• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBUDAYAAN SUKU DAYAK SIANG-MURUNG

2.8 Praktek Keagamaan atau Kepercayaan Tradisional

Nilai-nilai Kaharingan yang menjadi keyakinan dan pedoman hidup sangat kuat mempengaruhi perilaku masyarakat Desa Dirung Bakung yang mayoritas menganut agama Kaharingan. Hal ini terbukti ketika mereka masih melaksanakan berbagai upacara yang berhubungan dengan nilai­ nilai Kaharingan. Upacara­upacara adat yang masih dilakukan hingga sekarang di antaranya sebagai berikut.

2.8.1 Upacara Adat Pernikahan

Masyarakat Desa Dirung Bakung suku Dayak Siang­Murung sangat menghargai dan menjunjung tinggi adat yang diberlakukan sejak zaman leluhur mereka. Salah satunya ialah dengan melaksanakan kewajiban per­ nikahan secara adat. Bagi mereka yang menganut agama di luar agama

Kaharingan¸ pelaksanaan pernikahan secara adat selalu didahulukan. Hal

itu mereka lakukan untuk menghargai leluhur. Misalnya, jika warga yang akan melangsungkan pernikahan beragama Kristen, terlebih dulu mereka akan melaksanakan kepenuhan hukum adat Dayak, yaitu melangsungkan pernikahan adat terlebih dulu, kemudian melangsungkan pemberkatan nikah di gereja.

Suasana pernikahan adat suku Dayak Siang­Murung sangat diwarnai dengan keramaian dan kemeriahan. Di sekitar halaman rumah tempat diadakannya pernikahan adat dipasangi banyak tenda sebagai tempat

berjualan dan bermain dadu gurak (permainan dadu yang biasanya di­ mainkan oleh masyarakat pada saat ada acara­acara tertentu, seperti pernikahan ataupun kematian). Tepat di samping rumah didirikan pandung, yaitu sebuah kurungan yang terbuat dari kayu, berukuran kurang lebih dua kali tiga meter persegi. Kurungan ini digunakan untuk mengurung hewan, dalam hal ini adalah babi, yang akan dikorbankan dalam upacara adat pernikahan. Sementara di bagian teras rumah diletakkan alat musik, seperti satu gong dan empat kankanung (gong kecil) yang digunakan sebagai musik pengiring dalam upacara adat pernikahan.

Sebelum upacara pernikahan adat dilaksanakan, terlebih dulu pihak keluarga akan melaksanakan adat nyurung kiso, yaitu penyerahan syarat-syarat palaku atau maskawin dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Sebagai tanda dimulainya nyurung kiso, gong pun dibunyikan. Di tengah­tengah ruangan rumah diletakkan beberapa persyaratan nyurung

kiso yang disebut palaku, yaitu kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh

pihak mempelai laki-laki. Persyaratan ini di antaranya ialah 1. piring kiso (piring putih polos),

2. tapih kiso (kain panjang bermotif), 3. satu buah gelang perak,

4. luhing kiso,

5. tabe kiso/apar (piring besar yang terbuat dari kuningan), 6. lima gram emas,

7. satu buah guci diuangkan sebesar Rp500.000,00 8. dua bujuh barang kuningan/alat untuk menakar beras, 9. 110 gantang padi,

10. satu buah Mandau

11. satu buah sangku diuangkan sebesar Rp300.000,00 12. batang palaku sebesar Rp10.000.000,00

13. uang kiso, satu kali jipen kali tiga sama dengan Rp300.000,00

Persyaratan-persyaratan adat di atas merupakan kewajiban adat yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga mempelai laki­laki kepada pihak keluarga mempelai perempuan. Semua bentuk persyaratan tersebut me­ rupakan ketentuan dari leluhur Dayak yang harus dipenuhi pada saat pelaksaan upacara adat pernikahan.

