• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah perairan Provinsi Sulawesi Selatan merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Flores dan Selat Makassar (WPP-4) dengan posisi geografis kurang lebih 2 o – 7o LS dan 115o – 123o BT.

Berdasarkan hasil pengkajian stok ikan di perairan Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 diperoleh data bahwa pada WPP-4 tersebut memiliki total potensi sumberdaya ikan sebesar 929,72 ribu ton/tahun, dengan produksi mencapai 655,45 ribu ton/tahun sehingga tingkat pemanfaatannya mencapai 70,50%.

Berdasarkan data tersebut secara umum masih terdapat peluang pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP-4, namun demikian untuk komoditas cumi-cumi, udang penaid, dan ikan demersal di WPP tersebut sudah terindikasi tangkap lebih. Pada Tabel 10 diperlihatkan potensi lestari dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP-4 dan WPP lainnya di perairan Indonesia.

4.2 Keragaan Pembangunan Perikanan Tangkap

Pada Tahun 2002, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan dari sektor perikanan mencapai Rp 1.206.245.931,- yang bersumber dari retribusi penjualan produksi usaha Daerah, retribusi pemakaian kekayaan Daerah, retribusi pelayanan jasa ketatausahaan, serta dana bergulir (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2002).

Konsumsi ikan perkapita di provinsi Sulawesi Selatan dalam Tahun 2002 mencapai 44,4 kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2001 tercatat 44,2 kg/kapita/tahun sehingga terjadi peningkatan sebesar 4,5%. Memperhatikan tingkat konsumsi ikan yang telah dicapai, jika dibandingkan dengan konsumsi ikan nasional maka secara keseluruhan konsumsi ikan di daerah ini relatif besar meskipun tidak

merata, khusus pada daerah-daerah yang jauh dari pantai masih jumpai kondisi rawan gizi.

Tabel 10. Potensi Lestari dan Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumberdaya Ikan Laut Pada Setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)

Kelompok Wilayah Pengelolaan Perikanan Perairan Sumber Daya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Indonesia

Ikan Pelagis Besar

Potensi (103 ton/tahun) 7,67 66,08 55,00 193,60 104,12 106,51 75,26 50,86 386,26 1.165,36

Produksi (103 ton/tahun) 5,27 35,16 137,82 85,10 29,10 37,46 53,43 34,55 188,28 736,17

Pemanfaatan (%) >100 53,21 >100 43,96 27,95 35,17 87,54 67,93 48,74 63,17

Ikan Pelagis Kecil

Potensi (103 ton/tahun) 47,30 621,50 340,00 605,44 132,00 379,44 384,75 468,66 526,57 3.605,66 Produksi (103 ton/tahun) 32,70 205,53 507,53 333,35 146,47 119,43 62,45 12,31 264,56 1.784,33 Pemanfaatan (%) 90,15 33,07 >100 55,06 >100 31,48 16,23 2,63 50,21 49,49 Ikan Demersal Potensi (103 ton/tahun) 82,40 334,80 75,20 87,20 9,32 83,84 54,86 202,34 135,13 1.365,09 Produksi (103 ton/tahun) 146,23 54,69 34,92 167,38 43,20 32,14 15,31 156,80 134,83 1.085,50 Pemanfaatan (%) >100 16,34 89,26 >100 >100 38,33 27,91 77,49 99,78 79,52

Ikan Karang Konsumsi

Potensi (103 ton/tahun) 5,00 21,57 9,50 34,10 32,10 12,50 14,50 3,10 12,88 145,25 Produksi (103 ton/tahun) 21,60 7,88 48,24 24,11 6,22 4,63 2,21 22,58 19,42 156,89 Pemanfaatan (%) >100 36,53 >100 70,70 19,38 37,04 15,24 >100 >100 >100 Udang Penaeid Potensi (103 ton/tahun) 11,40 10,00 11,40 4,80 0,00 0,90 2,50 43,10 10,70 94,80 Produksi (103 ton/tahun) 49,46 70,51 52,86 36,91 0,00 1,11 2,18 36,67 10,24 259,94 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 0,00 >100 87,20 85,08 95,70 >100 Lobster Potensi (103 ton/tahun) 0,40 0,40 0,50 0,70 0,40 0,30 0,40 0,10 1,60 4,80 Produksi (103 ton/tahun) 0,87 1,24 0,93 0,65 0,01 0,02 0,04 0,16 0,16 4,08 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 92,86 2,50 6,67 10,00 >100 10,00 85,00 Cumi-cumi Potensi (103 ton/tahun) 1,86 2,70 5,04 3,88 0,05 7,13 0,45 3,39 3,75 28,25 Produksi (103 ton/tahun) 3,15 4,89 12,11 7,95 3,48 2,85 1,49 0,30 6,29 42,51 Pemanfaatan (%) >100 >100 >100 >100 >100 39,97 >100 8,85 >100 >100 Total Potensi (103 ton/tahun) 76,03 1.057,05 96,64 929,72 277,99 590,62 632,72 771,55 1.076,89 6.409,21 Produksi (103 ton/tahun) 389,28 379,90 1.094,41 655,45 228,48 197,64 237,11 263,37 623,78 4.069,42 Pemanfaatan (%) >100 35,94 >100 70,50 82,19 33,46 7,47 34,14 57,92 63,49 Sumber : DKP, 2002

