• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi tumbuh maksimum (PTM) Pengamatan dilakukan terhadap jumlah benih yang berkecambah, baik kecambah normal maupun abnormal pada

HASIL, DAN MUTU BENIH KACANG BAMBARA Pendahuluan

6. Potensi tumbuh maksimum (PTM) Pengamatan dilakukan terhadap jumlah benih yang berkecambah, baik kecambah normal maupun abnormal pada

pengamatan terakhir (hari ke-10).

7. Tingkat infeksi penyakit pada benih. Metode yang dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan fungisida terhadap penurunan tingkat kontaminasi cendawan terbawa benih yaitu dengan metode blottertest (Lampiran 4). Benih diletakkan dalam cawan petri yang berisi tiga lembar kertas merang. Cawan petri diseal dengan plastik wrap kemudian diletakkan dalam ruang inkubasi dengan suhu ruangan di bawah penyinaran lampu near ultra violet (NUV) 12 jam terang dan 12 jam gelap secara bergantian sampai hari ketujuh, kemudian dilakukan identifikasi penyakit benih dengan mengunakan mikroskop stereo dan compound berdasarkan pedoman kunci identifikasi. Tingkat infeksi penyakit pada benih dihitung dengan rumus:

Hasil dan Pembahasan

Penetapan Konsentrasi Fungisida non Fitotoksik pada Benih Kacang Bambara

Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi fungisida yang tepat dan non fitotoksik terhadap benih kacang bambara. Fungisida yang digunakan memiliki bahan aktif benomil 50% dengan merk dagang Benlox. Pengaruh pemberian konsentrasi fungisida benomil terhadap persentase kecambah normal non fitotoksik dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh pemberian konsentrasi fungisida benomil terhadap persentase kecambah normal non fitotoksik

Konsentrasi fungisida Kecambah normal (%)

non fitotoksik fitotoksik

Kontrol 81.3a 0

0.05% 77.3a 6.7

0.10% 68.0ab 14.7

0.15% 50.7b 17.3

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

24

Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi fungisida berpengaruh terhadap persentase kecambah normal non fitotoksik. Pemberian fungisida berbahan aktif benomil dengan konsentrasi 0.05% merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan kecambah normal non fitotoksik tertinggi yaitu 77.3% diikuti dengan perlakuan konsentrasi benomil 0.1% (68%) dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (81.3%). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian fungisida benomil dengan konsentrasi 0.05% cukup aman dan mampu meningkatkan daya berkecambah benih kacang bambara.

Menurut Wilis (1983), penurunan daya berkecambah akibat perlakuan benih dengan fungisida diduga terjadi karena kerusakan fisik yang terjadi selama proses perlakuan benih, perlakuan yang berlebihan, tidak merata, dan atau kulit benihnya yang sudah rusak. Bateman et al. (1986) juga menyatakan bahwa perlakuan benih dengan pestisida dapat menurunkan kemampuan benih berimbibisi karena adanya gesekan antar permukaan benih. Rachmawati (1989) menambahkan bahwa penggunaan bahan perekat dapat menurunkan daya tumbuh benih. Hal ini diduga karena peresapan bahan perekat tersebut ke dalam benih yang mungkin menyebabkan terhambatnya perkecambahan benih.

Gambar 12 Kecambah normal (a) non fitotoksik (kontrol) dan (b) fitotoksik (benomil) pada kacang bambara

Perbedaan antara kecambah normal non fitotoksik dan kecambah normal fitotoksik dalam pengamatan daya berkecambah benih (Gambar 12), didasarkan ada atau tidaknya indikasi keracunan benomil melalui perbandingan dari penampakan fisik dengan kontrol. Penampakan fisik kecambah yang tidak sama dengan kontrol dapat dinyatakan bahwa kecambah tersebut fitotoksik.

