• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pfeifer, 2015). Jika rasio berkisar antara 1.8 sampai 2.0, artinya asam nukleat yang diperoleh relatif murni (Greene dan Rao, 1998).

Selain menggunakan spektroskopi UV dan fluorometri, metode lain yang dapat digunakan adalah elektroforesis agarosa. Metode ini dapat memastikan adanya berat molekul DNA. Adanya noda (smear) pada hasil elektroforesis menandakan bahwa sampel terdegradasi atau terkontaminasi (Kulkarni dan Pfeifer, 2015).

2.6. Spektrofotometer UV untuk Pemeriksaan DNA

Spektrofotometer UV dapat digunakan untuk menghitung kadar dan kemurnian asam nukleat. Spektrofotometer ini dapat mengukur yang sangat kecil, yaitu sekitar 0.2-2 µl tanpa harus mengencerkan sampel terlebih dahulu. Spektrum atau panjang gelombang yang dapat digunakan berkisar dari 220-750 nm. Alat ini tidak membutuhkan kuvet dan peralatan sampel lainnya, serta dapat dibersihkan dengan cepat. Pengukuran yang dilakukan oleh alat ini sangat cepat, yaitu hanya beberapa detik. Namun, kontaminan dalam sampel asam nukleat dapat mempengaruhi akurasi yang dihasilkan (Kennedy dan Oswald, 2011).

Gambar 2.7. Spektrofotometer UV untuk Pemeriksaan DNA

(Sumber: www.labtech.ie dan www.promarchive.com)

2.7. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan alat yang dapat melakukan amplifikasi DNA yang dipilih pada daerah tertentu genom dengan bantuan sekurangnya sepasang sekuens nukleotidanya (primer) yang telah diketahui (Alberts et. al., 1989). PCR merupakan teknik analisis biologi molekular baru untuk mereplikasi DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme

hidup. Teknik PCR ini membutuhkan jumlah molekul DNA yang sedikit untuk kemudian diamplifikasi beberapa kali dalam fase eksponensial. Dengan lebih banyak DNA yang tersedia, analisis yang dilakukan menjdi lebih mudah. PCR biasanya digunakan dalam laboratorium medic dan biologi untuk tujuan deteksi penyakit keturunan, diagnosis penyakit infeksi, identifikasi sidik jari genetic, kloning gen, paternity testing, dan komputasi DNA (Rahman, et. al., 2013).

Teknik ini dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1983. PCR dapat menganalisis sampel dengan volume 10-200 µl dalam tabung reaksi kecil (volume 0.2-0.5 ml) dalam thermal cycler. Di dalam thermal cycler, terjadi reaksi pemanasan dan pendinginan kepada tabung untuk memperoleh suhu yang dibutuhkan pada setiap langkah selama reaksi.

PCR digunakan untuk mengamplifikasi untai DNA yang pendek dan bagian yang teridentifikasi, yaitu dapat berupa gen tunggal atau hanya bagian dari gen. Berbeda dengan organism hidup, proses PCR dapat menyalin fragmen DNA yang pendek, biasanya sampai 10 kb (kilo base pairs). Beberapa metode tertentu dapat menyalin fragmen sampai ukuran 40 kb, dimana ukuran tersebut lebih kecil daripada kromosom DNA pada sel eukariot (Rahman et. al., 2013).

2.7.1. Komponen PCR

Beberapa komponen penting yang dibutuhkan dalam PCR adalah DNA template, primer, enzim Taq Polymerase, deoxyribonucleaside triphosphate(dNTP’s), dan dapar PCR.

a. DNA template atau cDNA

DNA template mengandung daerah fragmen DNA yang akan diamplifikasi (Rahman et. al., 2013). Fungsi DNA template adalah sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama. DNA template dapat berupa DNA kromosom atau fragmen DNA apapun yang mengandung fragmen DNA target yang dituju. b. Primer

Primer dibutuhkan untuk menentukan awal dan akhir daerah (batas) yang akan diamplifikasi dari fragmen DNA. Primer

23

merupakan untai DNA buatan yang terdiri atas tidak lebih dari 50 nukleotida (biasanya 18-25 bp) yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA template. Ia akan menempel ke DNA template

pada titik awal dan akhir, tepatnya ditempat DNA polymerase terikat dan mulai mensintesis untai DNA baru. Selain itu, primer menyediakan gugus hidroksi (OH-) pada ujung 3’ yang diperlukan

untuk proses pemanjangan DNA. (Rahman et. al., 2013; Handoyo dan Rudiretna, 2000)

Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan rutan DNA yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari data GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui, maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai kekerabatan yang dekat.

