• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Wisata Budaya dan Kuliner di Pasar Gede

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DITELITI

C. Potensi Wisata Budaya dan Kuliner di Pasar Gede

Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran, Museum Radyapustaka, Benteng Vastenburg dan banyak tempat bersejarah lainnya merupakan ciri khas yang telah berhasil membangun citra Solo sebagai kota budaya . Tempat-tempat tersebut sangat familiar dan dikenal banyak orang. Dibalik semua kekayaan tempat bersejarahnya yang kental dengan budaya Jawa tersebut, Solo juga terkenal dengan kulinernya atau makanan khas Solo. Pada masa kini, jenis makanan yang kemungkinan sekali telah ada pada masa lampau berkembang menjadi makanan tradisional. Beberapa jenis makanan telah ada pada masa Jawa kuno, ada yang masih bertahan sampai sekarang dan banyak juga yang telah hilang seiring dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu sebaiknya perlu mengenali kembali jenis-jenis makanan dan minuman Jawa kuno yang merupakan aset budaya dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata. Tidak hanya bagi warga lokal Solo, tetapi juga bagi wisatawan luar Solo. Kebanyakan dari kuliner khas tersebut berada di pasar-pasar tradisional yang tersebar di kota Solo. Untuk menunjukkan khasanah kekayaan kuliner tersebut, maka sebaiknya dilakukan suatu perjalanan wisata kuliner di pasar – pasar tradisional yang tersebar di Kota Solo. Laporan tugas akhir ini akan membahas tentang potensi wisata budaya dan kuliner pada satu pasar tertua dan terbesar di Kota Solo yaitu Pasar Gede. Pasar Gede sebagai pusat belanja, wisata budaya serta wisata kuliner terbesar dan terlengkap di kota Solo, sesungguhnya

sangat berpotensi dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi suatu obyek dan daya tarik wisata unggulan baru di Kota Solo.

Pasar Gede adalah pasar tua karya arsitek Belanda Thomas Karsten ini tidak hanya menyediakan aneka barang yang mampu memuaskan hasrat berbelanja, namun juga menyediakan sajian kuliner khas Solo. Pasar Gede buka mulai dari pagi hari sampai sore hari. Pasar tradisional yang berusia delapan puluh tahun ini menyimpan segudang pesona akan jajanan pasar dan makanan khas Solo. Makanan khas Solo yang dijual di Pasar Gede antara lain brambang asem, es dawet telasih, tiwul, ledre, intip, kerupuk rambak, cabuk rambak, pecel ndeso sampai sayuran dan buah segar. Pasar tradisional yang bernama lengkap 'Pasar Gede Hardjonagoro' ini merupakan pasar tradisional yang terbesar di kota Solo, selain Pasar Klewer. Untuk menuju ke pasar ini ada banyak cara. Selain menggunakan kendaraan pribadi, juga dapat memanfaatkan jasa angkutan umum seperti bus, andong, dan becak. Sejak pertama dibangun Pasar Gede sudah mengalami beberapa renovasi dan yang terakhir pada tahun 2001 lalu. Arsitektur Pasar Gede karya Karsten tersebut ternyata sangat multifungsi. Pasar yang biasanya terkesan lembab dan kotor tidak nampak di pasar ini. Lorong-lorongnya luas dan bersih, sirkulasi udaranya pun mengalir dengan lancar sehingga tidak terasa pengap. Keunikan lain di dalam pasar ini adalah hukum sliding price atau harga lunak dalam tawar menawar antara pembeli dan penjual. Perilaku tawar menawar masih terjaga dengan baik di sini. Umumnya pedagang menggunakan bahasa Jawa

kromo inggil ketika menyapa pembeli. Karena itu keakraban antara penjual dan pembeli yang menjadi pelanggan tetap sangat terjaga dengan baik.

