DAFTAR ISI
BAGIAN I
GENDER DALAM DIMENSI SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA
Makna Diam dalam Petuturan ………... M. Sri Samiati Tarjana
Berbagi Suami ...
Prahastiwi Utari
Potensi wanita Jawa dalam serat Babat Nitik Mangkunegaran...
Hartini
Citizenship Cultural Mobility And Female Identity in the Post New Order
Era………...
Sri Kusumo Habsari
Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Islam ...
Moh. Fauzi
Self Concept dan Preferensi Resolusi Konflik Perempuan –Istri Keluarga Poligami
Mudaris Muslim dan T.A. Gutomo
BAGIAN II
GENDER DALAM DIMENSI PENDIDIKAN
Gender Mainstreaming in Education: An Indonesian Experience …… Ign. Agung Satyawan
Analisis Gender terhadap Persepsi Jenis Pekerjaan dan Pemilihan Program Studi pada Mahasiswa di IPB ………
Herien Puspitawati
Kebijakan Etis dan Perluasan Pendidikan bagi Wanita bumi Putera pada awal abad XX ………. Warto
Dampak Pengarusutamaan Gender terhadap Inovasi Pendidikan
D. Priyo Sudibyo dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni
GENDER DALAM DIMENSI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Pemetaan isu Gender di Bidang Politik di Sumatra Selatan ...
Eva Lidya
Negara dan Tubuh Perempuan ………..
Sri Yuliani
Alternatif subsistensi: resistensi Perempuan terhadap Neo Liberalisme
Mahendra Wijaya
Dampak Pemberlakuan Kuota 30 % Keterwakilan Perempuan Dalam Pencalonan Anggota Legislatif terhadap kebijakan partai Politik di Kota Surakarta pada Pemilu 2009
Rosita Novi Andari
Evaluasi Anggaran Responsif Gender Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan
Kota Surakarta Tahun 2008-2010
Dwi Hastuti
BAGIAN IV
GENDER DALAM DIMENSI EKONOMI, TENAGA KERJA DAN TEKNOLOGI
Keterlibatan tenaga Kerja Wanita di Pedesaan pada Industri
Kerajinan Seni Kriya di Kecamatan pajangan Bantul Yogyakarta ... Retno Kusumawiranti
Pemberdayaan tenaga Kerja Wanita dalam pertanian sawah surjan di Kabupaten Kulonprogo ... Tiwuk Kusuma Hastuti
Perempuan Pedesaan dan Teknologi Tepat Guna ………...
Iwan Sudradjat
Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Hasil Kacang-kacangan sebagai Usaha Produktif Wanita di Lahan Kering di Daerah Tangkapan Hujan Kedungombo ...
Sri Handajani dkk
Peran Strategis Perempuan Dalam Pengelolaan Limbah Padat
Bernilai Ekonomi ...
Al. Sentot Sudarwanto
Analisis Gender Dalam Pengembangan Agroekosistem
BAB V
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DARI PERSPEKTIF GENDER
Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan
Keppi Sukesi
Marjinalisasi Buruh Migran Perempuan
Arianti Ina R.Hunga dan Purwanti Asih Analivi
Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga Menuju Ekonomi Kreatif Di Kabupaten Karanganyar
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Sri Marwanti
Kesehatan reproduksi pada remaja putri di keluarga miskin kecamatan Jebres
BAGIAN I
Makna
Diam
dalam Petuturan
M. Sri Samiati Tarjana
Alkisah terdapat cerita dalam pewayangan, seorang begawan bernama Resi Gotama marah sekali kepada isterinya, Dewi Indradi yang diam seribu basa. Perempuan itu adalah seorang bidadari, yang takut menjawab pertanyaan suaminya. tentang asal cupu manik Astagina yang diberikan oleh Batara Surya kepadanya ketika ia menikah dengan sang resi. Ia tidak mau mengatakan dari mana ia memperoleh cupu tersebut karena khawatir suaminya mempunyai prasangka buruk terhadapnya. Namun justru sang resi menjadi sangat marah. Perempuan itu kemudian dikutuknya menjadi sebuah tugu, karena ia membisu. Maka seketika itu jadilah ia sebuah tugu, yang kemudian dilempar jauh-jauh oleh sang resi. Menurut ceritanya tugu tersebut di kemudian hari dipergunakan cucunya untuk berperang, dan pada saat itu pula ia memperoleh kembali wujud asalnya, (Sudibyoprono, 1991: 45-46). Kisah tersebut menunjukkan berbagai aspek budaya dalam masyarakat yang empunya cerita itu. Pertama, bahwa perempuan, meskipun ia berasal dari kelas yang lebih tinggi, tampaknya berada pada suatu keadaan subordinasi pasangannya, dan cenderung menyerah pada keadaan yang ditentukan suaminya. Kedua, perempuan itu terkendala secara psikologis dalam menjawab pertanyaan suaminya, sehingga ia memilih untuk berdiam diri. Ketiga, tampaknya komunikasi di antara pasangan suami isteri tersebut tidak selalu berhasil mencari alternatif penyelesaian masalah yang memuaskan kedua belah pihak. Meskipun kisah tersebut hanya merupakan cerita pewayangan, keadaan tersebut dapat dijadikan refleksi dalam dunia kehidupan manusia, yang tentunya tidak lepas dari pola sikap hidup dan budaya masyarakatnya.
Komunikasi pada umumnya diekspresikan dalam bentuk verbal atau non-verbal, ada pula yang dinyatakan secara eksplisit (tersurat) atau implisit (tersirat). Maksud yang diungkapkan dalam bertindaktutur kemungkinan terbatas, tetapi tuturan tersebut ternyata memiliki cakupan makna yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya suatu daya pragmatik yang muncul pada saat orang bertindaktutur dengan menggunakan tuturan terbatas itu. Seperti dinyatakan dalam kisah tersebut di atas, keadaan diam tidak hanya bersifat kosong tanpa makna, melainkan dapat juga mengandung maksud tertentu Fungsi dan makna dalam kediaman akan dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikut.
Ikhwal Diam dalam Bahasa dan Budaya
Pada dasarnya sebagai makhluk sosial, manusia perlu berkomunikasi dengan sesamanya. Seorang anak kecil belajar bahasa ibunya dengan cara alami, di mana ia langsung menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi. Di sini ia perlu mendapat dukungan positif dari lingkungan di sekitarnya: dari ayah, ibu, saudara dan teman bermainnya. Dalam waktu relatif singkat, yakni sekitar usia 24 bulan, dan sesuai dengan perkembangan kemampuan kognitifnya, anak tersebut biasanya telah mengembangkan bahasa ibunya, dan ia mampu menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi. Ayah dan ibunya akan risau kalau pada usia tersebut ia belum dapat berbicara. Semakin banyak anak mendapat asupan kebahasaan, semakin subur kemampuan bahasanya berkembang (Soenjono Dardjowidjojo, 2003: 198-200)
1
Berbagi Suami
: Representasi Multikultural Perempuan Indonesia terhadap
Poligami
Prahastiwi Utari
Pendahuluan
Film adalah salah satu media yang merepresentasikan realitas kehidupan sosial dari
khalayaknya. Terlepas dari apakah realitas yang disodorkan adalah ‘second-hand reality’ dalam
artian dibuat dengan sengaja, dipilih, serta diarahkan, film mampu mengagendakan satu
ide/pesan yang menurut mereka -para kreatornya- penting disampaikan dan menjadi penting pula
bagi khalayaknya (agenda setting). Berarti suatu film sarat akan nuansa pesan kepentingan
tertentu yang ingin disampaikan kepada khalayaknya. Dengan demikian berbicara tentang film
tertentu berarti berbicara tentang ‘apa, bagaimana dan mengapa’ suatu ide atau pesan disusun,
diolah dan kemudian dimunculkan oleh sorang kreator dalam serangkaian panjang pita seluloid.
