• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRECISION FARMING (PERTANIAN PRESISI)

MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS GULA

PRECISION FARMING (PERTANIAN PRESISI)

Precision farming merupakan kegiatan pertanian yang

mengelola usaha pertanian dengan memenuhi kebutuhan tanaman tepat sesuai yang dibutuhkan, dan meminimalkan adanya bagian yang tidak bermanfaat. Semua bagian dimanfaatkan sehingga semua tindakan yang dilakukan menjadi lebih efisien. Secara sederhana,

precision farming dapat dinyatakan sebagai pertanian yang didasarkan

Bunga Rampai "Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Komoditas Perkebunan"

| 53

sehingga tanaman mampu berproduksi mendekati potensi genetiknya. Pengelolaan ini meliputi ketepatan pemilihan lokasi tanam, ketepatan waktu tanam, ketepatan pemberian jenis dan dosis pupuk, ketepatan pemberian air, ketepatan pengendalian OPT, ketepatan panen dan pengelolaan pasca panen. Semua didasarkan pada prinsip ramah lingkungan sehingga tidak ada energi atau sumber daya alam yang terbuang sia-sia.

Precision farming pada dasarnya menyesuaikan beberapa

sumber daya dan kegiatan budidaya pertanian dengan kondisi tanah dan keperluan tanaman berdasarkan karakteristik spesifik lokasi (Whelan and McBratney, 2015). Penerapan precision farming dalam budidaya tanaman dapat berpotensi menghasilkan produksi atau hasil yang lebih besar dengan tingkat input (pupuk, kapur, herbisida, insektisida, fungisida, benih) yang sama atau hasil yang sama dengan pengurangan input. Oleh karena itu, precision farming merupakan revolusi dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis teknologi informasi.

Secara umum ada 5 komponen dalam Precision farming yang harus dilakukan yaitu (1) ketepatan dalam persiapan lahan, (2) ketepatan dalam pemilihan bahan tanaman dan penanaman, (3) ketepatan dalam pemeliharaan tanaman, (4) ketepatan dalam pelaksanaan panen dan pengolahan pasca panen, dan (5) ketepatan dalam memanfaatkan limbah tanaman. Precision farming hanya dapat dicapai dengan adanya dukungan (1) teknologi informasi dan (2) manajemen yang baik. Teknologi yang mampu menyediakan informasi akurat terkait tanaman secara menyeluruh harus didukung dengan kemampuan manajemen dalam menganalisa informasi yang ada serta membuat keputusan yang tepat dan cepat dalam merespon informasi.

Precision Farming merupakan jawaban untuk dapat

memperoleh hasil tebu yang maksimal. Dengan menerapkan precision

farming, diharapkan akan meningkatkan produktivitas tanaman dan

gula nasional. Yang tidak kalah penting adalah menghindarkan terjadinya pemborosan energi (antara lain berupa penggunaan benih,

pupuk, air, dan pestisida yang berlebihan) dan menjaga kelestarian lingkungan.

Permentan no 53/2015 tentang “Pedoman Budidaya Tebu Giling Yang Baik” merupakan panduan untuk praktisi tebu mulai dari persiapan lahan sampai panen yang mendukung kegiatan

presicion farming. Data menunjukkan pengembangan tebu di

Indonesia khususnya tebu rakyat, secara umum belum menerapkan Permentan tersebut secara optimal sehingga belum memenuhi kaidah precision farming. Dari 5 komponen yang harus dipenuhi pada

precision farming, sebagian belum diterapkan oleh petani tebu di

Indonesia. Untuk memulai kearah precision farming, beberapa komponen yang cukup berperan dalam menentukan produktivitas tebu adalah pemupukan, pengairan dan pengendalian OPT. Selama ini pemupukan dan pengairan merupakan komponen yang membutuhkan biaya tinggi sehingga perlu mendapat perhatian serius karena akan berdampak cukup besar terhadap biaya produksi. Pengairan yang dilakukan sesuai kebutuhan tanaman tebu akan memberikan hasil yang optimal, sebaliknya pemberian air yang tidak tepat waktu hanya akan berakibat pemborosan karena pengaruhnya terhadap tanaman tidak optimal. Meskipun precision farming belum diterapkan sepenuhnya dalam program pengembangan tebu di Indonesia, langkah kearah itu harus segera dimulai.

