• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI PETANI TEBU DAN PABRIK GULA

REFORMULASI POLA KEMITRAAN PETANI TEBU-PABRIK GULA

RELASI PETANI TEBU DAN PABRIK GULA

Perusahaan pabrik gula berbeda dengan perusahaan-perusahaan industri non pertanian pada umumnya karena sifat ketergantungannya kepada ketersediaan bahan baku tebu yang aktivitas produksinya bersifat spesial. Dalam keadaan ini kegiatan produksi tebu dan giling dapat dilihat baik secara terpisah maupun satu kesatuan dalam pengambilan keputusan. Ketika perusahaan gula mengusahakan sendiri tebunya, keseluruhan pembuatan keputusan tersebut berada di satu tangan dengan pertimbangan pembuat keputusan yang satu. Akan tetapi dengan adanya pemisahan antara kegiatan produksi tebu dan pengolahan (giling) tebu, pertimbangan dalam pengambilan keputusan menjadi terpisah.

Relasi antara petani dengan pabrik gula dari waktu ke waktu berkembang diawali oleh sistem buruh (cultuurstelsel), ikatan kemitraan (Pola Tebu Rakyat Intensifikasi, Pola Kemitraan Inti Plasma dan KKP-TR Kemitraan), sistem bebas (beli putus dan kredit usaha rakyat.

Cultuurstelsel.

Pada masa pemerintah kolonial Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel). Integrasi sistem agribisnis gula dapat dijamin melalui kuasi organisasi yang melibatkan kekuatan memaksa dari pemerintah kolonial. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial menanam tebu sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam, dan jadwal panen yang ditetapkan oleh pabrik. Menanam tebu merupakan prioritas dan wajib bagi petani. Prioritas peruntukan lahan di Jawa ialah untuk perkebunan tebu. Dengan begitu, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling.

Sebagian besar pabrik gula tidak memiliki lahan sendiri, sehingga bahan baku tebu diperoleh dari lahan petani. Hubungan antara pabrik gula dengan petani mengalami berbagai perubahan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Bentuk kemitraan berkembang dari hubungan sewa menyewa lahan antara petani

Bunga Rampai "Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Komoditas Perkebunan"

| 135

dengan pabrik gula, pola tebu rakyat intensifikasi dan sistem bagi hasil (SBH). Tebu yang dihasilkan petani diolah oleh pabrik gula mitra. Variabel yang digunakan sebagai dasar bagi hasil adalah rendemen gula hasil giling. Bagi hasil dilakukan dengan proporsi 66% menjadi bagian petani dan 34% menjadi bagian pabrik gula. Selain itu petani tebu masih memperoleh bagian tetes 2,5 kg per kuintal tebu.

Kebijakan pemerintah terkait dengan pengaturan kemitraan sistem bagi hasil antara lain: (1) Pola tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), dan (2) Kredit Ketahanan Pangan-Tebu Rakyat (KKP-TR Kemitraan).

Pola Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

Pada periode sebelum dilaksanakannya Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), hubungan petani dengan PG adalah petani sebagai pemilik lahan wajib menyewakan tanah kepada PG, dan selenjutnya petani sebagai pekerja/buruh pengolah lahan, penanaman, pemeliharaan, dan tebang angkut tebu pabrik. Setelah berlakunya sistem TRI, yang diatur dengan INPRES No 9/1975, maka sistem sewa lahan dihapuskan, dan kedudukan petani bukan lagi sebagai buruh, tetapi petani menjadi tuan ditanahnya sendiri, yaitu sebagai mitra yang sejajar dengan PG dimana petani sebagai penanam dan pemilik tebu yang bermitra dengan pabrik gula dengan sistem bagi hasil gula. Dengan diundangkannya Undang-undang No 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman, posisi tawar petani lebih kuat dalam mengelola usahataninya, dimana petani memiliki hak untuk menetapkan jenis tanaman yang akan ditanamnya. Bila di lahan petani akan ditanami dengan tanaman yang menjadi program pemerintah, dalam undang-undang tersebut mengatur hak petani menerima jaminan pendapatan minimal. Dengan keluarnya undang-undang budidaya berimplikasi pada diakhirinya Program TRI pada tahun 1998 dan perubahan pola kredit (KKPA, KKPE dan terakhir sistem KUR ). Kemitraan PG dengan petani juga berjalan dinamis, ada yang menerapkan sistem bagi hasil, kerja sama operasional/KSO, sewa lahan, dan beli putus tebu.

Berdasarkan pola kredit KKPA dan KKPE, PG berperan sebagai avalis kredit dapat mengikat kemitraan dengan petani secara lebih kuat, sedangkan pola kredit KUR yang diterapkan sejak tahun 2017 menghilangkan peran avails PG, petani langsung berhubungan dengan bank sebagai pemberi kredit. Hal tersebut mendorong berkembangnya beli putus tebu, diikuti kompetisi antar PG yang semakin ketat.

KKP-TR Kemitraan.

