BAB IV KONDISI UMUM
5.1 Potensi Karst Gunung Cibodas
5.1.2 Potensi unsur fisik
a. Goa
Goa adalah suatu ruang bawah tanah yang bisa dimasuki oleh manusia dan terbentuk secara alami (Internationale Union de Speleologie, IUS 1965 diacu dalam Haryono 2008). Goa dapat ditemukan mulai dari gunung sampai ke tepi laut. Saat ini pengelolaan goa di Gunung Cibodas sudah tidak dilakukan karena hasil panenan sarang burung walet mengalami penurunan. Penurunan jumlah panenan sarang burung walet di Gunung Cibodas terjadi akibat pola pemanenan yang tidak memperhitungkan siklus regenerasi burung tersebut. Habitat walet terganggu oleh kegiatan pengambilan batu gamping di lokasi yang berdekatan dengan goa-goa di Gunung Cibodas (Noerjito 2006). Hasil survey lapangan yang dilakukan menemukan 15 goa yang merupakan habitat dari kelelawar dan burung walet serta biota goa lainnya. Goa-goa yang ditemukan di Gunung Cibodas merupakan goa dengan lorong vertikal (Gambar 11). Kondisi ini dimungkinkan karena ekosistem karst Gunung Cibodas yang berupa bukit. Kedalaman goa yang ditelusuri berkisar antara 7 meter hingga 200 meter. Keberadaan goa-goa di Gunung Cibodas saat ini hanya diketahui oleh masyarakat setempat dan beberapa kelompok pecinta alam saja, oleh karena itu hanya sedikit pecinta alam yang memanfaatkan goa untuk kegiatan oleh raga minat khusus penelusuran goa (caving). Berdasarkan informasi yang diperoleh, pengambilan batu gamping yang menggunakan bahan peledak mengakibatkan para penelusur goa yang terdahulu memilih lokasi lain untuk melakukan penelusuran goa karena khawatir goa akan runtuh, sehingga para pecinta alam saat ini banyak yang tidak mengetahui
keberadaan goa-goa yang ada di Gunung Cibodas. Goa-goa yang ditemukan pada saat penelitian disajikan pada tabel berikut (Tabel 5).
Tabel 5 Daftar goa yang ditemukan di Gunung Cibodas
No. Nama goa Koordinat Keterangan
1 Sipeso* E 106
041’16,908”
S 06033”7,704” Lorong vertikal 45m, penghasil sarang burung walet
2 Simangir E 106
041’15,144:
S 06033’8,820” Goa vertikal yang dimanfaatkan kelelawarnya
3 Simusola* E 106
041’14,604”
S 06033’8,748” Lorong miring 7m, tetesan air dipakai untuk bersuci
4 Sigajah E 106
041’14,316” S 06033’8,352”
Goa penghasil kelelawar, memiliki ruangan (chamber) yang besar, dan angin keluar di mulut goa
5 Sihejo E 106
041’13,308”
S 06033’9,540” Dinding lorong goa berwarna hijau, lorong vertikal
6 Sinawing* E 106
041’12,840” S 06033’9,324”
Lorong vertikal 40m dengan ruangan (chamber) yang besar dan memiliki banyak pintu masuk
7 Sipanjang* E 106
041’12,156” S 06033’10,044”
Mulut goa memanjang dan lorong horizontal 70m, penghasil sarang burung walet dan pupuk
8 Siwulung* E 106
041’6,972
S 06033’8,784” Lorong vertikal terdalam hingga 200m, penghasil sarang burung walet.
