• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3 Gangguan Tidur pada Remaja

2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja

Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional.

Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu

cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur dan mengantuk di siang hari.

Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime

sleepiness (EDS), dan gangguan irama sirkadian (Liu dkk., 2008).

Remaja (usia 12-17 tahun) sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada

dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara

biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian yang cenderung akan terjadi

keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara fisiologis remaja memang

mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa faktor ekternal seperti

kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat malam hari membuat

keterlambatan fase tidur lebih berat. Demikin pula dengan kegiatan sosial remaja di

sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat menyebabkan kecenderungan

remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar (Lund dkk., 2010).

Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada

anak-anak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan

pergeseran irama sirkadian. Rata-rata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6

tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi

arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam

NREM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan

NREM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple sleep

latency test (MSLT). Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang mencerminkan adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebutuhan tidur remaja.

Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi keterlambatan fase

sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan secara progresif (Hoban,

2010).

Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para

menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik.

Penggunaan komputer atau internet, game video dan telepon, lazim digunakan oleh

remaja, mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang

hari. Paparan media elektronik seperti televisi (3 jam per hari), penggunaan fasilitas

internet (2,5 jam per hari) akan meningkatkan latensi tidur dan mengurangi waktu

tidur anak dan remaja (Hoban, 2010; Schochat dkk., 2010).

Pola tidur remaja dipengaruhi juga dengan erat oleh keterlambatan fase tidur

sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama sirkadian

terutama tipe delayed sleep phase (DSP) apabila tendensi ini mengakibatkan gangguan

memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut malam

dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan

terjadinya DSP (Hoban, 2010).

Kualitas tidur merupakan gambaran secara subjektif yang menjelaskan tentang

kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang

dialami selama periode tidur. Komponen-komponen kualitas tidur dapat diukur secara

objektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara subjektif

dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan PSQI

(Pilcher dkk., 1997).

Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk

kuantitas tidur, latensi tidur, efisiensi tidur, dan gangguan tidur. Penurunan kualitas

tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan,

tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup

dibandingkan dengan kuantitas tidur semata (Pilcher dkk., 1997).

Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin (2011), SD merupakan

gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur

tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun.

Gangguan ini dapat mempengaruhi aktivitas fungsi sistem saraf pusat yang selama

periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung

dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya

ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Dinges dkk.,

2011).

Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas

marah, sulit berkonsentrasi dan berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama

yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik

meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan

tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme

(Lumbantobing, 2008).

Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten

adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan

akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan

salah dan memilih kata yang salah (Lumbantobing, 2008).

Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak

sekolah yang tergolong remaja (usia 11-17) tahun menilai kualitas tidur dan

faktor-faktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu

PSQI dan Epworth Sleepness Scale (ESS) dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan,

depresi, kelelahan dan nyeri somatik. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa rata-rata

waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4% dari responden

penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk (skor

PSQI ≥8) berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif (kemarahan,

kecemasan, depresi, kelelahan dan ketegangan). Responden dengan kualitas tidur

buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi

kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara

lain mood (ketegangan dan stres), konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal tidur

dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi dan komputer atau internet

(Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012).

Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi

kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya

hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental

remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan

aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur

meningkat. Hiperaktivitas neuroendokrin berperan terhadap kondisi hyperarousal

remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola

kejadian-kejadian pemicu stres (Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012).

Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang

paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindrom DSP berupa adanya keterlambatan

waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya

pertentangan dengan aktivitas harian remaja (sekolah, pekerjaan dan jadwal aktivitas

lain). Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun

terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk

bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan sangat sulit

bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu

tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP

merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis

dan psikososial (Mindell dan Meltzer, 2008).

Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS.

Stadium tidur ini maksimal pada usia anak-anak dan menurun sekitar 40% saat dekade

kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan gelombang

delta dan teta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2 meningkat.

Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara signifikan.

Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi otak

Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi

sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7%-16% pada

populasi remaja (Tikotzky dan Sadeh, 2012).

Remaja dengan sindrom DSP mengalami SD secara kronik dan akan

menimbulkan “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk

bangun secara cepat dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini

merupakan salah satu faktor yang diperkirakan mendasari sindrom ini, disamping

adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja

dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan

sensitivitas terhadap siklus gelap terang (Tikotzky dan Sadeh, 2012).

Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut

Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan Sadeh (2012), insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur,

mempertahankan tidur atau tidur nonrestoratif yang berlangsung minimal satu bulan

dan menyebabkan gangguan harian dan distres yang signifikan. Suatu penelitian

berbasis populasi menunjukkan bahwa sekitar 10,7% remaja usia 13-16 tahun pernah

mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4% masih tetap mengalami insomnia.

Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling berpengaruh dari kualitas tidur yang

buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga berperan menimbulkan

Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindrom DSP, insomnia dan

sleep-related breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi hari (Calhoun dan Ford, 2007).