• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Komunikasi

2.2.1.5 Pola Komunikasi

2.2.1.5.1 Pola Komunikasi Keluarga

Kata pola komunikasi dibangun oleh dua suku kata yaitu pola dan komunikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola ―berarti bentuk (struktur) yang tetap‖. Sedangkan dalam kamus Ilmiah Populer artinya adalah

―model,contoh,pedoman dan rancangan‖. Pola dalam komunikasi ini dapat dimaknai atau diartikan sebagai bentuk, pedoman, rancangan.

Pola komunikasi adalah suatu gambaran yang sederhana dari proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto, 2005: 27). Pola komunikasi identik dengan dengan proses komunikasi, karena pola komunikasi merupakan rangkaian dari aktivitas menyampaikan pesan sehingga diperoleh feedback dari penerimaan pesan. Berdasarkan hal proses komunikasi, akan timbul pola, model, bentuk dan juga bagian-bagian kecil yang berkaitan erat dengan proses komunikasi (Efendy, 1993: 33)

Menurut Friedman, 1998 komunikasi keluarga didefenisikan sebagai suatu proses simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga. Pola komunikasi keluarga ada dua, yaitu pola komunikasi keluaraga fungsional dan pola komunikasi keluarga disfungsional.

(Friedman:1998)

a. Pola Komunikasi Keluarga Fungsional

Komunikasi fungsional dipandang sebagai kunci bagi sebuah keluarga yang berhasil dan sehat, transmisi langsung, dan penyambutan terhadap pesan, baik tingkat instruksi maupun isi, dan juga kesesuaian antara tingkat printah/instruksi dan isi. Komunikasi fungsional dalam lingkungan keluarga menuntut bahwa maksud dan arti dari pengirim yang dikirim lewat saluran-saluran yang relatif jelas dan bahwa penerima pesan mempunyai suatu pemahaman terhadap arti dari pesan itu yang mirip dengan pengirim (Sell 1973, dalam Friedman 1998).

Komunikasi yang efektif akan mencocokkan arti, mencapai konsistensi, dan mencapai kesesuaian antara pesan yang diterima dan diharapkan. Dengan demikian komunikasi yang efektif dalam keluarga merupakan suatu proses definisi konstan dan redefinisi yang akan mencapai suatu kecocokan dari pesan tingkat instruksi dan isi. Baik pengirim dan penerima harus terlibat secara aktif dan mampu saling tukar-menukar posisi dengan menjadi pengirim maupun penerima selama proses berlangsungnya. Pola-pola komunikasi dalam sistem keluarga mempunyai suatu pengaruh besar terhadap anggota individu.

Individualisasi, belajar tentang orang lain, perkembangan dan mempertahankan harga diri dan mampu membuat pilihan, semuanya tergantung kepada informasi yang masuk melewati para anggota keluarga. Sebuah keluarga yang fungsional menggunakan komunikasi untuk menciptakan suatu hubungan timbal balik yang bermanfaat. Interaksinya menyatakan adanya suatu toleransi dan memahami ketidaksempurnaan dan individualitas anggota. Dengan adanya suatu keterbukaan dan kejujuran yang cukup jelas, anggota keluarga mampu mengakui kebutuhan dan emosi satu sama lain. Pola-pola komunikasi dalam sebuah keluarga fungsional menunjukkan adanya penyambutan terhadap perbedaan, dan juga penilaian minimum dan kritik tidak realistis yang dilontarkan satu sama lain.

Penilaian terhadap perilaku individual diharuskan oleh tekanan tuntutan sosial eksternal atau perlunya sistem keluarga atau perkembangan pribadi, melahirkan penilaian yang sehat dalam keluarga secara keseluruhan. Komunikasi dalam keluarga yang sehat merupakan proses dua arah yang sangat dinamis. Pesan tidak semata- mata hanya dikirim dan diterima oleh seorang penerima dan pengirim. Akan tetapi, sifat dinamis dari komunikasi ini menciptakan interaksi fungsional yang kompleks dan tidak bisa diprediksi. Bahkan dalam keluarga yang paling sehat sekali pun, komunikasi banyak kali menjadi renggang dan problematis. Dalam keluarga fungsional, telah dicatat bahwa perasaan dari para anggota keluarga merupakan ekspresi yang diperbolehkan. Ciri pertama dari keluarga sehat adalah komunikasi yang jelas dan kemampuan mendengar satu sama lain. Komunikasi sangat penting bagi kedekatan hubungan agar berkembang dan terpelihara. Kemampuan anggota keluarga untuk mengenal dan memberi respon terhadap peran-peran non verbal, diidentifikasi sebagai suatu atribut penting keluarga sehat (Curran, 1983 dalam Friedman, 1998).

Selanjutnya Friedman (2003) menyebutkan bahwa karakteristik pola komunikasi keluarga fungsional terdiri dari :

 Komunikasi emosional. Komunikasi ini berkaitan dengan ekspresi dari berbagai macam emosi dan perasaan yang dalam hal ini dapat dicontohkan seperti keluarga yang memiliki keterbukaan dengan

mengutarakan isi hati secara penuh. Ketika komunikasi terjadi, disanalah emosi masing-masing anggota keluarga akan terlihat.

