the function of forests, minimize conflict, increase stand growth and ensure food security .

The study was conducted at forest plantations at Semaras and natural forests at Mekarpura, both in Pulau Laut and Senakin Kotabaru. Time study on rice planting season in October 2011-January 2013 (two season).

(6)

The productivity of rice in “tumpangsari” model was 3.3 tones ha-1 which higher than that of in shifting cultivation area in secondary forest of about 3.1 tones ha-1 and significantly different. Shifting cultivation of rice production in the secondary forest at Pulau Laut and in Senakin 3.12 tons ha-1 and 3.173 tonnes ha-1respectively. Statistically productivity shifting cultivation of rice in both secondary forest sites were not significantly different .

The cost of rice production amounting to Rp 5.932 million ha-1 or Rp 1 779 kg-1. Most of the cost of production, approximately 71% is labor costs

while the remaining 29% of the cost of materials and infrastructure. The composition is dominated by labor costs of land preparation and harvesting costs of Rp 2.96 million ha-1 or 70% of the total labor cost of Rp 4.21 million ha-1. Income participants intercropping of Rp 10.032 million ha-1 from the sale of grain at a price of Rp 3 000. In these conditions the intercropping advantage for farmers of Rp 4.1 million kg-1 or Rp 1 230 kg-1 with R/C activity of 1.69.

Growth of A. mangium grown in intercropping system better than the non-intercropped grown. Different diameter and volume growth significantly until the age of 6 months and 2 years , while the age of 3 years and 4 years did not differ significantly. Diametre growth in intercropped and non-intercropped

location age 6 months: 2.27±0.57 cm and 1.048±0.30 cm, age 2 years: 12.90±1.65 cm and 9.68±2.83 cm. High growth differed significantly between

locations intercropped and non-intercropped .

Thus intercropping agroforestry activities in plantations give benefit for farmers and the concession holder. Based on trend analysis there is an increasing number of population but on the contrary there is a decrease in food production of rice of Kotabaru. Kotabaru will experience a food deficit of rice in 2014 amounted to 525 tons and continues to increase to 8 557 tons in 2017. Likewise,

in the Pulau Laut deficit in 2013 amounted to 2 869 tons and is increased to 9 677 tons. Based on these conditions, the role of intercropping in plantations is

urgent to apply. Forest land that are ready to be implemented per year in Pulau Laut plantations approximately 4 263 ha. Assuming the entire area can be intercropped, the production potential of rice annually about 7 983 tons . Becaused of expansive oil plantation has led to the limited acreage for farming communities to meet basic subsistence food needs. This leads to occupy the consession area, covering an area of approximately 3 714 hectares, mainly in the western part of the working area of plantation forest concessions 64.2%. This triggered by expansive oil plantation as well as the forest plantation development activities are concentrated on the eastern side. Setting block plant becomes very important to prevent further occupation.

From this study it can be concluded that intercropping quite profitable for farmers and plantation forest concession holders. There is a potential for rice production in the Pulau Laut forest plantations when used optimally. It can close the deficit in food Kotabaru that will happen starting in 2014. Intercropping rice is an early form of collaboration with the communities around the forest. The collaboration can be improved further on the management of plantation stands and minimize the threat of occupation.

K

(7)

©

©HHaakkCCiippttaammiilliikkIIPPBB,,ttaahhuunn22001144 H

HaakkCCiippttaaDDiilliinndduunnggiiUUnnddaanngg--UUnnddaanngg

D

D

i

i

l

l

a

a

r

r

a

a

n

n

g

g

m

m

e

e

n

n

g

g

u

u

t

t

i

i

p

p

s

s

e

e

b

b

a

a

g

g

i

i

a

a

n

n

a

a

t

t

a

a

u

u

s

s

e

e

l

l

u

u

r

r

u

u

h

h

k

k

a

a

r

r

y

y

a

a

t

t

u

u

l

l

i

i

s

s

i

i

n

n

i

i

t

t

a

a

n

n

p

p

a

a

m

m

e

e

n

n

c

c

a

a

n

n

t

t

u

u

m

m

k

k

a

a

n

n

a

a

t

t

a

a

u

u

m

m

e

e

n

n

y

y

e

e

b

b

u

u

t

t

k

k

a

a

n

n

s

s

u

u

m

m

b

b

e

e

r

r

n

n

y

y

a

a

.

.

P

P

e

e

n

n

g

g

u

u

t

t

i

i

p

p

a

a

n

n

h

h

a

a

n

n

y

y

a

a

u

u

n

n

t

t

u

u

k

k

k

k

e

e

p

p

e

e

n

n

t

t

i

i

n

n

g

g

a

a

n

n

p

p

e

e

n

n

d

d

i

i

d

d

i

i

k

k

a

a

n

n

,

,

p

p

e

e

n

n

e

e

l

l

i

i

t

t

i

i

a

a

n

n

,

,

p

p

e

e

n

n

u

u

l

l

i

i

s

s

a

a

n

n

k

k

a

a

r

r

y

y

a

a

i

i

l

l

m

m

i

i

a

a

h

h

,

,

p

p

e

e

n

n

y

y

u

u

s

s

u

u

n

n

a

a

n

n

l

l

a

a

p

p

o

o

r

r

a

a

n

n

,

,

p

p

e

e

n

n

u

u

l

l

i

i

s

s

a

a

n

n

k

k

r

r

i

i

t

t

i

i

k

k

a

a

t

t

a

a

u

u

t

t

i

i

n

n

j

j

a

a

u

u

a

a

n

n

s

s

u

u

a

a

t

t

u

u

m

m

a

a

s

s

a

a

l

l

a

a

h

h

;

;

d

d

a

a

n

n

p

p

e

e

n

n

g

g

u

u

t

t

i

i

p

p

a

a

n

n

t

t

e

e

r

r

s

s

e

e

b

b

u

u

t

t

t

t

i

i

d

d

a

a

k

k

m

m

e

e

r

r

u

u

g

g

i

i

k

k

a

a

n

n

k

k

e

e

p

p

e

e

n

n

t

t

i

i

n

n

g

g

a

a

n

n

y

y

a

a

n

n

g

g

w

w

a

a

j

j

a

a

r

r

I

I

P

P

B

B

.

.