Uji Kemampuan Tumbuh Rhizobium sp.pada berbagai Konsentrasi Fungisida Benomil

Nodulasi dipengaruhi oleh penggunaan fungisida yang diberikan secara langsung terhadap tanaman maupun fungisida yang digunakan pada perlakuan benih (Alexander 1977). Ada indikasi yang mengarah kepada terhambatnya kemampuan tumbuh bakteri bintil akar apabila terjadi kontak langsung dengan fungisida yang digunakan pada perlakuan benih (Diatloff 1970), oleh sebab itu percobaan ini dilakukan dalam upaya mencari konsentrasi fungisida yang tidak mematikan bakteri penyubur tanah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

konsentrasi fungisida berpengaruh terhadap jumlah koloni bakteri. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian fungisida berbahan aktif benomil dengan konsentrasi 0.05% merupakan perlakuan terbaik yang memiliki jumlah koloni 1.53x107 cfu/ml diikuti dengan perlakuan konsentrasi benomil 0.1% (1.05x107 cfu/ml) dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (1.66 x107 cfu/ml), oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa konsentrasi terpilih yang dapat ditolerir oleh bakteri Rhizobium sp. adalah 0.05%.

Tabel 5 Pengaruh pemberian benomil terhadap jumlah koloni bakteri Rhizobium sp.

Konsentrasi benomil Jumlah koloni (cfu/ml)

kontrol 1.66 x107 a

0.05% 1.53x107 a

0.10% 1.05x107 ab

0.15% 7.70x106 b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sopyan (2003) pada kedelai yang menyatakan bahwa konsentrasi benomil 0.05% merupakan konsentrasi yang dapat ditolerir oleh bakteri Rhizobium japonicum dan Azospirillum lipoferum. Penelitian ini menggunakan fungisida dengan merk dagang Benlox yang berbahan aktif benomil 50%, selain itu fungisida dengan merk dagang Benlate juga mengandung 50% bahan aktif benomil. Menurut Graham et al. (1980) Benlate bersifat kurang toksik terhadap bakteri bintil akar. Menurut Brockwell dalam Hardy dan Holsten (1997), biakan murni inokulan bakteri bintil akar dapat tersedia dalam 4 bentuk yaitu : inokulan biji dengan gambut sebagai bahan pembawa, biakan cair, biakan padat dalam bentuk agar dan biakan dalam bentuk butiran. Bahan pembawa dan strain bakteri yang digunakan dapat mempengaruhi pembentukan bintil akar. Backman (1978) menganjurkan untuk menggunakan inokulan dalam bentuk butiran (granular) bila benih mendapatkan perlakuan fungisida.

Perlakuan Invigorasi Benih dan Pengurangan Pupuk N Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman, Hasil, dan Mutu Benih Kacang Bambara

Perlakuan dosis pemupukan N rekomendasi Nnadi et al. (1976) terdiri atas kontrol atau tanpa pemupukan N (N0), ¼ dari dosis optimum N (N1) yaitu 15.35 kg N/ha, ½ dari dosis optimum N (N2) yaitu 30.70 kg N/ha (N2), ¾ dari dosis optimum N (N3) yaitu 46.04 kg N/ha, dan dosis optimum N (N4) yaitu 61.39 kg N/ha, sedangkan taraf perlakuan invigorasi benih terdiri atas V0 (kontrol), V1 (perlakuan Matriconditioning plus Rhizobium dan fungisida), V2 (perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp.), dan V3 (perlakuan matriconditioning plus fungisida). Pada penelitian ini media yang digunakan untuk perlakuan matriconditioning adalah arang sekam. Arang sekam sebagai media matriconditioning bersifat ringan dan porous, sehingga memungkinkan air dapat terus tersedia selama proses matriconditioning, artinya secara perlahan benih dapat memperbaiki struktur selnya yang rusak. Prabowo dalam Suryani (2003)