Keterlibatan individu-individu yang ada dalam produksi film, disebut sebagai pekerja
film, akan menentukan arah, tujuan serta keberhasilan suatu film. Dengan bahasa manajemen,
visi dan misi mereka inilah yang akan berperan. Dalam sejarah panjang perkembangan perfilman
Indonesia para pekerja film umumnya adalah laki-laki. Jadilah dunia film identik sebagai ‘dunia
laki-laki’. Aparatus sinema adalah laki-laki, mulai dari produser, sutradara, skenario, sampai
pada petugas lapangan. Jika ada yang perempuan, selain jumlah mereka kecil juga tersegregasi
dalam bidang-bidang kerja yang dianggap khusus cocok untuk perempuan. Pekerjaan make up,
wardrobe, properti adalah pekerjaan-pekerjaan dalam industri perfilman yang biasanya dipegang
oleh perempuan. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah bahwa cara pandang dalam film
menjadi cara pandang laki-laki. Menurut Mulyev (dalam Sita Aripurnami 1999: 295) hal ini
berkaitan dengan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat yang mengekspresikan
ketimpangan dalam kekuasaan sosial.
Permasalahan
Jika kondisi perfilman di Indonesia hanya muncul dengan model semacam ini, maka
gambaran realitas sosial tentang perempuan menjadi gambaran realitas menurut kacamata
laki-laki. Efeknya yang nampak kemudian adalah depolitisasi isu yang terkait dengan perempuan,
peremehan produksi berkaitan dengan perempuan, serta penguasaan isu atas selera laki-laki.
2
perempuan dalam film selalu tergambarkan sebagai pribadi ‘cengeng; cerewet; judes; kurang
akal; dan buka-bukaan.
Untuk itulah perlu digali film-film yang memiliki cara pandang tertentu terhadap
perempuan. Film yang memiliki ‘keberpihakan’ terhadap perempuan atau yang dapat
diistilahkan ‘dari’ perempuan dan ‘untuk perempuan’. Film yang dalam perspektif feminis
disebut sebagai Film Perempuan.
Sebuah film yang disutradarai oleh seorang perempuan dan bertutur tentang
permasalahan perempuan, menurut Krisna Sen (1998) biasanya dikategorikan sebagai ‘film
perempuan’. Film-film dalam kategori ini biasanya mendefinisikan sifat perempuan. Sifat yang
berarti nasib dan watak perempuan serta unsur utama dimana mereka menjalankan fungsi
sebagai ibu yang terkunci di dalam lingkungan keluarga. Molly Haskel (1999:23) melihat film
perempuan adalah film yang banyak memberi aspirasi untuk perempuan. Perempuan yang
tadinya digambarkan ‘biasa’ menjadi ‘luar biasa’. Pengertian luar biasa bukan berarti perempuan
laksana superwoman, tetapi pada bagaimana mereka yang awalnya merupakan korban
lingkungan yang diskriminatif kemudian mulai bangkit melalui rasa sakit, obsesi atau
penyimpangan, untuk menjadi penentu nasibnya sendiri. Aquarini P.B (2006:337) menandaskan
bahwa film yang berjenis ‘film perempuan’ memiliki karakteristik yang kuat dalam
menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakat sendiri
tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali
tertentu atas hidupnya.
Berbagi Suami
Pemilihan film Berbagi Suami (BS) sebagai bahan kajian paper ini dilakukan terutama
dalam rangka melepaskan kerangka film Indonesia yang sarat bermuatan imajinasi laki-laki
terhadap perempuan. Film yang diproduksi oleh Kalyana Shira Film (2006) ditulis dan sekaligus
disutradarai oleh seorang sineas muda perempuan Nia Dinata. Keberadaanya menjadi penting
mengingat jumlah perempuan sebagai subyek perfilam Indonesia sangatlah marjinal. Di era
kebangkitan film Indonesia tahun 2000-an, setelah cukup lama mati suri, tidak banyak dari
kelompok sineas (muda) yang berjenis kelamin perempuan. Kalaupun ada, jumlah mereka tidak
lebih dengan hitungan sebelah jari tangan saja. Di antaranya yang menonjol adalah Nia Dinata
1
Potensi Wanita Jawa dalam
Serat Babad Nitik Mangkunegaran
Hartini
Pendahuluan
2
aktif dalam pembangunan. Semua itu dapat dilihat pada Babad Nitik yang tersimpan di perpustakaan Pura Mangkunegaran dengan nomor B29a.
Serat Babad Nitik adalah warisan tulisan yang berupa naskah Jawa produk masa lampau yang berasal dari kurun waktu beberapa ratus tahun yang lalu. Serat ini menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, tentang berbagai buah pikiran, paham, pandangan hidup yang pernah ada pada naskah tersebut diciptakan (Chamamah Soeratno, 2002: 3). Serat Babad Nitik ini bentuknya berlainan dengan babad-babad pada umumnya. Serat Babad Nitik ini berupa buku harian ditulis oleh
abdi dalem wanita yang kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai babad perjalanan hidup Pangeran Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Adanya keistimewaan isi Serat Babad Nitik, maka makalah ini membahas masalah potensi wanita Jawa yang terkandung di dalamnya.
1
Citizenship, Cultural Mobility and Female Identity in the Post-New Order
Era: Reading the Sinetron ‘Mystery of Mount Merapi’
Sri Kusumo Habsari
Introduction
In this paper I analyse the relationship between cultural mobility and the construction of women’s identities as represented in Indonesian “sinetron (V.S. Wardhana, 1997: 29, 85-98).” television series, “Misteri Gunung Merapi” (Mystery of Mount Merapi). This article considers how Indonesian women’s identities are being transformed, focusing in particular on an increased awareness by Indonesian women of their membership as citizens of the polity and and increased desire to participate in it. I argue that traditional female identities and gendered citizenship, established by the New Order era as the dominant ideology, has begun to be fragmented in the Post New Order era with the spread of global flows of media and culture from Western countries.
Bignell has stated that “the ways in which television connects with the character of the society where it is watched raise the issue of the social significance of what television represents” (Bignell, 2004 : 4). Similarly, Connel argues that the best way to study gender images is through media representations such as magazines, films, and television dramas, although gender representations in such media are often “simplified, stylised and exaggerated” (Clark, 2004: 114). In case of Indonesia, Blackburn said that Indonesian media often represented images that were “far from the reality of most women’s lives”. This happened in large part because the purpose of media in Indonesia was to propagate the dominant ideology of New Order government (Blackburn, 1994: 567). Similarly, “even if the state did not go so far as to dictate how women could be portrayed in the media, its messages linking good citizenship for women to good domestic qualities were omnipresent” (Brenner, 1999: 15). I argue that although popular culture is often reluctant to deal with progressive ideas, this does not mean that it glorifies the old traditional values. Since socio-cultural phenomena change from time over time, the values that popular culture responds to are different also. I demonstrate this process in the course of an examination of the popular sinetron Misteri Gunung Merapi (Mystery of Mount Merapi).
2
Saraswati Sunindyo argues that such representations in Indonesian sinetron in TVRI (Television of Republic Indonesia, government television) promoted patriarchy and reinforced the idea that a woman’s primary role is to be a mother and wife (Sunindyo, 1993: 134). Similarly, Purnami asserts that stereotypes of women as dependent, irrational, emotional, passive, and obedient were dominant in most sinetrons in TVRI. Such repeated portrayals of women in the sinetron provided role models, informing people about what women were and who they should be (Aripurnami, 1996: 254).