D

D

i

i

l

l

a

a

r

r

a

a

n

n

g

g

m

m

e

e

n

n

g

g

u

u

m

m

u

u

m

m

k

k

a

a

n

n

d

d

a

a

n

n

m

m

e

e

m

m

p

p

e

e

r

r

b

b

a

a

n

n

y

y

a

a

k

k

s

s

e

e

b

b

a

a

g

g

i

i

a

a

n

n

a

a

t

t

a

a

u

u

s

s

e

e

l

l

u

u

r

r

u

u

h

h

k

(8)

A

AN

NA

AL

LI

IS

SI

IS

S

P

PO

OL

LA

A

K

KE

EM

MI

IT

TR

RA

A

AN

A

N

A

AG

GR

RO

OF

FO

OR

RE

ES

ST

TR

RI

I

D

DA

AL

LA

AM

M

R

RA

AN

NG

GK

KA

A

M

ME

EN

NG

G

UR

U

RA

AN

NG

G

I

I

A

AN

NC

CA

AM

MA

AN

N

P

PE

ER

RA

AM

MB

BA

AH

HA

AN

N

H

H

UT

U

TA

AN

N

(

(

SSTTUUDDIIKKAASSUUSSTTUUMMPPAANNGGSSAARRIITTAANNAAMMAANNPPAANNGGAANN DDIIIIUUPPHHHHKK--HHTT P

PUULLAAUULLAAUUTTKKOOTTAABBAARRUU,,KKAALLIIMMAANNTTAANNSSEELLAATTAANN))

I

IM

MA

AN

N

S

SU

UY

YU

UD

DO

ON

NO

O

T

T

e

e

s

s

i

i

s

s

s

s

e

e

b

b

a

a

g

g

a

a

i

i

s

s

a

a

l

l

a

a

h

h

s

s

a

a

t

t

u

u

s

s

y

y

a

a

r

r

a

a

t

t

u

u

n

n

t

t

u

u

k

k

m

m

e

e

m

m

p

p

e

e

r

r

o

o

l

l

e

e

h

h

g

g

e

e

l

l

a

a

r

r

M

M

a

a

g

g

i

i

s

s

t

t

e

e

r

r

S

S

a

a

i

i

n

n

s

s

p

p

a

a

d

d

a

a

P

P

r

r

o

o

g

g

r

r

a

a

m

m

S

S

t

t

u

u

d

d

i

i

P

P

e

e

n

n

g

g

e

e

l

l

o

o

l

l

a

a

a

a

n

n

S

S

u

u

m

m

b

b

e

e

r

r

d

d

a

a

y

y

a

a

A

A

l

l

a

a

m

m

d

d

a

a

n

n

L

L

i

i

n

n

g

g

k

k

u

u

n

n

g

g

a

a

n

n

S

SE

EK

KO

OL

LA

AH

H

P

PA

AS

SC

CA

AS

SA

AR

RJ

JA

AN

NA

A

I

IN

NS

ST

TI

IT

TU

UT

T

P

PE

ER

RT

T

AN

A

NI

IA

AN

N

B

BO

OG

G

OR

O

R

(9)
(10)
(11)

P

PR

RA

AK

KA

AT

TA

A

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Alloh Tuhan Yang Maha Esa; karena dengan izin dan pertolonganNya penyusunan tesis penelitian yang berjudul “Analisis Pola Kemitraan Agroforestri dalam Rangka Mengurangi Ancaman Perambahan Hutan (Studi Kasus Tumpangsari Tanaman Pangan di IUPHHK-HT Pulau Laut Kotabaru, Kalimantan Selatan)”dapat terlaksana. Penelitian ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan atas perhatian, saran, dan masukannya selama perkuliahan dan penyusunan tesis

2. Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc dan Bapak Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS selaku pembimbing.

3. Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, selaku penguji dari luar komisi

4. Segenap karyawan PT Inhutani II Unit Hutan Tanaman Pulau Laut yang telah membantu selama pengumpulan data.

Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada keluarga yang telah memberi dorongan dan doa.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

x

v

DAFTAR GAMBAR

x

v

DAFTAR LAMPIRAN

x

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 2

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA

5

Profil

Hutan di Indonesia 5

Hutan Tanaman Industri 7

Ketahanan Pangan 8

Usahatani 9

Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan 10 Konflik Perambahan Hutan 12

Agroforestri 13

Padi 15

Acacia mangium 16

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

17

Areal Kerja IUPHHK 17

Kondisi Vegetasi 21

4 METODE PENELITIAN

21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Alat dan Bahan 22

Teknik Pengambilan Contoh 22

Analisis Data 23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 23

Jumlah Penduduk, Kebutuhan Pangan dan Pertumbuhannya 23 Potensi Konflik dan Ancaman Perambahan 29 Tahapan Budidaya Padi Gogo di Pulau Laut 32 Produksi Padi Sistim Tumpangsari dan Ladang Berpindah 35 Pola Kemitraan Pada Tumpangsari 36 Tantangan Pengelolaan Hutan Tanaman Pulau Laut Pola

(13)

6 SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

Saran 42

DAFTAR PUSTAKA

(14)

DAFTAR TABEL

1 Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan 5 2 Perkembangan produksi padi nasional 9 3 Kelas lereng areal IUPHHK-HT PT Inhutani II Pulau Laut 19 4 Kelas lereng di areal IUPHHK-HA PT. INHUTANI II Pulau Laut 19 5 Kondisi topografi areal kerja IUPHHK-PT. Inhutani II Unit Senakin 20 6 Keadaan lokasi penelitian 22 7 Jenis, teknik pengumpulan dan analisis data 23 8 Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Kotabaru 24 9 Jumlah penduduk Kotabaru di Pulau Laut 24 10 Profil penduduk di sekitar konsesi areal kerja 25 11 Neraca bahan pangan padi Kotabaru tahun 2011 25 12 Produksi padi di Kotabaru tahun 2008-2011 26 13 Proyeksi jumlah rumah tangga, penduduk, dan kebutuhan pangan 26 14 Proyeksi produksi beras di Kabupaten Kotabaru dan Kecamatan di

Pulau Laut 27

15 Neraca bahan pangan beras Kabupaten Kotabaru 27 16 Proyeksi jumlah rumah tangga, penduduk, dan kebutuhan pangan beras di Pulau Laut 28 17 Neraca bahan pangan beras Pulau Laut Kabupaten Kotabaru 28 18 Luas perambahan areal kerja IUPHHK-HT Pulau Laut 31 19 Tumpang tindih perizinan di areal kerja IUPHHK 31 20 Jadwal penanaman tumpangsari/padi gogo 33 21 Data peserta tumpangsari di Pulau Laut 34 22 Jarak peserta tumpangsari dari hutan dan dari lokasi tumpangsari 34 23 Status pengerjaan lahan peserta tumpangsari 34 24 Produksi padi tumpangsari dan ladang berpindah 35 25 Biaya produksi padi tumpangsari 37 26 Perkiraan nilai tambah pemrosesan beras 39 27 Pemanfaatan produksi, kendala, harapan peserta tumpangsari 39 28 Pertumbuhan tanaman pokok Acacia mangium pada lahan

tumpangsari dan non tumpangsari 40

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 3

2 Luas hutan Indonesia 5

3 Luas deforestasi hutan Indonesia 2000-2009 6 4 Bagan tata ruang IUPHHK hutan tanaman 7 5 Kombinasi kegiatan kehutanan, pertanian dan peternakan 14