26

menyatakan bahwa kandungan hara dalam arang sekam adalah N (0.18%), Ca (0.14%), K (0.03%), P (0.08%), dan Mg serta memiliki pH 6-7. Menurut Nugraha dan Setiawati (2001) arang sekam juga mengandung kadar selulosa yang cukup tinggi (35.7%) sebagai sumber energi panas, sehingga proses pembakaran merata dan stabil. Hal ini mengakibatkan daya serap terhadap panas tinggi, sehingga meningkatkan suhu, mempercepat perkecambahan, dan mempunyai aerasi yang baik (Suryani 2003). Media padat seperti Micro-Cel E dan vermikulit dapat digunakan pada matriconditioning selain arang sekam (Khan et al. 1990). Abu gosok dan serbuk gergaji juga efekif digunakan dalam matriconditioning (Yunitasari dan Ilyas 1994).

Kondisi Umum Penelitian

Kondisi pertanaman pada bulan pertama cukup baik tetapi pada umur 6 MST mulai muncul gejala serangan virus pada beberapa tanaman yang menyebabkan tanaman kerdil dan daunnya tampak mengkerut (Gambar 13a). Tanaman yang terserang virus dicabut untuk mencegah penyebaran ke tanaman lain. Kondisi pertanaman pada fase pembungaan mulai nampak gejala serangan cendawan berupa batang tanaman yang dekat dengan permukaan tanah dipenuhi dengan cendawan berwarna putih, sehingga tangkai menjadi busuk dan dapat menyerang polong (Gambar 13b). Hasil identifikasi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman IPB menyatakan bahwa cendawan yang menyerang adalah Sclerotium rolfsii.

Gambar 13 (a) Tanaman terserang virus pada 6 MST dan (b) Tangkai tanaman terserang cendawan Sclerotium rolfsii

Berdasarkan data iklim dari Stasiun Klimatologi Dramaga curah hujan tertinggi di lokasi percobaan jatuh pada bulan Januari 2014 (702 mm/bulan) dan terendah pada bulan November 2013 (186.9 mm/bulan). Benih membutuhkan cukup air untuk proses perkecambahan pada awal penanamannya. Curah hujan pada awal penanaman di bulan Agustus dapat dikatakan cukup rendah, sehingga untuk mendukung perkecambahan benih dilakukan penyiraman setelah tanam agar benih dapat berkecambah dengan baik. Air merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap perkecambahan benih selain gas, suhu, dan cahaya karena berperan penting untuk aktivasi enzim, perombakan cadangan makanan, melunakkan kulit benih, translokasi, serta memungkinkan masuknya oksigen.

Munculnya tanaman kerdil dan daun mengkerut pada 6 MST (Gambar 13a) diindentifikasi sebagai gejala serangan virus. Agrios (1996) menyatakan

bahwa gejala umum akibat infeksi virus adalah gejala kerdil dan menurunnya pertumbuhan tanaman, akibat dari terhambatnya aliran nutrisi dari source ke sink karena virus yang ada di dalam tanaman menguasai floem. Tanaman yang terinfeksi pada awal pertumbuhan tidak akan menghasilkan buah dan tidak dapat tumbuh dengan normal. Jika tanaman terinfeksi saat memasuki fase generatif maka buah yang dihasilkan akan berbentuk kerdil dan bertekstur keras. Serangan virus yang terjadi kemungkinan karena tidak adanya pengendalian berupa penyemprotan insektisida yang seharusnya sudah diberikan mulai 4 MST untuk membasmi serangga yang dimungkinkan sebagai vektor pembawa virus (Hamid 2009). Pracaya (2004) menyampaikan, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan virus adalah dengan melakukan penyemprotan insektisida. Serangga yang ditemukan menyerang tanaman selama penelitian antara lain belalang, kepik hijau (Nezara viridula), dan kepik polong (Riptortus linearis). Pengendalian serangga vektor pembawa virus dilakukan dengan penyemprotan insektisida dengan bahan aktif Profonofos 4 ml/l pada 7 MST.

