• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Povidon iodin

Povidon iodin adalah senyawa kompleks dari iodin dengan povidon. Povidon iodin mengandung tidak kurang dari 9,0% dan tidak lebih dari 12,0% iodin (I) dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Larutan topikal povidon iodin adalah larutan povidon iodin. Larutan povidon iodin mengandung tidak kurang dari 85,0% dan tidak lebih dari 120,0% iodin dari jumlah yang tertera pada etiket. Larutan povidon iodin dapat mengandung sedikit etanol. Larutan povidon iodin dengan pH antara 1,5 dan 6,5. Larut dalam air dan dalam etanol (Depkes RI, 1995).

a. Tambahkan 1 ml larutan yang mengandung lebih kurang dari 0,05% iodium kedalam campuran 1 ml kanji LP dan 9 ml air, terjadi warna biru tua (Depkes RI, 1995).

b. Masukkan 10 ml larutan kedalam labu Erlenmeyer 50 ml, hindari kontak dengan leher labu, tutup labu dengan kertas saring dan basahkan dengan 1 tetes kanji LP, tidak terjadi warna biru dalam waktu 60 detik (Depkes RI, 1995).

c. Sebarkan 1 ml larutan (1 dalam 10) diatas lempeng kaca 20 cm x 20 cm dan biarkan semalam di udara terbuka dalam suhu kamar dengan kelembaban rendah : terbentuk lapisan tidak menyebar, kering, coklat dan mudah larut dalam air (Depkes RI, 1995).

Povidon-iod (Betadine) adalah kompleks iod dengan polivynil-pirolidon yang tidak merangsang dan dalam larutan air berangsur-angsur membebaskan iodium. Zat ini berakumulasi di kulit dan menyebabkan efek antiseptis yang bertahan lama. Kompleks iodofor ini mudah larut dalam air dan mudah dicuci dari kulit atau pakaian, bersifat lebih efektif karena tidak menguap dan kerjanya lebih panjang dari iod. Karena sifat-sifatnya tinktur povidon-iod 10% dengan kadar iod bebas 1% telah menggantikan tinktur iodium konvensional (Tan dan Rahardja, 2007).

Povidon iodin secara klinis digunakan untuk mencegah dan mengobati permukaan kulit yang terinfeksi, luka yang terinfeksi, luka bakar, lasetasi dan abrasi untuk pembersihan sebelum dan sesudah pembedahan, dan juga dioleskan pada kulit pasien setelah pembedahan (Gennaro, 1990).

Povidon iodin dapat membunuh bakteri gram positif maupun gram negatif, jamur, virus, protozoa dan ragi. Afinitas dari povidon terhadap iodin lebih besar daripada iodid, supaya konsentrasi dari iodin yang bebas lebih kecil dari 1 ppm. Sebagai akibatnya aktifitas dari povidon iodin untuk menghambat bakteri menyebar ke larutan iodin (Gennaro, 1990).

Penggunaan povidon iodin terutama untuk desinfeksi kulit dalam bentuk tinktur, sabun cair, salep, krem, lotion, dan bedak tabor. Efek samping: hati-hati bila digunakan pada permukaan kulit rusak yang luas (misalnya luka bakar), karena iodium dapat diabsorpsi dan meningkatkan kadarnya dalam serum sehingga dapat menimbulkan asidosis, neutropeni dan hipotirosis (selewar) (Tan dan Rahardja, 2007).

2.4 Sterilisasi

Sterilisasi dalam mikrobiologi merupakan proses penghilangan semua jenis mikroorganisme hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus) yang terdapat pada atau di dalam suatu benda Metode sterilisasi dibagi menjadi dua, yaitu metode fisik dan metode kimia. Metode sterilisasi kimia dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, sedangkan metode sterilisasi fisik dapat dilakukan dengan cara panas baik panas basah dan panas kering (Pratiwi, 2008).

2.4.1 Sterilisasi panas kering

Prinsip kerja sterilisasi panas kering adalah mematikan organisme dengan cara mengoksidasi komponen sel ataupun mendenaturasi enzim. Menurut Waluyo (2010) ada dua metode sterilisasi panas kering yaitu :

1. Pembakaran langsung

Pembakaran merupakan cara sterilisasi yang 100% efektif tetapi cara ini terbatas penggunaannya. Cara ini bisa dipergunakan untuk mensterilkan alat penanam kuman (jarum ose). Yakni dengan membakarnya sampai pijar.