Berbeda dengan hadirnya pasar modern yang ada di Solo sekarang ini, di Pasar Gede masih akan menemukan suasana guyub ketika melakukan transaksi pembelian di pasar tradisionil ini. Para pedagang akan menyapa semua dengan santun, karena ini merupakan salah satu sistem pelayanan yang dilakukan penjual untuk menarik minat pembeli atau wisatawan agar bersedia membeli barang dagangan mereka. Berbagai tawar-menawar mengunakan bahasa Jawa Kromo Inggil kerap terdengar di pasar ini. Di pasar ini pastinya jurus menawar harus dipakai, apalagi jika menggunakan bahasa Jawa pastinya mendapatkan harga yang lebih murah. Jadi, jika anda ke Solo tidak ada salahnya mampir ke Pasar Gede seberang timur Gedung Balai Kota Solo. Sambil melacak kehebatan masa lalu Pasar Gede dan tentunya bernostalgia dengan makanan, minuman dan jajanan legendaris kota Solo dan ketika pasar Gede merayakan hari jadinya yang ke delapan puluh tahun di pasar Gede diadakan festival kuliner dan jajanan pasar khas Solo acara ini dikemas dengan menarik sehingga dapat menarik minat pengunjung atau wisatawan untuk hadir dalam festival kuliner tersebut. Semoga acara festival kuliner dan jajanan pasar khas Solo di Pasar Gede diadakan rutin setiap tahun sehingga para pengunjung atau wisatawan dapat menjadikan Pasar Gede sebagai tujuan wisata utama dikota Solo, maka dari kunjungan wisatawan tersebut sumber pendapat daerah semakin meningkat, selain itu baik pedagang di Pasar Gede maupun pihak penyedia jasa perjalanan dikota Solo akan meraup keuntungan

karena di Pasar Gede para pengunjung atau wisatawan akan melakukan perjalanan wisata dan membelanjakan uangnya untuk membeli makanan dan jajanan khas Solo dan dijadikan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke daerah atau Negara asalnya.

Selain wisata kuliner, di Pasar Gede Solo juga memiliki potensi atraksi wisata budaya yang dapat menarik minat wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Atraksi wisata budaya tersebut yaitu Garebeg Sudiro yang diadakan setiap satu tahun sekali yaitu pada perayaan Imlek. Acara yang dinamakan Garebeg Sudiroprajan ini digelar di depan kompleks Pasar Gede. Garebeg dengan gunungan biasanya diselenggarakan oleh keraton yang sudah menjadi tradisi ratusan tahun. Sedangkan kue keranjang merupakan kue khas dari daratan Tiongkok, dengan adanya gunungan kue keranjang menunjukkan terjadinya akulturasi budaya . Puncak acara garebeg adalah perebutan kue keranjang yang menyusun gunungan oleh ratusan warga yang menyesaki area depan Pasar Gede yang berhias lampion . Kue keranjang yang khas dari daratan Tiongkok dicampur gunungan yang merupakan tradisi Jawa menunjukkan terjadinya akulturasi atau percampuran budaya.

Garebeg Sudiro merupakan perayaan Tahun Baru Imlek dengan bentuk kirab gunungan dari kue keranjang oleh warga Solo baik keturunan Tionghoa, Jawa maupun etnis lainnya. Simbol akulturasi Cina-Jawa sangat terasa, karena selain peserta berbusana etnik Cina dan Jawa, juga diramaikan dengan pesta

lampion. Selain atraksi barongsai, juga dapat ditemukan festival jajanan dan pertunjukan musik tradisional Cina yang nyaris hilang sejak dilarang semasa Orde Baru. Kata Garebeg Sudiro merujuk pada nama Sudiroprajan, yakni kawasan yang banyak dihuni peranakan Cina di Solo. Di timur Pasar Gede, misalnya, terdapat dua nama kampung yang populer sebagai permukiman padat yang mayoritas dihuni oleh peranakan Cina. Event itu juga mengingatkan sejarah masa lalu, di mana etnis keturunan Cina diposisikan lebih tinggi dari masyarakat Jawa dalam rangka politik pecah belah (devide et impera) oleh kolonialis Belanda. Kolonialis sengaja memberi kepercayaan kepada pedagang-pedagang peranakan Cina sehingga mendominasi Pasar Gede sebagai sentral perekonomian kota Solo. Untuk kepentingan politik dan keamanan, Pemerintah Belanda juga mengangkat tokoh Cina sebagai kepala keamanan dengan pangkat Mayor, sehingga muncul sebutan populer Mayor Babah. Sebuah arak-arakan berlangsung meriah. Rombongan berangkat dari Pasar Harjanagara lebih terkenal dengan sebutan Pasar Gede, berkeliling melewati kampung Sudiroprajan, perempatan Warung Pelem dan berakhir di Pasar Gede. Ada warna-warni Liong, Samsi dan dua naga, juga rombongan berkostum panakawan. Peristiwa yang baru pertama kali digelar itu dinamai Garebeg Sudiro. Dikemas dengan sajian multikultur, sebab peristiwa itu sejatinya merupakan peristiwa budaya, yang sengaja diciptakan untuk menambah event dalam kalender acara wisata kota Solo. Sudiro(prajan) dan Pasar Gede merupakan kawasan yang saling terkait. Kampung Sudiroprajan lebih dikenal sebagai kampung peranakan Cina sebab di situlah Pemerintah