Identifikasi lahan telah dimulai oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP). Informasi terkait lahan yang sesuai untuk tanaman tebu telah diketahui secara garis besar. Daerah yang sesuai untuk tanaman tebu berdasarkan kesesuaian lahan mencapai 33,80 juta ha, yang terdiri dari lahan sangat sesuai 12,70 juta ha, moderat cocok dengan 6,30 juta ha, dan marginal sesuai sekitar 14,80 juta ha. Penyebaran areal yang cocok untuk tebu adalah terluas di Kalimantan, Papua, dan Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, dan Lampung (Hakim, 2010). Informasi tersebut perlu ditindaklanjuti dalam program ekstensifikasi sehingga arah pengembangan tanaman tebu dapat mengacu kepada data yang telah dihasilkan.

Persiapan lahan yang selama ini sebagian masih dilakukan secara manual, perlu diarahkan untuk dikerjakan secara masinal agar

Bunga Rampai "Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Komoditas Perkebunan"

| 55

dapat menghemat kebutuhan tenaga kerja. Informasi yang diperoleh akan menjadi acuan untuk mengembangkan tebu pada lahan-lahan tersebut.

Faktor penentu berikutnya adalah bahan tanaman atau benih. Penyediaan benih untuk mendukung penataan varietas dengan komposisi ideal sesuai kebutuhan PG belum dilakukan secara optimal. Penanaman benih yang menggunakan bagal 2 mata dengan cara end to end, seperti yang dianjurkan Permentan 53/2015 sebanyak 60.000 mata atau setara dengan 5 ton benih (PKP 135 cm dan jarak tanam 12,5 cm) mengakibatkan kebutuhan benih per hektar relatif tinggi. Penanaman sebaiknya menggunakan jarak tanam 40 atau 50 cm dalam juringan sehingga kebutuhan benih dapat dihemat hingga 50 % (PKP 1 m) sesuai dengan prinsip presicion farming yang mengutamakan efisiensi. Selain itu, untuk mendukung penyediaan benih, maka program perbenihan tebu harus direncanakan 2 tahun sebelumnya (t-2).

Informasi kesesuaian lahan yang telah dilakukan BBSDLP merupakan salah satu acuan dalam pengembangan tebu ke daerah baru. Analisis spasial dan pemetaan yang dilakukan Almalia et al. (2018) di Kabupaten Garut untuk kesesuaian lahan menunjukkan faktor pembatas pertumbuhan tanaman tebu meliputi drainase, saturasi dasar, slope, suhu rata-rata dan kedalaman tanah. Pemilihan lahan terkait dengan kebutuhan pupuk yang harus diberikan bila tanaman tebu akan dikembangkan di wilayah tersebut. Selama ini program pengembangan tebu belum sepenuhnya menerapkan data analisis tanah dan kebutuhan hara dalam memberikan rekomendasi dosis pupuk. Rekomendasi yang dikeluarkan masih bersifat umum dan belum spasial, sehingga adakalanya dosis yang diberikan pada suatu wilayah terlalu tinggi dibanding kebutuhan tanaman, atau sebaliknya pada daerah lain terlalu rendah untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Berdasarkan Permentan no 53/2015 tentang Pedoman Budidaya Tebu Giling Yang Baik disebutkan bahwa kebutuhan pupuk untuk menghasilkan 100 ton tebu per Ha adalah 150 kg N + 105 kg P2O5 + 150 kg K2O per Ha, yang berlaku umum. Disamping itu analisis tanah yang dianjurkan oleh Permentan adalah

5 tahun sekali. Berdasarkan kaidah presicion farming, penerapan dosis pupuk tidak dapat diberlakukan secara umum karena setiap lokasi memiliki kesuburan yang berbeda. Disamping itu kondisi hara tanah cenderung berubah setiap satu siklus tanaman tebu (± 1 tahun) sehingga analisis tanah sebaiknya dilakukan setiap siklus tanaman berakhir.