Setelah semua perlengkapan dan persyaratan adat dipersiapkan ma ka tibalah saatnya tokoh adat melaksanakan tugasnya. Masing­ma­ sing keluarga dari pihak laki­laki dan perempuan duduk menghadap ke

palaku. Kepala adat kemudian mulai membacakan doa dengan cara

“ngan dan”, yaitu menyanyikan doa atau mantra dengan bahasa sangiang sam bil memegang ayam di tangan kirinya, lalu mengibas­ngibaskan ayam tersebut ke arah kiri dan kanan tepat di atas kepala kedua mempelai. Ritual ini dimaksudkan untuk membuang sial atau hal­hal yang dapat mendatangkan bahaya. Setelah itu ayam dipegang dengan tangan kanan, yang artinya mendoakan agar kedua mempelai banyak rezeki, selain itu juga untuk mendatangkan kebaikan dalam rumah tangga mereka.

Selesai membacakan doa atas kedua mempelai, tiba saatnya para tamu dan keluarga memalas atau mendinginkan barang­barang palaku dengan mencelupkan tangannya ke telur dan mengoleskan pada barang­ barang palaku tersebut. Setelah itu kedua orang tua mempelai laki­laki dan perempuan berdiri bersama­sama dan mengangkat barang­barang palaku dengan kedua tangan mereka setinggi mungkin. Acara kemudian dilanjutkan dengan membicarakan hukum­hukum adat yang menyangkut barang palaku yang sudah terpenuhi dan belum terpenuhi, dan hal ini akan menjadi tanggung jawab pihak mempelai laki­laki. Apabila ada yang masing kurang maka hal tersebut akan menjadi tanggung jawab atau utang adat yang harus dilunasi oleh pihak mempelai laki­laki.

Sebagai acara penutup nyurung kiso, kedua belah pihak mempelai menari manasai bersama­sama mengelilingi barang­barang palaku. Kemudian dilanjutkan dengan menari manasai di luar rumah mengelilingi

pandung sambil meminum anding.

Setelah proses upacara adat pernikahan nyurung kiso telah dilalui, keesokan harinya dilanjutkan dengan puncak acara adat pernikahan. Beberapa anggota masyarakat mulai memainkan musik, yaitu gong dan

kankanung, sambil mengandan. Sementara itu keluarga dan para tamu

menari mengelilingi pandung. Mempelai perempuan yang mengenakan pakaian adat Dayak berwarna merah keluar dari rumah dan berjalan mengelilingi pandung dengan cara diarak. Dari kejauhan terlihat mempelai laki­laki bersama keluarga dan para tamu yang lain berjalan kaki menuju rumah mempelai perempuan. Mempelai laki­laki yang mengenakan pakaian adat Dayak berwarna merah berjalan perlahan-lahan menuju depan pintu rumah mempelai perempuan, dengan cara diarak. Namun sebelum mempelai laki­laki dan keluarganya masuk ke rumah dan ber­ temu dengan mempelai perempuan beserta keluarganya, terlebih dulu harus dilakukan lawang sekepeng, yakni gerakan menyerupai silat yang diiringi dengan musik gong. Di depan rumah telah dibuat hiasan seperti

pintu yang terbuat dari batang dan daun kelapa. Ada dua pintu, masing­ masing di tengahnya direntangkan benang dengan bunga yang terikat padanya. Kemudian, pihak mempelai laki-laki maupun perempuan harus menyiapkan masing­masing dua orang laki­laki untuk melakukan lawang

sekepeng atau silat khas Dayak.

Pada saat melakukan lawang sekepeng, penari harus memutuskan tali atau benang yang direntangkan di depan pintu tersebut. Dengan gerakan yang khas dan dengan diiringi oleh musik gong akhirnya tali tersebut putus. Hal tersebut menandakan mempelai laki­laki dan keluarganya dapat melalui rintangan yang pertama untuk bertemu mempelai perempuan. Setelah itu pihak keluarga laki­laki harus menuju tempat berikutnya, yakni ayah mempelai laki­laki harus memotong tali pengikat buah kelapa yang ditutup dengan kain. Setelah tali tersebut dipotong, buah kelapa kemudian harus dipecahkan dan diminum airnya oleh sang ayah.

Sambil melakukan ritual adat tersebut, kepada ayah mempelai laki-laki disuguhkan minuman anding dan diolesi bedak di wajahnya. Hal ini adalah kebiasaan suku Dayak Siang­Murung ketika sedang menyambut tamu kehormatan. Setelah kelapa tersebut pecah dan diminum airnya, ayah mempelai laki­laki harus memotong kayu yang berjejer di depannya sebanyak lima sampai enam kayu yang panjangnya kurang lebih enam puluh meter, dengan menggunakan Mandau. Barulah setelah itu mempelai laki­laki dan keluarganya diperbolehkan masuk bertemu dengan mempelai perempuan dan keluarganya.