9 Sigodawang* E 106
041’3,264”
S 06033’8,280” Goa fosil (mati) yang dihuni oleh kelompok kelelawar
10 Sidempet* E 106
041’2,256” S 06033’7,426”
Lorong vertikal berupa celah sempit sepanjang 31m, penghasil sarang burung walet
11 Sibeusi 1* E 106
041’1,860”
S 06033’7,992” Penghasil sarang burung walet
12 Sibeusi 2 E 106
041’0,708”
S 06033’7,992” Penghasil sarang burung walet
13 Siwandra* E 106
040’55,488” S 06033’8,712”
Lorong vertikal lebih dari 100m, salah satu goa penghasil sarang burung walet terbesar
14 Sigadog E 106
040’58,620”
S 06033’8,676” Goa penghasil sarang walet terbesar 15 Sibetot
E 106040’25,704”
S 06033’2,134” Goa vertikal penghasil sarang burung walet
30
Beberapa goa yang telah ditelusuri adalah goa Sipeso, Simusola, Sinawing, Sipanjang, Siwulung, Sigodawang, Sidempet, Sibeusi 1, dan Siwandra. Goa ini merupakan goa yang memiliki lorong vertikal kecuali goa Sipanjang yang didominasi lorong horizontal. Goa-goa yang ditemukan berada pada lokasi di sekitar punggungan atau bagian tengah Gunung Cibodas sehingga goa-goa tersebut relatif sulit dijangkau karena harus mendaki terlebih dahulu.
(a) (b)
Foto oleh: Lawalata IPB
Gambar 11 Goa dengan lorong vertikal (a) Goa Sinawing; (b) Goa Sigodawang.
Kegiatan penelusuran goa yang dilakukan oleh para pecinta alam umumnya adalah kegiatan petualangan atau olah raga minat khusus, namun ada pula kegiatan ilmiah yang berhubungan dengan penelitian goa maupun lingkungan goa atau dikenal dengan kegiatan speleologi. Speleologi merupakan ilmu yang mempelajari lingkungan goa, baik yang mencakup aspek fisik maupun biologis (Moore 1928 diacu dalam Haryono 2008).
(a) (b)
Foto oleh: Lawalata IPB
Gambar 12 Kegiatan penelusuran goa (a) Penelusuran goa vertikal; (b) Menelusuri lorong sempit.
Pecinta alam yang sering berkunjung ke Gunung Cibodas untuk melakukan kegiatan penelusuran goa adalah Lawalata IPB. Penelusuran goa biasanya dilakukan pada akhir pekan ataupun pada hari libur kuliah. Kelompok pecinta alam lain yang berkunjung ke Gunung Cibodas dengan tujuan penelusuran goa adalah pecinta alam yang berasal dari Jakarta. Salah satu anggota Lawalata IPB menuturkan bahwa Gunung Cibodas memiliki potensi yang besar untuk pengembangan olah raga minat khusus ataupun wisata berupa penelusuran goa, panjat tebing, dan treking. Pada saat ini, keberadaan goa-goa di Gunung Cibodas terancam akibat adanya kegiatan pertambangan yang menggunakan bahan peledak.
b. Tebing
Gunung Cibodas memiliki tebing yang berpotensi untuk digunakan sebagai sarana olahraga panjat tebing. Tebing-tebing di Gunung Cibodas terdapat di sisi selatan dan sisi utara. Tebing yang terbentang di sisi utara adalah tebing yang terbentuk akibat kegiatan pengambilan batu gamping. Tebing di sisi selatan hanya ditemukan di ujung barat dan timur saja. Tebing yang sampai saat ini digunakan untuk kegiatan olahraga panjat tebing adalah tebing di sisi selatan bagian barat Gunung Cibodas. Berdasarkan penuturan salah seorang aktifis panjat tebing, Candra Kirana (26 tahun), pada tebing tersebut sudah dibuat jalur panjat sejak tahun 1970-an. Sampai saat ini pada tebing tersebut terdapat 12 jalur yang juga telah dipasang titik dimana bisa dipasang pengaman (bolt hanger) untuk kegiatan panjat tebing. Jalur tebing diberi nama sesuai dengan karakteristik tertentu oleh para pemanjat dari sejak tebing mulai digunakan. Nama jalur yang telah dibuat adalah Jalur Tangga, Jalur Tebing Putih, Jalur Kambing, Jalur Tiga Bor, Jalur West Bang, Jalur Intifada, Jalur Bicycle, Jalur Taliban, Jalur Tokek, Jalur Tiram, Jalur Stroberi, dan Jalur One Moment of Time. Jalur Tangga dan Jalur Tebing Putih biasanya digunakan oleh pemanjat yang masih pemula karena dua jalur ini relatif mudah untuk dilalui. Nama Jalur Tangga diberikan karena jalur tersebut mirip seperti tangga dan nama Jalur Tebing Putih berasal dari warna tebing yang berwarna putih. Jalur lain yang dianggap mudah adalah Jalur Tokek yang merupakan celah (rekahan) vertikal yang relatif mudah dilalui. Jalur ini diberi nama Jalur Tokek karena sering ditemukan tokek rumah (Gecko gekko)
32
yang bersarang pada celah-celah jalur tersebut. Jalur Kambing merupakan jalur yang biasa dipanjat dengan tujuan melatih ketahanan dan kekuatan pemanjat (endurance) setelah melakukan pemanasan di jalur tangga atau jalur putih. Pada saat sebuah jalur dibuat, seorang pemanjat berjanji akan menyembelih kambing untuk perayaan keberhasilannya. Peristiwa ini membuat jalur tersebut diberi nama Jalur Kambing. Jalur yang dianggap tersulit untuk dilalui adalah Jalur Intifada dan Jalur One Moment of Time.
