• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

C. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Istilah pondok berasal dari bahasa arab fundug, yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier, 1994:18).

Sedang perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Di Indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren (Yasmadi, 2002: 61-62).

Menurut Madjid (1997:3) pesantren atau pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan proses pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik

dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigeous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah aja sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.

Pondok pesantren merupakan asrama sebagai tempat tinggal santri yang sedang menuntut ilmu keagamaan. Dimana santri dan guru tinggal bersama dalam satu lingkungan. Pesantren juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang kelas untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Galba (2004:23) mengemukakan adanya tiga alasan utama berkenaan dengan kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi santrinya. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tetang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santrinya, dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi mereka. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyainya seolah-

olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.

Salah satu tradisi agung (Great Tradition) di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam seperti yang muncul di Pesantren Jawa dan lembaga-lembaga serupa di luar Jawa serta Semenanjung Malaya. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu. Kitab-kitab ini di Indonesia dikenal sebagai kitab kuning (Martin, 1995:1).

Pesantren dapat disebut sebagai lembaga non-formal, karena eksistensinya berada dalam jalur sistem pendidikan kemasyarakatan. Ia memiliki program pendidikan yang disusun sendiri dan pada umumnya bebas dari ketentuan formal. Program ini mengandung pendidikan formal, non-formal dan informal yang berjalan sepanjang hari dalam sistem asrama. Dengan demikian pesantren bukan saja tempat belajar, melainkan merupakan proses hidup itu sendiri (P3M, 1988: 110).

Sebagai lembaga pendidikan, dapat disebut pondok pesantren apabila di dalamnya terdapat sedikitnya lima unsur, yaitu:

a. Kyai b. Santri

c. Pengajian d. Asrama

e. Masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatannya (Departemen Agama RI, 2003: 28).

2. Tujuan Pesantren

Sejak awal pertumbuhannya, tujuan utama pondok pesantren adalah (1) menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fid-din, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia, kemudian diikuti dengan tugas (2) dakwah menyebarkan agama Islam dan (3) benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak (Departemen Agama RI, 2003:9).

3. Peran Pesantren

Menurut Muin,dkk (2007:20) pada awalnya kebanyakan pesantren berdiri lebih didasarkan pada motivasi dasar hanya untuk mengembangkan keilmuan agama. Dalam kaitan ini, pesantren memiliki tiga peran yaitu; a. Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional b. Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional c. Sebagai pusat reproduksi ulama.

4. Karakteristik Pondok Pesantren

Yasid, dkk (2018:178-180) menjelaskan bahwa, Mukti Ali dan Alamsyah Ratu Prawiranegara melakukan identifikasi karakteristik yang menjadi ciri khas pondok pesantren. Pertama, adanya hubungan akrab antara para santri dengan kyai. Kedua, ketundukan santri pada figur kyai. Ketiga, kesederhanaan dan hemat. Keempat, kemandirian. Kelima,

ta‟awun atau tolong menolong dalam suasana persudaraan. Keenam, disiplin dalam memanfaatkan waktu dan berpakaian. Ketujuh, sikap mental berani menderita telah menjadi bagian yang integral di kalangan para santri. Kedelapan, kehidupan agama yang baik. Kesembilan, kultur kitab kuning dan wacana keislaman klasik yang sangat kuat dalam tradisi pondok pesantren.

5. Kurikulum Pendidikan Pesantren

An Nahidl (2010:145) menjelaskan mengenai model kurikulum yang akan digunakan dalam proses pembelajaran para santri sementara ini disusun oleh masing-masing pesantren. Ke depan, diharapkan kurikulum dirancang bersama-sama antara pesantren, Departemen Agama dan MUI, agar tujuan pendidikan kader ulama dapat tercapai secara maksimal. Selanjutnya, pada penghujung kegiatan pembelajaran, dilakukan evaluasi atau penilaian keberhasilan pendidikan bagi para santri dalam bentuk ujian.

Mengenai sistem pengelompokkan untuk mempermudah sampainya sebuah ilmu pengetahuan dalam proses pembelajaran, Muhtarom (2005:117-118) mengatakan bahwa sekarang ini banyak pondok pesantren menggunakan sistem klasikal dan memasukkan pelajaran umum sebagai suatu bagian yang dianggap penting dalam tradisi pondok pesantren tradisional, tetapi pembelajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) tetap diajarkan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pondok pesantren, yakni mendidik calon-calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional. Pengajaran ilmu-ilmu ini diberikan jenjang- jenjang kelas. Santri pada awalnya diajarkan pengetahuan-pengetahuan yang dasar berlanjut sampai pada pengetahuan yang lebih tinggi.