Catatan: 1. Selat Malaka, 2. Laut Cina Selatan, 3. Laut Jawa, 4. Selat Makassar dan Laut Flores, 5. Laut Banda, 6. Laut Seram dan Teluk Tomini, 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, 8. Laut Arafura, 9. Samudera Hindia

Overfishing

Lebih besar dari MSY

Tercatat tujuh Kabupaten/Kota di provinsi Sulawesi Selatan bagian Selatan telah memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan perikanan tangkap di provinsi Sulawesi Selatan. Ketujuh Kabupaten/Kota tersebut yaitu Makassar, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Bantaeng, Sinjai, dan Selayar. Berdasarkan data statistik perikanan provinsi, pada tahun 2003 produksi perikanan tangkap provinsi Sulawesi Selatan adalah 354.434,5 ton, dimana 163.640,4 ton atau 46,2%-nya dihasilkan dari tujuh Kabupaten/Kota tersebut. Sisanya 53,8% dihasilkan dari 12 Kabupaten/Kota lainnya di provinsi Sulawesi Selatan. Produksi sebesar 163.640,4 ton dari tujuh Kabupaten/Kota tersebut berturut-turut dihasilkan dari Jeneponto (26,7%); Takalar (24,2%); Bulukumba (14,6%); Sinjai (13,2%); Makassar (11,0%); Selayar (8,3%); dan Bantaeng (2,0%).

Alat penangkapan ikan yang dioperasikan nelayan di Sulawesi Selatan cukup beragam. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan (2004), sejak tahun 1979 sampai dengan 2003 terdapat sekitar 13 jenis alat tangkap dominan yang digunakan. Alat tangkap tersebut adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu. Keseluruhan alat tangkap tersebut tidak sepenuhnya ditemukan di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan penggunaan alat tangkap tersebut disesuaikan dengan kondisi perairan Kabupaten/Kota tersebut.

(1) Kotamadya Makassar

Jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring klitik, jaring insang tetap, bagan perahu, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda, sero dan bubu. Sejak tahun 1979 sampai dengan 2003, dari keseluruhan alat tangkap yang ada, terdapat 3 (tiga) alat tangkap yang mengalami peningkatan dalam hal jumlah yakni Pukat cincin, Jaring klitik dan Pancing tonda. Walaupun memiliki kecenderungan yang meningkat, namun ketiga alat tersebut juga memiliki kecenderungan yang berfluktuasi terutama pada kurun waktu tahun 1980-

an. Adapun untuk alat lainnya, memiliki kecenderungan untuk mengalami penurunan periode tahun 1979 sampai dengan 2003. Alat tersebut umumnya banyak digunakan sekitar tahun 1979 sampai dengan 1983. Namun mulai tahun 1984 hingga 2003 penggunaan alat tangkap tersebut sangat berfluktuatif dan memiliki kecenderungan menurun.

Secara keseluruhan, alat tangkap yang paling dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar secara berurutan adalah jaring klitik rata-rata sebanyak 191 unit per tahun, bagan tancap rata-rata sebanyak 152 unit per tahun, jaring insang tetap rata-rata sebanyak 124 unit per tahun, sedangkan alat tangkap dengan jumlah penggunaan paling sedikit adalah bubu yakni rata-rata sebanyak 13 unit per tahun.

Data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan (2004) juga memperlihatkan besarnya produksi tangkapan dengan menggunakan ke-13 alat tangkap tersebut. Umumnya, jumlah produksi alat tangkap tersebut mengalami peningkatan dalam kurun waktu 24 tahun, kecuali untuk alat tangkap jaring insang hanyut dan bubu yang jumlah produksinya cenderung menurun. Secara rata-rata, urutan jumlah produksi terbanyak adalah untuk alat tangkap pukat cincin yakni sebesar 3.027 ton per tahun, jaring insang hanyut sebesar 2.615 ton per tahun, bagan tancap sebesar 1.625 ton per tahun, dan jumlah produksi terendah adalah alat tangkap bubu sebanyak 45 ton per tahun.