KKP-TR Kemitraan adalah Kredit Ketahanan Pangan dalam rangka pengembangan budidaya tanaman tebu rakyat yang diberikan oleh bank kepada kelompok tani yang disepakati sebagai mitra oleh pabrik gula tertentu, atau kepada Kepala Koperasi Primer yang disepakati sebagai mitra pabrik gula tertentu, untuk diteruskan kepada kelompok tani anggotanya guna membiayai budidaya tebu rakyat yang dilaksanakan dengan pola kerjasama usaha budidaya tebu. Bank sebagai pemberi KKP-TR Kemitraan melaksanakan pemberian kredit kepada koperasi dan kelompok tani.

Pola Kemitraan Inti Plasma.

Disamping kedua pola kemitraan tersebut, masing-masing perusahaan pabrik gula juga mengimplementasikan bentuk kemitraan untuk menarik minat dan mengikat petani tebu agar memperoleh pasokan bahan baku untuk digiling. Bentuk kemitraan tersebut dikenal dengan Kemitraan Inti Plasma, dimana Pabrik Gula bertindak sebagai inti dan petani tebu rakyat sebagai plasma. Pabrik Gula sebagai pihak inti berperan dalam memberikan bantuan kepada pihak plasma. Bantuan yang diberikan berupa peminjaman traktor, pengadaan bibit, bantuan biaya garap, bantuan biaya tebang angkut serta pengadaan pupuk. Petani berkewajiban untuk menggilingkan hasil panennya kepada Pabrik Gula.

Pabrik gula semakin intensif menjalankan kemitraan dengan petani tebu rakyat sejak pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1975 sebagai salah satu kebijaksanaan baru dalam

Bunga Rampai "Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Komoditas Perkebunan"

| 137

bidang industri gula. Inpres tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Kemitraan tersebut terus berlanjut meskipun Inpres tersebut telah dicabut dan digantikan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 dan Inpres Nomor 5 Tahun 1998 yang dilandasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 dimana petani diberi kebebasan memilih komoditi yang akan diusahakannya. Pabrik Gula memberikan segala kemudahan kepada petani agar mudah mendapatkan fasilitas seperti bibit pupuk dan sistem pengangkutan kepabrik gula. Hal ini dilakukan untuk menjamin seluruh kegiatan penanaman tebu berjalan lancar. Sejak tahun 2000 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 345/KMK.017/2000 Keputusan Menteri Keuangan No. 417/KMK.017/2000 Salinan Keputusan Menteri Keuangan No 110/KMK.06/2004 tanggal 12 Maret 2004 Tentang pendanaan kredit ketahanan pangan petani lebih mudah mendapatkan pinjaman kredit untuk tanaman tebu. Dengan adanya Kepmen ini petani jauh lebih mudah mendapatkan kredit melalui KUD.

Peran Petani Tebu dan Pabrik Gula

Kebutuhan gula di Indonesia semakin meningkat setiap tahun akibat peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan industri makanan dan minuman. Sementara disisi suplai, produksi gula trus berkurang sebagai akibat pengurangan areal dan produktivitas tebu. Tidak dapat dihindarkan sebagian kebutuhan gula dipenuhi dari gula impor. Oleh karena itu, dibutuhkan kemitraan petani dengan PG yang bukan hanya hubungan dagang biasa melainkan hubungan kerja sama yang bersifat timbal balik, saling menguntungkan. Hafsah (2000) menyatakan bahwa khusus pabrik gula milik BUMN, dalam hubungan kemitraan dengan petani memberikan subsidi baik langsung maupun tidak langsung, misalnya subsidi harga bibit dari pabrik gula, biaya penelitian dan pengembangan, biaya pendahuluan bagi petani, atau biaya tebang angkut. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hubungan petani tebu dengan pabrik gula perlu ditingkatkan melalui hubungan kemitraan

subkontrak. Pabrik gula membutuhkan tebu yang dihasilkan oleh petani tebu rakyat untuk memenuhi pasokan bahan baku. Sedangkan petani tebu membutuhkan permodalan yang cukup tinggi yang dapat diperoleh melalui kredit dengan jaminan dari pabrik gula. Kemitraan antara pabrik gula juga melibatkan bank sebagai pemilik modal. Pabrik gula lebih banyak berperan sebagai penyalur modal yang diberikan oleh bank. Peranan lain pabrik gula di dalam kemitraan antara lain (Hafsah, 2000):

a. Melaksanakan alih pengetahuan dan keterampilan dalam meningkatkan kualitas SDM petani/koperasi, baik melalui pendidikan, pelatihan, dan magang dalam bidang kewirausahaan, manajemen, dan keterampilan teknis,

b. Secara bersama menyusun rencana usahan dengan petani/koperasi mitranya untuk disepakati bersama,

c. Jika diperlukan, pabrik gula juga bertindak sebagai penyandang dana atau penjamin kredit (avalis) untuk permodalan petani/koperasi mitranya,

d. Melaksanakan bimbingan teknologi kepada petani/koperasi, e. Melaksanakan pelayanan dan penyediaan sarana produksi untuk

keperluan usaha bersama yang disepakati,

f. Menjamin pembelian hasil produksi petani/koperasi sesuai dengan kesepakatan yang telah disusun bersama.

SISTEM BELI PUTUS