In 1994, based on her study of state policy documents and advertising images of the 1990s, Sen wrote that Indonesian women’s identity had been transformed in the late New Order not only as “daughters, wives and mothers” but also as active members of capitalist markets (Sen, 1994: 37). However, in her later article, which was based on political cartoons, she said despite the fact that the capitalist market does treat women as consumers and acknowledges their needs, “the position of women in the formal political structures declined rather than improved after the collapse of the New Order”. Implicitly, she said, women have been still experiencing ongoing inequality rather than developing a new identity (Sen, 2002: 61-62). In other words, despite the social and cultural mobility of recent years, women’s political status as citizens is still a problem.
Sinetron as Social Construction of Reality
Since the fall of Indonesian cinema around 1990, television film series known with as “sinetron” have become very popular. One of the most popular sinetron, which has been broadcasted since 1998 up to present day and has attained the highest ratings in Indonesia, is Mystery of Mount Merapi.
Keadilan dan Kesetaraan
Genderdalam Islam
Moh. Fauzi
Banyak “tuduhan” yang ditujukan kepada Islam dengan label agama yang bias gender. Sementara hanya sedikit sekali pandangan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan gender.1 Tuduhan Islam sebagai agama yang bias gender seringkali dikuatkan dengan argumentasi dalil-dalil agama (baca: ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah/Hadis) yang berisi ketentuan-ketentuan yang lebih memihak kepada kaum laki-laki dan mendeskriditkan kaum perempuan.
Islam sebagai sebuah tatanan norma dibedakan menjadi 2 (dua) macam; Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif merupakan Islam yang masih berada dalam teks suci al-Qur’an dan al-Hadis. Pada tataran ini, seluruh ajaran Islam mengandung nilai keadilan dan kesetaraan gender. Sementara Islam historis adalah Islam yang sudah tersentuh pemahaman umat Islam sehingga sangat dipengaruhi sosio-kultur setempat. Pada tataran ini ajaran Islam bisa dipahami sebagai adil gender dan juga bisa dikatakan bias gender. Bidang yang sering menjadi obyek kajian adalah bidang hukum Islam (Fikih).
Munculnya anggapan bahwa agama Islam itu bias gender dengan lebih membela kaum laki-laki, disebabkan 2 (dua) kemungkinan. Pertama, dasar hukumnya tidak valid
1
(jika Hadis berkualitas lemah/dlo’if).2 Jika hal ini yang terjadi, hadis tersebut harus dibuang (tidak boleh dijadikan dasar hukum). Kedua, pemahaman terhadap sumber Islam tidak melihat konteks turunnya al-Qur’an (asbabun nuzul) atau terjadinya sebuah Hadis (asbabul wurud), sehingga terjadi “kesalahan pemahaman” terhadap ajaran Islam. Di sinilah perlunya kontekstualisasi pemahaman terhadap ajaran Islam yang terkandung dalam nash (Al-Qur'an dan as-Sunnah) sehingga hasilnya sejalan dengan ruh asy-syari'ah yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan. Di bawah ini dikemukakan beberapa kasus dalam hukum Islam yang sering dipahami secara "salah" sehingga makna yang diperoleh seolah-olah Islam itu bias gender, padahal jika dipahami secara "benar" akan melahirkan makna Islam itu adil gender. Sebelum menguraikan kasus-kasu tersebut, terlebih dahulu diuraikan kajian tentang posisi perempuan sebelum Islam datang di Jazirah Arab dan revolusi yang dilakukan Islam terhadap posisi perempuan.
Posisi Perempuan Sebelum Islam
Untuk bisa memahami pandangan Islam terhadap perempuan secara tepat, perlu diketahui terlebih dahulu posisi perempuan sebelum Islam. Perempuan pada masa pra-Islam tidak mempunyai nilai sama sekali. Mereka tak ubahnya bagaikan barang yang dapat diperjualbelikan, dan bahkan dapat diwarisi. Praktek ini dilarang oleh Islam, sebagaimana diabadikan dalam Surat al-Nisa’ ayat 19:
ﺎﮭّﯾأﺎﯾﻦﯾﺬﻟااﻮﻨﻣأﻞﺤﯾﻻﻢﻜﻟنأءﺎﺴّﻨﻟااﻮﺛﺮﺗﺎھﺮﻛ....
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi perempuan secara paksa…".
Pada masa itu, kaum laki-laki-lah yang memiliki hak dominasi atas kaum perempuan. Perempuan tidak memiliki hak pribadi, mereka menjadi milik ayahnya atau milik suaminya jika sudah menikah. Bahkan janda dari seorang laki-laki seringkali diwaris oleh anak laki-laki dari suaminya yang meninggal dunia (anak tiri). Setelah
2
1
Self-concept
dan Preferensi Resolusi Konflik Perempuan-Istri Keluarga
Poligami
Mudaris Muslim Thomas Aquinas Gutomo
Pendahuluan
Self-concept atau konsep-diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat fisik, sosial, dan psikologis. Persepsi tentang diri ini diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan hubungan dengan orang lain. Konsep-diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita sendiri.
Ada berbagai pandangan tentang perkembangan konsep-diri. Namun pada dasarnya para ahli sependapat bahwa diri bukanlah faktor bawaan sejak lahir. Kualitas konsep-diri pada seseorang dapat berupa konsep-konsep-diri yang positif atau konsep-konsep-diri yang negatif. Konsep-diri yang positif dapat diperoleh jika seseorang memandang dirinya sebagai seorang yang mampu. Konsep-diri yang positif memungkinkan seseorang untuk menatap hidup dengan penuh antusiasme, berkemauan untuk menjelajahi minat-minat baru, mencari tantangan baru bagi diri dan hidupnya serta sebagai individu yang bahagia. Sebaliknya seorang yang memiliki konsep-diri yang negatif, merasa tidak mampu, tidak berdaya, menolak untuk mencoba tugas atau hal-hal baru dan mudah menyerah sebelum mencoba sesuatu karena selalu merasa dirinya akan mengalami kegagalan.
Penilaian terhadap konsep diri seseorang dapat didasarkan pada empat indikator atau skor, yaitu (1) skor Identitas diri (Self-identity), yaitu merupakan Internal self-concept yang menggambarkan identitas dasar individu, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, (2) skor Kepuasan Diri (Self-satisfaction), yaitu yang menggambarkan perasaan individu mengenai dirinya sendiri, merefleksikan tingkat kepuasan diri dan penerimaan individu, (3) skor Family Self, yaitu yang merefleksikan persepsi diri individu dalam kaitannya dengan kelompok primer individu, dalam hal ini adalah keluarga dan teman-teman dekatnya, dan (4) skor Social Self, yaitu menampilkan persepsi diri individu dalam hubungannya dengan interaksi sosialnya dengan orang lain.
2
bukanlah sesuatu yang mudah karena salah satu kemungkinan yang terjadi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik memiliki preferensi prosedur penyelesaian atau resolusi konflik yang berbeda satu sama lain.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep-diri antara lain (a) orang lain, (b) kelompok rujukan, (c) jenis kelamin, (d) harapan-harapan, (e) suku bangsa, dan (f) atribut nama.
Menurut Pruitt (1986), “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest)”, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.
Ada berbagai macam strategi yang umumnya digunakan oleh pihak-pihak yang mengalami konflik (Pruit, 1986), antara lain: (1) contending yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain, (2) yielding yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan, (3) problem solving yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak, (4) withdrawing
yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis, dan (5)
inaction yaitu tidak melakukan apapun.
konflik-BAGIAN II
Gender Mainstreaming in Education: An Indonesian Experience
*Ignatius Agung Satyawan
Introduction
Indonesian’s commitment to achieve gender equality and equity is reflected in the 1945
Constitution. Article 27 of the 1945 Indonesian Constitution states that “…. without any
exception, all citizens shall have equal status in law and government, and shall be
obliged to uphold that law and government”. Together with Pancasila as the state
philosophy and the nation’s way of life, the Constitution has placed women in the
highest esteem and dignity.