6 Padi 15

(15)

13 Proyeksi produksi padi di Kabupaten Kotabaru dan Pulau Laut 27 14 Perambahan area IUPHHK-HT Pulau Laut 30 15 Perizinan kebun di sekitar IUPHHK-HT Pulau Laut 32 16 Distribusi curah hujan dan hari hujan di Pulau Laut tahun 2012 38

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta IUPHHK-HT Pulau Laut dan IUPHHK-HA Pulau Laut 46

2 Peta IUPHHK-HT Senakin 47

3 Peta sebaran perambahan dan pembangunan hutan tanaman 48 4 Peta sebaran desa dan indikasi klaim masyarakat 49 5 Dokumentasi ladang berpindah dan tumpangsari 50 6 Curah hujan dan hari hujan bulanan di Pulau Laut 2008-2012 52

7 Uji t produksi padi 53

8 Uji ANOVA produksi padi 57

9 Uji t volume tegakan 58

(16)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan dan ekosistemnya merupakan sumber bagi pemenuhan energi dan kebutuhan bahan makanan baik hewani maupun nabati. Dari sisi ruang, hutan

dikonotasikan sebagai sumber bagi perluasan lahan kepentingan sektor lain seperti: pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain–lain. Di sisi lain bahwa fungsi hutan sangat penting bagi kehidupan baik dari sisi lingkungan, pemenuhan produk-produk hasil hutan (baik kayu maupun non kayu), produk jasa lingkungan, seperti tata air dan pengendali iklim. Oleh karena posisinya yang sangat strategis tersebut banyak kepentingan yang terlibat dan bersinggungan dengan hutan. Secara garis besar fungsi hutan mencakup ekonomi, sosial, dan ekologi.

Pengelolaan hutan salah satunya berbentuk pemanfaatan hutan. Izin pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan produksi, berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dengan periode konsesi selama 60 tahun dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) dengan periode konsesi 45 tahun. Pada prinsipnya dalam pemanfaatan hasil hutan kayu pada IUPHHK-HT dilaksanakan sistim silvikultur tebang habis, yaitu pemanfaatan/ pemanenan kayu dengan menebang habis hasil tanaman hutan untuk kemudian ditanam kembali pada rotasi berikutnya.

Dengan semakin bertambahnya penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan lahan baik untuk pertanian, perkebunan, infrastruktur maupun kepentingan lain seperti pertambangan menyebabkan deforestasi atau degradasi hutan. Persaingan untuk memperoleh lahan semakin meningkat terutama adanya ekspansi besar-besaran bidang perkebunan, khususnya kelapa sawit. Kondisi tersebut memicu terjadinya perambahan hutan.

Laju deforestasi hutan Indonesia pada tahun 2003-2006 per tahun mencapai 1 174 068 hektar yang meliputi hutan primer seluas 76 407 hektar, hutan sekunder seluas 979 293 hektar dan hutan lainnya seluas 118 367 hektar. Pada tahun yang sama laju deforestasi di Provinsi Kalimantan Selatan masing-

masing di hutan primer, hutan sekunder dan hutan lainnya seluas 280 hektar, 6 397 hektar, dan 2 132 hektar (Ditjen Planologi 2009).

Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan masyarakat sekitar dan di dalam hutan pada umumnya melaksanakan kegiatan bercocok tanam dengan membuka hutan untuk perladangan. Sistim ini dilakukan dengan membuka hutan untuk kemudian ditanami, terutama tanaman pangan dan setelah panen, akan ditinggalkan (diberokan) beberapa tahun untuk kemudian kembali dibuka untuk ladang. Desakan kepentingan lahan yang meningkat menyebabkan semakin berkurangnya areal hutan untuk kegiatan perladangan. Hal ini mendorong rotasi pemanfaatan lahan hutan untuk perladangan semakin pendek dengan jangka waktu bero yang singkat. Hal ini dalam skala besar akan menimbulkan degradasi lahan hutan.

(17)

menjadi kegiatan umum di Jawa. Hal tersebut tidak demikian dengan di luar Jawa. Pada umumya para peladang lebih suka membuka hutan baru untuk berladang.

1.2 Perumusan Masalah

Kebutuhan pangan terutama masyarakat di sekitar hutan dan di dalam hutan merupakan hal yang pokok. Kebiasaan penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan pangan (subsisten) dengan sistim perladangan berpindah masih menjadi tradisi dengan cara membuka hutan. Dengan demikian tetap diperlukan lahan untuk bercocok tanam tanaman pangan. Di satu sisi terdapat lahan hutan siap tanam secara kontinyu yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan.

Beberapa permasalahan yang dihadapi di Pulau Laut Kabupaten Kotabaru dalam pengelolaan hutan dan pemenuhan bahan pokok beras yang terjadi saat ini adalah : (1) peningkatan jumlah penduduk, (2) kebutuhan sumber bahan pangan (beras) yang makin tinggi, (3) areal hutan sebagai tempat bercocok tanam tanaman pangan yang semakin menyempit sehingga kesempatan berladang dan masa bero semakin pendek, (4) perambahan hutan dengan menebang pohon mempunyai dampak negatif bagi lingkungan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana mendorong minat masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan potensi areal lahan hutan tanaman dengan pola kemitraan

2. Bagaimana struktur biaya dan hasil kegiatan agroforestri (tumpangsari tanaman pangan) di areal hutan tanaman

3. Seberapa besar potensi lahan hutan tanaman dapat menunjang penyediaan tanaman pangan

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menggali potensi lahan hutan untuk tanaman pangan di lahan hutan tanaman, sehingga dapat dicapai produktivitas yang tinggi dan bermanfaat bagi masyarakat.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis seberapa jauh perambahan hutan yang terjadi di lokasi penelitian, ancaman perambahan hutan dan hambatan-hambatan utama rendahnya minat masyarakat untuk penanaman tanaman pangan di hutan tanaman

2. Menghitung biaya produksi dan pendapatan tumpangsari di hutan tanaman 3. Menghitung potensi lahan hutan tanaman untuk tanaman pangan

1.4 Kerangka Pemikiran

(18)

bahan baku kayu bulat (Bahan Baku Serpih) salah satunya adalah dengan melaksanakan pembangunan hutan tanaman industri. Pembangunan hutan tanaman industri ini dilaksanakan pada kawasan hutan produksi melalui perizinan berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman.

