• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prakanker Serviks .1Lesi prakanker

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Serviks

2.2 Prakanker Serviks .1Lesi prakanker

Sejak tahun 1908, Schauenstein sudah mulai memperkenalkan bahwa terminologi karsinoma sel skuamosa serviks dimulai dari lesi prainvasif. Istilah karsinoma insitu digunakan untuk menggambarkan perubahan lokal epitel kearah keganasan. Karsinoma insitu disebut juga displasia. Menurut World Health Organization (WHO), displasia didefinisikan sebagai sebuah lesi yang di tandai dengan terjadinya perubahan atipik pada permukaan epitel. Berdasarkan tingkat dan ketebalan perubahan epitel ini, displasia dibagi menjadi tiga yaitu : displasia ringan, sedang dan berat. Dan untuk lebih mengarah semua bentuk lesi prekursos kanker serviks, oleh Richart tahun 1973 dalam syahbani (2007) dikenalkan istilah neoplasia intraepithelial serviks (NIS), termasuk didalamnya displasia dan karsinoma insitu pada serviks.

Untuk mencapai suatu keadaan kanker serviks invasif, diperlukan proses panjang dan biasanya didahului oleh penyakit preinvasif. Penyakit preinvasif ini dikarakteristikan secara mikroskopis dari berkembangnya sel-sel atipik dari berbagai tingkatan displasia ataupun NIS sebelum berkembang menjadi karsinoma invasif (Syahbani, 2007).

Lesi prakanker sering juga disebut NIS, Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN), atau Servikal Intraepithelial Lesion (LIS). NIS adalah pertumbuhan sel abnormal yang mencakup berbagai lesi epitel yang secara histologi maupun sitologi berbeda dibanding epitel normal tetapi belum menunjukkan kriteria keganasan. Yang termasuk kedalam kriteria keganasan adalah peningkatan selularitas, abnormalitas nukleus dan peningkatan rasio nukleus ataupun sitoplasma.

Broders (1932) dalam Syahbani (2007) memperkenalkan istilah karsinoma insitu (CIS) yang berarti suatu lesi epitel yang tidak mengalami invasif kedalam stroma, dan seluruh ketebalan epitelnya tidak mengalami diferensiasi. Perubahan epitel serviks dengan gambaran diantara karsinoma insitu dan epitel normal disebut sebagai displasia oleh Reagan dan Hamonic (1956) dalam Syahbani (2007).

2.2.2 Sambungan Skuamokolumnar Baru

Stimulasi hormonal memberi respon berupa perubahan volume serviks. Peningkatan sekresi estrogen saat pubertas dan kehamilan pertama, menyebabkan peningkatan volume serviks dan merupakan suatu eversi dari epitel kolumnar endoserviks ke penempatan ektoserviks. Eversi dari epitel kolumnar menjadi ektoserviks dikenal dengan ektropion, dan kesalahan dari ektropion disebut erosi (Putra, 2006).

Gelombang estrogen dari pubertas menetapkan lactobacilli sebagai bagian dari flora normal vagina. Mikroorganisme ini menghasilkan asam laktat, yang menurunkan PH vaginal menjadi 4 atau kurang. Epitel kolumnar endoserviks terekspos setelah pubertas pada kadar keasaman dari lingkungan vagina. Kerusakan pada epitel kolumnar yang tereversi disebabkan oleh kadar keasaman yang dihasilkan oleh proliferasi dari cadangan sel stroma epitel kolumnar dasar, dan hal ini akan menggantikan epitel dengan epitel imatur, undifferentiated, stratified, skuamosa dan epitel metaplastik. Metaplasia skuamosa yang imatur mengalami proses maturasi, produksi maturasi berupa pelapisan epitel metaplastik skuamosa yang sulit dibedakan dengan epitel skuamosa original. Hubungan awal linier original antara epitel skuamosa dan kolumnar tergantikan oleh zona metaplasia skuamosa yang mengalami maturasi. Bagian tepi atas dari bagian ini merupakan suatu demarkasi atau garis yang jelas antar epithelium, yang memperlihatkan morfologi skuamosa, dan vili epitel, serta kolumnar jika diliat dengan kolposkopi. Hubungan ini dikenal dengan sambungan skuamokolumnar (Putra, 2006).

