• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dataran rendah merupakan wilayah yang paling dominan di Kota Makassar sehingga sebagian besar wilayah ini akan tergenang saat musim penghujan tiba. Daerah pesisir yang paling sering terkena banjir adalah Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, dan Tallo (Lampiran 3.6). Sejak tahun 2013 ketiga kecamatan tersebut tidak pernah luput dari yang namanya banjir. Banjir terjadi hampir setiap kali turun hujan. Pada tahun 2015 Kecamataan Tamalate menjadi daerah yang sering terkena banjir. Intensitas hujan di Kota Makassar cukup tinggi. Rata-rata jumlah hari hujan mencapai 14 kali dalam sebulan dengan rata-rata curah hujan 238,89 mm selama kurun waktu tiga tahun (Lampiran 3.6). Selain intensitas hujan yang tinggi, fenomena banjir didukung oleh daerah resapan air yang semakin berkurang serta kondisi saluran air yang tidak berfungsi maksimal. Berkurangnya daerah resapan air disebabkan oleh pembangunan yang cukup pesat. Saluran air yang ada di Kota Makassar banyak mengalami kerusakan dan pendangkalan. Salah satu penyebab utama yang paling sering ditemukan adalah adanya tumpukan sampah. Aliran air yang tidak lancar menjadi penyebab air tergenang dan lama kelamaan akan banjir jika hujan terjadi terus menerus. Fenomena banjir akan meluapkan air dari sungai dan drainase. Air yang meluap akan membawa tumpukan sampah didalamnya. Kondisi demikian dapat memicu berkembangnya bibit penyakit. Hal inilah yang menjadikan daerah yang terkena banjir peka terhadap pencemaran limbah padat.

70 23.33 6.67 66.67 23.33 10 70 23.33 6.67 76.67 16.67 6.67 73.33 20 6.67 80 13.33 6.67 76.67 16.67 6.67 70 20 10 0 20 40 60 80 100

bersih dan lancar kotor dan tersumbat rusak

Persenta

se

(%

)

Kondisi saluran air

Persentase kondisi saluran air tiap kecamatan

Biringkanaya Tamalanrea Tallo Ujung Tanah Wajo Ujung Pandang Mariso Tamalate

23 7. Pola arus

Kisaran arus yang didapatkan pada lokasi penelitian mulai 0 – 0,58 m/s dengan rata-rata 0,10 m/s. Kecepatan arus meningkat pada Bulan Juli – September dan menurun pada Bulan Februari – April (Lampiran 3.7). Kecepatan arus ini digolongkan pada kecepatan arus lambat sampai sedang. Menurut Mason (1981), kecepatan arus < 0,25 m/s termasuk kategori arus lambat dan kecepatan arus 0,25

– 0,5 m/s termasuk kategori arus sedang. Pola pergerakan arus turut mempengaruhi pergerakan limbah padat di sekitar pantai. Seperti yang telah dikemukakan oleh Barnes et al. (2009) bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat akumulasi sampah di perairan adalah pola angin serta arus laut yang ada di daerah tersebut.

Menurut Law et al. (2010), akumulasi sampah tertinggi ditemukan pada wilayah dengan kecepatan arus permukaan < 2cm/s. Hal ini menandakan kecepatan arus yang relative lemah dapat memicu penimbunan sampah dalam satu wilayah. Sebaliknya kecepatan arus kuat dapat memicu pergerakan sampah menjadi semakin jauh. Oleh karena itu, baik arus yang lemah maupun kuat memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap pencemaran sampah. Namun untuk wilayah pesisir, arus lemah jauh lebih peka terhadap pencemaran sampah dibanding arus yang kuat. Wilayah pesisir tidak hanya mendapat suplai sampah dari daratan utama tetapi juga dari tempat lain (sampah kiriman). Kondisi arus lemah tidak mampu mengembalikan sampah kiriman sehingga timbunan sampah akan meningkat. Selain merusak nilai estetika, timbunan sampah bisa menimbulkan bau yang menyengat dan menjadi sarang berkembangnya bibit penyakit, serta menganggu pelayaran.

Parameter Pembentuk Indeks Ekologi (IE)

Berikut adalah parameter yang digunakan sebagai pembentuk indeks ekologi: 1. Keberadaan ekosistem

Ekosistem pesisir memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomi tinggi, merupakan habitat penting bagi pertumbuhan ikan dan biota lainnya. Oleh karena itu kerusakan ekosistem dapat menyebabkan kerugian besar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan adanya ekosistem pesisir yang berbeda pada kawasan pesisir Kota Makassar mulai dari ekosistem mangrove, lamun, hingga terumbu karang (Lampiran 3.8).