2. Pemanasan dengan oven atau sterilisasi dengan udara panas

Sterilisasi ini dengan menggunakan udara panas. Alat-alat yang disterilkan ditempatkan dalam oven dimana suhunya dapat mencapai 160-1800C. Caranya dengan memanaskan udara dalam oven tersebut dengan gas atau listrik, oleh karena daya penetrasi panas kering tidak sebaik panas basah, maka waktu yang diperlukan pada sterilisasi cara ini lebih lama yakni selama 1-2 jam.

2.4.2 Sterilisasi panas basah

Menurut Pratiwi (2008) sterilisasi ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Perebusan menggunakan air

Teknik sterilisasi perebusan menggunakan air mendidih 100ºC selama 10 menit.

2. Autoklaf

Teknik sterilisasi ini menggunakan temperatur di atas 100ºC dilakukan dengan uap, alat serupa pressure cooker dengan pengatur tekanan dan klep pengaman. Prinsip autoklaf adalah membunuh mikroorganisme dengan cara mendenaturasi atau mengkoagulasi protein pada enzim dan membran sel mikroorganisme.

2.5.1 Uraian umum

Nama bakteri berasal dari kata “bakterion” dari bahasa Yunani yang berarti tongkat atau batang, sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, berkembangbiak dengan pembelahan diri serta demikian kecilnya sehingga hanya tampak dengan mikroskop (Dwidjoseputro, 1978).

Menurut Waluyo (2010) morfologi bakteri dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu :

a. Cocci/coccus

Kokus adalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola-bola kecil. Kelompok ini ada yang bergerombol dan bergandeng-gandengan membentuk koloni. Berdasarkan jumlah koloni, kokus dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu :

- monokokus (monococcus), bila kokus hidup menyendiri.

- diplokokus (diplococcus), bila kokus membentuk koloni terdiri dari dua kokus.

- Streptococcus (streptococcus), bila koloni berbentuk rantai.

- Stafilokokus (staphylococcus), bila koloni bakteri kokus membentuk untaian seperti buah anggur.

- Sarsina (Sarcina), bila koloni bakteri mengelompok serupa kubus. - Tetrakokus (tetrakokus), bila koloni bakteri terdiri dari empat kokus. b. Bacilli

Basil dari bacillus, merupakan bakteri yang mempunyai bentuk tongkat pendek/ batang kecil dan silindris. Sebagian bakteri berbentuk basil. Basil

dapat bergandeng-gandengan panjang, bergandeng-gandengan dua-dua atau terlepas satu sama lain. Berdasarkan jumlah koloni, basil dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

- monobasil (monobacillus), yakni basil yang hidup menyendiri atau tidak bergerombol.

- Diplobasil (diplobacillus), bila koloni terdiri dari dua basil.

- Streptobasil (streptobacillus), bila koloni bakteri berbentuk rantai. c. Spiral

Spiral merupakan bakteri yang berbentuk bengkok atau

berbengkok-bengkok seperti spiral. Bakteri yang berbentuk spiral sangat sedikit jumlahnya. Golongan ini merupakan golongan paling kecil jika dibandingkan dengan golongan basil dan golongan kokus.

2.5.2 Bakteri yang menginfeksi kulit

Kulit utuh adalah penghalang yang efektif yang mencegah banyak agen penginfeksi memperoleh jalan masuk ke tubuh. Akan tetapi, sepanjang kehidupan normal kulit tidak selalu utuh. Sobekan kulit yang begitu kecil sehingga tidak terlihat bisa memungkinkan bakteri masuk dan berlipat ganda. Beberapa organisme memasuki tubuh melalui kontak dengan kulit. Bakteri yang masuk melalui lecet kulit diantaranya Stapylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa (Volk dan Wheeler, 1984).

1. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah jenis kuman yang terutama menimbulkan

yang menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda yang khas yaitu, peradangan, nekrosis dan pembentukan abses (Staf Pengajar FK UI, 1994).

Staphylococcus aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif, berbentuk bulat atau coccus dengan diameter 0,4-1,2 µm. Hasil pewarnaan yang berasal dari perbenihan padat akan memperlihatkan susunan bakteri yang bergerombol seperti buah anggur. Kuman ini tidak dapat bergerak. Suhu optimal pertumbuhannya adalah 370C. Staphylococcus aureus akan membentuk pigmen kuning emas. Koloni yang tumbuh berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm, permukaannya mengkilat dan konsistensinya lunak (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003). 2. Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri gram positif, aerob atau

aerob fakultatif, berbentuk bola atau kokus berkelompok tidak teratur, diameter 0,8-1,0 µm, tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 370C. Koloni pada pembenihan padat berbentuk bulat halus, menonjol, berkilau, tidak menghasilkan pigmen, berwarna putih porselen sehingga Staphylococcus epidermidis disebut juga Staphylococcus alba (Jawetz, et al., 2001). Kuman ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan

luka (Dwijoseputro, 1978). 3. Pseudomonas aeruginosa

Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang, ukurannya

0,6 x 2 µm. Merupakan bakteri gram negatif dan terlihat sebagai bentuk tunggal, ganda dan kadang-kadang dalam rantai pendek. Pseudomonas aeruginosa bersifat aerobik obligat yang tumbuh dengan cepat pada berbagai tipe media dan tumbuh baik pada suhu 37 – 420C (Brooks, et al., 2001). Organisme ini tidak membentuk

sporula dan ditemukan sebagai bagian flora normal saluran usus maupun kulit manusia (Volk dan Wheeler, 1984).

2.5.3 Pertumbuhan dan perkembangan bakteri

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bakteri meliputi :

1. Temperatur

Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam aktivitas kimia. Pada temperatur yang sangat tinggi akan terjadi denaturasi protein yang tidak dapat balik, sedangkan pada temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan berhenti. Pada temperatur pertumbuhan optimal akan terjadi kecepatan pertumbuhan optimal dan dihasilkan jumlah sel yang maksimal (Pratiwi, 2008). Bentuk psikrofil tumbuh terbaik pada temperatur rendah (15-200C), bentuk mesofil tumbuh terbaik pada temperatur 30-370C dan bentuk termofil tumbuh terbaik pada 50-600C (Brooks, et al., 2001).

2. pH

kebanyakan organisme memiliki kisaran pH optimal yang sempit. Secara empirik pH optimal harus ditentukan untuk masing-masing spesies (Jawetz, et al., 2001). Mikroorganisme asidofil tumbuh pada kisaran pH optimal 1,0-5,5, mikroorganisme neutrofil tumbuh pada kisaran pH optimal 5,5-8,0, mikroorgansime alkalofil tumbuh pada pH optimal 8,5-11,5, sedangkan mikroorganisme alkalofil ekstrem tumbuh pada kisaran pH optimal ≥ 10

(Pratiwi, 2008). 3. Tekanan osmosis

Tekanan osmose sangat diperlukan untuk mempertahankan bakteri agar tetap hidup. Apabila bakteri berada dalam larutan konsentrasi lebih tinggi daripada konsentrasi yang ada dalam sel bakteri, maka akan terjadi keluarnya cairan dari sel bakteri melalui membran sitoplasma yang disebut plasmolisis (Tim Mikrobiologi FK Brawijaya, 2003).

4. Oksigen

Menurut Tim Mikrobiologi FK Brawijaya (2003) berdasarkan akan kebutuhan terhadap oksigen, bakteri digolongkan menjadi berikut :

a. Bakteri aerob obligat : bakteri yang memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya.

b. Bakteri anaerob fakultatif : bakteri yang dapat tumbuh baik ada oksigen maupun tanpa adanya oksigen.

c. Bakteri anaerob obligat : bakteri yang hidup bila tidak ada oksigen d. Bakteri mikroaerofilik : bakteri yang kebutuhan oksigennya rendah.

5. Nutrisi

Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen (C, O, H, N, S, P, Ca, Fe, Mg), dan mikroelemen (Mn, Zn, Co, Cu) (Pratiwi, 2008).

Bahan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme di laboratorium. Berdasarkan konsistensinya, media dikelompokkan menjadi dua macam yaitu media cair dan media padat (Pratiwi, 2008).

2.5.4 Fase pertumbuhan bakteri

Menurut Pratiwi (2008) fase pertumbuhan bakteri meliputi empat fase, yaitu : 1. Fase lag

Fase lag merupakan fase adaptasi, yaitu fase penyesuaian mikroorganisme pada suatu lingkungan baru. Ciri fase ini adalah tidak adanya peningkatan jumlah sel, yang ada hanyalah peningkatan ukuran sel. Lama fase lag tergantung pada kondisi dan jumlah awal mikroorganisme dan media pertumbuhan.

2. Fase eksponensial (fase log)

Fase ini merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksimum, tergantung pada genetika bakteri, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.

3. Fase stasioner

Pertumbuhan bakteri berhenti pada fase ini dan terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dengan jumlah sel yang mati, karena pada fase ini terjadi akumulasi produk buangan yang toksik.

4. Fase kematian

Pada fase ini jumlah sel yang mati meningkat, faktor penyebabnya adalah ketidaktersediaan nutrisi dan akumulasi produk buangan yang toksik.

Dokumen terkait