• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBUDAYAAN SUKU DAYAK SIANG-MURUNG

2.4 Pola Tempat Tinggal

Jenis rumah dalam masyarakat Dirung Bakung adalah jenis rumah panggung, seperti yang terlihat pada Gambar 2.3. Rumah panggung pada masyarakat Desa Dirung Bakung yang mayoritas penduduknya adalah suku Dayak Siang ini berbahan baku kayu. Kayu yang biasa dipakai untuk membuat rumah adalah kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri) dan kayu maranti (Shorea sp.). Kayu ulin biasanya dipakai sebagai tiang penyangga rumah dan kuda­kuda rumah, sedangkan kayu maranti biasanya dipakai sebagai dinding rumah. Kayu ulin diperoleh masyarakat dengan cara membeli di Kota Puruk Cahu. Keberadaan kayu ini yang semakin menipis membuat kayu tersebut semakin susah dicari dan masyarakat harus membelinya. Sementara kayu maranti masih bisa dicari di hutan Desa Dirung Bakung, tetapi ada juga masyarakat yang membelinya dari kota karena membawa kayu dari hutan menuju pemukiman lebih sulit.

Atap rumah biasanya menggunakan seng, namun ada juga yang menggunakan sirap. Sirap adalah kayu yang dipotong tipis­tipis dengan ukuran panjang kurang lebih satu jengkal dan lebar kurang lebih 10 cm. Sirap biasanya dibuat dari kayu ulin karena kayu ini kuat dan tahan terhadap air. Sirap dipasang dengan cara disusun berjajar. Lebih banyak masyarakat yang memilih atap dari seng daripada sirap karena jika menggunakan sirap, biaya yang dikeluarkan lebih mahal dan pemasangannya lebih sulit daripada seng.

Menurut salah seorang informan (A), membangun sebuah rumah biasanya dilakukan secara bergotong­royong, meskipun ada pula yang

menggunakan jasa tukang dengan sistem borongan. Pada sistem bo rong­ an, pemilik tanah tinggal menyediakan sejumlah uang dan tukang akan membuatkan rumah, menurut istilah masyarakat pemilik rumah “tahu

jadi”. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat rumah kurang lebih enam

juta rupiah, tergantung pada ukuran dan bentuk rumahnya.

“Banyak di sini orangnya, ini bikin sendiri nanti ‘kan ada teman. Ini maranti, kalo yang ini ulin. Satu bulan selesai. Susah di sini ini cari kayu, hutan jauh, jauh kami dari hutan. Ada yang paling dekat karet, tapi banyak getah dia. Kayu maranti sekarang susah carinya.”

Luas bangunan rumah panggung dalam masyarakat Dirung Bakung rata­rata 35 meter persegi. Pada umumnya, rumah tersebut memiliki tiga ruangan, yakni ruang tamu, kamar, dan dapur. Akan tetapi ada beberapa rumah yang memiliki dua ruangan saja, yakni ruang depan atau ruang

Gambar 2.3 Bentuk rumah etnis Dayak Siang­Murung. (Sumber: Dokumentasi Peneliti)

tamu dan ruang belakang yang dijadikan sebagai dapur. Pada rumah yang hanya memiliki dua ruangan, biasanya ruang tamu juga dijadikan sebagai kamar tidur, yang disekat menggunakan kain saja.

Dalam masyarakat Desa Dirung Bakung terdapat kepercayaan ter­ kait dengan bentuk rumah dan tata letak dapur dalam sebuah rumah. Masyarakat percaya bahwa kolong rumah atau jarak antara tanah dengan bangunan rumah merupakan tempat bernaungnya roh jahat atau yang disebut hantuen. Masyarakat Desa Dirung Bakung percaya bahwa hantuen tersebut bisa mengganggu ibu yang sedang hamil dan anak kecil, terlebih yang masih berusia 40 hari.

Pertanda bahwa seorang anak diganggu oleh hantuen di antaranya anak tersebut sering menangis, menangis terus­menerus dan tidak mau berhenti, disertai dengan demam. Masyarakat menyebutnya dengan istilah darom. Ciri lain adalah si anak tidak mau diberi makan dan minum. Sementara pada ibu hamil, hantuen akan mengganggu dengan cara me­ rasuki tubuh ibu hamil tersebut, kemudian memakan dan meminum darah si ibu hamil. Menurut masyarakat Desa Dirung Bakung, hantuen mengganggu ibu hamil karena darah ibu hamil berbau harum dan merupakan kesukaan bagi hantuen. Hal ini tidak bisa dilihat dengan mata dan hanya orang­orang yang memiliki kemampuan supranatural sajalah yang bisa melihatnya.

Untuk menghindari gangguan hantuen, masyarakat yang memiliki balita atau yang dalam keluarganya terdapat ibu hamil, setiap sore men­ jelang malam salah satu anggota keluarga membakar akar­akaran yang menghasilkan asap, lalu diletakkan di bawah atau kolong rumah untuk mengusir hantuen. Selain itu, masyarakat juga menyimpan jimat serta memasang ongui pada ibu hamil dan juga bayi. Ini merupakan tindakan protektif masyarakat Desa Dirung Bakung terhadap gangguan hantuen.

Kepercayaan lain terkait rumah panggung di Desa Dirung Bakung adalah mengenai tata letak dapur. Posisi dapur dalam sebuah rumah harus berada di tengah­tengah di bagian belakang rumah atau di samping bagian belakang rumah, dan harus menghadap ke air sungai yang mengalir di sekitar rumah tersebut. Jadi, jika sungai yang ada di belakang atau di dekat rumah itu mengalir dari utara menuju selatan, berarti dapur rumah masyarakat yang berada di dekat sungai tersebut harus berada di bagian belakang rumah yang berada di sebelah selatan. Masyarakat meyakini bahwa hal tersebut berfungsi untuk menghindari buah pali, yang dapat mendatangkan bahaya atau malapetaka bagi pemilik rumah. Contohnya,

dapat mendatangkan sakit, berkurangnya rezeki, atau persediaan makanan akan cepat habis sehingga pengeluaran keluarga meningkat.

Berbeda halnya dengan dapur, kamar mandi biasanya diletakkan di luar rumah, meskipun ada juga yang diletakkan di dalam rumah. Dalam masyarakat Desa Dirung Bakung tidak ada kepercayaan terkait dengan tata letak kamar mandi. Kamar mandi pada umumnya juga digunakan untuk melakukan aktivitas mencuci pakaian dan mencuci piring. Kamar mandi biasanya dibuat dengan cara menggali tanah dengan bentuk per­ segi, dengan kedalaman kurang lebih 0,5 hingga 1 meter dengan luas 1 meter persegi. Kemudian di atas lubang galian tersebut diberi papan kayu sebagai tempat meletakkan bak atau penampung air untuk mandi dan sebagai tempat untuk orang mandi. Air diperoleh dari dari sumber (sungai), yang dialirkan melalui pipa ke rumah­rumah masyarakat.

Gambar 2.4 Kamar mandi di luar rumah. (Sumber: Dokumentasi Peneliti)

Gambar 2.4 adalah gambar kamar mandi milik salah satu warga Desa Dirung Bakung, yang berada di luar rumah. Kamar mandi tersebut terbuka, tanpa dinding penutup, tanpa atap, dan juga tanpa penerangan. Sebagai penerangan, pemilik kamar mandi menggunakan lampu tempel. Kamar mandi tersebut juga digunakan untuk mencuci piring dan mencuci baju. Genangan air yang ada di bawah papan tersebut dipergunakan untuk merendam getah karet, sebelum dijual.