2.2.3 Zona Transformasi

Zona transformasi adalah area datar antara original sambungan skuamokolumnar dengan sambungan skuamokolumnar yang baru. Zona transformasi yang sudah matang, tidak bisa digambarkan atau dibedakan dengan sambungan skuamokolumnar original. Proses perubahan terjadi karena pengaruh hormonal tetapi pada akhirnya menghasilkan suatu epitel dewasa yaitu epitel skuamosa yang terglikogenasi(Putra, 2006).

Kalposkopi dapat mendiskripsikan dengan baik keadaan prakanker jika keseluruhan sambungan skuamokolumnar yang baru dapat terlihat. Kolposkopi dianggap tida adekuat jika keseluruhan sambungan skuamokolumnar tidak dapat terlihat. Zona transformasi juga dapat menggambarkan batas distal dari neoplasia intraepital glandular dengan lesi tinggi yang menjadi prekursor ke arah adenokarsinoma serviks (Putra, 2006).

2.2.4 Batas Atas Metaplasia Skuamosa

Sambungan skuamokolumnar yang baru merupakan daerah yang tidak stabil. Penilaian kolposkopi serviks secara serial memperlihatkan sambungan skuamokolumnar baru bergerak ke arah cephal. Studi histologi dari spesimen biopsi kolposkopi secara langsung memperlihatkan adanya sel hiperplasia dan metaplasia skuamosa imatur awal yang terjadi di sepanjang epitel. Metaplasia skuamosa imatur tahap awal dapat meluas sejauh 10 mm di atas sambungan skuamokolumnar yang baru. (Putra, 2006).

Metaplastik epithelium imatur pada sambungan skuamokolumnar baru tidak termasuk dalam pengertian zona transformasi tetapi adanya epitel tersebut memberikan risiko terbesar dalam transformasi neoplastik pada masa yang akan datang. Selama fase dinamis metaplasia, terutama masa pubertas dan kehamilan pertama, sel-sel imatur secara aktif akan difagositosis (Putra, 2006).

Usia koitus pertama merupakan variabel epidemiologi penting dalam menentukan risiko terjadinya neoplasia serviks. Risiko terkena kanker serviks akan meningkat 26 kali jika usia awal hubungan antara setahun menstrual pertama dan berbeda pada usia 23 tahun atau yang lebih tua (Putra, 2006).

2.2.5 Patogenesis Lesi Prakanker

Cow dan Cox, dkk dalam Syahbani (2007) faktor risiko displasia sesuai dengan kanker serviks, karena kanker serviks merupakan perkembangan lanjutan dari displasia. Sekita 15 % displasia ringan menjadi displasia sedang, 30% displasia sedang menjadi displasia berat, 45% displasia berat menjadi kanker serviks insitu, dan selanjutnya 90% kanker serviks insitu menjadi kanker serviks invasif. Sebaliknya, 20% displasia berat menjadi displasia sedang, 40% displasia sedang menjadi displasia ringan, dan 75% displasia ringan mejadi metaplasia-normal.

2.2.6 Klasifikasi Lesi Prakanker

Pada tahun 1980, British Society of Clinical Cytology (BSCC) membuat pembagian berdasarkan korelasi antara sitologik dengan histopatologik diskariosis ringan, sedang dan berat dimana dipakai istilah CIN. Tetapi displasia berat dan kanker serviks insitu susah dibedakan. Istilah CIN ini juga belum mendapat kesepakatan dikarenakan tidak seluruh neoplasia berkembang menjadi kanker seviks.

Pada tahun 1980-an, secara patologi ditemukan sel koilositik atau condylomatous atypia yang dihubungkan dengan infeksi HPV. Koilosit adalah suatu sel atipik di ruang perinuklear atau gambaran pada sitplasma,perubahan sitologi pada sel ini merupakan petanda adanya infeksi HPV. Dengan adanya petanda tersebut disederhanakan pembagian lesi prakanker menjadi dua grup secara histologi yaitu :

1. Low-grade CIN yang meliputi sel-sel koilosit atipik dan CINI

Gambar 2.3 CIN 1 – Low-grade Squamouse Intraepithelial Lesion

Gambar 2.4 CIN 2 – High-grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)

Dokumen terkait