Pengairan yang selama ini dilakukan dengan irigasi melalui parit-parit disekeliling pertanaman, sudah waktunya lebih dihemat dengan cara irigasi tetes yang langsung mengenai sasaran yaitu tanaman tebu. Hasil penelitian Asriasuri and Pandjaitan (1998) menunjukkan dengan irigasi tetes yang dilakukan setiap hari dapat menghindarkan penurunan hasil tebu hingga 0 % dibanding irigasi curah. Ketepatan pemberian air yang disesuaikan dengan evapotranspirasi (0,6 laju evapotranspirasi) memberikan hasil tebu mencapai 190 ton/ha (Nogueira et al., 2016).

Kondisi lahan atau iklim yang optimum untuk perkembangan tanaman tebu adalah wilayah dengan curah hujan 1.800 – 2.500 m (Pramuhadi, 2011), kapasitas air dalam tanah minimal 50 % kapasitas lapang pada awal tanam, dan kebutuhan air mencapai puncaknya pada fase pemanjangan batang atau pertumbuhan cepat (Riajaya, 2016). Kekurangan air pada kondisi kritis dapat menurunkan hasil hingga 45 %. Berdasarkan prinsip presicion farming, kebutuhan air harus diberikan sesuai kebutuhan tanaman tebu pada setiap fase pertumbuhan tanaman.

Panen yang merupakan salah satu faktor penentu produktivitas tebu masih banyak dilakukan tanpa mengikuti kaidah yang ditetapkan Permentan 53/2015 yaitu berdasarkan tingkat kemasakan dan cara panen. Hasil penelitian yang dilakukan Suwarto and Setiawan (2019) menyebutkan cara panen yang tidak tepat dengan melakukan penebangan tidak tepat di permukaan tanah berpotensi mengurangi hasil tebu sebesar 26,9 kuintal atau setara 228,6 kg gula kristal putih per hektar. Hasil penelitian Antika and Ingesti (2020) menunjukkan tebu yang telah dipanen dan tidak segera digiling hingga lebih dari 2 hari dapat menurunkan rendemen tebu dari 9,85 % menjadi 8.98 %, dan bila dibiarkan hingga 14 hari

Bunga Rampai "Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Komoditas Perkebunan"

| 57

rendemen turun menjadi 4,83 %. Umur panen yang tepat dapat memberikan keuntungan marjinal secara ekonomi hingga 178,13 % (Hagos et al., 2014). Hal ini menunjukkan, pemanenan dan pengolahan setelah tebu dipanen harus dilakukan secara tepat untuk mengurangi kehilangan hasil. Bila pemerintah ingin mewujudkan swasembada gula, langkah menuju precision farming harus segera dimulai.

Dukungan berupa teknologi informasi yang mampu merekam semua aktivitas budidaya tebu di lapangan sangat diperlukan sebagai input bagi pihak manajemen untuk mengambil keputusan. Studi kasus di salah satu PG menunjukkan informasi yang diperoleh melalui penerapan teknologi yang cukup memadai ternyata belum mampu diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan baik oleh pihak manajemen.

Disamping pengelolaan tanaman tebu mulai tanam hingga panen, pengelolaan pasca panen juga merupakan hal penting dalam

precision farming. Pemanfaatan setiap bagian dari tanaman setelah

dipanen akan memberikan nilai tambah. Setelah gula dihasilkan, maka ampas tebu dapat dimanfatkan untuk berbagai hal. Pohon industri tebu menunjukkan berbagai manfaat yang dapat dihasilkan dari tanaman tebu (Gambar 1).

Bunga Rampai "Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Komoditas Perkebunan"

| 59

INOVASI TEKNOLOGI MENDUKUNG