As a member of international community, Indonesia has ratified various
international conventions. United Nations Convention on the Elimination of all forms of
Discrimination against Women (CEDAW) endorsed in 1979, for example has been
ratified into Act No. 7/1984. Furthermore, it also signed the Optional Protocol of
CEDAW on 26 February 2000. In the Convention, member countries had condemned
all forms of discrimination against women and agreed on implementing the convention
in every appropriate ways without delay.
In general, progress has been achieved in the last two decades of women’s
empowerment. Through poverty alleviation approaches using Women in Development
(WID) strategy, women’s condition in various sectors of life have been improved.
However, development aimed only at women’s issues does not minimize the gaps
between men and women as shown by the following indicators for women:
- Lower quality of education, health and skills;
*
2
- Lower access to economic resources such as technology, market, capital and
credit;
- Limited access to power and decision making;
- Vulnerability to exploitation and violence;
- Unfair distributions of work in which women are burdened with multiple roles
of productive and reproductive functions.
Shortly, in all sector (including education), achievement of women is behind the men
despite the fact that policy and development program have been designed with respect
to anti-gender discrimination principles. Such condition is also depicted in Gender
Development Index (GDI). Indonesia’s GDI as one macro indicator of gender equity
and equality is still very low compare with those of other countries. It has not yet shown
significant improvement in the last 5 years. In 2001 for example, Indonesian GDI was
92nd of 152 countries. It was 91st of 146 countries in 2002 –2003 and 108th of 177 countries in 2004 (UNDP, 2006). This condition has brought reduction in gender
equality, more subordinated and resulted in less significant contribution of the women
in a number of development programs. The implication of this condition is slower
national production. United Nations indicated in 2008 that gender gap in Indonesia
could reduce national development’s achievements. This country lost US$ 2.4 million
annually (Langitperempuan, 2009). In relation to this gender issue, there is a need for
redefining the priority and strategy to achieve gender equality and equity.
To improve gender relation problems, the Government of Indonesia has initiated
a new strategy for development. Field experiences have revealed that incorporating
experiences, needs, aspiration, and perspectives of both women and men into
development process can enhance productivity and efficiency in the use of resources.
To implement gender-responsive development, which incorporates aspirations,
experience and issues of women and men, gender mainstreaming strategy has been
adopted. Hence, women who have been marginalized are now brought into the
1
Analisis Gender terhadap Persepsi Jenis Pekerjaan dan Pemilihan
Program Studi pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor
Herien Puspitawati
Pendahuluan Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara anggota UNESCO telah menandatangani Kesepakatan Dakar mengenai Kebijakan Pendidikan Untuk Semua atau PUS (Education for All) yang di dalamnya mencanangkan beberapa hal penting berkenaan kesetaraan gender dalam pendidikan, diantaranya menghapus disparitas gender di Pendidikan Dasar dan Menengah menjelang Tahun 2005, dan mencapai persamaan pendidikan menjelang Tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi yang sama dalam Pendidikan Dasar yang berkualitas baik. Komitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan tersebut diperkuat dengan ditetapkannya INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada semua pejabat negara, termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing (Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2001). Diperkuat lagi dengan adanya tujuan ketiga Pembangunan Milenium Indonesia (MDGs) adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, maka salah satu hal yang ingin dicapai Pembangunan Milenium Indonesia adalah menghapus kesenjangan gender. Untuk mencapai target tersebut, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan berwawasan gender sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender (Bappenas, 2007).
2 mewujudkan komitmen tersebut terutama dari mind set sebagian masyarakat Indonesia yang masih belum berperspektif gender. Seiring dengan VISI Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan Tahun 2025 adalah “ Menciptakan Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif” dengan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, maka perlu dilakukan kajian sederhana tentang persepsi mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan tentang jenis pekerjaan dan pemilihan program studi yang pantas dilakukan baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Kajian ini ingin mengetahui sejauh mana mahasiswa Institut Pertanian Bogor mempunyai persepsi gender terhadap pemilihan jenis pekerjaan dan program studi strata sarjana.
Permasalahan dan Kerangka Pemikiran
Kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berbegara adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki dengan memperhatikan kontekstual dan situsional (KPP, 2001, 2004, 2005).
Suryadi dan Idris (2004) menyatakan bahwa kesetaraan gender dalam Bidang Pendidikan sangat penting karena sektor pendidikan merupakan sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender, dengan asumsi bahwa tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya dalam Bidang Pendidikan. Hal ini berarti bahwa kesempatan untuk meningkatkan potensi Sumberdaya Manusia (SDM) dalam Bidang pendidikan baik laki-laki maupun perempuan sangat terbuka seluas-luasnya dengan peluang yang sama.
1
Kebijakan ’Etis’ dan Perluasan Pendidikan bagi Wanita
Bumiputera pada Awal Abad ke 20
Warto
Pendahuluan
Kebijakan politik ‘etis’ dan perluasan pendidikan bagi kaum Bumiputera pada awal abad ke-20 mempunyai hubungan yang cukup erat. Pendidikan ala Barat merupakan fenomena yang relatif baru di tanah jajahan karena pada periode sebelumnya hampir tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendidikan modern baru diperkenalkan secara luas setelah pemerintah kolonial Belanda mencanangkan kebijakan ‘etis’ yang di dalamnya meliputi aspek-aspek ekonomi (irigasi), demografi (transmigrasi), dan edukasi. Gagasan ‘etis’ merupakan bagian dari pemikiran humanisme yang mulai berkembang sejak akhir abad ke19 di Eropa Barat yang kemudian diperluas di daerah jajahan. Humanisme mendorong lahirnya pemikiran ”balas budi” (een eereschuld) negara penjajah terhadap daerah jajahan yang selama ini telah memberikan banyak keuntungan ekonomi dan sosial. Untuk menunjukkan bahwa negara penjajah (Barat, Belanda) merupakan masyarakat yang beradab dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, maka perlu membuat kebijakan yang memihak rakyat jajahan. Mereka mempunyai tugas suci (mission-sacree) memberadabkan kaum terjajah yang primitif dan terbelakang. Mereka menyadari perlunya ”mengajari” anak-anak jajahan agar terbuka pemikiran dan wawasannya dalam menyongsong era baru yang lebih maju dan beradab.
2 demokratis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan tetap terikat dalam relasi kolonialisme yang eksploitatif. Sekolah-sekolah itu sesungguhnya mencerminkan realitas sosial politik yang diskriminatif di bawah hegemoni kekuasaan kolonial. Diskriminasi tidak hanya didasarkan oleh perbedaan kuasa, warna kulit, ras, dan kelas, melainkan juga oleh perbedaan jenis kelamin. Dengan kata lain, konstruksi sosial gender turut mewarnai kebijakan politis ‘etis’ di bidang pendidikan. Konstruksi sosial gender yang bias kepentingan laki-laki diproduksi dan reproduksi melalui relasi sosial yang terus mengalami perubahan. Ia juga berakar pada nilai-nilai patriarki yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Singkatnya, kebijakan politik penjajahan Belanda terutama kebijakan ‘etis’ bertumpu pada budaya patriarki yang memberi tempat lebih tinggi kepada laki-laki. Implikasinya, seluruh sepak terjang dan tindakan yang dilakukan dalam rangka menguasai daerah jajahan selalu bias laki-laki. Pandangan politik seperti itu kompatibel dengan realitas sosial budaya daerah jajahan khususnya di Indonesia. Struktur patriarki mewarnai sebagian besar corak sosial budaya masyarakat Indonesia, sehingga wanita kurang mendapatkan kesempatan dalam mengakses pendidikan. Tulisan singkat ini berusaha melihat implementasi politik ‘etis’ dalam bidang pendidikan dan seberapa juah wanita Bumiputera memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam pendidikan modern. Wilayah Surakarta diajadikan contoh kasus untuk mengetahui secara riil sejauh mana perempuan terlibat dalam pendidikan modern yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda.