Curah hujan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Curah hujan rata-rata optimum untuk tanaman kacang bambara yaitu 291.67 mm per bulan. Apabila keadaan curah hujan melebihi batas optimum maka tanaman akan rentan terhadap serangan hama dan penyakit (Rukmana dan Oesman 2000). Kacang bambara tergolong tanaman yang lebih tahan terhadap serangan penyakit jika dibanding dengan tanaman kacang-kacangan lainnya seperti kacang tanah atau cowpea. Tetapi jika curah hujan tinggi dan kondisi lingkungan lembab, kacang bambara dapat terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti bercak daun (Cercospora sp.), layu fusarium, dan busuk batang (Sclerotium sp.) (Heller et al. 1995). Diduga peningkatan curah hujan yang terjadi pada bulan September 2013 menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lembab, sehingga muncul gejala serangan cendawan Sclerotium sp. Agrios (1996) menyatakan bahwa kelembaban mempengaruhi tahap awal perkembangan penyakit. Kelembaban berperan dalam perluasan dan intensitas serangan penyakit dengan meningkatkan sukulen tumbuhan inang dan selanjutnya meningkatkan kerentanan tumbuhan terhadap patogen tertentu. Pengendalian gulma di lahan penelitian dilakukan secara manual sebanyak dua kali bersamaan dengan pembumbunan. Gulma yang ditemui di lapangan yaitu: (1) rumput: Axonopus compressus, (2) gulma berdaun lebar: Mimosa pudica, Euphorbia hirta, Ageratum conyzoides, Caladium sp., Oxalis barrelieri, dan Cleome rutidospermae.

Pertumbuhan Vegetatif Kacang Bambara

Hasil sidik ragam pada Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan dosis pemupukan N berpengaruh terhadap peubah pengamatan bobot kering akar (16 MST). Perlakuan invigorasi berpengaruh terhadap daya tumbuh, panjang tangkai (5MST), jumlah daun (5 MST), jumlah tangkai (3 dan 5 MST), diameter kanopi (10 MST), bobot kering bintil akar (4, 8, dan 16 MST), bobot kering batang (4 dan 8 MST), bobot kering daun (4 dan 8 MST), dan bobot kering polong (16 MST). Interaksi dosis pemupukan N dan invigorasi berpengaruh terhadap bobot kering bintil akar 8 MST dan bobot kering akar 16 MST.

28

Tabel 6 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh pemupukan N, invigorasi, dan interaksinya terhadap pertumbuhan tanaman

Peubah pengamatan Dosis N (N) Invigorasi (V) Interaksi (NxV) KK (%)

Daya tumbuh tn ** tn 7.1 Panjang tangkai 2 MST tn tn tn 14.7 Panjang tangkai 3 MST tn tn tn 10.8 Panjang tangkai 4 MST tn tn tn 5.1 Panjang tangkai 5 MST tn ** tn 5.3 Jumlah daun 2 MST tn tn tn 11.0 Jumlah daun 3 MST tn tn tn 10.4 Jumlah daun 4 MST tn tn tn 10.0 Jumlah daun 5 MST tn ** tn 8.5 Jumlah tangkai 2 MST tn tn tn 5.9 Jumlah tangkai 3 MST tn * tn 9.1 Jumlah tangkai 4 MST tn tn tn 7.9 Jumlah tangkai 5 MST tn ** tn 8.6 Diameter kanopi 10 MST tn * tn 6.5 Diameter kanopi 11 MST tn tn tn 5.9 Diameter kanopi 12 MST tn tn tn 6.1 Diameter kanopi 13 MST tn tn tn 6.0 Diameter kanopi 14 MST tn tn tn 7.0 Diameter kanopi 15 MST tn tn tn 6.6

