• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Praktek konservasi masyarakat suku Bunaq

Kehidupan masyarakat suku Bunaq memiliki hubungan yang erat dengan sumber daya alam sekitarnya menjadikan alam sekitarnya tidak hanya sekedar tempat berlindung dan mencari makan tetapi juga bermakna kultural. Sehubungan dengan hal tersebut, munculah konsep tentang keselarasan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dikaitkan dengan kekuatan religius yang kemudian diwujudkan dalam berbagai kepercayaan dan bentuk-bentuk praktek konservasi sebagai berikut.

5.2.1 Hutan adat (Zobug por)

Zobuk por ini merupakan istilah bagi tempat-tempat yang biasanya dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat “pemali” atau tempat-tempat keramat yang dipakai dalam acara ritual keagamaan versi Bunaq. Masyarakat meyakini tempat tersebut merupakan sarana bagi masyarakat suku Bunaq untuk memuliakan Sang khalik, Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tinggi, sehingga tempat ini dianggap sebagai tempat keramat dan yang memimpin ritual di tempat ini hanyalah tokoh adat atau Na’i yang ada. Tempat-tempat tersebut adalah tempat yang tidak boleh terjamahkan oleh manusia dalam hal ini tidak boleh ada pengambilan apapun dan ada aktivitas lain selain ritual adat sehingga dijadikan sebagai hutan adat. Di samping itu, bisanya di tempat ini terdapat Bosok (Gambar 19) yang djadikan sebagai tempat menyimpan

sesajian dan pemotongan hewan yang dikurbankan. Keyakinan mereka, ketika terjadi gangguan terhadap hutan ini, misalnya pengambilan atau penebangan pohon di tempat ini maka akan terjadi malapetaka yang besar seperti hujan dan angin yang besar sehingga keberadaan hutan ini tetap lestari.

Gambar 19 Zobug por dan bosok

Tempat-tempat lain seyogianya zobuq por yang dijaga kelestarian oleh mereka adalah tempat-tempat yang di dalamnya terdapat sumber-sumber air yang dikenal dengan istilah “Il por/ Il giral”. Tumbuhan –tumbuhan yang ada di sekitar sumber air tidak boleh ditebang. Pada umumnya di lokasi Dirun terdapat banyak sumber mata air dan tempat-tempat tersebut yang terdapat di lahan milik suku tertentu maka di dalamnya terdapat Bosok sebagai tempat ritual suku tersebut. Il por ini diyakini sebagai sumber daya kehidupan Suku. Melalui Il giral ini mereka melihat suatu keajaiban yaitu kehidupan dialirkan kepada mereka.

Pengalaman dan aktivitas ritual di tempat-tempat tersebut berkembang secara terus-menerus dari generasi ke generasi hingga saat ini, sehingga seolah-olah telah menjadi “Tulang rusuk” bagi masyarakat setempat. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat memohon kesembuhan dari sakit yang berkepanjangan, memohon kekuatan dan berkah yang cukup dalam hidupnya.

5.2.2 Kawasan dilindungi (Natal gol mil)

Istilah ini digunakan untuk menyebut tempat-tempat yang banyak ditumbuhi pinang (Areca catechu) dan sirih (Piper betle) baik yang sengaja ditanami ataupun tumbuh dengan sendirinya sehubungan dengan kegunaannya yang sangat tinggi. Ada pun tempat-tempat yang sengaja ditanami pinang (Areca catechu) adalah tempat- tempat dekat mata air atau sepanjang aliran sungai yang dimaksudkan untuk menjaga erosi akibat aliran air yang deras. Hal ini merupakan suatu bentuk praktek konservasi.

