• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rosita Novi Andari

Pendahuluan

Masalah keadilan dan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan, khususnya di bidang politik masih menjadi isu kebijakan nasional terutama menjelang Pemilu 2009. Isu gender di bidang politik ditandai oleh masih rendahnya partisipasi politik dan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada setiap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Gambaran umum tentang partisipasi politik perempuan di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah pada semua tingkatan pengambilan keputusan, seperti tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi pemerintahan, partai politik, dan kehidupan publik lainnya.

Berdasarkan data DPR–RI tahun 2007 sebagai hasil Pemilu 2004 persentase anggota perempuan adalah 12, 36 % atau 68 orang dari 550 orang anggota legislatif. Jumlah keterwakilan perempuan selama 9 kali Pemilu memperlihatkan fluktuasi yang naik turun yang tidak signifikan. Pemilu pertama tahun 1955, keterwakilan perempuan hanya mencapai 6,3% atau sejumlah 17 orang dari 272 orang anggota legislatif. Pemilu 1987, keterwakilan perempuan mencapai paling tinggi yaitu 13% atau sejumlah 65 orang perempuan dari 500 orang legislatif. Namun, pada pemilu tahun 1997 menurun kembali menjadi 9% dan terakhir pada pemilu tahun 2004 jumlah keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif di setiap daerah pemilihan hanya dapat mencapai kenaikan yang tidak signifikan yaitu 11% (www.menegpp.go.id). Adapun perkembangan partisipasi perempuan sebagai anggota legislatif dari periode ke periode dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

2 Gambar 1

Grafik Perkembangan Partisipasi Perempuan Sebagai Anggota Legislatif di DPR RI (1950-2009)

Sumber: (Diolah dari Miriam Budiarjo dalam Ratnawati (2004: 298) dan www. menegpp.go.id)

Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik juga terjadi di Kota Surakarta yang 53,1 % penduduknya adalah perempuan atau sebanyak 283.672 orang dari total penduduk Kota Surakarta sebanyak 534.540 orang dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) 88,44 (Jateng dalam Angka, 2006:54). Secara umum, perkembangan jumlah keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif di DPRD Kota Surakarta mengalami fluktuasi dari periode ke periode dengan rata-rata 8,5 %. Persentase tertinggi jumlah keterwakilan perempuan di DPRD terjadi pada tahun 1997 yaitu 15,6 % atau sebanyak 7 orang dari 45 orang anggota DPRD. Sedangkan persentase terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,2 % atau 1 orang dari 45 orang anggota DPRD. Gambar 2 di bawah ini memperlihatkan perkembangan jumlah keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD di Kota Surakarta dari tahun 1955- 2004.

Gambar 2

1 Evaluasi Anggaran Responsif Gender:

Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010

Dwi Hastuti

Pendahuluan

Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang pembangunan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kesenjangan yang masih terjadi diakibatkan oleh terdapatnya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dengan cara pemerintah melakukan pengalokasian serta penggunaan anggarannya.

Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal ini yang kemudian membuat kebijakan yang bias1.

Dalam rangka menghindari adanya bias gender, anggaran seharusnya mewujudkan anggaran responsif gender (ARG). Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Di dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa Departemen Kesehatan menjadi salah satu kementrian/lembaga Negara yang dijadikan pilot project dalam upaya pelaksanaan anggaran responsif gender pada tahun 2011.

Pengalaman di beberapa pemerintah daerah khususnya Surakarta2, Cirebon3 dan Polman4 menunjukkan bahwa implementasi anggaran responsif gender di

1 Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute, hal: 2-3

2 Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) hal: 125-128

3

http://www.fahmina.or.id/penerbitan/penelitian-a-analisa/603-cermin-keberpihakan-pemkot- cirebon.html

2 dalam anggaran kesehatan belum berjalan dengan baik. Peraturan -peraturan itu sering kali tidak bisa diimplementasikan karena perspektif gender belum menjadi kebutuhan mendasar guna merumuskan anggaran pembangunan.

Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas, sangatlah penting untuk segera dilakukan penelitian mengevaluasi anggaran responsif gender dalam anggaran Kesehatan Kota Surakarta tahun 2008-2010 sebagai upaya untuk mengetahui anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan dan berbagai kendala yang dihadapi. Evaluasi ini akan menjadi entry point pelaksanaan anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan tahun anggaran 2011.

Kajian Teori Gender dan Kesehatan

Gender bukan merupakan hal yang sifatnya kodrati akan tetapi merupakan hasil kontruksi sosial. Gender merupakan perbedaan fungsi, peran, hak dan

behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di alam bawah sadar masyarakat ialah jika seorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada laki-laki atau vagina pada perempuan. Secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin terlihat, pada saat itu juga kontruksi budaya mulai terbentuk Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat5.

Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada laki-laki sebagai akibat faktor biologisnya. Namun dalam kehidupannya perempuan banyak mengalami kesakitan dan tekanan yang dapat

4

Yeni Sucipto, dkk.2008. Belajar Dari Tanah Mandar (Mengawali Gerakan Gender Budget di Polewali Mandar). Sulawesi Selatan: Yayasan Swadaya Mitra Bangsa

5

Umar, Nasaruddin. 2002. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. Semarang: Pusat Studi Jender IAIN Walisongo dan Gama Madia, hal: 5

BAGIAN IV

GENDER DALAM DIMENSI EKONOMI, TENAGA KERJA

Dokumen terkait