Bobot kering bintil akar 4 MST1) tn ** tn 12.1

Bobot kering bintil akar 8 MST1) tn ** * 10.0

Bobot kering bintil akar 12 MST1) tn tn tn 10.1

Bobot kering bintil akar 16 MST1) tn ** tn 13.2

Bobot kering batang 4 MST1) tn ** tn 10.0

Bobot kering batang 8 MST1) tn ** tn 14.8

Bobot kering batang 12 MST1) tn tn tn 18.7

Bobot kering batang 16 MST1) tn tn tn 19.8

Bobot kering daun 4 MST1) tn ** tn 9.5

Bobot kering daun 8 MST1) tn ** tn 11.3

Bobot kering daun 12 MST1) tn tn tn 13.5

Bobot kering daun 16 MST1) tn ** tn 16.5

Bobot kering akar 4 MST1) tn tn tn 12.0

Bobot kering akar 8 MST1) tn tn tn 12.4

Bobot kering akar 12 MST tn tn tn 13.4

Bobot kering akar 16 MST1) * ** * 11.2

Bobot kering polong 12 MST1) tn tn tn 13.4

Bobot kering polong 16 MST1) tn * tn 17.0

Keterangan: * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1%, tn tidak berbeda nyata; 1)sebelum dianalisa data ditransformasi menggunakan

Perlakuan invigorasi berpengaruh terhadap persentase daya tumbuh/petak. Tabel 7 menunjukkan bahwa benih yang diberi perlakuan invigorasi lebih tinggi dibanding dengan benih yang tidak diberikan perlakuan invigorasi (87.7%). Hasil ini sejalan dengan penelitian Murungu et al. (2004) di lingkungan semi arid Zimbabwe yang menunjukkan bahwa perlakuan conditioning benih jagung dengan perendaman pada 8 lokasi pertanaman dapat meningkatkan pertumbuhan kecambah dengan meningkatkan persentase tanaman tumbuh di lapangan sebesar 14%.

Tabel 7 Pengaruh invigorasi benih terhadap daya tumbuh/petak

Perlakuan invigorasi Daya tumbuh/petak (%)

Kontrol 87.7b

Matriconditioning + Rhizobium sp. + fungisida 96.9a

Matriconditioning + Rhizobium sp. 94.7a

Matriconditioning + fungisida 93.4a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Masing-masing satuan percobaan terdiri atas lima tanaman contoh dengan luas petakan 12.6 m2.

Pertumbuhan tanaman terjadi karena adanya proses-proses pembelahan sel dan pemanjangan sel. Proses-proses tersebut memerlukan karbohidrat dalam jumlah besar. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan dan hasil suatu tanaman dipengaruhi oleh keadaan lingkungan tumbuhnya. Salah satu faktor lingkungan tumbuh yang penting bagi pertumbuhan tanaman adalah ketersediaan unsur hara dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum perlakuan dosis pemupukan N tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan akan tetapi perlakuan invigorasi benih berpengaruh terhadap pertumbuhan kacang bambara. Pengaruh perlakuan invigorasi terhadap beberapa peubah pertumbuhan kacang bambara disajikan pada Tabel 8.

Hasil pengamatan pada 3 MST menunjukkan bahwa matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida merupakan perlakuan yang menghasilkan jumlah tangkai daun tertinggi walaupun tidak berbeda dengan perlakuan matriconditioning plus fungisida. Benih yang diberi perlakuan invigorasi nyata meningkatkan panjang tangkai daun pada 5 MST. Perlakuan Matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida pada 5 MST menghasilkan jumlah daun dan tangkai paling tinggi dibanding dengan perlakuan invigorasi lainnya (Tabel 8). Benih kacang bambara yang diberi perlakuan invigorasi terutama pada perlakuan Matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman kacang bambara. Hal ini dapat disebabkan karena adanya proses hidrasi pada perlakuan matriconditioning yang berlangsung sempurna. Penambahan inokulan Rhizobium sp. juga membantu memperbaiki perkembangan akar tanaman, sehingga mendukung pertumbuhan tanaman, sedangkan perlakuan fungisida melindungi tanaman dari serangan cendawan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Faisal (2005) yang menunjukkan bahwa perlakuan benih menggunakan matriconditioning plus Bradyrhizobium japonicum dan Azospirillum lipoferum mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman, hasil kedelai, dan mutu benih yang dihasilkan.