Dalam perancangan primer, kriteria yang harus dipenuhi adalah: (1) Panjang basa berkisar antara 18-30 basa. Jika terlalu pendek dapat menyebabkan mispriming; (2) Komposisi primer tersusun atas kandungan G+C (% jumlah G dan C) yang sama atau lebih besar dari kandungan G+C DNA target. Hal ini disebabkan karena primer dengan % G+C yang rendah diperkirakan tidak akan mampu berkompetisi untuk menempel secara efektif pada tempat yang dituju; (3) Melting Point (Tm, temperatur dimana 50% untai ganda DNA terpisah) yang dipilih akan berpengaruh dalam pemilihan suhu annealing proses PCR. Penentuan Tm berkaitan dengan komposis primer dan panjang primer. Perhitungan Tm dilakukan dengan rumus [2(A+T)+4(C+G)]. Sebaiknya Tm primer berkisar antara 50 – 65oC; (4) Interaksi primer-primer harus dihindari, seperti cross-homology atau self-homology.

c. Enzim Taq polymerase

Taq polymerase dibutuhkan sebagai katalisator untuk reaksi polimerisasi DNA yang diperlukan untuk tahap pemanjangan

DNA. Enzim ini diisolasi dari bakteri termofilik atau hipertermofilik, sehingga bersifat termolabil sampai suhu 95oC. Aktivitas Taq polymerase tergantung dari jenisnya dan asal bakteri tersebut diisolasi. (Handoyo dan Rudiretna, 2000)

d. Nukleotida atau deoxyribonucleaside triphosphate (dNTP)

Nukleotida merupakan bahan dasar untuk membentuk DNA baru yang bertindak sebagai building block DNA yang diperlukan dalam proses pemanjanan DNA (Rahman et. al., 2013). Ia terdiri atas dATP, dTTP, dGTP, dan dCTP. dNTP akan menempel pada gugus –OH pada ujung 3’ dari primer, kemudian membentuk untai

baru yang komplementer dengan untai DNA template. e. Dapar dan MgCl2

Dapar dibutuhkan untuk menjaga pH medium tetap berada pada pH yang sesuai agar proses PCR dapat berlangsung dan menstabilkan enzim DNA polimerase. Sedangkan MgCl2 yang menyediakan ion Mg2+ bertindak sebagai kofaktor yang berfungsi untuk menstimulasi aktivitas DNA polymerase. Dengan adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan DNA

template yang membentuk kompleks larut dengan dNTP. Umumnya dapar PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Namun, lebih disarakan agar dapat PCR dan MgCl2 dipisahkan (Handoyo dan Rudiretna, 2000).

2.7.2. Tahapan PCR

Tahapan PCR melibatkan 5 tahap, yaitu (1) pradenaturasi DNA

template; (2) denaturasi DNA template; (3) penempelan primer pada DNA template (annealing); (4) pemanjangan primer (extension), dan (5) pemantapan (post-extension). Tahap (2) sampai (4) merupakan tahapan berulang (siklus), dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA. Tahapan PCR biasanya terdiri atas 20-35 siklus. Penggunaan jumlah siklus yang terlalu banyak dapat meningkatkan jumlah produk yang non target.

25

Gambar 2.8. Tahapan Proses PCR

(Sumber: www.flmnh.ufl.edu)

1. Pemisahan atau Denaturasi

Pada tahap ini, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen. Enzim Taq polymerase diaktifkan pada tahap ini (Rahman et. al., 2013). Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90-95oC selama 3 menit untuk meyakinkan bahwa molekul DNA target yang ingin dilipatgandakan jumlahnya benar-benar telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Untuk denaturasi berikutnya, waktu yang diperlukan hanya 30 detik pada suhu 95oC atau 15 detik pada suhu 97oC.

Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen DNA target. Jika DNA target kaya akan G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena ikatan hidrogen pada G-C lebih banyak dibandingkan ikatan A-T. Selain itu, suhu denaturasi juga tidak boleh terlalu tinggi dan waktu denaturasi yang terlalu lama, karena dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas enzim Taq polymerase (Sambrook et. al., 1989).

2. Penempelan (Annealing)

Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50-60oC. Dengan terjadinya penurunan suhu, primer dapat menempel pada untai

DNA tunggal (Rahman et. al., 2013). Primer akan menuju daerah yang spesifik, dimana daerah tersebut memiliki komplemen dengan primernya. Pada proses penempelan ini, ikatan hidrogen akan terbentuk. Selanjutnya enzim Taq polymerase akan berikatan, sehingga ikatan hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali. Spesifisitas PCR sangat tergantung pada suhu melting (Tm) primer. Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 5oC di bawah Tm (Sambrook et. al., 1989). Jika suhu yang digunakan pada tahap penempelan ini tidak tepat, primer tidak akan mengikat di DNA template atau terikat di bagian yang salah. Waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini adalah sekitar 1-2 menit (Rahman, et. al., 2013).

