• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

5.3 Potensi Serasah Pada Setiap Kondisi Hutan berdasarkan Tingkat Dekomposisi

Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu sebagai lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan. Serasah dibedakan

dalam dua dekomposisi yaitu serasah kasar dan serasah halus. Perbandingan rata-rata produksi serasah yang diambil dari 3 kali ulangan dari 4 kondisi hutan gambut disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Perbandingan rata-rata produksi serasah kasar dan halus dari 4 kondisi hutan gambut

No Kondisi Hutan Produksi Serasah (ton/ha) Rata-rata (ton/ha) Serasah Kasar Serasah Halus

1 Primary forest 15 14.67 14.83

2 LOA 16 9.33 12.67

3 Secondary forest 9.33 4.33 6.83

4 Degraded forest 13.33 5 9.17

Rata-rata (ton/ha) 13.42 8.33 10.88

Produksi serasah kasar dan halus pada tanah gambut berbeda-beda tergantung dengan kondisi hutannya. Pada primary forest, tingginya kerapatan pohon memungkinkan lebih banyaknya daun atau ranting yang gugur, sehingga memiliki produksi serasah lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi hutan lainnya. Serasah halus banyak terdapat pada kondisi hutan primer karena kondisi serasah yang tercampur dengan tanah gambut dan mengandung air karena sebagian besar lahan gambut hutan primer merupakan lahan basah sehingga mempercepat laju dekomposisi. Pada logged over area/LOA, secondary forest, dan degradded Forest, banyak terdapat serasah kasar dalam bentuk daun, ranting, dan kulit pohon, karena kondisi lahannya sudah mengalami kegiatan pemanenan hutan.

Rata-rata produksi serasah (kasar dan halus) primary forest cenderung lebih besar (14.83 ton/ha) dibandingkan dengan logged over area (12.67 ton/ha), secondary forest (6.83 ton/ha) dan degraded forest (9.17 ton/ha). Berdasarkan dekomposisinya, produksi rata-rata serasah kasar lebih besar dibandingkan serasah halus dari setiap kondisi hutan yaitu sebesar 13.42 ton/ha, sedangkan serasah halus sebesar 8.33 ton/ha sehingga rata-rata produksi serasah dari setiap kondisi hutan adalah 10.88 ton/ha.

Produksi serasah pada setiap kondisi hutan sangat dipengaruhi oleh proses dekomposisi bahan organik dan kerapatan tajuk pohon. Kerapatan tajuk pada logged over area, secondary forest, dan degraded forest lebih rendah dibandingkan dengan primary forest sehingga cahaya matahari yang masuk ke

lantai hutan bekas tebangan, hutan sekunder, dan hutan terdegradasi lebih besar dibanding hutan primer. Kondisi tersebut mengakibatkan suhu tanah lantai hutan meningkat. sehingga hal ini mempercepat aktivitas dekomposer di dalam proses perombakan serasah tersebut.

Adanya kandungan serasah yang tinggi memberikan implikasi bahwa akumulasi serasah juga mampu menyemat CO2 dari udara (akibat aktifitas mikrobia dan fauna tanah), sekaligus turut membantu peningkatan bahan organik tanah sehingga C dari ekosistem dapat dipendam dalam tanah.

5.4 Kadar Air

Kadar air kayu menunjukan banyaknya air yang terdapat pada kayu yang biasanya dinyatakan dalam persen terhadap berat kayu kering tanur atau berat kayu yang sudah bebas air. Perhitungan kadar air pada bahan organik mati dilakukan pada nekromassa dan serasah. Kadar air untuk kayu nekromassa/pohon diambil dari 7 jenis nekromassa dominan yang mewakili pada semua kondisi hutan gambut (primary forest, LOA, secondary forest, dan degraded forest) berdasarkan tingkat dekomposisi. Sedangkan perhitungan kadar air untuk serasah dilakukan berdasarkan tingkat dekomposisi yang mewakili 4 Ha (4 plot dengan ukuran 100 m x 100 m) dari semua kondisi hutan gambut. Perhitungan kadar air ini digunakan untuk mengetahui besarnya kandungan kadar air per komponen dari bahan organik mati (nekromassa dan serasah) berdasarkan pada tingkat dekomposisinya.