30

Tabel 8 Rata-rata panjang tangkai, jumlah daun, dan jumlah tangkai daun kacang bambara pada berbagai perlakuan invigorasi

Perlakuan Invigorasi

Umur tanaman (minggu setelah tanam)

2 3 4 5 Panjang tangkai (cm) V0 8.32 17.81 21.28 19.94b V1 8.33 18.26 21.57 22.19a V2 8.21 17.56 21.47 21.39a V3 8.53 17.47 21.67 21.60a

Jumlah daun (helai)

V0 2.8 4.6 9.9 13.6c

V1 2.9 4.9 10.6 17.6a

V2 2.8 4.6 9.8 15.5b

V3 3.0 4.6 9.8 15.9b

Jumlah tangkai daun

V0 4.0 7.7b 12.6 16.1c

V1 4.1 8.4a 13.5 22.2a

V2 4.0 7.7b 13.0 19.5b

V3 4.0 7.9ab 13.0 20.8b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada tolok ukur yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; V0 (kontrol), V1 (matriconditioning plus Rhizobium dan fungisida),V2 (matriconditioning plus Rhizobium sp.), dan V3 (matriconditioning plus fungisida). Masing- masing satuan percobaan terdiri atas lima tanaman contoh dengan luas petakan 12.6 m2.

Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan invigorasi berpengaruh terhadap diameter kanopi pada 10 MST. Terlihat bahwa seluruh perlakuan benih yang diberi perlakuan invigorasi memiliki diameter kanopi yang lebih lebar dibanding dengan kontrolnya (60.06 cm). Hasil penelitian Afzal et al. (2002) pada benih jagung hibrida menunjukkan bahwa perlakuan matriconditioning mampu meningkatkan diameter kanopi, daya berkecambah, menurunkan T50, dan meningkatkan panjang akar dibanding osmoconditioning, hydropriming, dan kontrol.

Tabel 9 Pengaruh invigorasi benih terhadap diameter kanopi tanaman

Perlakuan Umur tanaman (MST)

10 11 12 13 14 15

---cm---

Kontrol 60.06b 64.27 64.95 66.91 67.61 70.55

Matriconditioning + Rhizobium sp +

fungisida 64.25a 66.02 67.53 68.06 68.91 72.85

Matriconditioning + Rhizobium sp 63.33a 66.83 66.02 68.03 69.93 73.15

Matriconditioning + fungisida 64.96a 66.99 68.95 69.76 70.33 73.52

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.

Bobot kering tanaman digunakan sebagai parameter untuk mengukur kemampuan simbiosis isolat (Somasegaran dan Hoben 1994). Pendapat ini diperkuat oleh Appunu et al. (2008) yang menambahkan bahwa, metode yang paling sesuai untuk menentukan efektivitas Rhizobium adalah dengan melihat bobot kering tanaman. Pengaruh perlakuan invigorasi benih terhadap bobot kering tanaman dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Pengaruh invigorasi benih terhadap bobot kering tanaman

Perlakuan Invigorasi

Umur tanaman (minggu setelah tanam)

4 MST 8 MST 12 MST 16 MST

Bobot kering bintil akar (mg/tanaman)

V0 1.29c 4.33b 13.15 12.2b

V1 4.93a 6.57b 21.29 35.0a

V2 3.51b 10.38a 14.83 17.0b

V3 2.59bc 7.34b 12.66 14.9b

Bobot kering batang (g)

V0 0.73b 4.36c 14.31 21.64

V1 1.21a 8.06a 16.88 30.74

V2 0.98a 6.73ab 16.45 25.86

V3 1.10a 6.00b 15.69 24.36

Bobot kering daun (g)