3. Pemanjangan atau polimerasi (Extention)

Primer yang telah menempel pada DNA template akan mengalami pemanjangan pada sisi 3' nya dengan penambahan dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA polimerase. Umumnya reaksi pemanjangan (extension) atau polimerasi, terjadi pada suhu 72-78oC. Hal ini disebaban karena suhu tersebut merupakan suhu optimum untuk Taq polymerase. Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72-78oC diperkirakan antara 35 sampai 100 nukleotida per detik, bergantung pada dapar, pH, konsentrasi garam, dan molekul DNA target. Dengan demikian, untuk produk PCR sepanjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap pemanjangan primer ini.

Jumlah siklus yang dibutuhkan untuk amplifikasi tergantung pada jumlah salisan DNA template yang ada pada saat mulai reaksi dan efisiensi pemanjangan dan amplifikasi primer. Produk DNA pada siklus amplifikasi pertama akan menjadi cetakan pada siklus berikutnya. Dibutuhkan sedikitnya 25 siklus untuk memperoleh tingkat amplifikasi sekuens target yang diterima (Sambrook et. al., 1989). Secara teori, hubungan kuantitatif antara jumlah awal sekuens target

27

(Xo) dan jumlah produk PCR setiap siklus (Xn) ketika fase eksponensial adalah Xn = Xo (1+E)n., dimana E adalah nilai antara 0 (tidak ada amplifikasi) atau 1 (setiap amplikon tereplikasi setiap siklus) (Vaerman, et. al., 2004).

2.7.3. Real-Time PCR

Real-Time PCR juga dikenal sebagai quantitative real time polymerase chain reaction (Q-PCR/qPCR) atau kinetic polymerase chain reaction. Real-Time PCR adalah suatu metoda analisis yang dikembangkan dari reaksi PCR. RT-PCR adalah suatu teknik pengerjaan PCR di laboratorium untuk mengamplifikasi sekaligus mengkuantifikasi jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut, yang bersifat sensitif, spesifik, dan reprodusibel untuk asam nukleat (Vaerman et. al., 2004; Arya et. al., 2005).

Pada PCR konvensional, pengamatan hasil amplifikasi DNA dilakukan menggunakan elektroforesis gel agarosa pada end-point

amplifikasi DNA tersebut. Sedangkan analisis menggunakan Real-Time PCR memungkinkan untuk dilakukan pengamatan pada saat reaksi berlangsung. Keberadaan DNA hasil amplifikasi dapat diamati pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari

probe (penanda). Pada Real-Time PCR pengamatan hasil tidak lagi membutuhkan tahap elektroforesis. (Pranawaty et.al., 2012)

Konsentrasi awal sekuens target ditunjukkan sebagai fraksi jumlah siklus (CT atau Cycle Theshold). Nilai ini dibutuhkan untuk memperoleh adanya awal amplifikasi. Real-Time PCR tidak terpengaruh terhadap berbagai variasi komponen dalam reaksi dan kurang sensitif terhadap perbedaan efisiensi amplifikasi.

Kemampuan untuk menghitung amplifikasi DNA selama fase eksponensial dihasilkan dengan mengembangkan ketelitian menghitung sekuens target. Terdapat beberapa metode untuk menegaskan spesifisitas produk amplifikasi, yaitu dengan melting temperatures, probe oligonukleotida yang dilabelkan dengan fluoresensi, metode TaqMan, hibridisasi probe.

Metode TaqMan menggunakan oligonukleotida yang menempel ke sekuens internal dalam fragmen DNA yang diamplifikasi. Biasanya oligonukleotida, yang terdiri atas 20-24 basa, dilabelkan dengan

fluorescent group pada ujung 5’ dan quencher group pada akhir 3’,

dimana mereka dibatasi oleh PO2, NH2, atau blocked base. Label oligonukleotida tersebut ditambahkan bersama dengan primer untuk mengamati perubahan amplifikasi sekuens target (Sambrook et. al., 1989).

Gambar 2.9. Kerja Fluorescent Dye dan Quencher pada Real-Time

PCR (Sumber : www.isu.edu)

Hasil peningkatan fluorescent digambarkan melalui kurva amplifikasi yang menunjukkan tiga fasa yaitu fasa awal, fasa eksponensial atau puncak dan fasa plateau atau stabil (Vaerman, 2004).

Gambar 2.10. Bentuk Kurva Real-Time PCR

BAB III

Dokumen terkait