Gambar 20 Natal gol mil

5.2.3 Aturan larangan (Gole Obon)

Gole obon ini merupakan bentuk larangan dari kalangan masyarakat yang telah dipahami bersama baik berupa kelompok atau perorangan terhadap hak miliknya agar tidak dirusak ataupun diambil orang. Pada umumnya masyarakat membuat larangan terhadap sumberdaya alam berupa pengambilan spesies-spesies tanaman tertentu pada areal lahan yang dimiliknya yang diperuntukkan guna pendewasaan/pemasakan tanah di bawahnya. Larangan ini berupa penggantungan daun dari jenis tanaman yang tidak boleh diambil. Kemudian, apabila pelanggaran dilakukan pada tanaman-tanaman berbuah pada umumnya maka pada gole obon tersebut biasanya diberitahukan bentuk penyakit yang akan diderita oleh

pelanggarnya dan penyembuhannya hanya bisa disembuhkan oleh pihak yang membuat larangan tersebut dan pada gole obon biasanya disertakan sepasang kaki kambing atau sapi yang artinya bahwa apabila ada pelanggaran, maka dikenakan sanksi berupa ternak seperti yang dipasang gole obon tersebut.

Gambar 21 Gole obon

5.2.4 Pengontrol kelestarian sumberdaya alam (Maq legat)

Maq legat adalah orang yang ditunjuk dan dilantik oleh kepala dusun untuk menjaga keutuhan sumberdaya alam seperti hutan-hutan adat, sumber-sumber air yang ada di wilayah tersebut dari perusakan-perusakan baik oleh manusia ataupun hewan peliharaan berupa sapi atau kuda akibat kelalaian masyarakat.

Di samping itu pula, maq legat bertugas mengontrol pengambilan hasil tanaman milik masyarakat tanpa sepengetahuan pemiliknya. Semua pelanggaran yang ada dikenakan sanksi sesuai dengan berat ringannya kerusakan yang terjadi akibat kelalaian tersebut.

5.2.5 Penggunaan lahan

Setiap anggota masyarakat memiliki lahannya masing-masing yang dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Dalam penggunaan lahan ini dibagi menjadi dua bagian yakni pekarangan (kolun) dan kebun (mar). Kolun merupakan lahan yang letaknya dekat dengan tempat tinggal dan digarap setiap tahunnya dengan luasan

yang relatif kecil sedangkan mar adalah lahan yang letaknya minimal 1 km dari tempat tinggal dan penggarapannya adalah 2-3 tahun sekali. Hal ini dimaksudkan untuk pemulihan kembali lahan seperti semula atau hatak yang mengandung humus yang tinggi yang baik untuk pertumbuhan tanaman nantinya.

Gambar 22 Kolun dan mar

Pengolahan lahan untuk bertani pun tidaklah sekedar menanam bibit, memelihara dan memanen hasil tetapi lebih jauh terkait nilai-nilai kultural religius atau kepercayaannya. Dalam pembukaan lahan dilangsungkan ritual yang dmaksudkan sebagai pemberitahuan kepada leluhur dan perwujudan simbolisme pendinginan dan tanah dan proses penyuburannya. Dalam kaitannya dengan pemaknaan tersebut, kepercayaan terhadap keberhasilan dari pertanaman dan pertumbuhan tergantung dari tingkat kesucian. Kesucian akan terwujud jika semua kegiatan dilakukan atas dasar ketaatan terhadap tata cara atau adatnya. Menurut kepercayaan mereka, konsep pensucian dapat dilakukan dengan darah, api dan air. Darah selain sebagai pensuci juga bermakna pada kesuburan, sedangkan air sebagai pendingin dan api memiliki karakter panas. Oleh karena itu ada suatu kewajiban pada awal kegiatan bertani harus didahului dengan upacara korban untuk mendapatkan darah, dan biasanya yang mereka lakukan adalah menyembelih hewan piaraan seperti ayam atau babi. Darah hewan inilah yang digunakan sebagai prasyarat dalam

pensucian bibit. Selanjutnya penggunaan api dalam proses penyiapan lahan akan mengakibatkan tanah menjadi panas sehingga disucikan dan didinginkan dengan air. Upacara-upacara dan pemaknaan kultural ini pada dasarnya merupakan perwujudan atas rasa kekhawatirannya terhadap ketidakpastian iklim serta besarnya resiko kegagalan terhadap usaha taninya.

Dokumen terkait