V0 1.18b 5.40c 15.00 21.48b

V1 1.85a 9.57a 17.30 32.67a

V2 1.57a 7.56b 16.45 24.08b

V3 1.59a 7.15b 14.62 23.73b

Bobot kering polong (g)

V0 3.33 10.88b

V1 3.30 20.28a

V2 2.51 11.79b

V3 1.85 9.66b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; V0 (kontrol), V1 (matriconditioning plus Rhizobium dan fungisida),V2 (matriconditioning plus Rhizobium sp.), dan V3 (matriconditioning plus fungisida). Masing-masing satuan percobaan terdiri atas lima tanaman contoh dengan luas petakan 12.6 m2.

Tabel 10 menunjukkan bahwa perlakuan invigorasi berpengaruh nyata terhadap bobot kering bintil akar pada 4, 8, dan 16 MST. Perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida merupakan perlakuan yang menghasilkan bobot kering bintil akar paling tinggi (4.93 mg) dibanding dengan perlakuan invigorasi lainnya, sedangkan perlakuan tanpa invigorasi menghasilkan bobot kering bintil akar paling rendah (1.29 mg) dan tidak berbeda nyata dengan matriconditioning plus fungisida pada 4 MST. Perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. merupakan perlakuan terbaik (10.38 mg) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada 8 MST, sedangkan pada 16 MST, matriconditioning plus

32

Rhizobium sp. dan fungisida merupakan perlakuan yang terbaik (35 mg) dibanding dengan perlakuan lainnya dan kontrol.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. cukup efektif dalam meningkatkan bobot kering bintil akar. Menurut Sopyan (2003) penilaian efektivitas isolat Bradyrhizobium japonicum dapat dilakukan atas dasar bobot kering bintil akar. Somasegaran dan Hoben (1994) juga menambahkan bahwa pengukuran efektivitas bakteri di dalam bintil akar dapat dilakukan salah satunya atas dasar bobot kering bintil akar selain bobot kering kanopi, dan kandungan N total, sedangkan jumlah bintil akar kurang memberikan indikasi pada efektivitas suatu strain B. japonicum. Interaksi Pemupukan N dan invigorasi benih terhadap bobot kering bintil akar 8 MST dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Interaksi Pemupukan N dan invigorasi benih terhadap bobot kering bintil akar 8 MST (mg)

Perlakuan invigorasi (V)

Dosis N

N0 N1 N2 N3 N4

V0 3.40Ac 3.63Ab 3.07Ac 2.93Aa 8.60Aa

V1 7.63Ab 3.97Ab 6.30Abc 7.17Aa 7.80Aa

V2 12.07Aa 8.33ABa 18.13Aa 3.57Ba 9.80Aa

V3 2.67Bc 9.17Aa 11.57Aab 7.23Aa 6.07ABa

Keterangan : N0 (0 kg N ha-1 ), N1 (15.35 kg N ha-1), N2 (30.70 kg N ha-1), N3 (46.04 kg N ha-1), dan N4 (61.39 kg N ha-1 ), V0 (kontrol), V1(matriconditioning plus Rhizobium dan fungisida), V2 (matriconditioning plus Rhizobium sp.), dan V3 (matriconditioning plus fungisida). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama atau huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.

Sebelum dianalisa data ditransformasi menggunakan .