Dari berbagai tingkat konsistensi dengan sistem lama dan keterpengaruhan oleh sistem modern, Yasid dkk, (2018:156-157) menjelaskan secara garis besar pondok pesantren dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk. Pertama pesantren salafiyyah. Sesuai dengan namanya, salaf berarti lama. Peantren salafiyyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pesantren salafiyyah menyelenggarakan pendidikan dengan menggunakan kitab kuning dengan sistem pengajaran yang ditetapkan oleh kyai atau pengasuh.

Kedua, pesantren khalafiyyah. Khalaf berarti “kemudian” atau

“belakang” atau “modern”. Pesantren khalafiyyah berarti pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan pendidikan modern., melalui satuan pendidikan formal, baik berupa madrasah (MI, MTs, MA atau MAK) maupun sekolah/kampus. Pesantren khalaf menerima hal-hal yang baru yang dinilai baik, sembari tetap mempertahankan tradisi lama yang baik. Pesantren jenis ini mengajarkan pelajaran umum di madrasah dengan sistem klasikal, dan membuka sekolah//kampus umum di lingkungan pesantren. Dengan alasan itu, masyarakat menyebutnya sebagai pesantren modern atau khalafiyyah.

Ketiga, pesantren campuran/kombinasi. Sebagian besar pondok pesantren yang ada sekarang adalah pondok pesantren yang berada di antara rentang dua pengertian salaf dan khalaf. Sebagian pondok pesantren yang mengaku atau yang menamakan diri salafiyyah, umumnya juga menyelenggarakan pendidikan secara klasikal dan berjenjang, walaupun tidak dengan nama madrasah atau sekolah/kampus. Demikian juga pesantren khalafiyyah yang umumnya juga menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan pengajian kitab klasik, karena sistem mengaji kitab itulah yang selama ini diakui sebagai salah satu identitas pondok pesantren.

Namun, apabila dilihat dari sisi muatan materi kurikulumnya, Bruinessen membagi pondok pesantren menjadi dua bagian, yakni; Pertama, pondok pesantren yang hanya mengajarkan cara membaca huruf arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh Al Qur‟an. Kedua, pondok pesantren yang mengajarkan kepada para santrinya berbagai kitab fiqh, ilmu aqidah dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf).

6. Metode Pembelajaran

Selama kurun waktu yang sangat panjang pondok pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode pembelajaran seperti wetonan (bandongan), sorogan hapalan (tahfidz), mudzakarah (musyawarah/munazharah), halaqah (seminar) dan majelis ta‟lim (Departemen Agama RI, 2003:10).

D. Kajian Pustaka

Dari hasil pembahasan mengenai penelitia yang berjudul “Peran Kyai Dalam Pembinaan Akhlak Santri di Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah Salatiga Tahun 2015/2016” memiliki keterkaitan dengan hasil penelitian terdahulu diantaranya:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Khasanah (2017) yang berjudul

“Peran Ustadz dalam Membentuk Karakter Santri di Pondok Pesantren Pancasila Salatiga”. Persamaan dengan hasil penelitian saya adalah

menerangkan tentang peran guru agama. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian ini pembentukan karakter santri, sedang pada penelitian saya pembinaan akhlak santri.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Inggi Putri Pradana (2017) yang berjudul

“Peran Guru Pendidikan Agama Islam dalam Membina Kecerdasan Spiritual Pada Siswa Kelas XI IPS di SMA Negeri Bringin”. Persamaan

dengan hasil penelitian saya adalah menerangkan tentang peran guru agama dan bertujuan untuk pembinaan. Sedang perbedaannya adalah pada penelitian ini pembinaan kecerdasan spiritual terhadap siswa di sekolah formal. Sedangkan penelitian saya pembinaan akhlak terhadap santri di pondok pesantren.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Elia Widyawati (2017) yang berjudul

“Pembinaan Akhak Anak Pada Orangtua Pekerja Pabrik Di Dusun

Ngumpul Desa Kedungumpul Kecamatan Kandangan Kabupaten

Temanggung”. Persamaan dengan hasil penelitian saya adalah pembinaan

yang berkaitan dengan akhlak anak. Sedang perbedaannya adalah pada penelitian ini anak yang dimaksud adalah putra-putri dari orang tua pekerja pabrik. Sedangkan penelitian saya pembinaan yang berikan kepada anak yang sedang menuntut ilmu di pondok pesantren atau santri. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Atik Walidaik (2017) yang berjudul Peran

Guru Dalam Mengatasi Masalah Kenakalan Remaja”. Persamaan dengan

guru agama. Perbedaannya adalah pada penelitian ini mengatasi sebuah permasalahan kenakalan remaja. Sedang penelitian saya tentang pembinaan akhlak.

Dokumen terkait