• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN PUSTAKA

B. Tinjauan Tentang Pondok Pesantren

10. Pola Pembelajaran

Untuk lebih memudahkan memahami pemetaan pola pembelajaran pesantren, klasifikasi pola pembelajaran tersebut dibutuhkan. Di antara klasifikasi pola yang dimaksud adalah :

a. Pembelajaran tradisional

Menurut mastuhu, pembelajaran tradisional pesantren terbagi menjadi 4 (empat) metode, yaitu :

1) Sorogan

Affandi Mochtar mendefinisikan metode sorogan adalah santri membacakan kitab kuning dihadapan kyai yang langsung menyaksikan keabsahan bacaannya, baik konteks makna maupun bahasa (nahwu dan shorof). Pada kesempatan yang lain, ada

62

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, (Yogjakarta : LKiS,, 2010), cet.III, hlm. 169-174

63

Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, (Yogjakarta : Pustaka Pesantren, 2006), cet. I, hlm. 2.

juga yang menyebut metode semacam ini sebagai metode layanan individual (individual learning process) karena lebih mengedepankan kemampuan santri sedangkan kyai sendiri hanya menyimak sambil mengoreksi dan mengevaluasi bacaannya65 2) Bandongan (weton)

Bandongan atau biasa dikenal dengan wetonan adalah metode pengajian di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab yang saat itu dikaji dan santri menyimak kitab masing-masing sambil membuat catatan (ngabsahi/ ngesahi)66. Di kalangan pesantren, terutama yang klasik, memilki cara membaca tersendiri, yang dikenal dengan cara utawi iki iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammar (nahwu dan shorof) yang ketat67.

Sedangkan menurut M. Sulthon, mengartikan metode bandongan ini sebagai metode layanan kolektif (collective learning process). Kegiatan pembelajaran yang dimaksud berlangsung tanpa perjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat, dan biasanya hanya dengan memisahkan jenis kelamin para santri.68

3) Hafalan (Tahfidz)

Maksud metode hafalan di pesantren adalah santri diharuskan membaca dan menghafal teks-teks berbahasa Arab secara individual, guru atau kyai menjelaskan arti kata demi kata. Teks bahasa Arab yang dimaksud adalah teks-teks Arab yang berupa nadhom (sajak), seperti Alfiyah ibnu Malik, Awamil al-Jurjani, Imrithi (nahwu), Hidayat al-Shibyan (tajwid), dan lain sebagainya.

65 M. Sulthon & Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok, hlm. 6 66 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan, hlm. 70.

67 Affandi Mochtar, Tradisi Kitab, hlm. 223. 68

Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Umum”, dalam Sa’id Aqiel Siradj, Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet.I, hlm. 223.

4) Halaqoh (kupengan)

Halaqoh merupakan sebuah metode pembelajaran di mana kelompok santri duduk mengitari kyai dalam pengajian tersebut. Menurut Nur Cholis Madjid, sebagaimana dikutip oleh Djunaidatul Munawaroh menjelaskan secara teknisnya, kyai membacakan sebuah kitab dalam waktu tertentu, sementara santri membawa kitab yang sama sambil mendengarkan dan menyimak bacaan kyai, mencatat terjemahan dan keterangan kyai pada kitab itu yang disebut maknani, ngesahi, atau njenggoti. Pengajian seperti ini dilakukan secara bebas, tikat terikat pada absensi, lama belajar hingga tamatnya kitab yang dibaca.69

b. Pembaharuan pola pembelajaran 1) Mudzakaroh/ Musyawaroh/ Hiwar

Musyawaroh atau Mudzakaroh merupakan sebuah pertemuan ilmiah khusus membahas persoalan agama pada umumnya. Secara umum, metode jenis ini digunakan dalam dua tingkatan. Pertama, diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah agar terlatih untuk memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, dipimpin langsung oleh kyai, dimana hasil musyawarohnya diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam seminar. Sebagian pesantren untuk jenis yang kedua ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya.70

Ciri khas dari musyawaroh atau hiwar ini, adalah bahwa santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab (berbahasa Arab) yang sedang di pelajari. Dalam Hiwar terjadi proses kritik dan agumentasi (mujadalah) untuk memperkuat kesimpulan- kesimpulan yang diperoleh.

69

Djunaidatul Munawaroh, “Pembelajaran Kitab Kuning di Pesantren”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di

Indonesia, (Jakarta : PT Grasindo, 2001), hlm. 177

2) Majelis Ta’lim

Majelis ta’lim dapat diartikan sebagai suatu media penyampaian ajaran Islam secara umum dan terbuka. Diadakan secara berkala dan diikuti oleh lapisan masyarakat beserta para santri. Fungsi dari majelis ini diantaranya adalah sebagai bentuk komunikasi fungsional pesantren dalam mempengaruhi sistem nilai masyarakat.