Mempelai laki­laki beserta keluarganya disambut dengan ramah oleh keluarga mempelai perempuan, dan kemudian kedua mempelai diarak mengelilingi pandung. Di sana mempelai laki-laki dipertemukan dengan mempelai perempuan. Kemudian mereka bersama­sama berjalan mengelilingi pandung diiringi alunan musik dan tarian manasai yang dilakukan secara bersama­sama oleh para keluarga dan tamu undangan.

Selanjutnya kedua mempelai dibawa ke dalam rumah dan duduk di depan pintu rumah menghadap keluar atau secara simbolis yang diartikan menghadap ke arah matahari terbit, yang juga berarti menghadap ke sinar kehidupan. Selain itu juga menghadap ke arah matahari terbenam, yang diartikan segala bentuk kesialan, sakit­penyakit dan hal­hal yang buruk akan dibuang keluar dari kedua mempelai. Seperti layaknya matahari terbenam, demikianlah hal­hal yang buruk akan terbenam dari kehidupan kedua mempelai.

Mereka duduk dengan memegang batang sawang yang diletakkan di depan mereka, yang artinya untuk menguatkan dan mengokohkan kehidupan keluarga baru yang akan dibina oleh kedua mempelai, karena daun sawang dipercaya sebagai daun yang sakral bagi suku Dayak. Sementara itu, kepala adat berdiri di depan mereka memegang ayam jantan dan mengibas­ngibaskannya di atas mereka ke kanan dan ke kiri, sambil membaca doa dengan bahasa sangiang. Doa-doa tersebut berisi berbagai harapan agar kedua mempelai kelak hidup berbahagia dan berlimpah berkat serta terhindar dari hal-hal buruk.

2.8.1 Upacara Pakanan Batu atau Pakanan Sahur

Upacara pakanan batu atau pakanan sahur merupakan salah satu upacara yang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Dirung Bakung.

Pa-kanan berarti memberikan persembahan berupa sesajen kepada roh­roh

baik. Sementara sahur diartikan sebagai roh­roh baik yang diberi kekuasaan oleh Ranying Hatalla Langit untuk menjaga kehidupan manusia di pantai

danum kalunen. Jadi, pakanan sahur berarti upacara mempersembahkan

sesajen kepada roh-roh baik. Roh-roh baik tersebut dipercaya telah menjaga kehidupan masyarakat desa agar terhindar dari marabahaya dan sakit penyakit hingga kehidupan mereka damai dan tenteram serta dilimpahi rezeki. Oleh karena itu, setiap setahun sekali upacara pakanan

batu atau pakanan sahur selalu diadakan dengan mengumpulkan seluruh

masyarakat desa agar terlibat di dalamnya.

Upacara pakanan sahur merupakan bukti kuatnya nilai­nilai

Kaha-ringan berakar dalam kehidupan masyarakat Desa Dirung Bakung. Mes­

kipun pada umumnya upacara ini dilakukan oleh umat Kaharingan, namun memiliki tujuan yang menyangkut kepentingan orang banyak. Oleh karena itu, upacara pakanan sahur juga mengikutsertakan penganut agama lain di luar Kaharingan.

2.8.2 Bentuk-bentuk Tabu dalam Masyarakat

Praktik­praktik keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Dirung Bakung merupakan cara mereka untuk menghormati kebudayaan dan adat Dayak yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Selain itu, praktik­praktik keagamaan tersebut, seperti yang telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, merupakan cara mereka untuk membangun komunikasi dengan Yang Sakral. Dalam pemahaman mereka, Yang Sakral ialah apa yang mereka percayai sebagai roh­roh baik atau roh­roh leluhur itu sendiri.

Membangun komunikasi dengan yang sakral hanya bisa dilakukan melalui ritual­ritual tertentu yang masih mereka lakukan sampai sekarang. Untuk dapat berhubungan dengan Yang Sakral tersebut, ada berbagai macam bentuk tabu yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat Desa Dirung Bakung.

