• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DAKWAH AJENGAN SOFWAN ABDUL GHANI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL ABDUL GHANI PADA PONDOK PESANTREN BAITUL

PROFIL AJENGAN SOFWAN ABDUL GHONI DAN PONDOK PESANTREN BAITUL BURHAN

1. Riwayat Hidup

Ajengan Sofwan Abdul Ghoni atau lebih dikenal dengan sebutan Ajengan Wawan beliau dilahirkan pada hari Rabu tanggal 5 September 1973 atau dalam penanggalan Hijriyah bertepatan dengan tanggal 7 Sya`ban 1393 H. di kampung Tegal Jati desa Cibogo Hilir kecamatan Plered kabupaten Purwakarta. Beliau dididik dan dibesarkan dilingkungan pesantren. Ayahnya adalah seorang ulama sekaligus pengasuh pondok pesantren Miftahul Huda Al-Burhani Plered Purwakarta. Perjalanan hidup beliau selalu diwarnai dengan ujian, perjuangan dan pengorbanan. Seperti lautan yang tak pernah sepi dari hembusan angin dan ombak. Meskipun putra seorang kyai dan menurut silsilah keluarga beliau adalah keturunan darah biru, tetapi kehidupannya sangat sederhana. Kesederhanaan itu terlihat dari sikap dan prilaku kesehariannya. Dalam menu makan saja, Ajengan Sofwan Abdul Ghoni kecil bersama keluarganya tak jauh dari ikan asin.1

Ayahnya bukanlah seorang ulama yang punya banyak harta, meski demikian dia seorang yang sangat dermawan dan selalu mengajarkan anak-anaknya untuk berderma. Ajaran itulah yang tertanam dalam diri KH. Sofwan Abdul Ghani sampai sekarang. Tinggal di lingkungan pesantren

1

Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014

membuatnya terbiasa hidup disiplin, terutama dalam hal ibadah. Tidak banyak waktu yang beliau gunakan untuk bermain-main seperti anak-anak kecil lain. Hidup dalam keluarga yang sederhana tidak membuatnya minder atau mengeluh, melainkan beliau sikapi itu dengan penuh keikhlasan. Sejak masuk SD beliau sudah mulai membantu ibunya berjualan es mambo, es yang cukup populer saat itu. Sepulang sekolah beliau menggembala domba. Pernah suatu ketika saat beliau sedang menggembala domba, biasanya domba-domba itu diikat pada sebuah pohon. Tiba-tiba tali itu lepas dan domba yang digembalanya berlarian. Saat mencoba mengejar, tali itu menjerat kakinya sampai beliau terjatuh dan terluka di bagian paha. Sudah lebih dari 36 tahun kejadian itu terjadi, bekas luka itu masih ada dan beliau menjadikan itu sebagai pengingat kenangan masa kecilnya dulu.

Saat duduk di kelas tiga SD beliau pindah ke kota Plered tinggal bersama kakaknya. Disana betul-betul dilatih hidup disiplin, mandiri, dan kerja keras. Bangun tidur jam empat pagi karena harus mengisi bak mandi sampai penuh, maklum pada waktu itu belum ada mesin pompa air jadi masih manual menggunakan ember yang diikat dengan tali dan ditarik melalui katrol. Kegiatan itu dilakukan sampai waktu subuh tiba. Pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah beliau ke pasar terlebih dahulu untuk membantu kakaknya membuka toko. Setelah semua selesai baru kemudian berangkat ke sekolah dengan jalan kaki padahal jarak dari toko kakaknya ke sekolah hampir 4 km. Pulang sekolah langsung ke pasar lagi untuk membantu kakaknya di toko sampai Maghrib dan malam harinya beliau

harus mengaji sampai jam sembilan malam. Rutinitas seperti itulah yang beliau jalani selama enam tahun, dari kelas tiga SD sampai lulus SMP.

Setelah enam tahun tinggal di kota Plered Purwakarta bersama kakaknya, beliau kembali ke rumah. Karena pada saat itu KH. Burhanudin kondisinya sudah mulai sakit-sakitan dan beliau harus membantu ibunya. Sempat bersekolah di sekolah kesehatan, karena beliau anak yang cerdas, ada salah satu mantri yang bersimpati dan mau membiayai sekolahnya. Namun baru satu tahun sekolah beliau keluar. Keputusan itu bukan tanpa sebab, ia melihat di sekolah puluhan bahkan ratusan calon mantri yang siap dicetak dan kebanyakan dari mereka adalah anak mantri. Dalam hati kecilnya bertanya, “ kalau calon mantri sudah sangat banyak, lalu siapa yang akan menjadi ulama kalau anak kyainya juga jadi mantri?”. Sejak saat itulah meskipun usianya masih remaja beliau mengambil keputusan yang cukup berani dengan keluar dari sekolah dan meminta izin kepada ayahnya untuk menempuh jalur pedidikan pesantren.