Dengan adanya konsesi/IUPHHK-HT maka sering terjadi konflik lahan antara perusahaan pemegang izin dengan masyarakat sekitar dalam pemanfaatan lahan hutan. Di satu sisi masyarakat memerlukan lahan untuk bercocok tanam, khususnya tanaman pangan padi, di sisi lain pemegang izin memerlukan lahan untuk tanaman hutan.

Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas lahan hutan adalah melalui pengaturan pemanfaatan lahan. Pengaturan pemanfaatan lahan tersebut melalui pemanfaatan lahan hutan secara campuran antara tanaman hutan dan tanaman pangan, terutama dengan pemanfaatan/ pengaturan jarak tanam dan umur pohon. Dalam pengelolaan hutan tanaman lestari, selalu harus tersedia tegakan siap tebang pada setiap tahun yang sekaligus merupakan lahan siap tanam. Lahan siap tanam ini merupakan areal yang potensial bagi tanaman pangan. Peluang pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian (lahan kering) diharapkan dapat mengurangi atau mencegah pembukaan hutan untuk perladangan. Pelaksanaan tanaman campuran tersebut (agroforestri) diharapkan tersedia lahan untuk tanaman pangan bagi masyarakat dan fungsi hutan produksi tetap terjaga, serta pengelolaan hutan dalam rangka penyediaan bahan baku kayu bulat tetap terjamin. Bagan Kerangka Pemikiran disajikan pada Gambar 1

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan

a. Tersedianya areal untuk berusaha/ bercocok tanam tanpa membuka hutan alam baru

b. Terpenuhinya bahan pangan

2. Bagi Pemegang Izin Usaha (IUPHHK) a. Menurunkan konflik sosial

b. Meningkatnya pertumbuhan tegakan hutan tanaman c. Mencegah adanya perambahan hutan

3. Bagi Pemerintah

a. Mencegah terjadinya pembukaan lahan hutan baru sehingga mengurangi degradasi hutan

b. Mendukung program swasembada pangan/ ketahanan pangan c. Tercapainya program ekstensifikasi tanpa mengubah fungsi hutan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Hutan di Indonesia

Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa kekayaan sumber daya alam yang melimpah baik berupa sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) seperti bahan tambang, bahan bakar fosil/minyak bumi maupun sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti hutan. Hutan dan ekosistimnya merupakan sumber bagi pemenuhan energi (kebutuhan bahan makanan) baik hewani maupun nabati, perlindungan, sandang, papan dan sebagainya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sesuai Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hutan dibedakan berdasarkan fungsi pokoknya sebagai Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi:

a. Hutan Konservasi, yaitu merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, terdiri atas Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)

b. Hutan Lindung (HL), yaitu merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah

(20)

Luas kawasan hutan di Indonesia kurang lebih 133 juta hektar, 31% lebih diantaranya tidak bervegetasi hutan. Luas tersebut berupa hutan dan non hutan sebagaimana Tabel 1 dan Gambar 2 (Kementerian Kehutanan 2011) Tabel 1 Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan (x1000 ha)

Penutupan KSA-KPA

HL HPT HP HPK Jumlah

Hutan 15 990.0 25 530.3 16 887.7 21 638.0 11 052.1

91 098.1 Non Hutan 4 096.2 6 045.5 5 452.3 15 088.9 11 682.5 42 365.4 Jumlah 20 086.2 31 575.8 22 340.1 36 726.9 22 734.6 133 463.5

KSA-KPA: Kawasan Suaka Alam-Kawasan Pelestarian Alam; HL: Hutan Lindung; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HP: Hutan produksi; HPK : Hutan yang dapat dikonversi

Gambar 2 Luas hutan Indonesia (Kementerian Kehutanan 2011).

(21)

Gambar 3 Luas deforestasi hutan Indonesia 2000-2009 (Sumargo et al. 2009).

2.2 Hutan Tanaman Industri

Salah satu bentuk izin pemanfaatan hutan adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Pengelolaan hutan tanaman secara lestari mencakup aspek produksi (ekonomi), ekologi, dan sosial. Pengelolaan hutan tanaman dilakukan dengan sistim tebang habis pada daur tertentu. Jenis yang ditanam pada hutan tanaman industri (HTI) guna memasok Bahan Baku Serpih (BBS) yang merupakan bahan baku untuk industri pulp dan kertas biasanya ditanam jenis fast growing species dengan daur 6-8 tahun. Salah satu jenis fast growing tersebut adalah Acacia mangium. Tujuan pembangunan hutan tanaman dengan jenis Acacia mangium dan jenis fast growing species lainnya adalah dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan memperbaiki kondisi hidroorologis lahan hutan. Oleh karena itu hutan tanaman industri terutama dialokasikan pada areal-areal yang tidak produktif seperti tanah terbuka, lahan alang-alang, semak belukar dan lahan non produktif lainnya. Pembangunan hutan tanaman dalam rangka meningkatkan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistim silvikultur intensif, sehingga diharapkan merupakan salah satu usaha untuk mengatasi degradasi hutan di samping dalam rangka memenuhi pasokan bahan baku industri. Handhadari et al. (2005) menyatakan bahwa dari beberapa hasil perhitungan pengusahaan kayu bulat dengan sistim HTI/ IUPHHK pada dasarnya dinilai layak usaha. Hutan tanaman harus dikelola berdasarkan azas kelestarian manfaat dan ekonomi.

(22)

revitalisasi industri kehutanan dengan kebutuhan industri pulp yang terus meningkat. Saat ini lebih dari 90% bahan baku pulp dan kertas berasal dari kayu, karena kayu mempunyai sifat-sifat yang unggul, antara lain rendemen yang tinggi, kandungan lignin rendah dan kekuatan pulp dan kertas yang dihasilkan tinggi (Mindawati 2007). Beberapa jenis kayu yang telah dikembangkan untuk bahan baku serat antara lain Acacia mangium, Eucalyptus sp, Gmelina arborea, dan Pinus merkusii.

Tata ruang pengelolaan hutan tanaman (IUPHHK-HT) diatur sebagai- mana Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/95 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri tanggal 5 Februari 1995, yaitu 70% untuk tanaman pokok, 10% tanaman unggulan setempat, 5% tanaman kehidupan (buah-buahan dan lain-lain), 10% kawasan lindung, dan 5% untuk sarana prasarana. Bagan fungsi hutan dan tata ruang IUPHHK-HT dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Bagan tata ruang IUPHHK hutan tanaman.