(2) Kabupaten Takalar

Jenis alat tangkap yang umum digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Takalar umumnya sama dengan yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kotamadya Makassar, kecuali alat tangkap bagan perahu dan pancing tonda. Keseluruhan alat tangkap yang ada cenderung mengalami peningkatan dalam hal jumlah (unit) sejak tahun 1979 sampai dengan 2003. Peningkatan tersebut mengalami fluktuasi naik turun pada periode tahun 1990-an. Terdapat 2 (dua) alat tangkap yang justru mengalami penurunan kuantitas yakni sero dan bubu. Secara rata-rata, alat tangkap yang dominan digunakan adalah rawai tetap yakni sebanyak

1.292 unit per tahun, jaring insang hanyut sebanyak 480 unit per tahun, jaring insang tetap sebanyak 424 unit per tahun dan yang paling sedikit digunakan adalah jaring lingkar sebanyak 67 unit per tahun.

Dalam hal jumlah hasil tangkapan (produksi), alat tangkap bubu justru menghasilkan produksi dalam jumlah besar walaupun dengan kuantitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Produksi alat tangkap bubu yakni rata-rata sebanyak 2.588 ton per tahun, diikuti oleh rawai tetap sebanyak 2.392 ton per tahun, dan yang paling sedikit memperoleh hasil tangkapan adalah sero yakni sebanyak 134 ton per tahun.

(3) Kabupaten Jeneponto

Alat tangkap yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, rawai tetap, dan bubu. Beberapa alat tangkap yang pernah digunakan namun pada akhirnya tidak dimanfaatkan lagi yakni jaring lingkar, jaring klitik dan sero (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Berdasarkan ke-8 jenis alat tangkap tersebut, 4 (empat) diantaranya mengalami penurunan, 3 (tiga) mengalami peningkatan sedangkan 1 (satu) diantaranya berfluktuasi naik turun dalam hal kuantitas selama periode 24 tahun. Alat tangkap yang mengalami peningkatan yakni pukat cincin, jaring insang tetap dan rawai tetap, yang mengalami penurunan adalah payang, jaring insang hanyut, bagan tancap serta bubu, dan yang mengalami fluktuasi adalah pukat pantai. Secara rata-rata, jumlah alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang tetap yakni sebanyak 491 unit per tahun, rawai tetap sebanyak 315 unit per tahun dan jaring insang hanyut sebanyak 288 unit per tahun. Sedangkan alat tangkap yang paling sedikit digunakan adalah pukat pantai yakni berkisar 93 unit per tahun.

Pukat cincin sebagai alat tangkap yang penggunaannya mengalami peningkatan, berdampak pada hasil tangkapan (produksi) yang diperoleh yakni 2.473 ton per tahun, diikuti oleh jaring insang tetap sebagai alat tangkap yang paling

dominan digunakan. Alat yang memperoleh hasil tangkapan terendah adalah payang yakni sebanyak 422 ton per tahun.

(4) Kabupaten Bantaeng

Penggunaan alat tangkap oleh nelayan di Kabupaten Bantaeng berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, cenderung dalam jumlah yang lebih kecil (sedikit) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Alat tangkap yang umum digunakan adalah payang, pukat pantai, pukat cincin, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, bagan tancap, rawai tetap, pancing tonda dan bubu. Beberapa diantara alat tangkap tersebut mengalami peningkatan dan penurunan. Kedua kondisi tersebut disertai dengan kenaikan dan penurunan yang cukup fluktuatif selama periode 24 tahun. Namun secara keseluruhan, alat tangkap dominan yang digunakan adalah jaring insang hanyut sebanyak 170 unit per tahun, jaring insang tetap yakni rata-rata sebanyak 115 unit per tahun, rawai tetap sebanyak 81 unit per tahun dan pukat cincin sebanyak 64 unit per tahun. Untuk alat yang paling minim digunakan adalah payang yakni rata-rata hanya 19 unit per tahun.

Berdasarkan alat tangkap dominan yang digunakan berdampak pada hasil tangkapan (produksi) alat tangkap tersebut, yakni untuk alat tangkap jaring insang hanyut sebagai alat tangkap dominan memperoleh hasil tangkapan sebanyak 1.168 ton per tahun. Namun demikian, alat tangkap yang paling produktif adalah pukat cincin dengan perolehan hasil tangkapan terbesar yakni 4.512 ton per tahun. Hasil tangkapan dengan menggunakan pukat cincin pada dasarnya adalah mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan periode tahun 1980 hinga 1990-an. Selanjutnya adalah pukat pantai sebanyak 783 ton per tahun.