5.4.1 Kadar Air Nekromasa

Hasil perhitungan kadar air untuk 7 jenis nekromasa/pohon mati dominan dari semua kondisi hutan berdasarkan tingkat dekomposisi (tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk) disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Rata-rata kadar air dari 7 nekromassa dominan hutan gambut

No Nama Jenis

Rata-rata Kadar Air (%) Tidak Lapuk Setengah Lapuk Lapuk Rata-rata 1 Meranti (Shorea sp.) 94.90 104.56 248.27 149.24 2 Medang (Cinnamomum sp.) 77.35 233.16 160.80 157.10

3 Milas (Parastemon urophyllum) 26.96 128.12 236.00 130.36

4 Balam (Palaquium spp.) 81.47 134.15 250.51 155.38

5 Kelat (Cryptocarya sp.) 66.87 90.58 155.83 104.43

6 Timah-timah (Llex cymosa) 49.66 28.43 139.90 72.66

7 Suntai (Palaquium walsurifolium) 95.46 129.29 86.93 103.90 Rata-rata KA nekromasa (%) 70.38 121.18 182.61 124.72

Berdasarkan Tabel 18 terdapat keragaman kadar air yang bervariasi antara setiap tingkat dekomposisi kayu nekromasa. Keragaman kadar air dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama jenis pohon, kondisi hutan atau kondisi di lapangan tempat ditemukannya nekromassa, iklim dan cuaca. Pada jenis Medang dan Suntai nilai rata-rata kadar air untuk dekomposisi setengah lapuk lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kadar air pada dekomposisi lapuk. Hal tersebut dikarenakan dari setiap pengulangan sampel berdasarkan tingkat dekomposisi (tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk), kondisi lapangan pada saat ditemukan nekromassa jenis Suntai dalam kondisi tergenang air sehingga sampel yang diambil dalam keadaan basah karena banyak mengandung air. Sama halnya dengan jenis Timah-timah yang memiliki nilai rata-rata kadar air setengah lapuk lebih rendah dibanding dengan rata-rata kadar air pada dekomposisi tidak lapuk.

Dilihat dari nilai rata-rata kadar air setiap jenis nekromasa dominan, sebagian besar tingkat dekomposisi lapuk memiliki nilai rata-rata kadar air paling tinggi dibanding dengan dekomposisi setengah lapuk dan tidak lapuk. Hal tersebut dikarenakan tingkat dekomposisi kayu lapuk mengalami proses pelapukan yang paling lama dan telah mengalami perubahan iklim dan cuaca selama proses pelapukan tersebut sehingga banyak terdapat mikroba pelapuk kayu yang membuat kayu semakin lapuk, hancur, dan cenderung jenuh air. Rata-rata kadar air untuk setiap jenis nekromasa yaitu jenis Medang memiliki nilai tertinggi sebesar 157.10% sedangkan terendah terdapat pada jenis Timah-timah sebesar 72.66%. Perbedaan tersebut dikarenakan pada saat pengambilan sampel di

lapangan, kayu Medang lebih banyak mengandung air dikarenakan kayunya yang ringan dan pori-pori kayu yang lebih besar dibandingkan dengan Timah-timah.

5.4.2 Kadar Air Serasah

Hasil perhitungan kadar air serasah (serasah kasar dan halus) dari setiap kondisi hutan gambut disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Rata-rata kadar air serasah berdasarkan tingkat dekomposisi dari setiap kondisi hutan gambut

No Kondisi Hutan Rata-rata Kadar Air (%) Rata-rata (%) Serasah Kasar Serasah Halus

1 Primary forest 16.44 16.38 16.41

2 LOA 14.85 10.71 12.78

3 Secondary forest 15.83 13.02 14.43

4 Degradded forest 15.19 12.32 13.75

Rata-rata KA (%) 15.58 13.11 14.34

Berdasarkan data pada Tabel 19 dapat diketahui nilai rata-rata kadar air serasah berdasarkan tingkat dekomposisinya (kasar dan halus) dari berbagai kondisi hutan gambut. kadar air tertinggi serasah kasar dan halus terdapat pada primary forest sedangkan rata-rata kadar air serasah kasar dan halus terendah terdapat pada logged over area. Secara keseluruhan, nilai rata-rata kadar air serasah dari semua kondisi hutan adalah 14.34 %

Nilai tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kadar air serasah kasar lebih besar dibandingkan dengan serasah halus. Hal tersebut dikarenakan bahwa pada serasah kasar banyak terdapat daun-daun, ranting, dan kulit pohon yang masih segar, misalnya pada daun yang memiliki rongga sel yang diisi oleh air dan unsur hara mineral karena merupakan tempat berlangsungnya fotosintesis.