Prinsip pengelolaan hutan lestari harus disesuaikan dengan karakteristik hutan yang meliputi keterkaitan dengan industri hulu dan hilir. Pengelolaan hutan tidak semata-mata untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), tetapi dititikberatkan pada kewenangan daerah untuk mengelola hutan secara arif dan bijaksana. Selain peningkatan ekonomi secara makro hutan harus dilihat sebagai penyangga kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (Elvida & Doddy 2002)

Kawasan Hutan

Hutan Produksi Hutan Lindung

Hutan Konservasi

IUPHHK Hutan Alam

IUPHHK Hutan Tanaman

5% Sarana dan Prasarana 10% Kawasan Lindung

(23)

Menurut nilai penyerapan tenaga kerja sektor kehutanan termasuk yang terbesar sehingga arah kebijakan pemerintah diarahkan pada upaya kegiatan- kegiatan yang bersifat padat karya. Salah satunya adalah pembangunan hutan tanaman industri yang sangat efektif dalam usaha pengurangan pengangguran (Ulya & Syafrul 2006)

2.3 Ketahanan Pangan

Undang-undang No 7 tahun 1996 tentang Pangan, pasal 1 ayat (17) menyatakan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Jadi dalam hal ini paling tidak mencakup tiga komponen yaitu produksi dan ketersediaannya, jaminan akses terhadap pangan dan mutu, serta keamanan pangan.

Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang pangan No 7 tahun 1996 usaha peningkatan produksi pangan terus ditingkatkan. Salah satu pangan nasional yaitu beras. Beras menjadi makanan pokok bagi lebih dari 95% penduduk Indonesia dengan konsumsi per kapita sekitar 133 kg per tahun (Firdaus 2008). Peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman (IP). Ekstensifikasi ditekankan pada peningkatan luas areal panen.

Indonesia termasuk negara dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pada tahun 2011 jumlah penduduk mencapai 241 juta jiwa. Berdasar data BPS konsumsi beras per kapita pada tahun 2011 mencapai 139.15 kg per tahun. Pada 2011 beras merupakan sumber karbohidrat bagi 95% lebih penduduk, kondisi tersebut meningkat tajam dibanding tahun 1950 dimana beras merupakan 53% makanan pokok. Hal yang menarik meskipun terjadi surplus beras pemerintah tetap mengimpor beras, sebagai contoh pada 2011 terjadi impor beras sebesar 1.62 juta ton meskipun terjadi surplus 6 juta ton antara produksi dan konsumsi.

Adanya peningkatan kebutuhan lahan dari sektor non pertanian dan pertambahan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi pemukiman, sarana-prasarana lain, terutama di Jawa. Sebaliknya di luar Jawa, khususnya di Kalimantan yang menjadi basis ekstensifikasi terjadi peningkatan kebutuhan sektor non pertanian, seperti perkebunan dan pertambangan menyebabkan berkurangnya ruang untuk kegiatan bercocok tanam. Hal ini menyebabkan kegiatan pertanian, khususnya masyarakat di sekitar hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan (subsisten) melakukan ekstensifikasi di areal Kawasan Hutan.

Salah satu pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat sekitar hutan adalah dengan melakukan kegiatan pertanian perladangan berpindah di hutan. Namun dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan terbatasnya lahan karena adanya kepentingan kegiatan lain sebagaimana tersebut di atas, siklus perladangan semakin pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadinya degradasi hutan.

(24)

Disamping itu melibatkan lebih dari 21 juta keluarga petani atau sekitar 80 juta jiwa. Kondisi tersebut menyebabkan beras menjadi isu strategis yang dapat dijadikan komoditi politik sehingga dapat menjadi isu instabilitas. Perdebatan isu beras tidak hanya menyangkut ketersediaan, distribusi, konsumsi maupun kebijakan.

Usaha peningkatan produksi beras masih terfokus pada padi sawah yang saat ini masih menyisakan tugas pada kemantapan kestabilan produksi padi nasional dan ketahanan pangan. Di sisi lain terdapat potensi lahan kering yang masih cukup luas yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang produksi padi nasional. Lahan kering ini dapat dimanfaatkan untuk produksi padi nasional dengan ekstensifikasi melalui budidaya padi gogo. Termasuk di dalamnya adalah melalui budidaya padi gogo di lahan hutan dengan sistim tumpangsari.

Meskipun prediksi FAO bahwa peningkatan produksi pangan akan lebih besar dari prediksi pertumbuhan penduduk tetapi defisit stok pangan dunia yang menimbulkan krisis pangan dunia terjadi pada 2000, 2002, 2003, 2006, dan sejak 2007 (Tambunan 2008). Dunia menghadapi krisis pangan karena laju pertumbuhan penduduk yang tetap tinggi sementara disisi lain lahan yang tersedia untuk kegiatan pertanian terbatas atau pertumbuhannya semakin kecil.

Indonesia telah mencapai swasembada beras sejak tahun 2007 (Kementerian Pertanian 2009). Data menunjukkan bahwa adanya perubahan iklim mengakibatkan rata-rata luas lahan sawah terkena banjir dan kekeringan sebesar 29 743 ha dan 82 472 ha. Kondisi ini kecenderungan meningkat pada tahun–tahun mendatang sehingga akan berpengaruh pada produktivitas. Perkembangan produksi padi dari 2011 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Perkembangan produksi padi nasional

Uraian 2011 2012 2013

Luas Panen (ha) 13 203 643 13 445 524 13 451 211 Produktivitas (kw/ha) 49.80 51.36 51.50 Produksi (ton) 65 756 904 69 056 126 69 271 053

2.4 Usahatani

Petani harus membuat keputusan dari tahun ke tahun dalam hubungannya dengan ketidakpastian mengenai iklim, serangan hama dan penyakit, perkembangan harga, keragaan teknologi baru, dan sering pula status penggarapan lahan dan iklim politik di tempat berusaha. Oleh karena itu keputusan yang diambil petani kecil banyak mengandung resiko, ia tidak pernah yakin terhadap hasil yang diperoleh dari pilihannya (Soekartawi et al. 1986). Terdapat empat unsur pokok usahatani yaitu tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Peranan pendapatan dari usahatani dapat digolongkan menjadi pertanian subsisten atau tujuan untuk komersiil (Hernanto 1996).

(25)

dikenal pula dengan sebutan slash and burn agriculture yang mempunyai nilai R kurang dari 33. Nilai R menunjukkan perbandingan antara jumlah tahun suatu bidang tanah yang digunakan untuk usahatani dikalikan dengan 100 dan dibagi dengan lamanya siklus penggunaan tanah. Lamanya siklus penggunaan tanah adalah jumlah tahun bidang tanah tersebut digunakan untuk bercocok tanam ditambah dengan jumlah tahun bidang tanah tersebut tidak digunakan atau diberokan. Nilai R sama atau lebih besar dari 66 menunjukkan sistim usahatani menetap, sedangkan nilai R kurang dari 66 menunjukkan usahatani tidak menetap atau bera (Arsyad 2010).