Belanda menempatkan mereka sebagai koloni. Tidak jauh dari Pecinan, terdapat koloni Arab di Pasar Kliwon. Di antara dua koloni itu, Belanda dan peranakan Eropa membuat kampung ‘pembatas’ yang di kemudian hari dikenal dengan nama loji Wetan. Itu semua merupakan strategi kolonialis Belanda untuk memperkuat kedudukannya sebagai penguasa Jawa, bahkan di atas Keraton Kasunanan. Strategi pecah belah dilakukan dengan memberi banyak kepercayaan kepada keturunan Cina, bahkan kedudukan setingkat lebih tinggi dibanding keturunan Arab. Padahal, fungsinya mereka sama yaitu sebagai pengumpul pajak dan penanggung jawab keamanan di masing - masing komunitas. (Sumber : www. kabar_soloraya .com, Jumat 18 Juni 2010).

Kembali ke Garebeg Sudiro, festival itu mestinya bisa diperluas cakupannya, karena kurang beragamnya tampilan. Banyak jenis kesenian warisan nenek moyang kaum Tionghoa seperti wayang Potehi, atau musik khas Tiongkok dan sebagainya di Solo. Keragaman menjadi penting dikedepankan, supaya orang tak salah paham dan terjebak pada prasangka yang dilatari oleh ketidaktahuan mengenai kenyataan yang sesungguhnya, sehingga berujung pada pertentangan Tidak cuma terhadap pemerintah semata, lebih dari itu, kesadaran dari anggota komunitas keturunan Cina harus lebih ditumbuhkan. Lebih dari itu, sebaiknya festival-festival mendatang lebih diwarnai kegiatan-kegiatan yang lebih bermakna, dalam bentuk yang lebih praktis dan bersentuhan dengan masyarakat banyak yang beragam latar belakang kultur, sosial, ekonomi dan sikap politiknya. (Sumber:www. Harian_Joglosemar.com, Jumat 18 Juni 2010 ).

Selain Garebeg Sudiro di Pasar Gede juga pernah dijadikan tempat untuk penyelenggaraan Festival Seni Pasar Kumandang yang berlangsung pada 18 – 20 Mei 2008 menjadi bukti vital pasar tradisional dalam peradaban manusia dan pertumbuhan kota. Acara-acara seni seperti seni musik tradisional, seni teater dan seni tari kontemporer dihadirkan dalam festival Seni Pasar Kumandang dengan suatu acuan bahwa pasar tradisional adalah ruang publik yang memiliki peran melahirkan dan menghidupi seni.

Pasar Gede merupakan pasar yang terletak pada daerah kekuasaan Keraton Kasunanan, dahulu ketika Keraton Kasunanan masih dalam masa kejayaannya raja Keraton Kasunanan mengadakan acara “ Angon Putu” yaitu raja Keraton Kasunanan mengajak semua keturunannya mulai dari anak, cucu, sampai cicitnya ke Pasar Gede dan di pasar itu mereka disebar dan disuruh membeli sesuai dengan keinginanya yang ada di Pasar Gede. Acara ini dilakukan ketika raja Keraton Kasunanan sedang merayakan hari kelahirannya.

Atraksi wisata budaya yang diselenggarakan di Pasar Gede hanya diselenggarakan pada acara dan waktu - waktu tertentu sehingga tidak dapat disaksikan dan dinikmati wisatawan setiap hari. Maka perlu adanya pengembangan atraksi wisata budaya dan festival kuliner di Pasar Gede Solo. Dari semua atraksi wisata budaya dan festival kuliner yang di adakan di Pasar Gede Solo dapat menarik minat wisatawan untuk menyaksikan atraksi wisata budaya tersebut sambil menikmati makanan yang khas agar lebih praktis sehingga Pasar Gede dapat dijadikan obyek dan daya tarik wisata budaya dan

kuliner di kota Solo. (Sumber: www.Harian_Joglosemar.com, Jumat 18 Juni 2010 ).

Dokumen terkait