Perbedaan kondisi hutan juga mempengaruhi kandungan kadar air serasah, dimana pada primary forest nilai rata-rata kadar air serasah paling tinggi dibandingkan dengan kondisi hutan lainnya. Hal tersebut dikarenakan kondisi lantai hutan yang basah bahkan terkadang sampai tergenang air sehingga menyebabkan serasah yang ada berwujud dalam kondisi lembab sampai basah. Sedangkan pada logged over area, serasah yang berada pada lantai hutan dalam kondisi kering karena arealnya sudah terbuka akibat kegiatan pemanenan hutan.

5.5 Berat Jenis Nekromasa

Berat jenis kayu merupakan salah satu sifat penting yang harus diperhatikan karena dapat digunakan untuk menduga sifat-sifat kayu lainnya. Umumnya berat jenis kayu dapat ditentukan berdasarkan berat kayu kering tanur dan volume kayu dalam keadaan basah/kering udara terhadap kerapatan air. Hasil pengukuran rata-rata berat jenis kayu nekromassa dari 7 jenis dominan hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Rata-rata berat jenis kayu nekromassa dominan hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi

No Nama Jenis

Rata-rata Berat Jenis Tidak Lapuk Setengah Lapuk Lapuk Rata-rata 1 Meranti (Shorea sp.) 0.59 0.54 0.17 0.43 2 Medang (Cinnamomum sp.) 0.44 0.31 0.29 0.34

3 Milas (Parastemon urophyllum) 0.91 0.46 0.33 0.57

4 Balam (Palaquium spp.) 0.59 0.36 0.32 0.43

5 Kelat (Cryptocarya sp.) 0.64 0.36 0.35 0.45

6 Timah-timah (Llex cymosa) 0.88 0.80 0.37 0.68

7 Suntai (Palaquium walsurifolium) 0.57 0.37 0.33 0.42

Rata-rata Berat Jenis 0.66 0.46 0.31 0.47

Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa berat jenis kayu nekromasa bebeda-beda dari setiap dekomposisinya, berat kayu berbanding lurus dengan berat jenis kayu. Selain itu, berat jenis sangat erat kaitannya dengan kekuatan kayu. Semakin besar berat jenis kayu maka semakin kuat kayu tersebut. Berat jenis kayu dapat ditentukan oleh dinding sel dan kecilnya rongga sel yang membentuk pori-pori kayu. Berat suatu kayu tergantung dari jumlah zat kayu, rongga sel, kadar air dan zat ekstraktif didalamnya.

Berat jenis kayu dari 7 jenis nekromasa dominan hutan gambut untuk tingkat dekomposisi tidak lapuk berkisar antara 0.44–0.91, sedangkan pada dekomposisi setengah lapuk berkisar antara 0.31–0.80, dan pada dekomposisi lapuk berkisar antara 0.17–0.37. Berdasarkan hasil penelitian Perdhana (2009) rata-rata berat jenis kayu pada batang pohon yang masih segar yaitu untuk kayu Meranti sebesar 0.58, Medang sebesar 0.81, Milas sebesar 0.96, dan Balam sebesar 0.58. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian ini untuk nekromasa pada tingkat dekomposisi tidak lapuk (masih segar) kecuali pada jenis

Medang dengan nilai berat jenis 0.44. Menurut Sosef et al (1998) dalam Heriyanto et al (2011) kayu Medang terdiri dari beberapa jenis salah satunya Medang Keladi yang memiliki berat jenis pada kisaran 0.355–0.435. Selain itu, pengambilan sampel di lapangan terdiri dari 3 kali ulangan dari jenis Medang yang berbeda, maka nilai berat jenisnya hasil dari rata-rata dari 3 sampel tersebut. Hal ini yang membedakan dengan penelitian Perdhana (2009) yang hanya dari satu jenis Medang.