Politik ‘Etis’
perlahan-1
DAMPAK PENGARUSUTAMAAN GENDER TERHADAP INOVASI
PENDIDIKAN ADIL GENDER DI SEKOLAH
(
(Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah)D. Priyo Sudibyo dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan publik pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam
berbagai bidang pembangunan telah dinyatakan secara tegas dalam berbagai dokumen kebijakan,
antara lain: Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang “Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional”, Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender serta Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan
Gender Bidang Pendidikan. Meskipun sudah ada regulasi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender, namun kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan masih
terjadi, salah satunya di bidang pendidikan.
Di Provinsi Jawa Tengah, kesenjangan gender di bidang pendidikan dapat dilihat dari
indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah sbagai indikator komposit
Gender-related Development Index (GDI). Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa
Tengah sejak tahun 2004 hingga 2007 mengalami peningkatan, baik pada laki-laki maupun
perempuan. Pada tahun 2004, angka melek huruf penduduk laki-laki sebesar 92,1% dan pada
tahun 2007 meningkat menjadi 93,4%. Sedangkan angka melek huruf perempuan pada tahun
2004 sebesar 81,5 dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 84% (KPP dan BPS, 2007). Bila
dibandingkan antara penduduk perempuan dan laki-laki, maka angka melek huruf penduduk
perempuan senantiasa berada dibawah angka melek huruf laki-laki.
Rendahnya kinerja pembangunan terhadap perempuan dibandingkan laki-laki juga terjadi
pada indikator rata-rata lama sekolah dimana rata-rata lama sekolah penduduk perempuan berada
dibawah rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki. Rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki
pada tahun 2004 adalah 7,1 tahun dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,3 tahun, sedangkan
2 rata-rata lama sekolah perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki 9KPP dan BPS,
2007).
Berbagai bentuk ketidakadilan gender di bidang pendidikan masih terjadi, antara lain
berupa:
1. kesenjangan dalam perbedaan status sosial ekonomi, latar belakang budaya dan geografis;
sehingga mengakibatkan semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kesenjangannya;
2. Dalam hal mutu pendidikan proses pembelajaran masih netral atau bias gender, hal ini karena
pemahaman guru, kepala sekolah dan pengelola pendidikan belum responsif gender;
3. Dalam hasil belajar, angka kelulusan anak perempuan lebih tinggi dbanding anak laki-laki
sejak tahun 2005;
4. Kualifikasi guru perempuan jauh dibawah laki-laki, hal ini berdampak terhadap hasil
sertifikasi dimana guru perempuan jauh tertinggal dibanding guru laki-laki (25%;75%)
5. Rendahnya partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan dan pegambilan keputusan
bidang pendidikan.
Menyadari masih adanya berbagai bentuk ketidakadilan gender di bidang pendidikan,
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah telah memfasilitasi capacity building Pengarusutamaan
Gender (PUG) sejak tahun 2003 dengan melibatkan sebagian besar stakeholders pendidikan di
Provinsi Jawa Tengah maupun di kabupaten/kota. Selanjutnya capacity building tersebut
ditindaklanjuti dengan pemberian dana block grand sebagai stimulan untuk mengaplikasikan
pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengkaji apakah Pengarusutamaan Gender Pendidikan memberikan dampak
terhadap inovasi pendidikan adil gender di sekolah. Adapun permasalahan penelitian dirumuskan
sebagai berikut: (1) Bagaimana strategi mengintegrasikan perspektif keadilan dan kesetaraan
gender di bidang pendidikan?; (2) Apakah pengarusutamaan gender memberi dampak berupa
inovasi pendidikan adil gender di sekolah?
B. Tinjauan Pustaka
Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan yang selanjutnya disebut PUG Pendidikan
adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan
BAGIAN III
Pemetaan Isu Gender di Bidang Politik di Provinsi Sumatera Selatan
Eva Lidya
Pendahuluan
Keikutsertaan kaum perempuan dalam aktivitas politik sebagaimana tercatat dalam
sejarah baru dimulai ketika mereka menuntut memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam
pemilihan umum yang terjadi di abad 19. Tuntutan untuk berpartisipasi di bidang politik ini
memberikan suatu pengalaman baru bagi kaum perempuan dan bagi laki-laki ini berarti
menghentikan dominasi di ranah tersebut. Dunia politik cenderung tidak mengenal jam kerja
dan ini merupakan salah satu tantangan bagi perempuan. Di samping itu, sering terjadi
perbedaan pendapat yang sangat tajam sehingga memerlukan waktu lama untuk mencapai
kompromi-kompromi politik. Persoalannya, kaum perempuan tidak terbiasa menghadapi
situasi dan kondisi yang cenderung selalu berada dalam suasana konflik sehingga tidak
mengherankan bila akhirnya adaptasi perempuan dalam dunia politik menjadi rendah.
Sebuah kebijakan seringkali mengabaikan kepentingan/kebutuhan perempuan. Salah satu
penyebabnya karena politikus laki-laki banyak yang belum memiliki sensitivitas gender,
kurang peka pada kepentingan/kebutuhan masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Walaupun
laki-laki mendominasi bidang politik tetapi bila mereka peka gender maka tentunya tidak
akan timbul masalah gender. Umumnya, laki-laki menganggap bila perempuan mau
berpolitik maka mereka harus berjuang dan berani menghadapi tantangan. Sementara pihak
beranggapan bahwa perempuan harus berjuang untuk masuk ke dalam dunia politik ini dan
tidak perlu ada affirmative action dengan kuota 30% perempuan di badan legislatif. Dengan
adaptasi perempuan terhadap dunia politik yang rendah dan adanya anggapan bahwa dunia
politik sangat keras dan banyak intrik maka sebagian besar kaum perempuan tidak berminat
terhadap aktivitas politik. Akibatnya, kesenjangan antar jenis kelamin dalam aktivitas politik
terus berlangsung sebagaimana tercermin dalam data terpilah.
Data Gender Empowerment Measure (GEM) tahun 1999 untuk provinsi Sumatera
berikutnya juga masih berada pada urutan posisi rendah. Salah satu komponen yang dipantau
dalam GEM adalah bagaimana persentase perempuan dalam parlemen. Persentase perempuan
di parlemen sedikit banyak menggambarkan bagaimana kiprah perempuan di bidang politik.
Keterlibatan perempuan di lembaga legislatif merupakan bagian kecil dari gambaran isu
perempuan di bidang politik. Sementara itu, banyak bagian lainnya yang harus dilihat atau
dikemukakan sehingga di dapat peta tentang bagaimana keterlibatan perempuan di bidang
politik dengan berbagai permasalahannya. Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang
sangat bermanfaat untuk menambah data tentang bagaimana keterlibatan perempuan di
bidang politik. Data didapat selain dari para informan yang berkecimpung di ranah politik
juga di dapat melalui dokumen-dokumen yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Sumatera Selatan, Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada tingkat Provinsi.
Permasalahan
Permasalahan penelitian ini adalah adanya bias gender dalam kehidupan politik di
Provinsi Sumatera Selatan. Permasalahan ini dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam lembaga Legislatif baik di tingkat provinsi dan
di tingkat kabupaten/kota?
2. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam lembaga Eksekutif di tingkat provinsi?
3. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam lembaga Yudikatif ?
Pembahasan
Keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan politik terutama tingkat internal
partai dan dalam proses pencalonan anggota legislatif menjadi salah satu isu gender yang
banyak dibicarakan orang. Ada dua faktor yang memunculkan isu gender di bidang politik
Negara dan Tubuh Perempuan:
Menguak Konstruksi Patriarkis dalam Kebijakan Publik tentang Prostitusi
dan Pornografi
Sri Yuliani
Pendahuluan
Tubuh manusia ternyata tidak semata-mata organ biologis. Tubuh bisa menjadi sumber
kekuasaan dan sumber wacana, terlebih lagi tubuh perempuan. Karena keindahannya, tubuh
perempuan mudah mengundang berahi. Dengan tubuhnya pula perempuan menjual jasa layanan
seksual kepada lawan jenisnya atau disebut sebagai kegiatan pelacuran atau prostitusi. Tubuh
dan wajah perempuan saat ini juga menjadi komoditas penting dalam industri hiburan, termasuk
media yang mengeksploitasi seksualitas perempuan atau yang umum disebut sebagai pornografi.
