• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Posyandu Lansia

2.4.1 Pengertian Posyandu Lansia

Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat guna memberdayakan masyarakat dengan menitikberatkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif. Pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkembangkan posyandu Lansia merupakan upaya fasilitas agar masyarakat mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat sesuai situasi, kondisi kebutuhan setempat (Depkes RI, 2004)

2.4.2 Pengelolaan Posyandu Lansia

Seiring dengan semakin meningkatnya populasi lansia, pemerintah telah merumuskan berbagai kebijakan pelayanan kesehatan usia lanjut ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk mencapai masa tua bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya (Depkes RI, 2005).

Sebagai wujud nyata pelayanan sosial dan kesehatan pada kelompok usia lanjut ini, pemerintah telah mencanangkan pelayanan pada lansia melalui beberapa jenjang. Pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat adalah Posyandu Lansia, pelayanan kesehatan lansia tingkat dasar adalah Puskesmas dan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan adalah Rumah Sakit.

2.4.3 Tujuan Posyandu Lansia

Tujuan pembentukan Posyandu Lansia secara garis besar antara lain :

1. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga terbentuk

pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.

2. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam

pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi antara masyarakat usia lanjut.

2.4.4 Mekanisme Pelayanan Posyandu Lansia

Berbeda dengan posyandu balita yang terdapat sistem 5 meja, pelayanan yang diselenggarakan dalam Posyandu Lansia tergantung pada mekanisme dan kebijakan pelayanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten maupun kota penyelenggara. Ada

yang menyelenggarakan Posyandu menggunakan sistem pelayanan 3 meja, dengan kegiatan sebagai berikut :

Meja I : Pendaftaran lansia, pengukuran dan penimbangan berat badan dan atau tinggi badan (dilakukan oleh kader).

Meja II : Melakukan pencatatan berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (IMT). Pelayanan kesehatan seperti pengobatan sederhana dan rujukan kasus juga dilakukan di meja II ini (dilakukan oleh petugas kesehatan). Meja III : Melakukan kegiatan penyuluhan atau konseling, disini juga bisa

dilakukan pelayanan pojok gizi (dilakukan oleh petugas kesehatan dan atau kader terlatih) (Depkes RI, 2005).

2.4.5 Bentuk Pelayanan Posyandu Lansia

Pelayanan Kesehatan di Posyandu lanjut usia meliputi pemeriksaan Kesehatan fisik dan mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi.

Jenis Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu Lansia :

1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan,

seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.

2. Pemeriksaan status mental.

3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan

4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.

5. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan.

6. Penyuluhan kesehatan.

2.4.6 KendalaPelaksanaan Posyandu Lansia

Beberapa kendala yang dihadapi lansia dalam mengikuti kegiatan posyandu antara lain :

a. Pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat posyandu.

Pengetahuan lansia akan manfaat posyandu ini dapat diperoleh dari pengalaman pribadi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan menghadiri kegiatan posyandu, lansia akan mendapatkan penyuluhan tentang bagaimana cara hidup sehat dengan segala keterbatasan atau masalah kesehatan yang melekat pada mereka. Dengan pengalaman ini, pengetahuan lansia menjadi meningkat, yang menjadi dasar pembentukan sikap dan dapat mendorong minat atau motivasi mereka untuk selalu mengikuti kegiatan posyandu lansia.

b. Jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit dijangkau.

Jarak posyandu yang dekat akan membuat lansia mudah menjangkau posyandu tanpa harus mengalami kelelahan atau kecelakaan fisik karena penurunan daya tahan atau kekuatan fisik tubuh. Kemudahan dalam menjangkau lokasi posyandu ini berhubungan dengan faktor keamanan atau keselamatan bagi lansia. Jika lansia merasa aman atau merasa mudah untuk menjangkau lokasi posyandu tanpa harus menimbulkan kelelahan atau masalah yang lebih serius, maka hal ini dapat

mendorong minat atau motivasi lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan demikian, keamanan ini merupakan faktor eksternal dari terbentuknya motivasi untuk menghadiri posyandu lansia.

c. Kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia untuk datang ke posyandu.

Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu lansia. Keluarga bisa menjadi motivator kuat bagi lansia apabila selalu menyediakan diri untuk mendampingi atau mengantar lansia ke posyandu, mengingatkan lansia jika lupa jadwal posyandu, dan berusaha membantu mengatasi segala permasalahan bersama lansia.

d. Persepsi yang kurang baik terhadap petugas posyandu.

