• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DITELITI

B. Sejarah Pasar Gede Solo

Sejarah kota Solo dimulai dari kepindahan ibukota kerajaan Mataram Kartasura beserta keratonnya ke Desa Sala, dalam perkembangan selanjutnya

daerah kerajaan Surakarta mengalami pembagian menjadi dua, akibat Perjanjian Giyanti, yaitu Surakarta dan Jogjakarta. Kedua daerah masing-masing kemudian terpecah lagi, timbulah 4 kerajaan yang oleh Belanda dinamakan Vostenlanden, yakni Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan dan Pakualaman. Dalam filosofi kebudayaan Jawa dalam hubungannya dengan bangunan yang ada dikomplek keraton dikenal adanya Catur Gatra Tunggal, yaitu Keraton merupakan pusat pemerintahan, Alun-alun sebagai simbol suara rakyat, Masjid Agung sebagai tempat peribadatan, dan. Pasar sebagai sarana penghidupan rakyat.

Pasar dalam rangkaian Catur Gatra Tunggal Keraton Solo, pada mulanya berwujud pasar tiban, yang bertempat di Pamuraan (belakang Gladak dibawah pohon beringin) dengan warungan tanah seluas 10.421 m². Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset budaya Masyarakat Solo. Lebih dari itu, mengingat kesejarahan yang terkandung, pasar ini juga menjadi aset nasional yang harus dilindungi dan dilestarikan. Secara historis, pasar ini muncul berubah-ubah dari zaman ke zaman. Pertama pasar ini muncul dari embrio pasar candi yang berkarakter Candi Padurasa pada zaman kerajaan Hindhu- Budha di Jawa. Proses perubahan Pasar Candi berubah menjadi pasar ekonomi yang disebut “Pasar Gede Oprokan” yang digambarkan dengan payung-payung peneduh untuk kegiatan pasar, dan yang terakhir pada jaman kolonial Belanda ”Pasar Gede Oprokan” berubah menjadi Pasar Gede dengan bentuk bangunan kolonial Jawanis yang dibangun oleh Ir. Thomas Karsten pada tahun 1930. Kemudian pada masa pemerintahan Paku

Buwono X (1893-1939), dibangun pasar permanen yang kemudian dikenal dengan nama Pasar Gede Harjonagoro dengan arsitek Ir. Thomas Karsten dengan dana 650.000 gulden pada tahun 1927. Tiga tahun kemudian tepatnya tanggal 13 Januari 1930, Pasar Gede selesai dibangun dan diresmikan oleh Paku Buwono X dan GKR. Hemmas sebagai pasar rakyat monumental dua lantai, dengan arsitektur Kolonial Jawanis (Topologi pasar nyaris sempurna) pada lokasi lingkungan etnis Cina, yang bercitra arsitektur Cina Jawanis. Salah satu pasar tradisional yang menjadi warisan bangunan cagar budaya di Solo yaitu Pasar Gede.

( Sumber : Wawancara dengan Mulyono pegawai pengelola Pasar Gede Solo, Senin 5 Juli 2010 ).

Dalam buku Babad Solo karya RM Sajid disebutkan pada masanya Pasar Gede tumbuh dan berkembang melebihi pasar-pasar lainnya di Solo, seperti Pasar Kliwon, Pasar Legi, dan Pasar Pon, yang tingkat keramainnya dipengaruhi oleh hari pasaran. Fenomena lain yang semakin mengukukuhkan keberadaan Pasar Gede Solo adalah tahun 1927, saat Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X merehab bangunan pasarnya. Pembangunan ulang ini memunculkan sejarah baru bahwa pasar tradisional ini bukan hanya untuk tataran wilayah kota Solo saja, namun seluruh Indonesia. Betapa tidak, dengan pembangunan ulang ini menjadikan Pasar Gede sebagai pasar pertama bertingkat di Indonesia . Sekarang usia Pasar Gede sudah delapan puluh tahun, pasar yang telah menjadi ikon kota Solo ini tetap berdiri kokoh. Bangunan berlantai dua dengan tugu jam di

persimpangan jalan, tepat di depan bangunan itu juga masih elegan di persimpangan antara Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Ketandan. Kita juga bisa melihat kemegahan bangunan ini saat melintas dari arah Jalan Jenderal Sudirman menuju Jalan Urip Sumoharjo.

Gambar 1 : Proses perjalanan sejarah Pasar Gede dari mulai pasar candi, pasar oprokan sampai pasar modern karya Ir. Thomas Karsten tahun

Sumber : Dokumentasi dari Solo Heritage Comunity

Di kawasan ini, roda perekonomian kota Solo tetap berjalan seiring perkembangan jaman. Ikatan emosional masyarakat terhadap Pasar Gede ini tampaknya membuat bangunan ini terus eksis. Ratusan pedagang juga menjalankan profesinya di pasar ini, mulai pedagang ikan laut, daging babi, daging sapi, grosir buah, kembang, ayam potong, ayam hidup, pakaian, pedagang sayur, pedagang makanan dan oleh-oleh khas Solo . Para pedagang ditempatkan di selasar sepanjang kiri dan kanan koridor utama. Selain pintu utama di barat dan timur, ada pintu berukuran sedang di utara pasar . Pintu

masuk utama pasar ini berkanopi lebar bertuliskan Pasar Gede dengan gaya tulisan Art Nouveau. Lantai untuk masuk berujud ramp, setelah hall masuk terdapat ruang terbuka, kemudian ruang-ruang los pasar membujur ke utara dan timur. Selain penjual daging, tentu saja tak beda jauh dengan pasar tradisional lainnya, ragam jualan Pasar Gede terdiri dari berbagai macam jenis dari kebutuhan pangan, sandang hingga kebutuhan pelengkap yang lain .