Pada penelitian Perdhana (2009), sampel pohon yang diambil berasal dari pohon yang baru ditebang sehingga kayunya masih dalam kondisi segar. Pohon mati yang telah mengalami proses pelapukan akan memiliki nilai berat jenis yang lebih rendah dibanding dengan berat jenis kayu yang baru ditebang karena bahan-bahan kimia (zat ekstraktif) yang terdapat dalam kayu sudah banyak yang hilang oleh perubahan iklim dan serangan jamur pembusuk.

Pada penelitian ini, nilai tertinggi berat jenis kayu nekromassa terdapat pada jenis Milas dengan tingkat dekomposisi tidak lapuk sebesar 0.91, sedangkan nilai terendah terdapat pada jenis Medang dengan dekomposisi tidak lapuk dan setengah lapuk yaitu sebesar 0.44 dan 0.31. Timah-timah memiliki nilai rata-rata berat jenis tertinggi pada dekomposisi setengah lapuk (0.80) dan lapuk (0.37), sedangkan nilai terendah terdapat pada jenis Meranti yaitu sebesar 0.17. Milas dan Timah-timah memiliki rata-rata berat jenis yang tinggi dikarenakan memiliki kayu yang kuat dan padat/berat. Secara keseluruhan dekomposisi tidak lapuk memiliki rata-rata berat jenis paling tinggi yaitu sebesar 0.66 dibandingkan setengah lapuk sebesar 0.46 dan lapuk sebesar 0.31. Perbandingan nilai berat jenis nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Histogram nilai rata-rata berat jenis dari 7 kayu nekromassa dominan hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi.

Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa rata-rata berat jenis nekromasa secara keseluruhan adalah 0.47. Nilai ini sesuai dengan pernyataan Hairiah dan Rahayu (2007), dimana berat jenis untuk nekromasa sekitar 0.4, namun dapat juga bervariasi tergantung pada kondisi pelapukannya. Semakin lanjut tingkat pelapukannya, maka berat jenis semakin rendah. Tingkat dekomposisi tidak lapuk memiliki nilai rata-rata berat jenis tertinggi dibandingkan dengan tingkat dekomposisi setengah lapuk dan lapuk. Selain dipengaruhi oleh faktor pelapukan, rata-rata berat jenis kayu nekromassa juga dipengaruhi oleh berat ringannya jenis kayu, dimana semakin tinggi nilai berat jenis kayu maka semakin kuat dan berat pula kayu tersebut.

5.6 Kadar Zat Terbang

5.6.1 Kadar Zat Terbang Nekromasa

Perhitungan kadar zat terbang dilakukan pada sampel nekromassa dan serasah. Pada kayu nekromassa sampel yang diuji dari 7 jenis nekromassa dominan hutan gambut yang terbagi dalam tingkat dekomposisi. Sedangkan pada serasah diambil sampel uji yang mewakili di setiap kondisi hutan berdasarkan tingkat dekomposisi yaitu serasah kasar dan serasah halus. Hasil penelitian rata-rata kadar zat terbang kayu nekromasa dominan berdasarkan tingkat dekomposisinya disajikan dalam Tabel 21.

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 Tidak Lapuk Setengah Lapuk Lapuk Rata-rata 0.66 0.46 0.31 0.47 Rata-rata Berat Jenis (gr/cm 3) Kelas Dekomposisi

Tabel 21 Rata-rata kadar zat terbang nekromasa dominan hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi

No Nama Jenis

Rata-rata Kadar Zat Terbang (%) Tidak Lapuk Setengah Lapuk Lapuk Rata-rata 1 Meranti (Shorea sp.) 56.01 60.07 56.43 57.50 2 Medang (Cinnamomum sp.) 56.68 60.16 59.99 58.94

