• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LATAR BELAKANG YOGYAKARTA

B. Preman di Yogyakarta

Di Yogyakarta, orang-orang yang dikenal preman bergerak dari milisi menuju parlemen.112 Sebagian dari mereka memiliki kedekatan dengan tentara, bahkan dijadikan sebagai agen sipil tentara.113 Posisi para preman ini, sebagaimana dideskripsikan oleh Ulil Amri, tampak mendua. Selain terlibat dalam dunia hitam bisnis keamanan, orang-orang

109 Sementara itu, pembubaran acara nonton bareng sebagaimana terjadi di Aliansi Jurnalis

Independen (AJI) diikuti dengan pemasangan spanduk anti-komunis.

110 Nama ormas ini cukup beragam, ada misalnya GPK, Forum Umat Islam (FUI), dan Front

Jihad Indonesia (FJI). Sebagai catatan, petinggi GPK Muhammad Fuad adalah sekaligus petinggi di FUI.

111 Seminar ini direncanakan pada tanggal 27 September 2014, namun pada tanggal 16

September 2014, FUI meminta pembatalan acara termaksud.

112 Lihat dalam Kadir, 2011, Op.Cit.

113 Lihat dalam Ulil Amri, Biografi Preman-Preman Yogyakarta (1) dalam http://etnohistori.org/biografi-preman-preman-jogjakarta-1-mas-joko-pemberani-badran- yang-terkenal.html

yang disebut preman juga menjadi penyumbang dalam kegiatan sosial, misalnya pembangunan tempat ibadah.114 Hal tersebut menunjukkan bahwa sosok-sosok preman di Yogyakarta cenderung memiliki kemiripan dengan bandit sosial atau jagoan pada masa kolonial.115

Pada masa Orde Baru, preman di Yogyakarta direkrut oleh partai politik. Perekrutan ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan partai dan diorganisir ke dalam gangster. Di Yogyakarta sendiri, ada dua nama gangster yang namanya melegenda, yakni QZRUH (Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan) yang berdiri tahun 1970-an dan Joxzin (Joxo Zinthing) yang berdiri pada 1982.116 Sementara QZRUH didirikan oleh RM Imam Kintoko, keponakan Letkol M. Hasbi yang memimpin Petrus, Joxzin didirikan oleh Maman Sulaiman, seorang desertir marinir yang juga menjadi Komandan PASKAM (pasukan Keamanan) PPP. Pasca 1998, setelah pada tahun 1980-an menjadi underbouw Golkar, massa QZRUH banyak tergabung dengan partai PDIP, terkhusus dalam Banteng Muda Indonesia (BMI). Pun dengan Kotikam yang kemudian ditengarai menjadi pasukan keamanan KPH H. Anglingkusumo yang di dalamnya tergabung Deki.

114 Dituliskan kemudian bahwa Mas Joko membangun karir dengan kuliah dan belajar

bahasa Inggris, di samping juga memperdalam keahlian agamanya.

115 Lihat juga tulisan Ulil Amri yang lain dalam http://etnohistori.org/biografi-preman-

preman-jogjakarta-2-mas-kris-preman-terban-berbasis-judi.html

116 Bagian ini bisa dilihat dalam Monica Adelina Dian, Dilematis, Pemberantasan

Premanisme di Yogyakarta , Agustus diunduh dari

interseksi.org/archive/blog/files/premanisme.php pada tanggal 12 Juli 2016. Lihat juga

dalam (enry Saputro, Yogyakarta Antipreman , April diunduh dari

http://budisansblog.blogspot.co.id/2013/04/yogyakarta-antipreman.html pada tanggal 12

Setelah reformasi, gangster sekolah kemudian muncul seakan- akan mereproduksi model QZRUH dan Joxzin. Bukan berarti QZRUH dan Joxzin kemudian bubar, namun justru gentho sekolah biasanya mengikuti gangster-gangster besar seperti QZRUH, Joxzin, Ghemax, atau Phuxon. Menjadi anggota gangster sekolah membuka kesempatan besar untuk menjadi anggota gangster lebih besar yang terhubung dengan partai politik. Namun, gangster sekolah ini tidak bertahan lama. Saat ini

tawuran, istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan perkelahian antar sekolah, tidak marak sebagaimana sepuluh tahun yang lalu.

Preman yang menjadi legenda di Yogyakarta adalah Agus Joko Lukito, yang dikenal dengan nama Gun Jack. Ia adalah seorang yang terdaftar dalam GPK dari PPP. Namanya melambung, setelah Gun Jack membunuh seorang putra perwira. Meskipun ia melarikan diri, namun akhirnya ia berhasil dibujuk kembali ke Yogyakarta untuk kemudian mendapatkan bekking dari tentara dan dipersenjatai. Hal ini kemudian menegaskan posisinya sebagai preman kawakan. Setelah Gun Jack meninggal pada tahun 2011, kehidupan preman di Yogyakarta makin tidak terkontrol. Seorang teman Gun Jack, Rudy Tri Purnama yang juga adalah komandan GPK mengatakan bahwa konflik jalanan menjadi kerap muncul sepeninggal Gun Jack.117

117 Lihat dalam Pito Agustin Rusdiana, Generasi Penerus Preman Yogya , diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/04/20/058474731/generasi-penerus-preman-yogya