Tidak lama setelah niatan itu diutarakan, KH. Burhanudin wafat. Kejadian itu membuat beliau sangat terpukul dan merasa sangat sedih, tetapi karena itu juga semangat dan tekat beliau untuk sungguh-sungguh belajar ilmu agama di pesantren semakin kuat. Tepat setelah 40 hari ayahnya wafat beliau berangkat ke pesantren. Pesantren yang pertama yaitu pondok pesantren Baitul Hikmah Tasik Malaya pimpinan KH. Saefuddin Zuhri.

Kemampuan ilmu nahwu dan sorof sebagai ilmu dasar yang wajib dikuasai untuk memahami kitab-kitab klasik atau bahasa Arab secara

umum beliau dapatkan di sini. Sehingga kemudian pesantren inilah yang menjadi stereotype bagi pesantren Baitul Burhan yang beliau dirikan. Beliau terkenal dengan kecerdasan dan kemampuan menghafalnya. Sehingga dalam dalam kurun waktu empat tahun, beliau sudah menguasai ilmu-ilmu yang dipelajarinya secara mendalam dan itu mendapatkan legitimasi dari KH. Saefuddin Zuhri sebagai pimpinan pesantren. Selain tempat menimba ilmu, di sinilah beliau memperoleh prinsip-prinsip hidup yang beliau pegang teguh. beliau juga sempat menimba ilmu dibeberapa pesantren sebelum akhirnya mukim (menetap di rumah dan mengajar santri di pesantren ayahnya). Kegigihan, Ketulusan, kejujuran, dan sekaligus wibawa KH. Saefuddin Zuhri beliau warisi. Terbukti ketika beliau sudah mukim beliau sangat disegani dan di hormati oleh santri dan pengurus pesantren. Hal itulah yang kemudian memunculkan kecemburuan sosial dikalangan pimpinan pesantren yang notabene adalah saudaranya sendiri.2

Untuk menghindari konfilik keluarga dan untuk menjaga kemaslahatan, akhirnya beliau mengalah sehingga pada tanggal 17 Rojab 1420 H. 26 Oktober 1999 M. Beliau hijrah ke Karawang. Sebetulnya masalah utamanya adalah karena adanya perbedaan pandangan mengenai konsep pendidikan pesantren yang ingin diterapkan. Saat itu ada tiga dewan kyai, diantaranya kakak beliau KH. Jamaludin, adik beliau KH. Dadah Darulfalah, dan beliau sendiri. Ketiganya punya latar belakang keilmuan dari pesantren yang berbeda, karena itulah masing-masing punya misi sebagaimana yang mereka dapatkan di pesantren tempat mereka

2

belajar. Kejadian inilah yang kemudian menjadi titik balik kehidupan ajengan Sofwan Abdul Ghani.

Karawang seperti surga yang Allah Siapkan buatnya. Karena disinilah beliau mendapatkan lebih dari apa yang diharapkan. Kurang dari setahun beliau beradaptasi di lingkungan yang baru, bersilaturahmi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam rangka menjalankan misi dakwah yang beliau bawa. Akhirnya beliau mampu membangun sebuah pondok pesantren. Dengan nama Baitul Burhan tepat pada tahun 1999. Setelah mendapatkan dukungan keluarga dari istrinya, tokoh masyarakat, jamaah, dan masyarakat sekitar. Keberadaan pesantren merupakan langkah beliau dalam upaya menginstitusionalisasikan dakwah yang wujudnya berupa pondok pesantren.

Seiring berjalannya waktu nama ajengan Sofwan Abdul Ghani semakin dikenal oleh masyarakat sekitar juga kalangan para ulama di kota Karawang sebagai sosok kyai muda yang potensial, punya ketegasan, dan independen. Selain aktifitasnya di pondok pesantren, beliau juga kerap kali mengisi pengajian-pengajian baik di sekitar Karawang maupun di daerah lain. Atas kepercayaan masyarakat dan alim ulama setempat, beliau kemudian dipercaya menjadi ketua MUI di kecamatan Tempuran dan menjadi anggota dewan fatwa MUI kabupaten Karawang. Hal itu semakin memudahkan beliau berdakwah dan memberi ruang lebih untuk jalan dakwahnya.

