• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LATAR BELAKANG YOGYAKARTA

A. Yogyakarta Pasca Reformasi

Perhatian mengenai isu lokal mulai menguat semenjak reformasi. Pembangunan nasional yang digagas ketika Orde Baru berkuasa terbukti tidak merata ke daerah-daerah. Ketidakmerataan ini menunjukkan adanya kegagalan otoritas untuk membangun daerah-daerah terpencil. Tuntutan perubahan arah pembangunan terjadi dari Jakarta yang adalah pusat menuju pada desentralisasi lewat kebijakan otonomi daerah. Munculnya istilah politik lokal menunjukkan bahwa desentralisasi ini merengkuh hingga politik kekuasaan. Dengan demikian desentralisasi kekuasaan mempengaruhi dinamika perekonomian, kebudayaan, serta perubahan sosial dalam konteks lokal. Uraian berikut akan mendeskripsikan mengenai demografi dan kepadatan sosial; dinamika perekonomian; politik lokal dan kompleksitas proses budaya yang berlangsung oleh semakin heterogennya penduduk di Yogyakarta.

Demografi dan Kepadatan Sosial

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 3.185,81 km2 ini memiliki penduduk sebesar 3.595.256 jiwa (Semester II tahun 2015). Kepadatan penduduk terutama terpusat di kota dengan 12.579,17 jiwa/km2.84 Dalam tingkat nasional, DIY menjadi provinsi paling padat se-Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kepadatan

84 Lihat dalam Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta,

Data Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta Semester II Tahun 2015 (BPS DIY:

dalam tingkat provinsi pada tahun 2010 meningkat tajam dibandingkan tahun 2000 yang hanya 979 jiwa/km2 menjadi 1.085 jiwa/km2 yang artinya meningkat sebanyak 106 jiwa/km2.

Kepadatan ini juga disertai dengan jumlah pendatang yang semakin meningkat. Dalam rentang sepuluh tahun, yakni 2000-2010, ada peningkatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,04 persen per tahun. Jumlah ini berkaitan dengan kecenderungan menurun dari angka kematian, meningkatnya usia harapan hidup, dan semakin bertambahnya migrasi masuk ke DIY untuk bersekolah maupun bekerja. Tercatat bahwa angka migrasi neto85 di DIY pada tahun 2000 adalah129.530, tahun 2005 sebanyak 87.741, tahun 2010 sebanyak 103.492, dan tahun 2015 sebanyak 84.915. Meskipun migrasi neto terjadi secara fluktuatif, namun tren jumlah migrasi masuk di DIY selalu lebih tinggi daripada jumlah migrasi keluar sejak tahun 1980 hingga tahun 2015.86

Para migran tersebut juga berasal dari berbagai latar belakang kesukuan yang beragam. Apabila diperbandingkan antara data Sensus Penduduk 2000 dan Sensus Penduduk 2010, maka jumlah masing- masing penduduk berdasarkan kategori suku bangsa semakin meningkat. Sementara itu ada dua kelompok suku bangsa yang kemudian masuk dalam kategori 10 besar di DIY, yakni NTT dan Dayak. Meskipun demikian, kategori penduduk berdasarkan suku bangsa ini rapuh dan

85 Migrasi netto merupakan selisih antara migrasi masuk dengan migrasi keluar.

86 Lihat dalam https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1273, diunduh pada 3

rawan untuk dimanfaatkan untuk menciptakan segregasi dalam masyarakat. Selain itu, identitas kesukuan ini hanya satu dari sekian banyak identitas lain yang menempel pada tiap-tiap orang, misalnya orang Jawa tidak benar-benar merasa sebagai orang Jawa seutuhnya.

Tabel 2.1.

Komposisi Penduduk DIY berdasarkan Suku Bangsa

No Suku Bangsa Sensus Penduduk

2000 Suku Bangsa Sensus Penduduk 2010 1 Jawa 3.020.157 Jawa 3.331.355 2 Sunda 17.539 Sunda 23.752 3 Melayu 10.706 Melayu 15.430 4 Tionghoa 9.942 Tionghoa 11.545 5 Batak 7.890 Batak 9.858 6 Minangkabau 3.504 Madura 5.289 7 Bali 3.076 Minangkabau 5.152 8 Madura 2.739 NTT 4.238 9 Banjar 2.639 Dayak 3.790 10 Lain-lain 36.769 Lain-lain 40.597

Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000, Sensus Penduduk Tahun 2010

Kecenderungan meningkatnya jumlah pendatang di DIY ini juga tampak dari kalangan mahasiswa. Misalnya saja tahun 2013 ada sekitar 310.860 mahasiswa dari seluruh Indonesia dengan sebanyak 78,7 persen berasal dari luar DIY.87 Jumlah ini berarti menunjukkan ada sebanyak 244.739 mahasiswa yang masuk ke DIY, yang terpusat di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Dengan jumlah mahasiswa rantau yang sedemikian besar, isu mengenai pendatang di Yogyakarta tidak jarang menjadi tema perbincangan masyarakat.

87 Lihat dalam tulisan Editor, Pertahankan )ndonesia Mini di Yogyakarta , diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/03164776/Pertahankan.Indonesia.Mini.di.

Tabel 2.2.