Pasar Gede, menjadi saksi penting perjalanan sejarah interaksi sosial masyarakat Solo. Jawa, Cina dan Arab tumpah ruah di pasar Gede dan terlibat dalam transaksi jual-beli. Sekilas memang wajar, tidak peduli asal-usul genetis dan kasta. Kalau memang harus berbelanja di pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, pasti akan terjadi dialog.Yang tidak wajar adalah ketika pemerintah Hindia Belanda menjadikan Pasar Gede sebagai laboratorium politik pecah-belah. Sampai-sampai, gagasan arsitek humanis Thomas Karsten yang membangun pasar itu pada kurun 1893-1939 atas titah Raja Keraton Kasunanan yaitu Paku Buwono X, mudah ditumbangkan oleh kepentingan terpadu pemerintah kolonial.Gagasan membuat bangunan dua lantai yang tidak menyulitkan kuli gendong dan kuli panggul saat mengangkut barang dagangan, pun dengan mudah ditumbangkan dengan politik preman ala kolonialis Belanda.Asal tahu saja, di kompleks pasar yang hanya terpisahkan oleh jalan (kini Jl. Kapten Mulyadi), terdapat kawasan Pecinan (kini bernama kampung Balong). Belanda menunjuk sekutunya Pecinan sebagai pengutip pajak di Pasar Gede, dalam rangka politik devide et impera, sekutunya tersebut diberi pangkat mayor. Orang-orang tua, dulu menyebutnya dengan Mayor Babah.

Dibatasi Kali Pepe, tepat di selatan Pecinan terdapat kompleks pemukiman untuk orang-orang Belanda dan bangsa Eropa namanya Lojiwetan.

Sampai sekarang, loji-loji itu masih kokoh berdiri. Pada masa kolonial di kawasan itu terdapat gedung (societet), semacam gedung kesenian untuk para penguasa Hindia Belanda. Kawasan Lojiwetan itu terletak di sebelah timur Benteng Vastenburg, kompleks tentara Belanda. Benteng itulah yang dijadikan pusat pertahanan kolonialis sekaligus untuk memantau gerak-gerik kaum pribumi, juga tentara kerajaan. Masih terkait dengan politik pecah-belah, di selatan Lojiwetan, pemerintah Hindia Belanda mengkotakkan keturunan Arab ke dalam sebuah perkampungan khusus, yang kini dikenal dengan nama Pasar Kliwon. Sebagai pusat interaksi yang terletak di kawasan Pecinan, bersebelahan dengan Pasar Gede terdapat Klenteng Avalokiteswara atau kini bernama Klenteng Tien Kok Sie. Tidak jelas asal-usulnya, namun kuat diduga klenteng memang biasa dibangun di daerah dimana komunitas keturunan Cina berada. Kali Pepe yang jaraknya hanya sejengkal dengan Pasar Gede, dahulu merupakan sarana transportasi utama bagi kaum pedagang yang menggunakan perahu atau kapal kecil . Apalagi, Kali Pepe terhubung dengan Sungai Bengawan Solo yang menghubungkan dengan dunia perdagangan internasional dengan pusatnya di Tuban dan Gresik, yang tak lain merupakan hulu sungai Bengawan Solo. (Sumber : www.wawasan_digital.com, Selasa 1 Juni 2010 ).

Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Solo. Awalnya penyaluran barang dilakukan oleh abdi dalem

Kraton Surakarta. Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar dan panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), dan blangkon. Pungutan jasa kemudian akan diberikan ke Istana Kasunanan. Pasar Gede terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing-masing terdiri dari dua lantai . Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang kemudian diberi nama Pasar Gede. Arsitektur Pasar Gede merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya tradisional. Pada tahun 1947, Pasar Gede mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian merenovasi kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari Pasar Gede, dahulu digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah dan ikan hias. Kondisi bangunan pasar ini jauh lebih beradab dari pasar pada umumnya karena Thomas Karsten sudah mempertimbangkan atap, sirkulasi udara, masuknya cahaya agar kondisi pasar tidak pengap, lembab dan juga menciptakan iklim komunikasi yang baik dengan cara membuat lorong yang dibuat lebar untuk memudahkan interaksi antar pedagang. Dengan bijak ia melakukan semacam pengamatan akan kebiasaan masyarakat dan mempelajari kebudayaan setempat. Tidak seperti kebanyakan arsitek Belanda yang justru terkesan memaksakan ide “Belanda” pada bangunan-bangunan di Indonesia .

( Sumber: Wawancara dengan Mulyono pegawai kantor pengelola Pasar Gede, Senin 5 Juli 2010 ).

Dokumen terkait