Luasan ekosistem mangrove di kawasan pantai Makassar ± 81,37 ha (Lampiran 3.1) sedangkan luasan terumbu karang di Kota Makassar mencapai 909,7 ha (Statistik KP3K, 2015). Secara umum kondisi ekosistem mangrove cukup memprihatinkan, dipenuhi tumpukan sampah terutama sisi yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. Visualisasi untuk kondisi tersebut bisa dilihat pada Lampiran 5. Kondisi terumbu karang pada tahun 2013 masih dalam kondisi baik. Namun kondisi ekosistem terumbu karang saat ini sudah mulai menurun. Berdasarkan hasil pemantauan terumbu karang oleh MSDC-UH pada tahun 2015 didapatkan ekosistem terumbu karang di Kota Makassar berada pada kondisi sedang. Fakta terbaru ditemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kondisi terumbu karang menurun adalah banyaknya sampah yang menutupi

24

permukaan karang. Menurut Fujioka (2015), karang yang tertutupi sampah selama 4 hari akan mengalami pemutihan yang dapat mengakibatkan karang tersebut mati terutama jenis sampah plastik hitam dan kain.

Kondisi ekosistem lamun tidak jauh berbeda dengan terumbu karang. Sampah yang paling sering dijumpai pada kedua ekosistem tersebut adalah sampah plastik. Ekosistem lamun dan mangrove lebih dekat dengan pemukiman sehingga sampah yang ditemukan pada kedua ekosistem tersebut lebih banyak dibandingkan yang ada di terumbu karang. Menurut Wibowo (2009), keberadaan ekosistem merupakan faktor utama dan penentu nilai dari fungsi konservasi serta turut mendukung peningkatan produksi perikanan. Sumber daya ikan akan melimpah jika habitatnya dalam kondisi baik dan terlindungi. Sebaliknya sumber daya perikanan bisa menurun jika terjadi pencemaran dalam satu wilayah. Biota laut terutama ikan tergolong sensitif terhadap keberadaan sampah. Sampah dapat menghambat pergerakan ikan dan biota laut lainnya. Racun zat kimia (polutan persisten) dari sampah akan masuk dan terakumulasi dalam rantai makanan. Hal terburuk jika manusia sampai mengonsumsi hasil laut yang sudah terkontaminasi, bisa menyebabkan kesehatan terganggu.

Dampak lain dari pencemaran dapat mempengaruhi mata pencaharian dan tingkat pendapatan masyarakat. Salah satu contoh adalah harga ikan yang semakin tinggi karena banyak ikan mati disebabkan limbah. Kasus ini bisa mempengaruhi semua lapisan masyarakat. Nelayan mulai kesulitan mendapat ikan sehingga ada kemungkinan beralih mata pencaharian. Perusahaan yang bergerak dibidang perikanan kemungkinan mengalami kerugian karena pasokan yang semakin menurun. Masyarakat umum akan beralih mengonsumsi menu lain dibandingkan hasil laut yang bergizi karena harga yang semakin melambung. Pada akhirnya laut tercemar karena sampah yang dibuang manusia, membuat manusia merugi.

Oleh karena itu, tingkat kepekaan suatu wilayah terhadap pencemaran dapat dipengaruhi oleh keberadaan ekosistem disekitarnya. Semakin dekat jarak ekosistem dari sumber pencemar maka tingkat kepekaannya bisa semakin tinggi. Jarak ekosistem dari pemukiman

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dan interpretasi citra didapatkan jarak ekosistem pesisir dari daratan (Lampiran 3.8). Umumnya pemukiman warga yang dijumpai berada di pinggir pantai bahkan ada beberapa pemukiman yang berada diatas badan air. Salah satu kebiasaan buruk masyarakat pesisir adalah membuang sampah disekitar tempat tinggal mereka seperti sungai, drainase, bahkan langsung ke laut sehingga ekosistem yang ada di pesisir akan terancam dengan keberadaan sampah-sampah tersebut. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan. Menurut Barnes et al. (2009), kedekatan permukiman perkotaan merupakan salah satu penyebab bervariasinya sampah di perairan. Wahyudiono (2009) juga mengatakan bahwa pemukiman manusia merupakan penekan kepekaan terbesar pada ekosistem pesisir, terutama ekosistem terumbu karang. Hal inilah yang mendasari pemilihan jarak ekosistem pemukiman dijadikan sebagai parameter pembentuk indeks ekologi.

Jarak ekosistem dari sungai

Pada dasarnya aliran sungai akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Kota Makassar dikenal dengan dua sungai utama yakni Sungai Jeneberang dan Sungai

Dokumen terkait