• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL ABDUL GHANI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL

B. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Kata pondok (kamar, gubuk, rumah kecil) dipakai dalam bahasa Indonesia dengan menekankan kesederhanaan bangunan. Mungkin juga “pndok” diturunkan dari kata Arab “funduk” (ruang tidur, wisma, hotel sederhana).16

Kata pesantren yang terdiri dari kata asal “santri” awalan “pe” dan akhiran “an”, yang menentukan tempat, jadi berarti “tempat para santri”. Kadang-kadang ikatan kata “sant” (manusia baik) dihubungkan dengan suku kata “tra” (suka menolong)”, sehingga kata pesantren dapat berarti “tempat pendidikan manusia baik-baik”.17

Mengenai istilah “santri” menurut Nurcholish Madjid setidaknya ada dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa “santri” itu berasal dari kata “sastri” sebuah kata dari bahasa sansekerta, yang artinya “melek huruf”. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap.18

Tetapi dalam pendapat lain disebutkan bahwa istilah santri sendiri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. C.C Berg meyatakan bahwa akar kata santri berasal dari shastri bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku Agama Hindu. Kata shastri sendiri berasal dari

16

Manfred Ziemek, Pesantren dalam Pembahasan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 98. 17

Ziemek, Pesantren dalam Pembahasan Sosial, h. 99. 18

shastra yang berarti buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.19

Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren.20

2. Sejarah Pondok Pesantren

Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (Indigenous).21 Sebagai model pendidikan yang memiliki karakter khusus dalam perspektif wacana pendidikan nasional sekarang ini, sistem pondok pesantren telah mmengundang spekulasi yang bermacam-macam. Minimal ada tujuh teori yang mengungkapkan spekulasi tersebut. Teoripertama menyebutkan bahwa pondok pesantren merupakan bentuk tiruan atau adaptasi terhadap pendidikan hindu dan budha sebelum Islam datang ke Indonesia. Teori kedua, mengklaim berasal dari India. Teori ketiga, menyatakan bahwa model pendidikan pondok pesantren ditemukan di Baghdad. Teori keempat, bersumber dari perpaduan Hindu-Budha (pra muslim di Indonesia dan India. Teori kelima, mengungkapkan dari kebudayaan Hindu-Budha dan Arab. Teori keenam, menegaskan dari India

19

Habibullah Bahwi, “Peran Intelektual Pesantren Indonesia dan Hauzah Iran,” artikel

diakses pada 6 Desember 2013

darihttp://citation.itb.ac.id/pdf/JURNAL/KARSA,JurnalSosialdanBudayaKeislaman/Vol%2020,% 20No%201%20(2012)/128-131-1-PB.pdf 20 Qomar, PESANTREN, h. 1. 21 Madjid, Bilik-BilikPesantren, h. 3.

dan orang Islam Indonesia. Teori ketujuh, menilai dari India, Timur Tengah dan tradisi lokal yang lebih tua.22

Agaknya pesantren terbentuk atas pengaruh India, Arab, dan tradisi Indonesia sebagaimana dimaksudkan teori terakhir. Ketiga tempat ini merupakan arus utama dalam mempengaruhi tebentuknya sistem pendidikan pesantren. Arab sebagai tempat kelahiran Islam mengilhami segala bentuk pengajaran dan pendidikan Islam. India minimal menjadi daerah transit para penyebar Islam masa awal. Sedang Indonesia saat kehadiran pesantren didominasi Hindu-Budha dijadikan pertimbangan dalam membangun sistem pesantren sebagai bentuk akulturasi (acculturation) atau kontak budaya (culture contact).23 Hal ini diperkuat oleh pernyataan Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Buddha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengIslamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak mengecilkan peranan Islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia.24

Dikalangan para ahli sejarah terdapat perselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesantren pertama kali. Sebagian mereka menyebutkan Syaikh Maulana Malik Ibrahim, atau yang dikenal dengan Syaikh Maghribi dari Gujarat India sebagai pendiri atau pencipta pondok pesantren yang pertama di Jawa. Namun menurut S.M.N. A-attas Maulana Malik Ibrahim itu oleh para ahli dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Jawa, yang mengIslamkan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa,

22

Qomar, PESANTREN, h. 1o 23

Qomar, PESANTREN, h. 1o. 24

bahkan berkali-kali mencoba menyadarkan raja Hindu-Budha Majapahit, Vikramavardhana (berkuasa 788-833/1386-1429 agar sudi masuk Islam. Akan tetapi mengingat pesantren yang dirintis Maulana Malik Ibrahim itu belum jelas sistemnya, maka keberadaan pesantrennya masih dianggap spekulatif. Mengenai teka-teki siapa pendiri pesantren pertama kali di Jawa khususnya, agaknya analisis lembaga research Islam (pesantren luhur cukup cermat dan dapat dijadikan pedoman. Dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedang Raden Rahmatullah (Sunan Ampel) sebagai wali pembina pertama di Jawa Timur. Ia juga mendirikan pusat pendidikan dan pengajaran yang kemudian disebut dengan pesantren Kembang Kuning Surabaya.25