3 Milas (Parastemon urophyllum) 42.50 41.63 38.74 40.96

4 Balam (Palaquium spp.) 42.75 42.99 45.43 43.72

5 Kelat (Cryptocarya sp.) 56.66 55.77 57.31 56.58

6 Timah-timah (Llex cymosa) 43.30 48.74 48.88 46.97

7 Suntai (Palaquium walsurifolium) 56.68 60.43 59.39 58.83

Rata-rata ZT (%) 50.65 52.83 52.31 51.93

Berdasarkan Tabel 21 dapat dilihat bahwa kadar zat terbang rata-rata pada 7 kayu nekromassa dominan bervariasi dari setiap tingkat dekomposisinya. Rata-rata zat terbang kayu nekromassa pada tingkat dekomposisi tidak lapuk berkisar antara 42.50%-56.68%, sedangkan pada tingkat dekomposisi setengah lapuk berkisar antara 41.63%-60.43%, dan pada dekomposisi lapuk berkisar antara 38.74%-59.99%. Jenis kayu Medang dan Timah-timah memiliki nilai kadar zat terbang rata-rata tertinggi pada tingkat dekomposisi tidak lapuk yaitu sebesar 56.68%. Pada tingkat dekomposisi setengah lapuk, jenis kayu Suntai memiliki nilai kadar zat terbang rata-rata tertinggi sebesar 60.43%. Pada tingkat dekomposisi lapuk nilai kadar zat terbang rata-rata tertinggi terdapat pada kayu Medang sebesar 59.99%. Kayu Milas memiliki nilai rata-rata kadar zat terbang terendah dari setiap dekomposisi yaitu pada dekomposisi tidak lapuk sebesar 42.50%, setengah lapuk sebesar 41.63%, dan lapuk sebesar 38.74%. Rata-rata zat terbang nekromasa secara keseluruhan adalah 51.93%.

5.6.2 Kadar Zat Terbang Serasah

Berdasarkan hasil analisis di laboratorium, kadar zat terbang rata-rata serasah dari setiap kondisi hutan yang terbagi dalam tingkatan dekomposisi kasar dan halus dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Rata-rata kadar zat terbang serasah berdasarkan tingkat dekomposisi

No Kondisi Hutan Rata-rata Kadar Zat Terbang (%) Rata-rata (%) Serasah Kasar Serasah Halus

1 Primary forest 66.26 65.35 65.80

2 LOA 63.31 61.34 62.33

3 Secondary forest 59.74 58.09 58.91

4 Degradded forest 58.03 60.83 59.43

Rata-rata ZT (%) 61.84 61.40 61.62

Tabel 22 menunjukan nilai rata-rata kadar zat terbang serasah kasar dan halus yang berbeda-beda dari setiap kondisi hutan gambut. Rata-rata kadar zat terbang serasah kasar tertinggi terdapat pada primary forest sebesar 66.26%, sedangkan rata-rata kadar zat terbang terendah terdapat pada degraded forest sebesar 58.03%. Pada serasah halus, nilai rata-rata kadar zat terbang tertinggi terdapat pada primary forest sebesar 65.35% dan nilai rata-rata terendah serasah halus yaitu 58.09% terdapat secondary forest. Secara keseluruhan rata-rata kadar zat terbang serasah paling besar terdapat pada serasah kasar dan terendah pada serasah halus, sehingga nilai rata-rata kadar zat terbang serasah dari semua kondisi hutan adalah 61.62%.

5.7 Kadar Abu

5.7.1 Kadar Abu Nekromasa

Pengukuran kadar zat abu dilakukan pada contoh uji nekromassa dan serasah berdasarkan tingkat dekomposisinya. Hasil secara keseluruhan rata-rata zat abu dari 7 kayu nekromassa dominan dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Rata-rata kadar zat abu nekromassa berdasarkan tingkat dekomposisi

No Nama Jenis

Rata-rata Kadar Zat Abu (%) Tidak Lapuk Setengah Lapuk Lapuk Rata-rata 1 Meranti (Shorea sp.) 1.51 0.88 1.42 1.27 2 Medang (Cinnamomum sp.) 0.78 1.42 1.08 1.09

