• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Potensi Biomassa

Sebagian dari biomassa merupakan produk fotosintesis, yaitu butir-butir hi- jau daun yang bekerja sebagai sel-sel surya, menyerap energi matahari dan meng- konversi karbondioksida dengan air menghasilkan suatu senyawa karbon, oksigen dan hidrogen. Proses tersebut dapat dipandang sebagai penyerapan dan konversi energi matahari menjadi energi dalam bentuk lain dalam susunan biomassa (Kadir, 1995). Biomassa yang mengandung energi tersebut merupakan bahan energi alternatif (Osburn dan Judy, 1993 ; Rahayu, 1999; Quaak et al, 1998).

Luas seluruh wilayah dunia adalah sekitar 51 milyar hektar yang diantara- nya 14 milyar hektar merupakan daratan. Terdapat 45 % dari daratan merupakan padang pasir dan rawa-rawa, 30 % hutan, 15 % tanah pertanian, dan 10 % padang rumput. Kecuali padang pasir, tempat-tempat di daratan berpotensi menghasilkan biomassa. Menurut salah satu perkiraan teoritis, seluruh dunia menghasilkan bio- massa mencapai 75 milyar ton setahun yang energinya setara dengan 1.500 juta barel minyak sehari (Kadir, 1995). Kandungan energi yang terdapat dalam bio- massa tersebut menggambarkan, bahwa biomassa merupakan sumberdaya energi yang sangat potensial. Potensi energi dalam biomassa yang sedemikian besar tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Dua sebab utama yang men- jadi hambatan pemanfaatan energi biomassa yang belum optimal, yaitu : 1) biomassa tidak dapat digunakan secara langsung pada banyak mesin dan peralatan konversi energi, dan 2) terdapat hambatan pengangkutan biomassa ke pusat-pusat pemakaiannya. Pemanfaatan biomassa untuk keperluan energi dapat dilakukan dengan konversi biomassa menjadi bahan energi dalam bentuk lain yang lebih mudah untuk transportasi dan pemakaiannya (Kadir, 1995). Jumlah biomassa yang besar tersebut, merupakan potensi sekaligus peluang untuk meningkatkan peranannya dalam struktur penyediaan energi, yaitu dengan mensubstitusi peranan energi fosil.

Pemanfaatan biomassa secara lebih luas sebagai sumberdaya energi beraki- bat pada tiga aspek sekaligus, yaitu:1) diversifikasi energi yang mengutamakan

pada peanekaragaman sumberdaya energi, 2) meningkatkan peranan sumberdaya energi terbarukan dan sekaligus menurunkan peran sumberdaya energi tak-terba- rukan serta dapat memberi manfaat secara berkelanjutan, dan 3) mengurangi transportasi bahan energi antar kawasan yang berdampak mengurangi pencemaran bahan energi dan kepadatan lalulintas. Pemanfaatan biomassa juga meningkatkan pemanfaatan ulang (reuse) dari limbah biomassa yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan, sehingga dapat menurunkan kualitas pencemaran limbah.

Salah satu cara untuk memperluas peran biomassa sebagai bahan energi me- lalui konversi menjadi sintesis energi komersial dengan biokonversi, yaitu proses fermentasi anaerobik. Bahan energi yang dihasilkan adalah gas sintesis energi komersial, yaitu gas metana yang dapat mengganti peranan gas alam. Gas metana dapat berfungsi sebagai bahan bakar untuk berbagai kebutuhan, terutama pada : 1). sektor transportasi, yaitu yang peralatan konversi energi menggunakan bahan bakar gas, 2). sektor industri, 3). sektor rumah tangga, dan 4). sektor tenaga listrik.

2.1.1 Limbah Padat

Sampah kota mengandung bahan organik sekitar 74 sampai 84% dari volu- me sampah kota. Persentase bahan organik dalam komposisi sampah kota di DKI Jakarta pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 rata-rata 65,05 % (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2004). Sampah kota di Jakarta yang dihasilkan setiap hari (penduduk 12 juta jiwa) rata-rata 27.000 m3 (Anas, 2000). Apabila jumlah pendu- duk suatu kota sekitar 1 juta jiwa, maka produksi sampah kota setiap hari dari kota tersebut adalah sekitar 2.250 m3 dan bahan organik yang dihasilkan sekitar 1.800

m3. Penggunaan sampah kota secara totalitas untuk dikonversi menjadi gas

komersial akan memberikan dampak positip bagi lingkungan perkotaan, karena sampah kota merupakan limbah yang telah mencemari baik dari pencemaran bau, kesehatan dan keindahan, yang belum mendapat cara pemecahan yang tuntas (Pandey, 1997).