3. Unsur-Unsur Pondok Pesantren

Hampir dapat dipastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kelima elemen atau unsur tersebut meliputi:

a. Kyai b. Santri c. Pondok d. Masjid 25 Qomar, PESANTREN, h. 9.

e. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau yang sering disebut dengan kitab kuning.26

Senanda dengan pendapat di atas, Ziemek menyebutkan bahwa unsur-unsur pesantren yang tersebar luas di Indonesia diantaranya:

a. Kyai sebagai pendiri b. Santri

c. Masjid atau Langgar

d. Asrama untuk pelajar serta ruangan-ruangan belajar.27 4. Jenis-Jenis Pondok Pesantren

Pesantren terbentuk dari hasil usaha mandiri kyai dengan dibantu santri dan masyarakat sekitar, sehingga memiliki berbagai bentuk. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera kyai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya.28

Kemunculan pesantren memang sangat tergantung pada figur seorang kyai sebagai pendirinya. Tanpa kyai, siklus pesantren akan terputus dan akan berjalan timpang, atau bisa saja buyar. Karenanya, kyai menjadi sosok sentral yang paling diagungkan di lingkungan pesantren. Posisinya yang demikian tinggi itu memaksa lembaga ini harus tunduk dan patuh sepenuhnya di bawah kehendak sang kyai, karena otoritas sepenuhnya berada dalam genggamannya. Maka dari itu, jatuh bangunnya sebuah pesantren sangatlah tergantung pada kuat tidaknya seorang kyai memikul beban lembaganya. Karena porsi ketergantungannya pada sosok

26

Amin Haedari, Masa depan pesantren dalam tantangan modernitas dan tantangan komplesitas global (Jakarta: IRD PRESS, 2004), cet. I. h. 25.

27

Ziemek,Pesantren dalam Pembahasan Sosial,h. 100. 28

kyai begitu tinggi, maka gerak lajunya pun tak jarang tersendat oleh kehendak para kyai. Kondisi inilah yang menjadikan lembaga ini terkesan lamban dalam merespons perkembangan situasi global. Kalau karakter kyainya tertutup, maka dapat dipastikan lembaga pesantren yang diasuhnya juga akan tertutup. Jadi, seperti apapun bentuk pesantren yang kita saksikan sekarang ini tidak bisa lepas dari hasil perjuangan para kyai. Format dan sistem apapun yang akan dikembangkan di dalamnya adalah konsep utuh dari seorang kyai selaku pendirinya.29

Perbedaan corak antar pesantren merupakan hal yang niscaya. Karena setiap kyai mempunyai latar belakang pendidikan dan selera yang berbeda. Pengklasifikasian pesantren bisa dilihat dari berbagai perspektif, diantaranya:

1) Keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi a. Pesantren Salafi

Jenis pesantren ini tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengajarkan pengetahuan umum.

b. Pesantren Khalafi

Jenis pesantren ini telah memasukana pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang

29

dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.

2) Jumlah Santri a. Pesantren Kecil

biasanya mempunyai santri dibawah seribu dan pengaruhnya terbatas pada tingkatan kabupaten.

b. Pesantren Menengah

Biasanya mempunyai seribu sampai dua ribu santri, yang memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari berbagai kabupaten.

c. Pesantren Besar

Biasanya memiliki lebih dari dua ribu yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi.

3) Sistem Pendidikan

a. Memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kyai, kurikulum tergantung kyai, dan pengajaran secara individual. b. Memilik madrasah,kurikulum tertentu, pengajaran bersifat

aplikasi, kyai memberikan pengajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk mengetahui pelajaran agama dan umum.

c. Hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kyai sebagai pengawas dan Pembina mental.

a. Pesantren Alat (mengutamakan penguasaan gramatika bahasa Arab) b. Pesantren Fiqih c. Pesantren Qira’ah d. Pesantren Tasawuf 5) Jenis Santri

a. Pesantren Khusus Anak b. Pesantren Khusus Orang Tua c. Dan pesantren Mahasiswa.30 5. Model Pengajaran di Pesaantren