Baik dalam memimpin pondok pesantren maupun MUI beliau sangat tegas dan betul-betul teliti dalam setiap mengambil keputusan.

Beliau juga termasuk orang yang teguh memegang prinsip hidup dan itu ditunjukan dalam sikap kesehariannya. Pernah ada perwakilan dari lembaga international yaitu Qatar Foundation yang datang menawarkan dana hibah untuk pembanguna pondok pesantren. Nilainya mencapai milyaran rupiah. Awalnya diterima dengan baik, tetapi setelah ajengan Sofwan Abdul Ghani tau bahwa Qatar Foundation menjadi salah satu sponsor utama klub-klub sepakbola terkenal di Eropa seperti FC. Barcelona. Akhirnya bantuan dana hibah itu tidak diterima. Beliau tidak ingin pesantren dibangun dengan dana dari sumber yang tidak jelas. Sebelumnya pernah juga ada bantuan dari salah satu lembaga di Arab Saudi, namun karena ada syarat yang bertentangan dengan prinsip yang beliau pegang, bantuan itupun di tolaknya. Kejadian-kejadian itu tentunya menunjukan bagaimana ketegasan dan keteguhan sikap yang beliau miliki. Nama besar tidak membuatnya sombong, beliau tetap hidup sederhana sebagaimana yang diajarkan ayahnya dulu. Meskipun ponpes Baitul Burhan sudah besar, tetapi hingga kini beliau tidak punya rumah yang megah. Tak jauh berbeda dari ruangan tempat tinggal para santri, Sehingga tidak jarang orang tua santri kebingungan mencari rumah kyai saat berkunjung ke pesantren. Seandainya beliau mau bisa saja membangun rumah yang megah dan tentunya layak dengan kondisi pesantren sebesar itu, tapi tidak beliau lakukan. Karena menurutnya seperti apapun tempat tinggal kita, saat mata sudah terpejam rasanya sama saja.3

3

2. Riwayat Keluarga

Ajengan Sofwan Abdul Ghoniadalah putra ke lima dari enam bersaudara. Hasil pernikahan KH. Burhanudin dengan istri ke empatnya yaitu ibu nyai Patonah. jika dilihat dari semua istri KH. Burhanudin, Ajengan Sofwan Abdul Ghonimerupakan anak ke-12 dari 13 bersaudara. Pernikahan pertama KH. Burhanudin bersama ibu Engkar Sukarsih dikarunia tiga orang anak diantaranya ibu Imas Juwairiyah, ust. Asep Burhanudin, dan ustadzah Zulaeha. Pernikahan ke-dua dengan ibu Danci dikaruniai satu orang anak yaitu Neneng Armilah pernikahan ketiga yaitu dengan ibu Nonang dikaruniai tiga orang anak diantaranya Euis Mariyah, Dadang Bustomi, Endang Abdul Aziz, Aceng Sihabudin Dan yang terakhir pernikahannya dengan ibu nyai patonah dikarunia enam orang anak yaitu Hj Popon Solihah, Hj. Lilis Badriyah, KH. Jamaludin, KH. Sofwan Abdul ghoni, dan KH. Dadah Darul Falah.4

Selain seorang ulama, KH. Burhanudin juga seorang pejuang kemerdekaan. Beliau adalah salah satu pimpinan Hizbullah yang bermarkas di gunung Malangbong Garut. pada saat itu zaman pendudukan jepang di Indonesia.

Ajengan Sofwan Abdul Ghoni menikah diusia 25 tahun dengan ustadzah Imas, yang juga salah satu santrinya saat di pondok pesantren Miftahul Huda Al-Burhani. Hingga saat ini beliau dikaruniai tujuh orang anak. Namun anak pertamanya meninggal dunia saat berusia 1 tahun. 3. Riwayat Pendidikan

4

a. Pendidikan Formal

1) SDN Cibogo Hilir 1 (1979 - 1985)

Ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat bahwa kalau anak kyai itu cerdas-cerdas. Terlepas apakah itu benar atau tidak, hal itu terjadi pada diri KH. Sofwan Abdul Ghoni. Sejak sekolah SD beliau selalu mendapat rangking pertama mulai dari kelas satu sampai kelas enam. Selain itu juga selalu menjadi ketua kelas. Beliau sekolah di SDN Cibogo Hilir 1 kecamatan Plered kabupaten Purwakarta.