3 Milas (Parastemon urophyllum) 0.79 1.03 1.23 1.02

4 Balam (Palaquium spp.) 1.17 1.87 1.47 1.51

5 Kelat (Cryptocarya sp.) 1.09 1.50 1.28 1.29

6 Timah-timah (Llex cymosa) 1.01 1.00 1.06 1.02

7 Suntai (Palaquium walsurifolium) 1.17 0.97 1.41 1.18

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, pada Tabel 23 dapat dilihat rata-rata kadar abu untuk nekromasa dominan yang terbagi kedalam 3 dekomposisi pelapukan yaitu tidak lapuk, setengah lapuk dan lapuk. Jenis kayu Meranti memiliki nilai kadar zat abu rata-rata tertinggi pada tingkat dekomposisi tidak lapuk yaitu sebesar 1.51%, dan jenis kayu Medang memiliki nilai rata-rata kadar zat terbang terendah yaitu sebesar 0.78%. Pada tingkat dekomposisi setengah lapuk, jenis kayu Balam memiliki nilai kadar zat terbang rata-rata tertinggi sebesar 1.87%, dan nilai kadar zat terbang rata-rata terendah yaitu pada kayu Meranti sebesar 0.88%. Pada tingkat dekomposisi lapuk nilai kadar zat terbang rata-rata tertinggi terdapat pada kayu Balam sebesar 1.47%, sedangkan kadar zat terbang rata-rata terendah terdapat pada jenis kayu Timah-timah sebesar 1.06%. Nilai rata-rata kadar abu kayu nekromassa hutan gambut dari semua sampel berdasarkan dekomposisi berkisar antara 1.07%-1.28% dan rata-rata berdasarkan jenis nekromasa berkisar antara 1.02%-1.51%, sehingga rata-rata secara keseluran adalah sebesar 1.2%.

5.7.2 Kadar Abu Serasah

Data hasil penelitian nilai rata-rata kadar abu serasah yang dikelompokan pada serasah kasar dan serasah halus dari setiap kondisi hutan gambut dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Rata-rata kadar zat abu serasah dari setiap kondisi hutan gambut berdasarkan tingkat dekomposisi

No Kondisi Hutan Rata-rata Kadar Zat Abu (%) Rata-rata (%) Serasah Kasar Serasah Halus

1 Primary Forest 3.12 2.61 2.86

2 LOA 3.36 5.08 4.22

3 Secondary Forest 4.83 4.67 4.75

4 Degradded Forest 5.86 5.70 5.78

Rata-rata ZA (%) 4.29 4.52 4.41

Pada Tabel 24, Rata-rata kadar zat abu serasah kasar dan serasah halus yang paling besar terdapat pada degraded forest yaitu sebesar 5.86%, dan 5.70%. Sedangkan pada primary forest memiliki nilai rata-rata kadar zat abu serasah kasar dan serasah halus terendah, dimana nilainya berturut-turut yaitu sebesar

3.12% dan 2.61%. Nilai rata-rata kadar zat abu serasah hutan gambut berkisar antara 2.61%-5.86% dengan rata-rata sebesar 4.41%

5.8 Kadar Karbon

5.8.1 Kadar Karbon Nekromasa

Nilai rata-rata kadar karbon dari 7 kayu nekromasa dominan dari semua kondisi hutan gambut yang berdasarkan tingkatan dekomposisinya dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25 Rata-rata kadar karbon Nekromasa berdasarkan tingkat dekomposisi

No Nama Jenis

Rata-rata Kadar Karbon (%) nekromasa Tidak Lapuk Setengah Lapuk Lapuk Rata-rata 1 Meranti (Shorea sp.) 42.49 39.05 42.15 41.23 2 Medang (Cinnamomum sp.) 42.54 38.42 38.93 39.96

3 Milas (Parastemon urophyllum) 56.70 57.33 60.03 58.02

4 Balam (Palaquium spp.) 56.08 55.14 53.10 54.77

5 Kelat (Cryptocarya sp.) 42.25 42.73 41.41 42.13

6 Timah-timah (Llex cymosa) 55.70 50.25 50.07 52.01

7 Suntai (Palaquium walsurifolium) 42.15 38.61 39.20 39.98

Rata-rata %C 48.27 45.93 46.41 46.87

Data kadar karbon rata-rata dari setiap jenis kayu nekromassa dominan pada Tabel 25 rata-rata kadar karbon yang bervariasi dari setiap jenis. Kayu Milas memiliki nilai rata-rata kadar karbon tertinggi dari dekomposisi tidak lapuk, setengah lapuk, dan lapuk, dimana nilainya berturut-turut adalah 56.70%, 57.33%, dan 60.03%. Pada tingkat dekomposisi setengah lapuk dan lapuk, nilai rata-rata kadar karbon terendah terdapat pada jenis kayu Medang sebesar 38.42% (setengah lapuk) dan 38.93% (lapuk). Secara keseluruhan, nilai rata-rata kadar karbon dari semua jenis dominan untuk dekomposisi tidak lapuk sebesar 48.27% (0.4827), setengah lapuk sebesar 45.93% (0.4593), dan dekomposisi lapuk sebesar 46.41% (0.4641).