Gambar 13 Kegiatan panjat tebing di Gunung Cibodas.
Para pemanjat tebing yang datang ke tebing Gunung Cibodas kebanyakan adalah pecinta alam yang berasal dari Jabodetabek. Mereka biasanya datang pada akhir pekan atau saat hari libur. Tebing Gunung Cibodas banyak dikunjungi karena lokasinya yang relatif dekat serta mudah dijangkau, selain itu di beberapa lokasi lain tidak ditemukan tebing alam seperti di Jakarta, Depok, Tangerang, maupun Bekasi. Tebing ini juga digunakan oleh TNI pada saat pendidikan dan latihan. Pemanjat tebing yang hampir setiap minggu datang adalah mereka yang berasal dari organisasi Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. Dalam satu akhir pekan setidaknya ada satu kelompok yang datang untuk melakukan kegiatan panjat tebing. Areal pemanjatan akan semakin ramai pada hari libur kuliah atau ketika organisasi pecinta alam melakukan kegiatan pendidikan dan latihan penerimaan anggota baru untuk divisi panjat tebing (rock climbing).
c. Air
Karakteristik batu gamping adalah mudah larut oleh air karena memiliki celah-celah yang menjadi jalan masuk air. Pelarutan yang terus menerus
mengakibatkan batu gamping memiliki terowongan panjang yang bisa dilalui air sehingga membentuk aliran bawah tanah atau sungai bawah tanah. Sungai yang akhirnya menembus batu gamping dan keluar dari batuan karst membuatnya menjadi mata air karst (KLH 2009). Mata air karst dari Gunung Cibodas ditemukan di sisi utara bagian barat , tepatnya pada titik koordinat S 06033’05,2” dan E 106041’24,4”. Mata air tersebut dikenal oleh penduduk setempat dengan nama mata air Cipanas. Mata air Cipanas merupakan aliran sungai bawah tanah yang keluar dari celah-celah batu karst di sekitar areal penambangan batu gamping. Air yang keluar mengalir melewati parit kecil dan terhubung dengan Sungai Cikarang menuju Sungai Cisadane. Para penambang batu gamping sering menggunakan air untuk membersihkan badan dan peralatan yang digunakan untuk menggali batu gamping.
Menurut penuturan warga setempat, mata air ini tidak pernah kering sekalipun pada saat musim kemarau. Mata air Cipanas memiliki peranan yang penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kampung Mekarjaya yang tinggal berdekatan dengan mata air tersebut. Mata air ini dimanfaatkan untuk kegiatan mandi, mencuci, dan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat tidak menggunakan air tersebut untuk minum karena air yang keluar mengandung zat kapur. Hasil kajian tim Lawalata IPB menunjukkan mata air Cipanas memiliki kandungan alkalinitas sebesar 500 mg/l dan kesadahan sebesar 200 mg/l. Kondisi air ini mengakibatkan mata air Cipanas tidak layak dikonsumsi.
Gambar 14 Pemanfaatan air oleh masyarakat.