Daya tarik seksual bisa menjadi sumber kekuasaan yang mengontrol perilaku banyak orang.
Karena itu tubuh perempuan tidak sekedar raga tapi sumber kekuasaan sosial, ekonomi dan
politik. Untuk mengaturnya dikonstruksi wacana tentang seks yang diharapkan dapat
mengendalikan perilaku seksual masyarakat.
Dalam konsepsi moral, perempuan tidak dipahami sebagai korban tapi justru dipandang
sebagai sumber penyimpangan dan dosa. Dalam ajaran agama perempuan adalah penggoda yang
menyeret Adam ke dalam dosa. Perempuan, terutama tubuhnya, adalah sumber penggoda,
sumber dosa, dan malapetaka. Karena itu timbul pemahaman untuk mengendalikan moralitas
masyarakat harus dimulai dengan mengendalikan tubuh perempuan. Perempuan yang sebenarnya
seringkali lebih sebagai korban karena eksploitasi tubuhnya, justru dianggap sebagai sumber
masalah. Setiap tindak kekerasan dan eksploitasi seksual lebih disebabkan karena si perempuan
yang mempertontonkan atau memanfaatkan bagian-bagian tubuhnya.
Untuk mengendalikan bagaimana perempuan harus memperlakukan tubuhnya, negara
merancang berbagai kebijakan yang intinya mengatur posisi perempuan di masyarakat serta
seksualitasnya. Bahkan setelah reformasi, di Indonesia banyak lahir kebijakan-kebijakan yang
cenderung menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek pengaturan diantaranya berbagai
peraturan daerah tentang maksiat atau pelacuran yang banyak bermunculan di era otonomi
dan pornografi menjadi contoh kebijakan yang sangat bias gender dan menstigmatisasi tubuh
perempuan sebagai sumber penyakit masyarakat sehingga mengundang perdebatan panas di
tengah masyarakat.
Pro-kontra yang menyertai proses formulasi UU Pornografi dan juga dalam penerapan
perda tentang pelacuran menjadi bukti nyata bahwa permasalahan tubuh perempuan bukan
sekedar persoalan personal bagaimana perempuan menggunakan tubuhnya atau bagaimana
perempuan mengendalikan seksualitasnya tapi ada relasi kekuasaan yang membuat perempuan
tidak memiliki otonomi untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Selanjutnya tulisan ini hendak
membongkar konstruksi sosial patriarkis yang ada di balik kebijakan publik yang mengatur
tentang prostitusi dan pornografi.
Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi
Persoalan tubuh manusia bukan semata obyek biologis yang menjadi kajian ilmu kedokteran
atau obyek sosial dan kejiwaan yang menjadi kajian ilmu sosiologi dan psikologi. Tubuh
manusia, terutama tubuh perempuan, adalah ajang tarik menarik atau kontestasi banyak
kepentingan. Laki-laki sebagai patron pemegang kontrol moralitas merasa berhak mengatur
bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya: bagaimana menjaga kesucian tubuhnya,
bagaimana cara berpakaian, bersikap dan berperilaku, berkomunikasi, berinteraksi dengan lawan
jenisnya, beraktivitas sosial atau publik,dan sebagainya. Sedangkan masyarakat berkepentingan
menjatuhkan sangsi sosial bagi setiap penyimpangan etika atau nilai moralitas terkait dengan
pemanfaatan tubuh perempuan.
Tubuh perempuan adalah obyek pengamatan dan perbincangan yang tiada habis-habisnya.
Bagi perempuan sendiri, tubuhnya adalah daya tarik dan sekaligus sumber kekuasaan yang
strategis. Di era kapitalisme, kualitas bagian tubuh perempuan - terutama postur dan wajah-
menjadi modal untuk terjun ke sektor publik terutama bisnis hiburan (entertainment). Tidak
heran apabila hampir semua perempuan disibukkan dengan urusan perawatan tubuh. Kegemukan
dan proses penuaan menjadi momok yang ditakuti perempuan. Sanggar senam, salon kecantikan,
dan industri kosmetik jeli melihat peluang ini dan menjadikan perempuan sebagai sasaran
bisnisnya. Tubuh perempuan juga menjadi perebutan kepentingan mereka bidang media massa
(majalah, film, foto,dsb) yang mengeksploitasi daya tarik seksual atau pornografi dan menjual
Alternatif Subsistensi: Resistensi Perempuan terhadap Neo Liberalisme
Mahendra Wijaya
Pendahuluan
Tulisan ini didedikasikan untuk para intelektual yang mengadakan perlawanan
pada bias gender, yang juga berpartisipasi aktif dalam menciptakan suatu altenatif untuk
mangatasi tekanan neo liberalisme. Pokok bahasan dalam tulisan ini mempertanyakan
tentang bagaimana produksi subsistensi sebagai altenatif? Bagaimana bentuk- bentuk
perlawanan perempuan terhadap neo-liberalisme? Bagaimana praktek-praktek subsistensi
sebagai alternatif dalam melawan corporate globalization?
Subsistensi Sebagai Alternatif
Maria Mies (1988), mengungkapkan pembagian kerja laki- laki dan perempuan
merupakan bagian dari strategi “pecah- belah dan kuasai” dari sistem kapitalis yang
patriarki. Dia berpendapat bahwa dominasi laki- laki terhadap perempuan adalah
merupakan fakta sejarah, di mana laki-laki atau kelompok laki- laki dapat menciptakan
suatu monopoli terhadap perempuan. Ketika perempuan mempertanyakan penyebab dari
ketidaksamaan/ketidakseimbangan antara laki- laki dan perempuan? Jawaban yang
muncul adalah kapitalisme tidak hanya melahirkan pembagian kerja secara seksual
melainkan juga pembagian sosial antara sektor privat dan publik dan pembagian kerja
internasional. Semua bentuk pembagian kerja ini terstruktur dan terkait secara hierarkis.
Hal yang menghubungkan semua itu adalah hubungan ketergantungan berdasarkan
eksploitasi, produksi, komoditas dan uang. Sektor-sektor kehidupan yang tergantung pada
tiap-tiap pembagian kerja itu disebut “koloni- koloni”.
Di bawah kapitalisme tenaga kerja produktif bukan sekedar alat kerja untuk memuaskan
kebutuhan manusia, tetapi tenaga surplus produksi. Tenaga kerja yang dibayar disebut
“produktif” dan yang tidak dibayar disebut “tidak produktif” atau alamiah (natural).
Maria Mies (1988) menyebutnya “naturalisasi kerja perempuan”, yaitu tenaga kerja
disembunyikan agar tidak nampak dalam sektor publik, terkunci dalam rumah tangga
Terjadinya pembagian kerja laki- laki dan perempuan sesungguhnya bukan karena
pembedaan biologis, melainkan hasil konstruksi sosial. Patriarki adalah sebuah realita
sejarah dan sistem sosial, bukan biologis. Dalam masyarakat matriarki, perempuan
diinterpretasikan sebagai paradigma semua produktifitas dan kreativitas. Namun
masyarakat patriarki kapitalis mendudukkan perempuan sebagai kelompok yang sama
sekali tidak produktif.
Eksploitasi terhadap perempuan merupakan hal esensial untuk menjaga
pembagian kerja internasional. Contohnya dapat dilihat pada sejarah kolonialisme dan
neo-kolonialisme yang merusak sistem ekonomi subsisten. Sekarang, eksploitasi terhadap
perempuan merupakan metode yang dibutuhkan dalam akumulasi dan pasar dunia.