2) SMP Negeri 1 Plered Purwakarta (1985 - 1988)

Seperti halnya saat di SD, di SMP pun beliau selalu menjadi juara pertama. Walaupun dalam kesehariannya beliau hampir tidak punya waktu untuk belajar, karena harus membantu kakaknya di pasar. Selain kecerdasan yang beliau miliki, jiwa kepemimpinan dengan karakter yang kuat sudah mulai beliau tunjukan. Jika saat SD beliau selalu menjadi ketua kelas, di SMP beliau menjadi ketua OSIS selama 2 periode. Yaitu saat duduk di kelas satu dan kelas dua. Saat kelas satu beliau memberanikan diri mengikuti konvensi bakal calon ketua OSIS. Padahal yang lain umumnya dari kelas dua. Dalam beberapa tahapan konvensi beliau selalu unggul. Hingga akhirnya lolos menjadicalon ketua OSIS. Tanpa diduga pada saat pemilihan ketua OSIS beliau terpilih. Untuk pertama kalinya dalam sejarah SMP Negeri 1 Plered ketua OSIS berasal

dari kelas satu. Tentunya faktor karakter kepemimpinan yang kuat dan kecerdasan yang beliau miliki membuatnya dipercaya menjadi ketua OSIS. Pada periode berikutnya saat duduk di kelas dua, beliau terpilih kembali menjadi ketua OSIS. Kejadian yang jarang ditemukan dalam sejarah OSIS.

Beliau dikenal oleh semua siswa mulai dari kelas satu sampai kelas tiga juga oleh semua stakeholder sekolah, bahkan sekolah lainpun tak jarang yang mengenalnya. Namun sayang karena faktor biaya, setelah lulus SMP beliau tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Selepas SMP beliau dirumah membantu orangtuanya. Kadang juga jualan minyak tanah atau ikut jualan sayuran bersama ibunya. Malam harinya beliau ikut mengaji bersama para santri di pondok pesantren. Rutinitas itulah yang beliau lakukan selama satu tahun. Sampai akhirnya ada seorang mantri yang dermawan yang menyekolahkan beliau ke sekolah kesehatan SPK Cimahi. Namun belum genap satu tahun beliau berhenti. Karena saat itu beliau mulai tertarik pada dunia pesantren.

b. Pendidikan Nonformal

1) Pondok Pesantren Baitul Hikmah (Haur Kuning) Tasikmalaya (1990 -1994)

Pesantren pertama tempat beliau belajar adalah pondok pesantren Baitul Hikmah (Haur Kuning) Tasikmalaya

pimpinan KH. Saefudin Zuhri. Kehidupan pesantren sudah sangat familiar buat KH. Sofwan Abdul Ghoni, karena saat di rumahpun tinggal di lingkungan pesantren. Di pesantren ini kajian ilmu-ilmu alat secara khusus lebih diperdalam. Namun demikian bukan berarti cabang-cabang ilmu keagamaan lainnya tidak dipelajari. Seperti ilmu tauhid, fiqih, tasawuf, mantik, dan lain sebagainya. Beliau termasuk santri yang cerdas dan kuat hafalannya. Sehingga untuk menhafal kitab Jurumiyah, Yaqulu, Imriti, dan Alfiyah relatif lebih cepat dibandingkan dengan rekan-rekannya. Tidak hanya hafal matan-nya saja, beliau juga memahami makna dan penjelasan dari setiap kata dan kalimatnya. Hanya dalam kurun waktu empat tahun setengah, kemampuannya dalam ilmu-ilmu alat sudah mumpuni, begitupun cabang ilmu-ilmu yang lain. Hal itu mendapatkan pengakuan dari KH. Saefudin Zuhri sebagai pimpinan pondok pesantren.