Dalam perkembangan terakhir, tidak semua pesantren menyelenggarakan majelis ta’lim ini. Oleh karenanya, metode ini lebih tepatnya dikategorikan sebagai pembaharuan metode dalam fungsinya pesantren sebagai social control dan social engineering terhadap masyarakat.

3) Bahtsul Masa’il

Metode bahtsul masa’il lebih ditekankan pada pemecahan masa’il (masalah-masalah) dalam persoalan fiqh (hukum Islam atau furu`iyah). Metode ini bisa digambarkan sebagai bentuk kegiatan belajar mengajar dalam sebuah forum (biasanya di kelas atau masjid) yang dipandu oleh seorang pembimbing/guru dan diikuti oleh santri-santri yang dianggap sudah menguasai kitab- kitab tertentu untuk memecahkan permasalahan kontemporer di sekitar hukum-hukum fiqh (termasuk di dalamnya fiqh ibadah). Metode ini biasanya diterapkan untuk pengajaran santri-santri yang sudah senior, dimana para santri tersebut sudah dianggap mampu atau menguasi kitab-kitab yang menjadi rujukan masalah yang akan di bahas.71 4) Fathul Kutub

Metode fathul kutub di kebanyakan pesantren dilaksanakan untuk santri-santri senior yang sudah akan menyelesaikan pendidikan tingkat tertentu. Pada dasarnya metode ini adalah metode penugasan mencari rujukan (reference) terhadap beberapa topik dalam bidang ilmu tertentu (fiqh, aqidah, tafsir, hadits, dll.).

5) Muqoronah

Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, faham (madzhab), metode, maupun perbandingan kitab. Metode muqoronah akhirnya berkembang pada perbandingan ajaran-ajaran agama. Untuk model metode muqoronah ajaran-ajaran agama biasanya berkembang di bangku Perguruan Tinggi Pondok Pesantren (Ma`had `Ali)72.

Bagi pesantren yang sudah menyelenggarakan pendidikan umum atau para santri yang bersekolah umum, namun menempat di pondok, sistem pembelajarannya di luar waktu sekolah, biasanya pada malam hari. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan jadwal sekolah dengan kegiatan harian di pesantren.

c. Sistem Penyelenggaraan Pendidikan

Faktor yang berperan dalam penyelenggaraan Pondok Pesantren antara lain yaitu manajemen sebagai faktor upaya, organisasi sebagai faktor sarana, dan administrasi sebagai faktor karsa.73 Ketiga faktor ini memberi arah dan perpaduan dalam merumuskan, mengendalikan penyelenggaraan, mengawasi serta menilai pelaksanaan tata tertib dalam usaha menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang sesuai dengan tujuan Pondok Pesantren.

Dalam mengelola pondok sebagai suatu lembaga pendidikan, peran Kyai sangat besar dalam menentukan tujuan dan kegiatan yang harus dilakukan, namun hal itu dilakukan dengan pembagian tugas meskipun tidak tertulis yang biasanya diberikan pada keluarga kyai sendiri. Sementara itu dalam membantu mengkoordinasikan kegiatan pendidikan para santri, biasanya ada diantara santri senior yang diberi tanggungjawab untuk mengerjakannya.

Penyelenggaraan pendidikan pesantren pada umumnya didukung oleh tenaga pendidik dan tenaga kependidikan pondok yang terdiri

72 Ibid 16

dari kyai, guru/ ustadz dalam berbagai funun (bidang-bidang ilmu) baik itu pelajaran maupun pengkajian kitab, pengurus pondok, pimpinan unit-unit kegiatan daan tenaga kesekretariatan. Dalam kesemuaan bidang, peran kyai sangat strategis dalam menjaga integritas pesantren. Dengan penyelenggaraan semacam ini, pesantren pun berkembang sampai sekarang ini.

Namun, sejarah mencatat pada paruh abad ke-20, dunia pesantren dikejutkan oleh dorongan pemerintah Belanda yang mencoba memasukkan pendidikan ala barat dengan sistem sekolah. Respon positif mencoba ditunjukkan oleh para pemimpin Islam, namun bukan menganjurkan untuk mengikuti model ala Barat tersebut, melainkan memperkenalkan sistem pendidikan berkelas (klasikal) dengan nama “madrasah” (berbeda dengan sekolah dalam beberapa hal). Namun, tak dapat dipungkiri ada sebagian pondok pesantren kala itu justru memasukkan pendidikan umum ke dalam kurikulum pesantren. Diantaranya pondok pesantren Tebu Ireng Jombang, Pondok modern Darussalam Gontor, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, secara umum pesantren-pesantren tetap bertahan dengan karakteristiknya yang khas.

C. Dasar dan Tujuan Pendidikan di Pondok Pesantren

Dokumen terkait