2.5 Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan

Akses masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan masih terbatas pada pemanfaatan lahan untuk berladang (ladang berpindah). Akses pengelolaan hutan masih sulit dilaksanakan. Hal ini memunculkan stigma bahwa penduduk sekitar hutan identik dengan kemiskinan dan keterisolasian.

BPS (2012) menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia 15.2% atau 18 485 190 jiwa dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan Rp 229 226/

kapita/bulan.

Alkadri et al. (1999) membagi kemiskinan dalam tiga kategori: kemiskinan alami, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan alami adalah kemiskinan yang disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sebagai akibatnya sistim produksi beroperasi tidak optimal dengan efisiensi rendah. Masyarakat atau petani yang tinggal di lahan kering sulit air dan jauh dari akses informasi (terpencil) umumnya menghasilkan produksi yang rendah. Situasi bertambah buruk akibat hambatan geografis yang berat sehingga menciptakan halangan pasar dan misalokasi dalam investasi, komoditas, maupun sumberdaya lainnya. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Permasalahan kemiskinan struktural dapat dilihat melalui kepemilikan sumber daya lahan. Permintaan sektor industri mendorong konversi besar-besaran lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan.

Kebijakan makro hendaknya memberi peluang bagi investor di daerah yang “berat” dengan berbagai insentif dalam rangka mengurangi berbagai ketidakpastian dan resiko (Nugroho & Dahuri 2002). Sejalan dengan kemajuan pembangunan dengan mekanisme pasar yang telah mempengaruhi alokasi sumber daya, tercermin pergeseran tata nilai dan persepsi diantara anggota masyarakatnya dalam memandang alokasi sumber daya. Mereka yang tersisih dan tidak mampu memenuhi aspirasi atau kebutuhannya akan sulit dicegah untuk lebih jauh mengeksploitasi sumber daya alam sekitarnya. Upaya menarik kelompok ini untuk berpartisipasi dalam pembangunan mustahil dilakukan tanpa lebih dahulu memperbaiki kesejahteraannya.

(26)

Pokok-Pokok Agraria. Pada Pasal 2 dikemukakan bahwa negara diberi kewenangan untuk :

a. Mangatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa

Undang-undang No 5 tahun 1960 menggariskan terutama ketentuan-ketentuan pokok penggunaan lahan. Adapun pengelolaannya diserahkan kepada sektor-sektor yang terlibat langsung dengan pembangunan.

Penggunaan lahan merupakan hasil proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan, dan fasilitass publik (Nasoetion 1995, diacu dalam Nugroho & Dahuri 2002). Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut ketersediaan lahan. Namun karena ketersediaan lahan relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam hal ini respon terhadap lahan dapat berupa :

a. Ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan bersifat elastis

b. Intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh teknologi

c. Kombinasi keduanya

Secara mendasar Nugroho dan Dahuri (2002), bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan penggunaan lahan adalah sebagai berikut :

a. Lahan hendaknya digunakan untuk sebanyak-banyaknya kemakmuran rakyat pada saat sekarang dan masa mendatang

b. Lahan hendaknya digunakan seefektif dan seefisien mungkin untuk kesejahteraan masyarakat

c. Kebijakan penggunaan lahan hendaknya mampu mengakomodasi atau mempertemukan berbagai aktivitas pembangunan dan lokasi sesuai peruntukannya serta meminimalkan konflik kepentingan

Strategi pembangunan hutan harus mengakomodasi antara kepentingan terhadap hutan itu sendiri dan manusia. Kepentingan terhadap hutan teraktualisasikan pada tuntutan untuk terlestarikannya hutan dalam seluruh kemaslahatan ekologinya, sedangkan kepentingan manusia direfleksikan melalui terpenuhinya segala kebutuhan yang dapat diperoleh dari hutan yang lestari (Taufik 2001).

(27)

2.6 Konflik Perambahan Hutan

Kebijakan yang tidak sejalan dengan keinginan masyarakat sering menimbulkan konflik. Di satu sisi bahwa para pemegang konsesi menerima hak setelah membayar kewajiban kepada pemerintah berupa Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IIUPHHK) dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) dengan areal yang tidak clear and clean. Seolah-olah permasalahan sosial dibebankan kepada pemegang IUPHHK. Perbedaan sering muncul di lapangan baik dengan pemerintah daerah maupun masyarakat, antara lain menyangkut perbedaan persepsi. Peladang memperlakukan hutan sebagai areal ladang, yang mereka kelola secara turun temurun dan secara arif. Di sisi lain pemerintah menganggap sebagai pelanggaran, karena ladang itu termasuk dalam kawasan hutan negara. Hal ini juga terkait dengan perbedaan kepentingan. Negara tidak mau kawasan hutannya diokupasi oleh masyarakat, sedangkan masyarakat sangat membutuhkan kawasan itu untuk menopang kehidupannya (Yuliani et al. 2006). Sebaliknya banyak pula perijinan yang saling tumpang tindih karena tidak padunya kebijakan pemerintah pusat dan daerah akibat orientasi kepentingan masing-masing (Kartodihardjo 2006)

Konflik antar kepentingan merupakan persoalan klasik yang tidak pernah terselesaikan. Pemerintah di satu sisi menggunakan politik kekuasaan dan hukum positif untuk mematahkan argumen masyarakat, sebaliknya masyarakat memanfaatkan kekuatan sejarah, asal usul, kebudayaan dan hukum adat untuk mempertahankan hak-hak atas sumber agrarianya. Pemerintah berkepentingan menjaga dan memperluas hutan sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup serta kepentingan ekonomi yang lebih luas. Sebaliknya masyarakat berkepentingan dengan kegiatan pertanian (pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik pangan maupun sandang) serta ritus–ritus adat. Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia tidak hanya menghasilkan devisa melainkan juga konflik kehutanan selama tiga dasawarsa terakhir. Selama tahun 2000 terjadi 359 peristiwa konflik kehutanan. Angka tersebut 11 kali lebih banyak dari pada tahun 1997. Beralihnya fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berskala besar menyebabkan hilangnya lahan bagi kegiatan pertanian (Yuliani et al. 2006 ).

Konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan pemerintah dan atau dengan pemegang konsesi terutama dipicu oleh tumpangtindih penggunaan lahan hutan dan atau pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun hasil hutan non

kayu lainnya. Konflik dapat dibagi sebagai 1) konflik penggunaan lahan hutan, 2) konflik berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, 3) konflik atas

aktivitas dan 4) konflik menyangkut konservasi (Santoso 2008).