Konsentrasi C/kadar karbon pada nekromasa berdasarkan dekomposisi pada penelitian ini berkisar antara 45.93%-48.27% dan rata-rata berdasarkan jenis berkisar antara 39.96%-58.02%, sehingga rata-rata secara keseluruhan adalah 46.87%. Nilai ini sesuai dengan pernyataan dari Hairiah dan Rahayu (2007), dimana konsentrasi C (kadar karbon) dalam bahan organik biasanya sekitar 46 %,

oleh karena itu estimasi jumlah C tersimpan per komponen dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya (biomassa) dengan konsentrasi C. Sedangkan menurut Brown (1997) menyatakan bahwa 50% dari biomassa adalah karbon. Perbedaan nilai kadar karbon tersebut diduga karena karbon yang diukur oleh Brown (1997) tidak melalui uji laboratorium sehingga belum dikurangi dengan kadar abu dan zat terbang.

5.8.2 Kadar Karbon Serasah

Perhitungan kadar karbon serasah kasar dan serasah halus dilakukan pada 24 contoh uji yang mewakili dari setiap kondisi hutan gambut. Data rata-rata kadar karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Rata-rata kadar karbon serasah berdasarkan tingkat dekomposisi

No Kondisi Hutan Rata-rata Kadar Karbon (%) Rata-rata (%) Serasah Kasar Serasah Halus

1 Primary forest 30.63 32.04 31.34

2 LOA 33.33 33.58 33.45

3 Secondary forest 35.43 37.24 36.33

4 Degradded forest 36.10 33.47 34.79

Rata-rata C% serasah 33.87 34.08 33.98

Berdasarkan data yang disajikan dalam Tabel 26 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar karbon serasah pada setiap kondisi hutan berbeda-beda dari tingkat dekomposisinya. Pada serasah kasar, nilai rata-rata kadar karbon tertinggi yaitu terdapat pada degraded forest sedangkan pada primary forest memiliki nilai rata-rata kadar karbon terendah. Pada serasah halus, secondary forest memiliki nilai rata-rata kadar karbon tertinggi, sedangkan yang paling rendah terdapat pada primary forest. Berdasarkan data tersebut, serasah halus memiliki nilai rata-rata karbon lebih besar dibandingkan dengan serasah kasar kecuali pada kondisi hutan terdegradasi dimana rata-rata kadar karbon serasah kasar lebih besar dibandingkan dengan serasah halus.

Secara keseluruhan nilai rata-rata kadar karbon serasah dari setiap kondisi hutan yaitu pada secondary forest memiliki nilai rata-rata kadar karbon tertinggi, sedangkan rata-rata kadar karbon terendah terdapat pada primary forest sehingga nilai rata-rata serasah dari semua kondisi hutan gambut adalah 33.98%. Berdasarkan Hairiah et al (2001) kandungan/kadar karbon yang terdapat pada

serasah yaitu 40%. Perbedaan nilai kadar karbon dengan Hairiah et al (2001) dikarenakan oleh nilai rata-rata yang diperoleh pada penelitian ini merupakan nilai rata-rata dari serasah kasar dan serasah halus dari semua kondisi hutan, dimana kisaran nilainya yaitu antara 31.34%-36.33% dengan nilai rata-rata tertinggi yang hampir mendekati dengan nilai kandungan karbon menurut Hairiah et al (2001).

5.9 Biomassa

5.9.1 Biomassa Pohon Mati/Nekromasa

Biomassa merupakan banyaknya materi organik yang tersimpan dalam pohon. Biomassa dapat diukur dengan mengetahui berat atau volume bagian-bagian kayu, dan nilai kadar airnya. Perhitungan biomassa dilakukan pada contoh uji nekromasa yang dibagi kedalam 3 dekomposisi pelapukan yang dapat dihitung dengan rumus allometrik pendugaan biomassa dalam kondisi pohon mati berdiri bercabang dihitung dengan rumus allometrik Kettering (2001) sedangkan pendugaan biomassa nekromasa pohon mati berdiri hanya batang utama, pohon tumbang, dan tunggak pohon dihitung berdasarkan persamaan allometrik menurut Hairiah (2001). Perbandingan nilai total perhitungan pendugaan biomassa nekromasa dominan dari kedua rumus tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Perbandingan total biomassa pohon mati/nekromasa di setiap kondisi