(5) Kabupaten Bulukumba

Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Bantaeng beberapa mengalami peningkatan dan beberapa pula mengalami penurunan. Alat tangkap yang mengalami peningkatan jumlah adalah pukat pantai, pukat cincin, jaring insang tetap, bagan perahu, rawai tetap dan bubu. Alat tangkap yang

mengalami penurunan adalah payang, jaring insang hanyut, jaring lingkar, bagan tancap dan pancing tonda. Salah satu alat tangkap yakni jaring klitik bahkan digunakan hanya pada satu periode yaitu pada tahun 1983 dan setelah itu tidak digunakan lagi oleh masyarakat nelayan. Secara rata-rata alat tangkap yang paling dominan selama kurun waktu tahun 1979 hingga 2003 adalah jaring insang hanyut (240 unit per tahun), jaring insang tetap (192 unit per tahun), pancing tonda (174 unit per tahun) dan yang paling sedikit digunakan adalah bubu (28 unit per tahun).

Alat tangkap yang paling produktif adalah Pukat cincin dengan besar produksi yang dapat dihasilkan adalah rata-rata 3.565 ton per tahun, diikuti oleh alat tangkap jaring lingkar rata-rata sebanyak 1.458 ton per tahun dan jaring insang tetap rata-rata sebesar 1.301 ton per tahun. Alat tangkap dengan hasil tangkapan yang lebih rendah adalah bubu yakni rata-rata sebesar 96,9 ton per tahun.

(6) Kabupaten Sinjai

Berdasarkan ke-13 alat tangkap yang dominan digunakan oleh masyarakat nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan, hampir keseluruhan alat tangkap tersebut digunakan oleh masyarakat nelayan Kabupaten Sinjai kecuali alat tangkap rawai tetap selama periode tahun 1979 sampai dengan 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Khusus untuk alat tangkap pukat cincin, baru digunakan oleh masyarakat pada tahun 1991 dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 2003. Peningkatan alat tangkap tersebut diikuti pula oleh alat tangkap lainnya yakni payang, pukat pantai, jaring insang hanyut, jaring lingkar, jaring insang tetap serta bagan perahu. Selain alat tangkap tersebut, terdapat pula alat tangkap lain yang mengalami penurunan yakni jaring klitik, bagan tancap, pancing tonda, sero dan bubu. Apabila ditinjau secara rata-rata, maka penggunaan alat tangkap yang terbanyak adalah jaring insang hanyut yakni sebanyak 272 unit per tahun, bagan perahu sebanyak 234 unit per tahun, sedangkan penggunaan yang paling sedikit adalah jaring lingkar yakni rata-rata sebanyak 30 unit per tahun.

Adapun alat tangkap yang paling produktif di Kabupaten Sinjai adalah bagan perahu dengan besar rata-rata hasil tangkapan yakni 4.842 ton per tahun, diikuti oleh

alat tangkap jaring insang hanyut sebanyak 3.595 ton per tahun dan pukat cincin sebanyak 2.032 ton per tahun. Alat tangkap yang paling rendah tingkat produktivitasnya adalah jaring klitik dengan hasil tangkapan sebanyak 86 ton per tahun.

(7) Kabupaten Selayar

Jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan di Kabupaten Selayar selama 24 tahun adalah payang, jaring insang hanyut, bagan perahu, bagan tancap dan sero. Adapun untuk alat tangkap pukat cincin digunakan oleh masyarakat nelayan sejak tahun 1993 dan terus mengalami peningkatan dalam hal kuantitas hingga tahun 2003. Peningkatan ini diikuti pula oleh alat tangkap lainnya yakni payang, jaring insang hanyut, bagan perahu dan sero. Untuk alat tangkap bagan tancap mengalami penurunan hingga tahun 2003, dan bahkan untuk alat tangkap pancing tonda dan bubu memiliki kecenderungan tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat nelayan. Namun secara keseluruhan, rata-rata penggunaan alat tangkap yang dominan adalah jaring insang hanyut sebanyak 412 unit per tahun, diikuti oleh sero sebanyak 199 unit per tahun. Alat tangkap yang paling sedikit digunakan adalah pancing tonda yakni 8 unit per tahun.

Berdasarkan keseluruhan alat tangkap yang ada, alat tangkap yang paling produktif adalah jaring insang hanyut dengan rata-rata hasil tangkapan sebanyak 3.016 ton per tahun, diikuti oleh pukat cincin sebanyak 1.059 ton per tahun. Alat tangkap dengan hasil tangkapan terendah adalah pancing tonda sebanyak 14,9 ton per tahun selama periode tahun 1979 sampai dengan 2003.

Dokumen terkait