2) Pondok Pesantren Cikalama Cicalengka

3) Pondok Pesantren Al Hidayah Warudoyong Sukabumi5 B. Profil Pondok Pesantren Baitul Burhan

1. Sejarah

Pondok Pesantren Baitul Burhan dibangun pada akhir tahun 1999. Bertempat di kp. Jarakah 02 RT. 05/02 desa Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang.6 Nama Baitul Burhan diambil dari dua

5

Wawancara pribadi dengan KH. Sofwan Abdul Ghoni, Karawang, 06 Juni 2014 6

nama pesantren. Baitul diambil dari nama depan ponpes Baitul Hikmah Haur Kuning. Yaitu pesantren pertama beliau menimba ilmu. Kemudian Burhan diambil dari nama ponpes Miftahul Huda Al-Burhani, yaitu ponpes milik ayahnya. Maka jadilah nama Baitul Burhan. Pesantren ini pada awalnya berdiri di tanah seluas 1240 m2 dan hanya memiliki lima asrama tiga diantaranya asrama putra dan dua asrama putri, satu majlis dan satu rumah kyai yang letaknya diantara asrama putra dan putri. Tipe bangunan yang juga ditemukan di pesantren lain pada umumnya. Namun jika kita biasa menemukan masjid sebagai pusat pendidikan di lingkungan pesantren, tetapi tidak dengan ponpes Baitul Burhan. Untuk sementara masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lingkungan pesantren dijadikan tempat untuk keperluan shalat berjamaah atau acara-acara keagamaan lainnya.

Cikal bakal berdirinya ponpes Baitul Burhan diawali dari hijrahnya Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dari Plered Purwakarta ke kampung halaman istrinya yaitu ustadzah Imas di kp. Jarakah desa Lemahduhur kecamatan Tempuran kabupaten Karawang. Saat tinggal di Plered beliau menjadi salah satu pengajar di ponpes Miftahul Jannah, yaitu ponpes milik ayahnya KH. Burhanudin. Ustadzah Imas adalah salah satu santri putri di pesantren itu, yang notabene adalah santri beliau juga. Namun karena ada konflik internal disebabkan adanya perbedaan pandangan mengenai konsep pedidikan pesantren, akhirnya Ajengan Sofwan Abdul Ghonimemutuskan untuk hijrah ke Karawang Jawa Barat.

Ditempat yang baru untuk sementara beliau bersama anak dan istri tinggal di rumah mertuanya yaitu H. Dasman. Semangat dakwahnya semakin berkobar, apalagi melihat kondisi masyarakat sekitar yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Banyaknya praktek-praktek kurafat, anak-anak muda jauh dari masjid, tidak pernah terdengar ada pengajian. Kurang lebih selama setahun sejak hijrah dari Tegal Jati Plered Purwakarta beliau beradaptasi dengan lingkungan dan bersosialisasi dengan masyarakat, melakukan pendekatan kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat. Kemudian atas dukungan dari keluarga dan keinginan beliau untuk membuat lembaga pendidikan Islam sehingga kegiatan dakwah yang selama ini dilakukan ditempat-tempat terpisah bisa disatukan dalam satu tempat. Atas dasar itulah akhirnya beliau memutuskan untuk membangun pondok pesantren. Berawal dari sebidang tanah wakaf keluarga, beliau mulai merintis pembangunan pondok pesantren. Sejak saat itu beliau bekerja keras mencari dana dengan banyak menemui para donatur lewat jaringan keluarga, jamaah, sahabat-sahabatnya saat belajar di pesantren, dan cara-cara lainnya. Namun beliau cukup selektif dan teliti dalam menerima sumber pendanaan, hal itu dilakukan agar pondok pesantren yang beliau bangun bebas dari kepentingan apapun. Sehingga kegiatan dakwah bisa dilakukan dengan maksimal.

Seiring berjalannya waktu, bangunan pesantren mulai berbentuk. Walaupun masih sangat sederhana. Namun demikian kegiatan-kegiatan pengajian sudah berjalan dan nuansa pesantren sudah mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar. Sehingga banyak bapak-bapak dan ibu-ibu yang

mengikuti pengajian di pesantren. Awalnya hanya masyarakat kp. Jarakah, tetapi lambat laun banyak jamaah yang datang dari luar desa, kecamatan bahkan luar kabupaten. Sungguh perkembangan dakwah yang sangat pesat.

Jumlah santri mukimin (santri yang tinggal dan menetap) selalu stabil dan cendrung bertambah. Ditahun pertama ada sekitar 20 santri. Berikutnya dalam rentang waktu 1999-2003 M. Jumlah santri mukimin putra-putri mencapai 100 orang. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar daerah. Adapun penduduk sekitar kebanyakan hanya mengikuti pengajian di sore hari saja, atau dalam istilah pesantren dikenal dengan sebutan santri kalong. Jumlahnya sekitar 90 orang, terdiri dari anak-anak usia SD, SMP, dan SMA.