Kematian Gun Jack memungkinkan untuk mencuatnya nama- nama yang tenggelam semasa kekuasaan Gun Jack. Misalnya Santo dan Harno yang menguasai daerah Godean, Sotong di daerah Jogokaryan, Marcelinus Bhigu di sekitar Lempuyangan, dan nama lama seperti Yono di pasar Terban. Masing-masing dari mereka menguasai tanah, lahan parkir, perhotelan, dan keamanan area hiburan malam. Selain itu, jual beli mobil yang kemudian dikenal dengan istilah leasing juga makin marak, sebab beberapa dari mereka juga bekerja sebagai penagih utang dan bekerjasama dengan pihak bank. Keterhubungan dengan bidang politik praktis dan dunia usaha menunjukkan bahwa gangster bisa menjadi pasukan pribadi maupun militia.118

Selain itu, kelompok preman di Yogyakarta, juga masih menggunakan pola Orde Baru. Setiap kelompok preman memiliki kedekatan dengan aparat pemerintahan, secara khusus polisi atau militer. Penguasaan lahan di daerah Sleman oleh Harun, yang dikenal sebagai tokoh Kotikam. Harun berkoordinasi dengan TNI maupun Polisi untuk menguasai hiburan malam seperti Boshe VVIP Club, Hugo s Cafe, Embassy Platinum Jogja, Montana Cafe, dan salon ++ di Babarsari. Model kelompok Harun ini berbeda dengan Paksi Katon yang sama-sama sering terlibat kekerasan namun Paksi Katon secara jelas memiliki kedekatan dengan

118 Stein Kristiansen, Violent Youth Groups in )ndonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa

Tenggara Barat , dalam Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 18, No. 1

pemerintahan sementara kelompok gangster seperti Harun, Sotong, atau Harno jarang muncul untuk bekerja atas nama pemerintah.

Komposisi gangster di Yogyakarta juga mengalami pendefinisian dengan lebih jelas, yakni berdasarkan agama atau etnis. Stein Kristiansen menunjukkan bagaimana identitas keagamaan menjadi penting dalam membuat label dalam kelompok masyarakat.119 Tumbuhnya gangster bernafaskan agama ini bukan berarti meningkatnya permintaan untuk menegakkan hukum berdasar agama, melainkan lebih pada bagaimana agama dijadikan sebagai alat kekuasaan. Gangster berdasarkan etnis kemudian juga muncul dengan tokoh-tokoh seperti Marcelinus Bhigu, Hendrik Angel Sahetapi, atau dari Pattimura Muda.120

Pada tahun 2013 lalu sempat muncul perbincangan mengenai kelompok gangster NTT yang merangkak naik lewat jasa keamanan. Seorang yang tidak mau disebut namanya mengatakan bahwa kelompok NTT, juga kelompok dari luar Yogyakarta lainnya, tidak pernah menguasai keamanan atau jalanan Yogyakarta. Kemanan dan jalanan tetap dikuasai oleh preman-preman tua, sementara kelompok NTT hanya diberi tugas preman-preman tua itu untuk menjaga keamanan cafe. Keamanan cafe yang dijaga oleh kelompok NTT berada di sekitar Condong Catur, jalan Solo yang masuk dalam Kabupaten Sleman, dan

119 Ibid., hal . Kristiansen menuliskan: Religion is obviously an important identity marker

for the young in Indonesia today, and probably more so for those marginalized from the national process of economic development and modernization.

120 Kelompok Pattimura Muda sempat mendirikan posko di pertigaan Citrouli, Babarsari.

Babarsari. Tumbuhnya usaha di Babarsari dan terpusatnya jumlah orang asal NTT di Babarsari membuat kelompok NTT ini terlibat dalam jasa keamanan, meskipun mereka tidak menguasai, hanya ikut gento-gento tua sebagai keamanan kafe. Sementara itu kawasan yang selama ini menjadi pundi-pundi bagi gali di Yogyakarta masih tetap dikuasai oleh preman asal Yogyakarta. Tempat ini merentang dari kota Yogyakarta dan DIY bagian Selatan sampai ke Jalan Bantul dan Bantul Kota, tak terkecuali juga Sleman Kota.121

Guna mempertahankan kekuasaan, tidak jarang kekerasan digunakan. Penggunaan kekerasan ini kemudian dilekatkan dengan kriminalitas, karena istilah seperti pembacokan, penusukan, atau pembunuhan menjadi sangat akrab dengan kekerasan. Dengan demikian, selain tidak terpisahkan dari otoritas pemerintahan, keberadaan preman juga, sebagaimana disebut di awal, sangat lekat dengan kriminalitas. Masalahnya sebutan preman, sebagai sebuah tanda tanpa marka dan bisa dilekatkan ke siapa saja, yang jamak disebut kriminal ini juga mengandung unsur kekuasaan yang berkepentingan. Oleh karenanya, bagian selanjutnya diperbincangkan mengenai kriminalitas, di Yogyakarta.

121 Lihat dalam Kelompok NTT Bukan Penguasa Dunia Malam Jogja , diunduh dari http://www.jpnn.com/read/2013/03/25/164327/Kelompok-NTT-Bukan-Penguasa-Dunia-

Dokumen terkait