Adanya pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mendorong akses masyarakat untuk masuk ke dalam hutan dengan semakin sempitnya areal untuk bertani. Pada kurun waktu 10 tahun sejak 2000-2009 terjadi peningkatan kebun sawit 2 kali lipat dari 4.16 juta menjadi 8.25 juta hektar. Sampai dengan 2008 terdapat 2.8 juta kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan; 5.3 juta KP di Sumatera, Kalimantan, Papua. Hal tersebut dipicu pula oleh adanya okupasi ribuan pertambangan dan perkebunan (Sumargo et al. 2009).

(28)

masyarakat sekitar dan di dalam hutan pada umumnya bercocok tanam dengan membuka hutan untuk perladangan. Peningkatan jumlah penduduk adanya perubahan kawasan hutan untuk non kehutanan telah mempersempit luasan lahan perladangan sehingga masa bero diperpendek dan lahan terdegradasi. Adanya pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mendorong akses masyarakat untuk masuk ke dalam hutan dengan semakin sempitnya areal untuk bertani (Setyawan 2010). Menurut Subarna (2011) tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perambahan hutan dan luas garapan lahan hutan.

2.7 Agroforestri

Agroforestri tersusun atas dua kata agro (pertanian) dan forestri (kehutanan) merupakan penggabungan ilmu pertanian dan kehutanan, serta

memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan perdesaan, atau ruang untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Agroforestri merupakan sistim dan teknologi penggunaan lahan dengan pengaturan ruang dan waktu antara tanaman pohon dengan tanaman pangan berumur pendek dan atau pakan ternak serta terjadi interaksi ekonomi dan ekologi diantara unsur-unsurnya (Arifin et al. 2009).

Agroforestri merujuk pada sistim penggunaan lahan dimana pohon kayu ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian, padang rumput, atau peternakan. Pengaturan tersebut dapat berupa pengaturan waktu, seperti pengaturan rotasi maupun ruang. Adanya interaksi secara ekologis maupun ekonomis antara kayu dan komponen lain dalam agroforestri. Lebih jauh bahwa klasifikasi/ bentuk agroforestri sangat ditentukan oleh komponen penyusunnya seperti agrosilvikultur yang terdiri dari pohon dan tanaman pertanian, silvopastur mencakup pohon dan padang rumput/ternak (Young 2005).

Agroforestri merupakan ekosistim buatan yang menggabungkan kedua unit ekosistim hutan dan pertanian/perikanan dan peternakan melalui budidaya yang memasukkan unsur ekosistim tersebut ke dalam ruang dan waktu dalam ekosistim hutan (Butarbutar 2009).

Agroforestri dapat mengurangi tekanan terhadap hutan jika dapat mengurangi resiko lingkungan dan ekonomi bagi petani. Pertanian, khususnya yang sangat tergantung pada curah hujan sangat beresiko dan pertimbangan resiko ditanggung sendiri oleh petani (Schroth et al. 2004). Oleh karena itu beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan agroforestri harus dipertimbangkan yang mencakup teknis seperti kesesuaian jenis antara tanaman pertanian dan kehutanan, model pencampuran apakah lahan pada saat yang sama atau pergiliran, sedangkan faktor non teknis antara lain sosial budaya, kebijakan, skala usaha, pemasaran, pembiayaan (Butarbutar 2009).

(29)

agroforestri yang dapat dikembangkan menjadi pendukung ketahanan pangan nasional dan sektor kehutanan dapat berperan langsung melalui pengembangan jenis pangan di sekitar hutan tanpa merubah fungsi kawasan hutan (Butarbutar 2009).

Agroforestri banyak dilakukan oleh petani di Indonesia karena merupakan teknik penggunaan lahan yang sangat cocok untuk dilakukan di lahan yang sempit dan tegalan (lahan kering). Selain produksinya yang kontinyu berupa produk non kayu sebagai hasil bulanan dan produk kayu sebagai hasil tahunan (Kusumedi et al. 2010). Suatu sistim usahatani atau penggunaan tanah yang mengintegrasikan tanaman pohon-pohonan dengan tanaman rendah merupakan sistim yang telah dipraktekkan sejak dahulu oleh para ahli di berbagai Negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Arsyad 2010).

Pada dasarnya agroforestri mempunyai tiga komponen pokok (Hairiah 2003) yaitu kehutanan, pertanian, dan peternakan, dimana masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai satu bentuk sistim penggunaan lahan. Penggabungan ketiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan, yaitu :

Agrisilvikultur : kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen pertanian

Agropastura : kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan

Silvopastura : kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen peternakan

Agrisilvopastura : kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen pertanian dan peternakan

Dari keempat tersebut yang termasuk agroforestri adalah agrisilvikultur, silvopastura, dan agrisilvopastura. Secara skematis dapat digambarkan sebagaimana Gambar 5.

(30)

bersamaan atau bergiliran pada suatu lokasi. Secara umum terdiri atas 4-5 komponen yang dikelola, yang dapat dikelompokkan menjadi agri-silvikultur, agrihortikultur, silvopastur, agrisilvopastur (Fanish & Priya 2013).

2.8 Padi

Padi termasuk dalam suku padi-padian atau poaceae. Terna semusim, berakar serabut, batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang daun sempurna dengan pelepah tegak, daun berbentuk lanset, warna hijau muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar, tertutupi oleh rambut yang pendek dan jarang. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Padi diduga berasal dari India atau Indocina dan masuk ke Indonesia dibawa oleh nenek moyang yang migrasi dari daratan Asia sekitar 1 500 SM. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia.

Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan.

Divisi : Magnoliophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Keluarga : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza

(31)

Beras merupakan makanan sumber karbohidrat yang utama di kebanyakan negara Asia. Negara-negara lain seperti di benua Eropa, Australia dan Amerika mengkonsumsi beras dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada negara Asia.

Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. Biasanya di daerah yang hanya bisa bercocok tanam padi gogo menggunakan model tumpangsari. Sistem tumpangsari yaitu dalam sekali tanam tidak hanya menanam padi, akan tetapi juga tanaman lain dalam satu lahan. Padi gogo biasanya di tumpangsari dengan jagung atau ketela pohon. Padi gogo sangat potensial ditanam di lahan kering, karena tidak begitu membutuhkan persyaratan yang khusus. Pada tanah-tanah marjinal yang tingkat kesuburannya rendah serta iklim yang agak kering padi gogo mampu tumbuh dan berproduksi baik.