 Area-area terbuka dari komunikasi dan membuka diri. Hal ini berarti bahwa komunikasi memerlukan suatu keterbukaan nilai, rasa saling menghormati dan membuka diri antar anggota keluarga dengan menyediakan waktu berinteraksi satu sama lain.

 Hirarki kekuasaan dan aturan-aturan keluarga. Minuchin dalam Friedman (2003) menyebutkan bahwa system keluarga tergantung dari hirarki kekuatan dimana komunikasi yang mengandung

―komando atau perintah‖ secara umum mengalir ke bawah dalam jaringan komunikasi keluarga. Dalam suatu keluarga terdapat hirarki kekuasaan dimana komunikasi yang ada mengandung perintah dari pihak yang berkuasa seperti orangtua.

 Konflik keluarga dan resolusi keluarga. Pada pola komunikasi keluarga fungsional, konflik yang terjadi dapat diselesaikan dengan cara terbuka dan komunikasi yang baik.

b. Pola Komunikasi Keluarga Disfungsional.

Komunikasi disfungsional didefenisikan sebagai suatu pengiriman dan penerimaan isi dan instruksi/perintah dari pesan yang tidak jelas antara isi dan perintah dari pesan. Salah satu faktor utama yang melahirkan pola-pola komunikasi yang tidak berfungsi (disfungsional) adanya harga diri yang rendah dari keluarga maupun anggota. Tiga nilai terkait yang terus menerus menghidupkan harga diri rendah adalah pemusatan pada diri sendiri, perlunya persetujuan total, dan kurangnya empati (Anderson,1972 dalam Friedman, 1998).

Pemusatan pada diri sendiri dicirikan dengan memfokuskan pada kebutuhan sendiri seseorang untuk mengesampingkan kebutuhan, perasaan dan perspektif orang lain. Jika individu ini harus memberi, mereka akan melakukannya dengan enggan dan dengan cara bermusuhan, defensif dan mengorbankan diri. Dengan

demikian tawar-menawar atau negosiasi secara efektif merupakan hal yang sulit, karena orang orang-orang memusatkan pada diri sendiri percaya bahwa mereka tidak bisa kehilangan sekecil apapun yang mereka harus berikan (Satir, 1983 dalam Friedman, 1998).

Nilai yang dimiliki keluarga menyangkut upaya memelihara persetujuan total dan menghindari tercetusnya konflik karena berbeda satu sama lain, meskipun apa yang secara tepat bahwa masing-masing berbeda yang mungkin sulit dijelaskan. Perbedaan dalam opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, keinginan, dan harapan-harapan mungkin dipandang sebagai suatu ancaman karena hal itu dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan sadar bahwa mereka adalah individuindividu yang berbeda.

Sebagai bagian dari proses sosialisasi, anggota keluarga mempelajari nilai-nilai yang sama dan cara-cara untuk berhubungan dan begitu pula memiliki kesulitan mengenal dan menginterpretasikan bermacam-macam perasaan dan pengalaman. Kurang empati saat anggota keluarga tidak dapat mengenal efek dari pikiran, perasaan dan perilaku mereka sendiri terhadap anggota keluarga lain dan dengan berpura-pura tidak punya perhatian sehingga individu ini boleh jadi mengalami perasaan tidak memiliki kekuatan, menciptakan iklim ketegangan, ketakutan dan/atau bersalah.

Dari sebab itu tahap ini membentuk sebuah gaya komunikasi yang membingungkan, kabur, tidak langsung, tidak jelas, dengan sikap bertahan bukan terbuka, jelas dan sopan. Komunikasi dari pengirim yang disfungsional bersifat defensif secara pasif maupun aktif dan sering kali menghapuskan kemungkinan untuk mencari umpan balik yang jelas dari penerima. Komunikasi yang tidak sehat pada pengirim dibagi dalam lima kategori; asumsi-asumsi, ungkapan perasaan-perasaan yang tidak jelas, ekspresi yang menghakimi, ketidakmampuan mendefenisikan kebutuhan- kebutuhan, komunikasi yang tidak cocok.

Jika penerimanya tidak berfungsi (disfungsional) maka akan terjadi kegagalan komunikasi karena pesan tidak diterima sebagai mana diharapkan, mengingat kegagalan penerima mendengar, menggunakan diskualifikasi,

memberikan respon secara efensif, gagal menggali pesan pengirim, gagal memvalidasi pesan. Proses yang disfungsional biasanya tidak jelas dan maksud dari komunikasi pun tidak jelas atau tersembunyi (Siboro:2012).

Menurut Friedman dalam Herlita (2012:34), adapun ciri pola komunikasi keluarga disfungsional adalah :

 Sindrom mengabaikan diri. Seseorang biasanya tidak mendengar pendapat orang lain dan tetap berpegang teguh kepada pendapatnya sendiri sehingga dapat menimbulkan terjadinya komunikasi disfungsional.

 Ketidakmampuan berfokus pada satu isu. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh keluarga hanya membahas masalah yang satu dengan masalah yang lain dan tidak ada upaya lanjut untuk menyelesaikan permasalahan tersebut satu persatu.

Area komunikasi tertutup. Friedman (2003) menjelaskan bahwa keluarga yang kurang fungsional sering memperlihatkan area komunikasi yang lebih tertutup. Terdapat aturan yang melarang untuk membahas satu topik yang tidak disetujui oleh keluarga, baik secara tertulis maupun tidak tertulis

Dokumen terkait