Terjadinya eksploitasi itu bukan karena sadisme laki- laki atau feodalisme, melainkan
sebagai hasil proses akumulasi kapital secara langsung bergantung pada eksploitasi. Laki-
laki menjadi agen kapitalisme global. Maria Mies (1988), menjelaskan latar belakang
eksploitasi dalam masyarakat modern bukan merupakan suatu faktor ekonomi ekstra, tapi
termasuk dalam bagian intrinsik dari ekonomi. Seperti dalam perburuhan, keberadaan
mereka terus menerus mengalami eksploitasi. Eksploitasi secara terbuka, tersembunyi,
secara langsung dan terstruktur secara terus menerus. Eksploitasi yang dilakukan dalam
keluarga merupakan suatu akar masalah peningkatan eksploitasi terhadap perempuan
(Maria Mies et.al, 1988).
Dalam terminologi Claudia van Werlhof (2001), corporate globalisasi tidak lain
adalah cara kerja kapitalisme patriarki yang disebutnya sebagai “Alchemical Sistem”
yaitu sebagi cara berfikir dan bertindak patriarki dengan metode yang memisahkan semua
kehidupan perempuan dari proses produksi, merebut kekuasaan, melakukan degradasi,
pengasingan dan spekulasi terhadap tenaga kerja khususnya perempuan tanpa adanya
alternatif. “Alchemical Sistem” dengan menggunakan penerapan mesin dan zat- zat kimia
telah menghancurkan ilmu pengetahuan lokal dan teknologi lokal serta sumber daya alam
lokal (Veronica Bennholtd-Thomsen et.al, 2001). Sementara itu akhirnya menjadi jelas
bahwa proyek pembangunan patriaki, penciptaan pater arche, adalah benar- benar
malapetaka. Kepercayaan kita akan “alchemy” sudah diguncang semenjak kita sadar
akan tak terhitungnya jumlah manusia dan non manusia yang ditekan menuju
1
Dampak Pemberlakuan Kuota 30% Keterwakilan Perempuan
dalam Pencalonan Anggota Legislatif terhadap Kebijakan Partai
Politik di Kota Surakarta pada Pemilu 2009
Rosita Novi Andari
Pendahuluan
Masalah keadilan dan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan,
khususnya di bidang politik masih menjadi isu kebijakan nasional terutama
menjelang Pemilu 2009. Isu gender di bidang politik ditandai oleh masih rendahnya
partisipasi politik dan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada setiap
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Gambaran umum tentang partisipasi politik
perempuan di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah pada semua
tingkatan pengambilan keputusan, seperti tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif,
birokrasi pemerintahan, partai politik, dan kehidupan publik lainnya.
Berdasarkan data DPR–RI tahun 2007 sebagai hasil Pemilu 2004 persentase
anggota perempuan adalah 12, 36 % atau 68 orang dari 550 orang anggota legislatif.
Jumlah keterwakilan perempuan selama 9 kali Pemilu memperlihatkan fluktuasi yang
naik turun yang tidak signifikan. Pemilu pertama tahun 1955, keterwakilan
perempuan hanya mencapai 6,3% atau sejumlah 17 orang dari 272 orang anggota
legislatif. Pemilu 1987, keterwakilan perempuan mencapai paling tinggi yaitu 13%
atau sejumlah 65 orang perempuan dari 500 orang legislatif. Namun, pada pemilu
tahun 1997 menurun kembali menjadi 9% dan terakhir pada pemilu tahun 2004
jumlah keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif di setiap daerah pemilihan
hanya dapat mencapai kenaikan yang tidak signifikan yaitu 11% (www.menegpp.go.id).
Adapun perkembangan partisipasi perempuan sebagai anggota legislatif dari periode
2 Gambar 1
Grafik Perkembangan Partisipasi Perempuan
Sebagai Anggota Legislatif di DPR RI (1950-2009)
Sumber: (Diolah dari Miriam Budiarjo dalam Ratnawati (2004: 298) dan
www. menegpp.go.id)
Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik juga terjadi di Kota
Surakarta yang 53,1 % penduduknya adalah perempuan atau sebanyak 283.672 orang
dari total penduduk Kota Surakarta sebanyak 534.540 orang dengan rasio jenis
kelamin (sex ratio) 88,44 (Jateng dalam Angka, 2006:54). Secara umum,
perkembangan jumlah keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif di DPRD
Kota Surakarta mengalami fluktuasi dari periode ke periode dengan rata-rata 8,5 %.
Persentase tertinggi jumlah keterwakilan perempuan di DPRD terjadi pada tahun
1997 yaitu 15,6 % atau sebanyak 7 orang dari 45 orang anggota DPRD. Sedangkan
persentase terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,2 % atau 1 orang dari 45 orang
anggota DPRD. Gambar 2 di bawah ini memperlihatkan perkembangan jumlah
keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD di Kota Surakarta dari tahun
1955-2004.
Gambar 2
1 Evaluasi Anggaran Responsif Gender:
Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010
Dwi Hastuti
Pendahuluan
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang pembangunan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kesenjangan yang masih terjadi diakibatkan oleh terdapatnya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dengan cara pemerintah melakukan pengalokasian serta penggunaan anggarannya.
Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal ini yang kemudian membuat kebijakan yang bias1.
Dalam rangka menghindari adanya bias gender, anggaran seharusnya mewujudkan anggaran responsif gender (ARG). Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Di dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa Departemen Kesehatan menjadi salah satu kementrian/lembaga Negara yang dijadikan pilot project dalam upaya pelaksanaan anggaran responsif gender pada tahun 2011.
Pengalaman di beberapa pemerintah daerah khususnya Surakarta2, Cirebon3 dan Polman4 menunjukkan bahwa implementasi anggaran responsif gender di
1 Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute, hal: 2-3
2 Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) hal: 125-128
3
2 dalam anggaran kesehatan belum berjalan dengan baik. Peraturan -peraturan itu sering kali tidak bisa diimplementasikan karena perspektif gender belum menjadi kebutuhan mendasar guna merumuskan anggaran pembangunan.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas, sangatlah penting untuk segera dilakukan penelitian mengevaluasi anggaran responsif gender dalam anggaran Kesehatan Kota Surakarta tahun 2008-2010 sebagai upaya untuk mengetahui anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan dan berbagai kendala yang dihadapi. Evaluasi ini akan menjadi entry point pelaksanaan anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan tahun anggaran 2011.
Kajian Teori Gender dan Kesehatan
Gender bukan merupakan hal yang sifatnya kodrati akan tetapi merupakan hasil kontruksi sosial. Gender merupakan perbedaan fungsi, peran, hak dan
behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di alam bawah sadar masyarakat ialah jika seorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada laki-laki atau vagina pada perempuan. Secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin terlihat, pada saat itu juga kontruksi budaya mulai terbentuk Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat5.
Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada laki-laki sebagai akibat faktor biologisnya. Namun dalam kehidupannya perempuan banyak mengalami kesakitan dan tekanan yang dapat
4
Yeni Sucipto, dkk.2008. Belajar Dari Tanah Mandar (Mengawali Gerakan Gender Budget di Polewali Mandar). Sulawesi Selatan: Yayasan Swadaya Mitra Bangsa
5
BAGIAN IV
1 Evaluasi Anggaran Responsif Gender:
Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010
Dwi Hastuti
Pendahuluan
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang pembangunan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kesenjangan yang masih terjadi diakibatkan oleh terdapatnya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dengan cara pemerintah melakukan pengalokasian serta penggunaan anggarannya.
Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal ini yang kemudian membuat kebijakan yang bias1.