2.9 Acacia mangium

Acacia mangium Willd, dikenal juga sebagai mangium, merupakan tanaman fast growing species yang secara luas dipergunakan dalam kehutanan sebagai tanaman hutan di kawasan Asia dan Pacifik. A.mangium mempunyai daya adaptasi yang baik pada kondisi tanah marjinal dan mempunyai sifat-sifat yang sesuai untuk bahan baku industri pulp dan kertas. Jenis ini dapat tumbuh baik pada tanah miskin mineral dan dapat pula tumbuh di tanah bekas kebakaran pada tanah ultisol, entisol. A. mangium dapat tumbuh pada tanah-tanah masam dengan pH serendah 4.2 dan tumbuh lebih baik pada tanah-tanah terbuka. A.mangium tumbuh baik pada kisaran kondisi tanah dan lingkungan yang relatif luas, bahkan di lokasi dengan kondisi asam dan tanah tandus, sehingga termasuk jenis pionir. Saat ini dengan semakin berkurangnya potensi kayu bulat hutan alam kayu A. mangium sudah mulai dipergunakan sebagai salah satu substitusi jenis kayu alam untuk bahan pertukangan. A. mangium dapat tumbuh mencapai tinggi 30 meter dan diameter dapat mencapai 60 cm. A. mangium secara alami tersebar di bagian timur laut Australia, Papua Nugini dan kepulauan Maluku (Krisnawati 2011).

A. mangium cukup dikenal di masyarakat Indonesia antara lain dengan nama kasia, kihia,dan akasia. Tinggi rata-rata 20 meter atau dapat mencapai 30 meter dan diameter dapat mencapai 40 cm, dapat tumbuh pada lahan miskin hara dan daerah dengan musim kemarau panjang. Jenis tanaman ini merupakan jenis yang disarankan untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri karena pertumbuhannya yang relatif cepat dan dapat tumbuh pada tanah yang miskin hara. Pada awalnya pemilihan jenis A. mangium adalah sebagai bahan pemenuhan kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas (Malik 2000).

(32)

Gambar 7 Tegakan Acacia mangium berumur 5 tahun.

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Areal Kerja IUPHHK

Letak Geografis dan Administrasi

Lokasi penelitian dilakukan di areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT Inhutani II di Pulau Laut Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Secara geografis terletak antara 116°02’0”-116°17’0” Bujur Timur dan 3°41’0”-3°58’15” Lintang Selatan. Sebagai pembanding terhadap kegiatan tumpangsari yang dilakukan pada kegiatan pembangunan hutan tanaman, dilakukan pengamatan perladangan berpindah yang dilakukan di hutan sekunder di Pulau Laut dengan koordinat geografis 116°01’12”-116°17’24” Bujur Timur dan 3°17’02”-3°40’48” Lintang Selatan dan di daratan Kalimantan dengan koordinat geografis 116°13’31”-116°23’13” Bujur Timur dan 2°39’09”-2°58’30” Lintang Selatan Kabupaten

(33)

Gambar 8 Peta lokasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu.

Iklim

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson tipe iklim di wilayah penelitian pada 3 lokasi tersebut termasuk tipe B dengan nilai Q yaitu rata-rata bulan kering dibagi rata-rata bulan basah dalam setahun 0,161.

Tanah

Jenis tanah berdasar data sekunder dari Rencana Kerja IUPHHK secara umum kondisi tanah terdiri dari tanah podsolik merah kuning.

Kelerengan

a. Hutan tanaman Pulau Laut

Areal kerja IUPHHK-HT PT Inhutani II Pulau Laut seluas 48.780 hektar. Lokasi penelitian pada hutan tanaman relatif datar dengan ketinggian

(34)

Tabel 3 Kelas lereng areal IUPHHK-HT PT Inhutani II Pulau Laut Kelas lereng Fisiografi Luas

ha % A (0-8%) Datar

48 233

99.0 B (8-15%) Landai 487 1.0 C (15-25%) Agak curam - - Jumlah 48 720 100.0

Gambar 9 Peta topografi/ketinggian areal IUPHHK-HT Pulau Laut b. Hutan alam Pulau Laut

Areal kerja IUPHHK-HA PT. INHUTANI II Pulau Laut seluas 40.950 hektar, sebagian besar bertopografi datar. Rincian kondisi kelerengan disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 10.

Tabel 4 Kelas lereng di areal IUPHHK-HA PT. INHUTANI II Pulau Laut Kelas lereng Fisiografi Luas

ha % A (0 – 8%) Datar

32 215

(35)

Gambar 10 Peta topografi/ketinggian areal kerja IUPHHK-HA Pulau Laut c. Hutan Senakin

Areal kerja IUPHHK PT. Inhutani II Unit Senakin seluas 30.730 ha terletak pada ketinggian antara 1-100 m dpl. Topografi areal kerja disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 11.

Tabel 5 Kondisi Topografi Areal Kerja IUPHHK- PT. Unit II Unit Senakin Kelas lereng Fisiografi Luas

ha % A (0 – 8%) Datar

6 485

21.1 B (9 – 15%) Landai 8 439 27.5 C (16 – 25%) Agak curam 6 770 22.0 D (26 – 40%) Curam 9 036 29.4

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 3  Luas deforestasi hutan Indonesia 2000-2009 (Sumargo et al. 2009). 2.2 Hutan Tanaman Industri
Gambar 4  Bagan tata ruang IUPHHK hutan tanaman.
Gambar 5  Kombinasi kegiatan kehutanan, pertanian dan peternakan.  Ada  beberapa  definisi  agrosforestri,  tetapi  pada  prinsipnya  bahwa  agroforestri  merupakan  sistim  penggunaan  lahan  yang  meliputi  pohon  dan  tanaman  semusim/pertanian,  rerump
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan peningkatan aktivitas fisik, mental dan emosional pembelajaran siswa dalam studi ilmu alam .Ini menggunakan metode

as a social phenomenom ). Menurut Shuterland, kriminologi mencakup proses pembuatan hukum. Perbuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Paul

mendapatkan hasil penelitian yang valid. 173) “valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.” Hal ini berarti bahwa

Terhadap pendatang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47 Peraturan Daerah ini, Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur berhak melakukan upaya

Kegiatan Usaha Pertanian, Perdagangan Umum, Pengangkutan, Perindustrian dan Jasa Atau Pelayanan Jumlah Saham yang ditawarkan 240.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai

Upaya memperbaiki dan mengembangkan kota membutuhkan keseimbangan antara tingkat pelayanan yang ingin diwujudkan dengan tingkat kebutuhan dari masyarakat pengguna

Lembu kerbau yang akan dipindahkan untuk tujuan pembiakan atau sembelih di dalam negeri lain, sera lembu kerbau dari gerompok tersebut hendaklah diuji dengan

1) Memberikan penjelasan pelaksanaan penelitian kepada responden. 2) Mengumpulkan responden dan memberikan penjelasan tujuan, risiko, dan manfaat penelitian. 3) Meminta