Sampah kota merupakan sumber yang kaya akan bahan organik sekaligus merupakan permasalahan pencemaran yang semakin berat dan belum mempunyai cara penanggulangan yang tepat. Pengolahan sampah kota dengan metode penim- bunan tanah berdampak pada terciptanya kondisi anaerobik yang dapat mempro- duksi gas metana. Sampah organik merupakan sumber emisi gas rumah kaca ter-

utama N2O dan metana (Kookana et al, 2002). Menurut Madigan et al (1997),

emissi gas metana ke atmosfir yang paling besar selain berasal dari sumber bio- genik (sawah, tanah basah, laut, danau, dan tundra), juga berasal dari sumber abiogenik (kebocoran gas, tambang batubara, pembakaran biomassa, kenderaan bermotor, dan gunung berapi).

Pemanfaatan sampah kota sebagai bahan energi telah banyak dilakukan. Pembakaran sampah kota, untuk mendapatkan kalor merupakan contoh yang telah banyak dilakukan. Pada tahun 1980 sebanyak 8 % tenaga listrik dengan sistem tenaga uap di kota Den Haag, negeri Belanda, berasal dari sampah kota yang telah digunakan sejak tahun 1968 (Kadir, 1995). Di Ulu Pandan, Singapura, sejak ta- hun 1979 sebagai hasil sampingan pembakaran sampah kota telah beroperasi Pusat Listrik Tenaga Limbah (PLTUL) dengan daya terpasang 16 MW. Suatu langkah yang lebih maju, adalah mengubah energi biomassa menjadi bentuk ter- tentu, sehingga pemanfaatannya dapat mencakup aspek yang lebih luas dan peng- angkutannya menjadi lebih mudah. Studi untuk mengetahui pemanfaatan limbah kota melalui proses pirolisis telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Universitas Gajah Mada yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Ketenagaan Departe- men Pertambangan dan Energi. Menurut hasil studi tersebut, pemanfaatan sampah kota mejadi bahan bakar dengan proses pirolisis secara ekonomi cukup mengun- tungkan, bila sampah tidak diberikan harga. Hasil pirolisis sampah kota dapat ber- bentuk arang, ter dan gas, dengan arang limbah paling mudah diperdagangkan se- bagai bahan bakar rumahtangga (Kadir, 1995).

Limbah perkebunan terutama dari perkebunan besar merupakan sumber biomassa yang cukup besar. Limbah tersebut berasal dari penyiangan, pemanenan, pengolahan hasil panen, dan peremajaan tanaman. Potensi biomassa limbah per- kebunan skala besar pada suatu kawasan atau wilayah, akan dapat menjadi andal- an kawasan atau wilayah tersebut dalam menyediakan biomassa untuk dikonversi menjadi energi komersial (Kadir, 1995). Setiap tahun perkebunan skala besar mengadakan peremajaan dan menghasilkan biomassa yang cukup besar. Pada ta- hun 1988 penebangan dalam rangka peremajaan perkebunan karet di Indonesia menghasilkan kayu sebagai biomassa sebesar 1.782.456 m3. Peremajaan di perke-

bunan kelapa sawit menghasilkan biomassa sebanyak 350.000 ton bahan kering setiap tahun (Goenadi et al , 1998).

Limbah pertanian berasal dari kegiatan pertanian, terutama pertanian yang berskala besar dapat menyediakan biomassa dalam jumlah yang cukup besar. Budidaya padi dapat menghasilkan limbah biomassa yang cukup besar, baik pada saat panen maupun pada saat pascapanen. Menurut Pandey (1997), pertanian padi menghasilkan limbah padat 1570 kg perhektar. Kebanyakan budidaya padi sawah menggunakan jerami yang digenangi air sehingga terjadi kondisi yang anaerobik

yang memicu emisi metana (Yang dan Chang, 1998; Cao et al, 1995 ; Yagi dan

Minami, 1990 dalam Sarief, 1992). Sumber biomassa dari limbah pertanian dapat pula berasal dari tanaman jagung, kacang, kedelai. Tongkol jagung merupakan sumber biomassa yang besar pada pertanian jagung dengan skala yang besar. Limbah pertanian singkong berskala besar, merupakan pula sumberdaya biomassa yang cukup potensial (Kadir, 1995). Limbah pertanian di dunia setiap tahunnya dapat menyediakan energi yang setara 43.000.000 ton batu bara (Pandey, 1997)