Dalam rangka menghindari adanya bias gender, anggaran seharusnya mewujudkan anggaran responsif gender (ARG). Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Di dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa Departemen Kesehatan menjadi salah satu kementrian/lembaga Negara yang dijadikan pilot project dalam upaya pelaksanaan anggaran responsif gender pada tahun 2011.
Pengalaman di beberapa pemerintah daerah khususnya Surakarta2, Cirebon3 dan Polman4 menunjukkan bahwa implementasi anggaran responsif gender di
1 Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute, hal: 2-3
2 Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) hal: 125-128
3
2 dalam anggaran kesehatan belum berjalan dengan baik. Peraturan -peraturan itu sering kali tidak bisa diimplementasikan karena perspektif gender belum menjadi kebutuhan mendasar guna merumuskan anggaran pembangunan.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas, sangatlah penting untuk segera dilakukan penelitian mengevaluasi anggaran responsif gender dalam anggaran Kesehatan Kota Surakarta tahun 2008-2010 sebagai upaya untuk mengetahui anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan dan berbagai kendala yang dihadapi. Evaluasi ini akan menjadi entry point pelaksanaan anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan tahun anggaran 2011.
Kajian Teori Gender dan Kesehatan
Gender bukan merupakan hal yang sifatnya kodrati akan tetapi merupakan hasil kontruksi sosial. Gender merupakan perbedaan fungsi, peran, hak dan
behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di alam bawah sadar masyarakat ialah jika seorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada laki-laki atau vagina pada perempuan. Secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin terlihat, pada saat itu juga kontruksi budaya mulai terbentuk Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat5.
Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada laki-laki sebagai akibat faktor biologisnya. Namun dalam kehidupannya perempuan banyak mengalami kesakitan dan tekanan yang dapat
4
Yeni Sucipto, dkk.2008. Belajar Dari Tanah Mandar (Mengawali Gerakan Gender Budget di Polewali Mandar). Sulawesi Selatan: Yayasan Swadaya Mitra Bangsa
5
1
Keterlibatan Tenaga Kerja Wanita di Pedesaan pada Industri
Kerajinan Seni Kriya di Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul
Yogyakarta
Retno Kusumawiranti
Pendahuluan
Seiring dengan terjadinya perubahan kebijakan dan struktur perekonomian
nasional yang mengarah pada proses industrialisasi, wilayah pedesaan juga
merasakan imbasnya. Hal ini terlihat antara lain jika pada mulanya struktur
perekonomian wilayah pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, secara bertahap
peran pertanian menurun dalam menyumbang pendapatan rumah tangga dan digeser
oleh sumbangan pendapatan dari luar sektor pertanian.
Partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi merupakan masalah kultural dan
struktural. Dimensi kultural menyangkut sistem ideologi yang memberi pengaruh di
dalam pembentukan cara pandang wanita, laki-laki dan cara pandang masyarakat
terhadap kegiatan ekonomi dan terhadap wanita. Pada saat ideologi menjadi pembatas
ruang gerak wanita maka etos kerja wanita tidak akan terbentuk karena
wilayah-wilayah ekspresi wanita telah dirumuskan dalam kepala setiap orang. Cara pandang
yang melihat wanita sebagai obyek telah menghasilkan tindakan yang membatasi
kesempatan partisipasi wanita dalam bidang ekonomi. Kemungkinan partisipasi itu
juga ditentukan oleh dukungan sistem nilai yang menegaskan adanya suatu alat ukur
yang dipatuhi bersama, di mana wanita mengalami subordinansi. Namun demikian,
perubahan pemaknaan sedang terjadi yang disebabkan oleh kesadaran baru dalam diri
wanita dan laki-laki. Partisipasi wanita kemudian meningkat sejalan dengan
perubahan tersebut.
Telaah tentang partisipasi wanita di pedesaan (dan Indonesia secara umum)
2 Peran tradisi atau peran domestik mencakup peran wanita sebagai istri, ibu dan
pengatur (pengelola) rumah tangga. Sementara itu peran transisi meliputi pengertian
wanita sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Wanita
sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomi (mencari nafkah) di berbagai
jenis kegiatan sesuai dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan
pekerjaan yang tersedia baginya.
Presentasi tingginya kenaikan angkatan kerja wanita sangat nyata di daerah
pedesaan. Selama tahun 1980 – 1985 dan tahun 1985 – 1990, rata-rata kenaikan
angkatan kerja di desa 2,5 kali lipat dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki.
Relatif tingginya rata-rata kenaikan angkatan kerja wanita tersebut terutama
disebabkan meningkatnya proporsi wanita yang bekerja. Secara rata-rata, proporsi
kenaikannya sekitar 3,3 %. Sementara itu proporsi laki-laki yang bekerja di pedesaan
meningkat rata-rata hanya sekitar 1,3 % (Prisma No.6 Juni 1995). Walaupun peran
domestik sangat ditekankan oleh wanita desa, tetapi wanita desa sesungguhnya
melakukan peran yang kompleks karena ia terlibat dalam kegiatan rumah tangga,
kegiatan ekonomi (dalam pertanian, industri, perdagangan kecil-kecilan) sekaligus
kegiatan-kegiatan sosial.
Meningkatnya keterlibatan wanita dalam kegiatan ekonomi ditandai oleh
dua proses. Pertama, peningkatan dalam “jumlah wanita” yang terlibat dalam
pekerjaan di luar rumah tangga (out door activities). Seperti di dalam cacatan BPS,
jumlah mereka yang meninggalkan sektor domestik, atau tidak lagi bekerja di rumah
terus bertambah jumlahnya yakni dari 33,1 persen pada tahun 1971 menjadi 56,5
persen pada tahun 2000, dengan demikian dapat dikatakan, kehadiran perempuan di
dunia kerja di masa-masa mendatang tidak dapat dihambat lagi. Kedua, peningkatan
dalam “jumlah bidang pekerjaan” yang dapat dimasuki oleh wanita. Bidang-bidang
yang sebelumnya masih didominasi oleh laki-laki berangsur-angsur dimasuki atau
bahkan mulai didominasi oleh wanita. Keterlibatan wanita dalam berbagai bidang
Pemberdayaan Tenaga Kerja Wanita dalam Pertanian
Sawah Surjandi
Kabupaten Kulon Progo
Tiwuk Kusuma Hastuti
Pendahuluan
Salah satu sumbangan wanita dalam pembangunan adalah partisipasi wanita sebagai
tenaga kerja dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi. Dalam masyarakat agraris, usahatani
terutama pada pertanian campuran (mixed farming), membutuhkan banyak tenaga kerja, baik
pria maupun wanita (Pudjiwati Sajogyo, 1993: 92-93).
Peran serta wanita dalam pertanian dimulai semenjak orang menguasai alam atau
bercocok tanam (Ibid. Hlm. 84.) Sejak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata
antara pria dan wanita dalam pekerjaan di bidang pertanian, di dalam keluarga dan masyarakat
luas, di mana faktor penguasaan tanah menjadi penting. Gejala tersebut kemudian mendorong
pula ke arah timbulnya “diferensiasi” peranan antara pria dan wanita dalam keluarga dan sistem
kekerabatan yang luas (Ester Boserup,1984).
Dalam proses pembangunan kita, selama dasawarsa 1970-an telah terjadi berbagai
perubahan. Salah satu perubahan yang nampak adalah perubahan dalam pola kerja wanita.
Penguasaan atas sumber daya tanah, penguasaan atas modal, dan teknologi unggul membawa
perubahan pada keluarga petani, sebagai pendukung utama pertanian. Dampak tersebut amat
nyata pada golongan wanita. Faktor-faktor tersebut menentukan peluang bekerja dan berusaha
bagi para wanita di pedesaan (Pudjiwati Sajogyo, 1993:83).
Dalam keadaan di mana warga masyarakat desa yang miskin hanya memiliki
kemungkinan yang terbatas untuk memperoleh sumber-sumber strategis utama berup