Pada kebanyakan pesantren salafi (tradisional), metode klasik kegiatan belajar mengajarnya terdiri dari dua bentuk, yakni 1) Sorogan, dan 2) Bandungan (Sunda; di Jawa dikenal dengan istilah bandongan

atau wetonan). Sistem sorogan disebut pula dengan sistem individual (individual learning). Sedangkan, sistem bandungan (bandongan atau wetonan) disebut pula dengan sistem kolektif (collectival Learning atau

together learning). 1) Sistem Sorogan

Sistem sorogan adalah sistem membaca kitab secara individul, atau seorang murid nyorog (menghadap guru sendiri-sendiri) untuk dibacakan (diajarkan) oleh gurunya beberapa bagian dari kitab yang dipelajarinya, kemudian sang murid menirukannya berulang kali. Pada prakteknya, seorang murid mendatangi guru yang akan membacakan

30

kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke dalam bahasa ibunya (misalnya: Sunda atau Jawa). Pada gilirannya murid mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata (word by word) sepersis mungkin seperti apa yang diungkapkan oleh gurunya.

Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’án. Dalam sistem tersebut, murid diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Sistem sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari sistem keseluruhan pengajaran pesantren, karena di sana menuntut kesabaran kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari sang murid sendiri. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren. Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

2) Sistem Bandungan

Bandungan berasal dari kata ngabandungan yang berarti "memperhatikan" secara seksama atau "menyimak". Bandungan

merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren.

Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar

menyelenggarakan bermacam-macam kelas bandungan

atauhalaqohuntuk mengajarkan mulai kitab-kitab elementer sampai tingkat tinggi,

Sistem bandungan adalah sistem transfer keilmuan atau proses belajar mengajar yang ada di pesantren salaf di mana kyai atau ustad membacakan kitab, menerjemah dan menerangkan. Sedangkan santri atau murid mendengarkan, menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh kyai. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. Penyelenggaraan kelas bandungan dapat pula dimungkinkan oleh suatu sistem yang berkembang di pesantren di mana kyai seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang mengajar ini mendapat titel ustad (guru).

Sistem bandungan (bandongan atau wetonan) dibangun di atas filosofis, bahwa 1) pendidikan yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan pahala dan berkah lebih banyak dibandingkan secara individual, 2) pendidikan pesantren merupakan upaya menyerap ilmu dan barokah sebanyak-banyaknya, sedangkan budaya "pasif" (diam dan mendengar) adalah sistem yang efektif dan kondusif untuk memperolah pengetahuan tersebut. 3) pertanyaan, penambahan, dan kritik dari sang murid pada kyai merupakan hal yang tidak biasa atau tabu, agar tidak dianggap sebagai tindakan su' al-adab (berakhlak yang tidak baik).31

31

Dadan Rusmana, Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren”

artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari

Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500)

mendengarkan seorang Guru atau Kyai yang membaca,

menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan buku atau kitabnya sendiri dan membuatcatatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang guru. Metode pengajaran bandungan ini adalah metode bebas, sebab tidak ada absensi santri, dan tidak ada pula sistem kenaikan kelas. Santri yang sudah menamatkan sebuah kitab boleh langsung menyambung ke kitab lain yang lebih tinggi dan lebih besar.

Ada dua macam bentuk materi kitab kuning, yaitu (1) Bentuk nadzm, yang ditulis dalam ritme syair (2) Bentuk essai (natsr) uraian-uraian masalah. Bentuk yang kedua sering merupakan komentar terhadap matn (original text), baik yang berupa essai (natsr) maupun

nadzm, seperti kitab syarh (commentaries) Ibnu 'Aqil terhadap Alfiah, oleh Ibnu Malik, atau berupa essai yang diikuti oleh syawahid (bukti-bukti teoritis) yang ditulis dalam bentuknadzm, atau tanpa keduanya. Dalam mengajarkan kitab yang di dalamnya adanadzm, baik yang

berfungsi sebagai matn ataupun syawahid, Kyai ataupun Guru

menyuruh santri menghafalkan nadzm-nadzm yang ada, kemudian

dengan bahr (aturan nada dan ritme syair Arab) yang ada setiap kali pengajian akan dilanjutkan.

3) Sistem Musyawarah atau Munadzarah

Pada beberapa pesantren salafiyah yang besar berkembang pula sistem musyawarah atau munadzarah. Para asatidz (guru-guru) ini dapat dikelompokkan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior, mereka menjadi anggota kelas musyawarah. Satu dua ustad senior yang sudah matang dengan mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar kyai muda. Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem bandongan atau sorogan. Di sini para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kyai memimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar dan terkadang lebih banyak dalam bentuk tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik.32

32

Dadan Rusmana, “Sorogan dan Bandungan: Sistem Klasik Pendidikan di Pesantren

artikel diakses pada 23 Agustus 2013 dari http://dadanrusmana.blogspot.com/2012/05/sorogan-dan-bandungan-sistem-klasik.html

PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI

Dokumen terkait