Penilaian pribadi atau persepsi yang baik terhadap petugas merupakan dasar atas kesiapan atau kesediaan lansia untuk mengikuti kegiatan posyandu. Dengan persepsi yang baik tersebut, lansia cenderung untuk selalu hadir atau mengikuti kegiatan yang diadakan di posyandu lansia. Hal ini dapat dipahami karena persepsi seseorang adalah suatu cermin kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek. Kesiapan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara-cara tertentu apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya suatu respons.

2.4.7 Sarana dan Prasarana

Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan posyandu Lansia, dibutuhkan sarana dan prasarana penunjang antara lain :

1. Tempat kegiatan (gedung, ruangan atau tempat terbuka) 2. Meja dan kursi

3. Alat tulis

4. Buku pencatat kegiatan (buku register bantu)

5. Kit Lansia, yang berisi : timbangan dewasa, meteran pengukur tinggi badan, stetoskop, tensi meter, peralatan laboratorium sederhana, thermometer.

6. Kartu Menuju Sehat (KMS) Lansia.

7. Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan (BPPK) Lansia (Depkes RI, 2005).

2.5 Persepsi

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006) persepsi diartikan sebagai: (a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Pengertian persepsi adalah akal manusia yang sadar meliputi proses fisik, fisiologis dan psikologis yang mengolah bermacam-macam input sebagai penggambaran lingkungan.

Persepsi merupakan perlakuan melibatkan penafsiran melalui proses pemikiran tentang apa yang dilihat, didengar, dialami atau dibaca sehinggga persepsi memengaruhi tingkah laku, percakapan, serta perasaan seseorang (Koentjaraningrat, 2000). Menurut Sarwono (2000), persepsi merupakan makna hasil pengamatan yang

dilakukan oleh individu terhadap suatu objek yang mendefinisikan pengenalan objek melalui penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam saraf yang lebih tinggi.

Robbins (2005), menyatakan bahwa pelaku persepsi dipengaruhi oleh faktor karakteristik pribadi, seperti sikap, motivasi, kepentingan, minat, pengalaman dan pengharapan. Variabel lain yang ikut menentukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian, dan pengalaman hidup individu.

Persepsi seseorang dipengaruhi oleh : (a) frame of reference yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan ; (b) field of experience, yaitu pengalaman yang telah dialami yang tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya. Pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi atau rangsangan yang pertama kali diperolehnya (Robbins, 2005)

Menurut Zastrow et al (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek akan berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.

Winardi (2001) mengemukakan persepsi merupakan proses internal yang bermanfaat sebagai filter dan metode untuk mengorganisasikan stimulus yang memungkinkan kita menghadapi lingkungan kita. Proses persepsi menyediakan mekanisme melalui stimuli yang diseleksi dan dikelompokkan dalam wujud yang

berarti, yang hampir bersifat otomatik dan bekerja dengan cara yang sama pada masing-masing individu sehingga secara tipikal menghasilkan persepsi-persepsi yang berbeda-beda.

Toha (2000), mengemukakan bahwa proses pembentukan persepsi antar satu individu dengan individu lain berbeda-beda. Pembentukan persepsi tergantung berbagai faktor yang memengaruhinya, yaitu faktor internal (pengalaman, keinginan, proses belajar, motivasi, dan pendidikan) maupun faktor eksternal (lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, faktor sosial budaya lingkungan fisik dan hayati dimana seseorang itu bertempat tinggal).

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.

2.6 Perilaku

2.6.1 Definisi Perilaku

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor.

Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut reinforcing stimulation atau reinfocer yang akan memperkuat respons. Oleh karena itu untuk membentuk perilaku perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat memperkuat pembentukan perilaku.

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) : 1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003).

2.6.2 Aspek-aspek Perilaku

Aspek-aspek perilaku terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut:

a. Pengetahuan, adalah aspek perilaku yang merupakan hasil tahu, dimana ini terjadi bila seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

b. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan seperti menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.

c. Tindakan, adalah sesuatu yang dilakukan. Suatu sikap belum terwujud dalam tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung dari pihak lain.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun demikian sulit dibedakan refleksi dan gejala kejiwaan yang mana seseorang itu berperilaku tertentu. Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

2.6.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku

Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat dibedakan menjadi dua yakni :

a) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan lain-lain.

b) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Menurut WHO (World Health Organisation) dalam Notoatmodjo (2003), alasan seseorang berperilaku tertentu adalah karena pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek.

Gambar 2.2 Determinan Perilaku Manusia Pengalaman Keyakinan Fasilitas Sosial Budaya Pengetahuan Persepsi Sikap Keinginan Kehendak Motivasi Niat PERILAKU