Pertama, tabu yang berhubungan dengan upacara kematian. Ketika suatu keluarga ada dalam suasana berkabung, khususnya keluarga inti dari orang yang meninggal, tidak diperbolehkan mengonsumsi makanan­ makanan tertentu selama 40 hari setelah kematian. Misalnya, mereka tidak boleh mengonsumsi sayur kacang, kalakai (sejenis tanaman paku yang bisa dijadikan sayur), terung, dan rebung. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila mereka makan makanan yang menjadi pantangan, hidup mereka kelak diibaratkan seperti tanaman terung dan rebung, yang memiliki serbuk­serbuk yang dapat menyebabkan gatal­gatal apa bila mengenai kulit manusia. Dengan kata lain, keluarga yang sedang berkabung tidak diperbolehkan makan makanan yang menurut kepercayaan mereka bisa mendatangkan keburukan atau hal­hal yang tidak baik bagi hidup mereka.

Selain tidak boleh mengonsumsi makanan tertentu, keluarga dan masyarakat yang akan datang melayat atau berjalan melewati depan ru mah duka, sebelumnya tidak boleh terkena serbuk padi. Khusus bagi keluarga yang berkabung, tidak boleh pergi ke kebun karet. Apabila ke­ tentuan­ketentuan tersebut dilanggar maka akan berakibat buruk, seperti terkena penyakit yang tidak bisa diobati secara medis.

Kedua, tabu yang berhubungan dengan upacara pernikahan. Setelah melangsungkan pernikahan, baik secara adat maupun agama, kedua mem pelai tidak diperbolehkan melakukan perjalanan jauh selama tiga hari atau bahkan seminggu setelah pernikahan. Apabila hal itu dilanggar maka akan mendatangkan malapetaka atas kedua mempelai tersebut.

Ketiga, tabu yang berhubungan dengan totem yang dimiliki oleh masya rakat. Sesuatu yang direpresentasikan dalam bentuk totem yaitu binatang, seperti rusa dan babi jantan. Karena ke­profan­an binatang terletak pada fungsinya sebagai jenis makanan maka kesakralan binatang totemik terletak pada larangan memakannya.

Larangan membunuh totem biasanya menjadi tambahan pada la­ rangan memakan. Beberapa dari sekelompok keluarga yang memiliki totem percaya bahwa mereka adalah keturunan totem tersebut. Misalnya, jika suatu keluarga memiliki totem yang direpresentasikan dengan binatang

rusa atau bajang (istilah dalam bahasa Dayak), mereka percaya bahwa mereka adalah keturunan rusa. Rusa tersebut dipercaya sebagai leluhur mereka yang pada zaman dulu kala pernah menolong kehidupan mereka. Apabila mereka membunuh atau memakan daging rusa maka mereka akan terkena pali, mengalami sakit penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara medis dan sering kali berujung pada kematian. Larangan ini tidak terbatas pada larangan memakan daging rusa, tetapi juga larangan untuk tidak menyentuh atau terkena darah daging rusa yang menjadi totem bagi mereka.

Begitu juga halnya dengan bentuk totem yang lain, seperti babi jan tan. Keluarga yang memiliki totem babi jantan tidak diperbolehkan membunuh dan memakan daging babi jantan tersebut. Apabila pantangan tersebut tidak dipatuhi maka akan menyebabkan sakit bahkan kematian, seperti yang dikatakan oleh informan yang bernama ibu Mariana.

“ Itu keturunan. Kalau yang namanya keturunan nanti bisa mati. Banyak yang seperti itu, ya yang bisa mati itu.”

“iya. Sakit nggak sembuh-sembuh biarpun disuntik. Balian dia tau keleh. Masih banyak yang seperti itu, seperti bapak-bapak yang meninggal kemaren di bawah itu kata basi gara-gara makan rusa atau bajang.”

“Iya nggak boleh. Nggak bisa karena leluhur mereka nggak bisa memakannya. Makanya dia sakit nggak sembuh-sembuh. Dia sudah sakit satu tahun lebih. Dibawa ke puskesmas nggak bisa sembuh juga.”

2.9 Organisasi Sosial