Pada saat ini, masyarakat sudah membuat penampungan air Cipanas di sekitar areal pemukiman untuk memudahkan dalam memperoleh air. Air dialirkan
34
melalui pipa dan ditampung pada sebuah bak besar di Kampung Mekarjaya. Bak air berukuran 3x3 meter dan tinggi 1 meter. Bak memiliki tempat untuk mandi dan mencuci yang ditutupi oleh tembok setinggi 1,5 meter. Salah satu sudut bak dilubangi agar air bisa keluar ketika bak sudah terpenuhi air. Ada juga lubang yang dihubungkan dengan pipa menuju mushola dan beberapa rumah warga. Warga setempat pada umumnya lebih memilih langsung menggunakan air dari bak tersebut karena harus mengeluarkan biaya jika memasang pipa menuju rumah. Setiap pagi dan sore, masyarakat datang bergantian untuk mandi, mencuci pakaian, dan mencuci peralatan rumah tangga.
Gambar 15 Bak penampungan air Cipanas.
d. Batu gamping
Menurut Samodra (2006), keberadaan batu gamping di wilayah Kabupaten Bogor terdapat di bagian timur dan barat. Singkapan batu gamping di bagian timur terdapat di daerah Cibinong, sedangkan singkapan bagian barat menyebar tidak merata di beberapa tempat dengan luasan yang relatif kecil. Singkapan batu gamping bagian barat dijumpai di daerah Jasinga, Cigudeg, Leuwiliang, Parung, dan Ciampea. Gunung Cibodas merupakan singkapan batu gamping di daerah Ciampea pada wilayah Bogor bagian barat. Singkapan batu gamping di wilayah Bogor bagian barat dikenal dengan nama formasi batu gamping Bojongmanik. Bentuk singkapan batu gamping Gunung Cibodas membujur dari arah barat ke timur. Batu gamping menyebar semakin menipis ke arah barat. Lebar singkapan batu gamping bagian timur Gunung Cibodas mencapai 1000 meter dan di bagian barat berkisar antara 100-200 meter.
Kawasan karst sangat potensial dengan kandungan batu gamping (kapur) yang bisa diolah menjadi bahan tambang seperti marmer, bahan baku semen, dan lainnya. Berdasarkan penuturan penambang batu gamping, kegiatan pertambangan batu gamping di Gunung Cibodas sudah dimulai sejak tahun 1950-an, saat itu masyarakat menggunakan alat sederhana untuk melakukan penambangan. Penggunaan alat berat dan bahan peledak dilakukan ketika adanya perusahaan asing yang melakukan pengambilan batu gamping dengan skala yang lebih besar. Saat ini perusahaan tersebut sudah tidak beroperasi, namun penggunaan bahan peledak masih terus berlangsung. Teknik penggalian dengan menggunakan bahan peledak ditiru oleh para penambang lokal yang dahulu hanya menggunakan alat sederhana seperti palu ukuran besar, “pencos” (pasak), dan linggis.
(a) (b)
Gambar 16 Pemanfaatan batu gamping sebagai bahan tambang (a) Pengangkutan batu gamping; (b) Pembakaran batu gamping.
Pemanfaatan batu gamping Gunung Cibodas dilakukan sampai pengolahan berupa pembakaran batu gamping. Batu gamping dibeli pembakar dari penggali dan diangkut menggunakan pick up dengan kapasitas muat 3 kubik. Proses pembakaran batu gamping akan menghasilkan kapur serbuk yang disebut kapur sirih. Pembakaran batu gamping memakan waktu tiga sampai dengan empat hari. Pembakaran dilakukan pada “tobong” (tungku pembakaran batu gamping) berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 4 meter. Batu gamping yang telah matang akan dibiarkan selama 3-4 jam kemudian dikeluarkan dari tungku pembakaran dan disiram dengan air agar bongkahan batu gamping berubah menjadi kapur serbuk. Menurut pemilik tobong, kapur serbuk yang dihasilkan adalah kapur sirih dan kapur tembok. Untuk menjadi kapur tembok, batu gamping yang sudah matang dicairkan dengan disiram air. Kapur
36
tembok digunakan untuk membuat batako, sedangkan kapur sirih digunakan untuk mengecat dinding. Kapur olahan ini dijual kepada para pelanggan yang sudah biasa membeli ataupun pembeli lain yang datang setelah memesan sebelumnya.