Untuk kegiatan-kegiatan internal pesantren Ajengan Sofwan Abdul Ghoni dibantu tiga orang muridnya, yaitu ust. Rahmat Hidayatussalam, ust. Ridwandul Hakim, dan ust. Andang Hidayat. Ketiganya adalah santri beliau saat di ponpes Miftahul Huda Al-Burhani Plered Purwakarta. Mereka bertiga adalah orang yang sangat berjasa dalam sejarah perjalanan ponpes Baitul-Burhan dimasa-masa awal. Ketiganya memegang peranan penting dalam proses perkembangan ponpes Baitul Burhan. Mereka diberi tanggungjawab sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Ust. Rahmat Hidayatussalam dipercaya sebagai dewan pendidikan, karena kecerdasan dan kemampuannya dalam hal keilmuan khususnya ilmu nahwu dan sorof. Ust. Ridwanul Hakim dipercaya sebagai arsitek pesantren dan segala hal yang berkaitan dengan

itu. Beliaulah yang menjadi creator bangunan pesantren Baitul Burhan dari awal hingga sekarang. Padahal tidak punya latar belakang pendidikan sebagai arsitek, bahkan beliau hanya mengenyam pendidikan formal di tingkat dasar saja. Tetapi kemampuanya dalam dbidang konstruksi patut diacungi jempol.. Kemudian ust. Andang Hidayat dipercaya sebagai keamanan sekaligus humas pesantren. Beliaulah yang menjaga stabilitas di internal pesantren dan menjaga keharmonisan pesantren dengan masyarakat sekitar. Sebagai bentuk penghargaan pesantren terhadap jasa-jasanya, nama mereka kemudian diabadikan menjadi salah satu nama gedung di ponpes Baitul Burhan. Yaitu gedung Assalam, al-Hidayah, dan al-Hakim.

Tahun 2014 ponpes Baitul Burhan menginjak usia 15 tahun. Usia yang relatif muda untuk ukuran pondok pesantren. Tetapi perkembangannya begitu pesat. Apalagi bila dibandingkan dengan pondok-pondok pesantren di sekitar yang jumlahnya mencapai puluhan. Karena itu ponpes Baitul Burhan masuk 4 besar dalam kategori pesantren dengan tingkat perkembangan tercepat di Jawa Barat.

Ponpes Baitul Burhan merupakan jenis pesantren salafi yang fokus keilmuannya lebih pada ilmu-ilmu alat. Pola belajarnya pun masih menggunakan pola tradisional khas pesantren salafi seperti bandungan dan sorogan. Kitab-kitab islam klasik (kitab kuning) dijadikan sebagai sumber utamanya. Secara umum semua jenis keilmuan islam seperti fiqih, ushul fiqih, tauhid, tasawuf, tajwid, dan hadits itu dipelajari. Tetapi ilmu-ilmu

yang berkaitan dengan gramatika bahasa Arab seperti nahwu dan sorof itu mendapatkan porsi yang lebih dibandingkan dengan yang lain.

Kedepan ponpes Baitul Burhan akan menyelengarakan pendidikan formal tingkat SLTP dan SLTA. Ini dilakukan sebagai upaya pesantren menjawab tantangan zaman. Selain itu banyak permintaan dari masyarakat, wali-wali santri, dan tokoh masyarakat tentang hal itu. Untuk tetap menjaga konsep pesantren salafi, pesantren dan sekolah dipisahkan secara kelembagaan. Jadi kegiatan pesantren tetap berjalan dan dilakukan seperti biasa.7

Saat ini ponpes Baitul Burhan memiliki dua lokasi yang jaraknya berdekatan masing-masing 1240 M2 (lokasi awal pesantren) dan 6800 M2 (lokasi yang baru). Rencananya lokasi pertama untuk pesantren putri, poskestren, dan sekretariat pesantren. Lokasi kedua untuk pesantren putra, masjid, gedung sekolah (MTs dan Aliyah), ruang pertemuan, area kegiatan usaha pesantren, dan perumahan dewan pengajar. Lokasi yang kedua ini masih dalam proses pembangunan, namun demikian ada beberapa bangunan yang sudah rampung diantaranya perumahan dewan guru, asrama untuk santri putra, dan bangunan sekolah. Secara keseluruhan kira-kira baru sekitar 75% proses pembangunan itu berjalan. Seiring dengan itu, jumlah santri mukimin (santri yang tinggal dan menetap) terus meningkat dari tahun ketahun. Ditahun 2014 terhitung jumlah santri

Dokumen terkait