Tabel 11 menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan invigorasi benih dengan matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida pada perlakuan tanpa pemupukan N serta perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. pada perlakuan tanpa pemupukan N, pemupukan N ¼ dan ½ dari dosis optimum rekomendasi Nnadi et al. (1976) mampu meningkatkan bobot kering bintil akar dibandingkan dengan perlakuan tanpa invigorasi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Rhizobium sp. cukup optimal dalam mendukung pembentukan bintil akar, sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk N. Hasil ini sejalan dengan penelitian Saryoko (2011) pada kedelai yang menunjukkan bahwa bobot kering bintil akar efektif tertinggi terdapat pada perlakuan invigorasi dengan matriconditioning plus inokulan komersial (108.8 mg) disusul oleh perlakuan invigorasi dengan inokulan (103.8 mg), lebih tinggi dibanding kontrol (66.3 mg) dan perlakuan lain (inokulan tanah dan matriconditioning dengan arang sekam). Faisal (2005) juga melaporkan adanya peningkatan bobot kering bintil akar efektif hingga 78.4% akibat perlakuan matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum pada tanaman kedelai umur 40 HST. Hasil penelitian Bambara dan Ndakidemi (2010) menunjukkan bahwa inokulasi Rhizobium pada tanaman kacang hijau mampu meningkatkan bobot kering bintil akar hingga 150%.

Hasil pengamatan terhadap bobot kering tanaman lainnya juga menunjukkan bahwa seluruh perlakuan benih yang diinvigorasi meningkatkan bobot kering batang dan daun pada 4 dan 8 MST. Matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida menghasilkan bobot kering daun dan polong tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya pada 16 MST (Tabel 10).

Berdasarkan peubah vegetatif, perlakuan dosis pemupukan N hanya berpengaruh terhadap bobot kering akar 16 MST. Pengaruh pemupukan N dan invigorasi benih terhadap bobot kering akar 16 MST disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Pengaruh pemupukan N dan invigorasi benih terhadap bobot kering

akar pada 16 MST

Perlakuan Bobot kering akar (g)

4 MST 8 MST 12 MST 16 MST Dosis N N0 0.17 0.76 0.84 1.20b N1 0.20 0.75 0.97 1.05b N2 0.29 0.60 1.04 1.06b N3 0.19 0.50 0.82 1.07b N4 0.21 0.60 1.00 1.69a Invigorasi V0 0.25 0.48 0.93 1.12b V1 0.20 0.70 1.01 1.54a V2 0.21 0.72 0.90 1.21b V3 0.19 0.68 0.90 0.99b

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan faktor yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%; N0 (0 kg N ha-1 ), N1 (15.35 kg N ha-1), N2 (30.70 kg N ha-1), N3 (46.04 kg N ha-1), dan N4 (61.39 kg N ha-1), V0 (kontrol), V1(matriconditioning plus Rhizobium dan fungisida), V2 (matriconditioning plus Rhizobium sp.), dan V3 (matriconditioning plus fungisida).

Tabel 12 menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan N berpengaruh terhadap bobot kering akar tanaman pada 16 MST, dimana pemupukan N dengan dosis optimum rekomendasi Nnadi et al. (1976) menghasilkan bobot kering akar lebih tinggi (1.69 g) dibanding dengan perlakuan lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena perlakuan N4 merupakan perlakuan dengan dosis rekomendasi optimum dimana tanaman tidak mengalami kekurangan N dibanding dengan perlakuan lainnya terutama kontrol yang hanya menggantungkan suplai N dari cadangan nitrogen yang ada di dalam tanah.

Perlakuan invigorasi benih berpengaruh terhadap bobot kering akar pada 16 MST, dimana perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. dan fungisida (1.53 g) lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sucahyono (2011) yang menunjukkan bahwa bobot kering akar pada tanaman yang diinokulasi Rhizobium tidak berbeda nyata dengan N 150 ppm dan lebih rendah dibanding kontrol, N 50 ppm, dan N 100 ppm. Penelitian ini membuktikan bahwa suplai N dari Rhizobium sp. dan larutan hara mencukupi kebutuhan tanaman kacang bambara dan merangsang pertumbuhan akar.

34

Berdasarkan hasil penelitian terdapat interaksi antara dosis pemupukan N dan perlakuan invigorasi benih terhadap bobot kering akar pada 16 MST. Interaksi pemupukan N dan invigorasi benih terhadap bobot kering akar pada 16 MST

Dokumen terkait