Limbah dari industri pengolahan kayu dalam skala yang besar merupakan sumber biomassa yang potensial. Potensi limbah tersebut dapat menjadi salah satu sumber biomassa, terutama bagi suatu kawasan yang memiliki banyak industri pengolahan. Pada industri penggergajian dihasilkan limbah sampai dua pertiga da- ri produksi hutan (Satari et al, 1992). Ini berarti untuk setiap satu juta ton produksi terdapat lebih-kurang 680.000 ton limbah biomassa. Pemanfaatan limbah dalam jumlah besar selain dapat menghasilkan energi yang besar juga dapat mereduksi jumlah limbah secara nyata. Menurut Ridlo et al (1999), apabila harga limbah penggergajian kayu rendah, maka pemanfaatan limbah tersebut sebagai sumber energi secara finansial menguntungkan.

Peternakan yang berskala besar dapat merupakan sumber biomassa yang cu- kup besar. Limbah peternakan yang meliputi tinja dan urine serta sisa pakan dan alas tidur dapat menjadi sumberdaya biomassa yang kontinyu. Seekor sapi meng- hasilkan tinja antara 28 sampai 50 kg setiap hari, sehingga suatu peternakan de- ngan ribuan ekor sapi dapat menyediakan biomassa dalam jumlah yang besar. Se- ekor ayam setiap hari menghasilkan tinja sebanyak 0,09 (Kadir,1995). Pemanfa- atan limbah peternakan dengan mengubah kotoran ternak menjadi gas bio telah

banyak dilakukan dan berhasil dengan baik. India sejak tahun 1900 telah mene- rapkan instalasi gas bio dengan bahan baku tinja sapi. Data tahun 1980 menun- jukkan bahwa di seluruh India terdapat 36.000 instalasi gas bio yang mengguna- kan bahan baku tinja sapi (Kadir, 1995). Banyak negara lain, juga telah menggu- nakan bahan baku dari tinja sapi yang dikonversikan menjadi bahan energi, seperti Taiwan, Korea dan RRC, meskipun selain menggunakan tinja sapi banyak diguna- kan tinja babi.

2.1.2. Ladang Energi

Ladang energi merupakan hasil budidaya tanaman untuk menghasilkan bio- massa segar sebagai bahan energi. Menurut Kadir (1995), salah satu pemikiran untuk swasembada energi keperluan rumahtangga, adalah dengan membuat la- dang energi. Menurut Pandey (1997), budidaya tanaman yang khusus untuk menghasilkan bahan kimia hidrokarbon telah banyak dilakukan dengan hasil 0, 2 sampai 2 ton minyak hidrokarbon perhektar. Jenis rumputan yang menghasilkan biomassa dalam jumlah besar dan dipanen dalam waktu singkat, merupakan budi- daya tanaman energi yang potensial. Menurut Hadi (1992), enceng gondok meru- pakan tanaman energi yang dapat dipanen setiap empat hari.

Ladang energi dapat pula menggunakan tanaman yang banyak mengan-dung pati seperti tanaman singkong dan tanaman ubi jalar. Luas tanaman tersebut dapat dirancang dalam ukuran yang besar agar panen biomassa sesuai dengan ke- butuhan. Ladang energi pada hakekatnya dapat dikembangkan sesuai dengan po- tensi yang terdapat pada suatu kawasan.

2.1.3. Perkebun Energi

Hutan energi adalah kebun energi yang ditanami dengan pohon kayu yang khusus diperuntukan produksi kayu sebagai bahan energi. Kebun tanaman energi dapat ditanami dengan pohon yang berdaun lebat sebagai sumber biomassa yang cepat dipanen. Acasia mangium Willd merupakan jenis tanaman hutan yang cepat tum-buh dan ditanam dalam jumlah banyak (Dephut, 1997).

Perkebunan dengan tanaman energi hakekatnya dapat dilakukan secara terintegrasi dengan upaya rehabilitasi dan reboisasi hutan. Potensi kebun tanaman energi cukup besar, karena selain mudah tumbuh pada lahan yang subur, juga dapat ditanam pada lahan-lahan yang kritis. Lahan hutan yang kritis yang topo-

grafinya tidak lebih dari berombak sampai gelombang dapat dikonversikan menjadi hutan tanaman energi dengan species kayu-kayuan yang memenuhi per- syaratan (Satari et al, 1992). Faedah lain adalah meningkatkan luas hutan dan konservasi lahan-lahan kritis.

Dokumen terkait