Jumlah Mahasiswa di DIY, 2009-2014

No Tahun PTN PTS Jumlah 1 2009 74.704 172.086 246.790 2 2010 78.992 154.222 233.214 3 2011 76.785 135.501 212.286 4 2012 84.790 57.402 142.192 5 2013 110.437 74.165 184.602 6 2014 106.973 77.355 184.328

Sumber: DIY dalam Angka 2010, DIY dalam Angka 2011, DIY dalam Angka

2012, DIY dalam Angka 2013, DIY dalam Angka 2014, DIY dalam Angka

2015.88

Padahal, pertemuan dari yang dianggap orang Yogyakarta dan pendatang dari sesama anggota bangsa sudah terjadi sejak berabad-abad lalu, misalnya dengan orang Tionghoa di Ketandan atau orang Bugis di Bugisan, pada abad ke-17. Namun sebagai sebuah tempat berkumpulnya para cendekiawan, Yogyakarta berpengaruh besar pada tahun 192089, ketika mereka menuntut ilmu di perguruan Taman Siswa. Berkumpulnya siswa-siswi ini menandai Yogyakarta sebagai tempat pertemuan dari berbagai kebudayaan. Meskipun tidak lalu menjadi pusat pendidikan, namun berdirinya Taman Siswa tersebut diingat warga negara-bangsa )ndonesia sebagai kota pelajar .

Pada masa kini, munculnya kelompok-kelompok mahasiswa (bahkan asrama) berdasarkan identitas etnis menandai perantau yang

88 Apabila diperhatikan, jumlah pada tahun 2012 tampak ganjil dengan adanya penurunan

yang besar. Padahal dilaporkan pada tahun 2012 terdapat 107 pts, sementara tahun 2013 terdapat 112 pts.

89 Kenji Tsuchiya, The Taman Siswa Movement – Its Early Eight Years and Javanese

Background , dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol. 6, No. 2, (Sep., 1975), hal. 164- 177.

menempuh sekolah di Yogyakarta. Selain kelompok mahasiswa, mulai tahun 2014 ditemukan beberapa indekos yang menolak mahasiswa asal NTB, NTT, Ambon, dan Papua. Penolakan ini bahkan berlanjut dengan dipasangnya papan bertuliskan khusus Muslim di beberapa indekos.

Kepadatan dan jumlah penduduk/warga yang semakin meningkat diikuti dengan pembangunan pemukiman yang dengan luas halaman yang tidak mencukupi untuk menjadi ruang bermain anak. Hal ini tampak misalnya di kampung perkotaan atau masyarakat urban seperti Babarsari. Sempitnya halaman ini menandai dibutuhkannya ruang terbuka yang menyegarkan. Dengan demikian, dibutuhkan ruang publik yang memadai dan rekreatif seperti daerah bawah jembatan layang Lempuyangan atau nol kilometer. Minimnya ruang publik juga ditandai dengan masalah-masalah seperti penggunaan alun-alun untuk berpacaran atau penggunaan trotoar untuk membuka lapak dagang. Kondisi ini mempengaruhi bagaimana masyarakat Yogyakarta mempersepsikan kesesakan ruangnya lewat kepadatan yang terus meningkat.

Sementara itu, berkaitan dengan kendaraan bermotor dan kemacetan yang mulai dikeluhkan, tercatat bahwa pada tahun 2011 penggunaan kendaraan bermotor di DIY sebanyak 1.210.358, dengan pertambahan 89.451 pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2012 mengalami peningkatan sejumlah 60.429 kendaraan menjadi sebanyak 1.270.787. Tahun berikutnya, 2013, peningkatan sangat signifikan terjadi

dengan bertambahnya sebanyak 126.180 kendaraan sehingga total kendaraan di DIY menjadi 1.396.967 kendaraan bermotor. 90

Dengan peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi kendaraan tersebut, tidak heran apabila kemacetan dirasakan sebagai dampak ruang yang semakin padat. Meningkatnya konsumsi akan kendaraan menjadi masalah sehari-hari yang dihadapi masyarakat Yogyakarta. Jumlah kendaraan ini juga memaksa bertambahnya lahan parkir yang berarti juga menambah jumlah petugas parkir. Kondisi demikian menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang oleh orang asal Yogyakarta sendiri dirasa mulai sumpek (kesesakan meningkat). Ke-sumpek-an ini nantinya akan memiliki hubungan yang dekat dengan bagaimana sebuah frustrasi dikonstruksi yang salah satunya adalah isu mengenai pendatang di Yogyakarta.

Dinamika Perekonomian

Salah satu daerah yang menjadi pusat perekonomian di Yogyakarta adalah Malioboro, yang seringkali menjadi jalan protokol untuk tamu kenegaraan atau acara kebudayaan. Daerah yang oleh Peter Carey punya asal-usul dari kata Malyabhara ini menjadi sentra pariwisata di Yogyakarta.91 Menjadi sentra pariwisata berarti membuka

90Lihat dalam Pito Agustin Rudiana, Mobil Murah Biang Kemacetan Yogyakarta diunduh

dari https://m.tempo.co/read/news/2014/08/19/058600783/mobil-murah- biang-

kemacetan-yogyakarta pada 24 Oktober 2016.

91 Peter Carey, Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro (Depok: Komunitas Bambu, 2015).

peluang untuk dibukanya sektor usaha lain, misalnya yang menjadi perhatian publik seperti karaoke, panti pijat, salon ++, dan tempat hiburan malam. Ketiganya menjadi usaha sektor hiburan yang erat kaitannya dengan pihak aparat sebab secara hukum sah namun seringkali terjadi tindak kriminalitas, dan dengan demikian juga muncul kebutuhan pada sektor keamanan. Tempat hiburan malam di Yogyakarta berpusat di sekitar Malioboro (ada Pasar Kembang danRepublic Positiva Cafe & Lounge), jalan Magelang dengan dua diskotiknya yang terkenal (Boshe VVIP Club dan Liquid Cafe), Hugo s Cafe di jalan Solo yang kemudian dicabut ijinnya karena kasus Cebongan, di Ambarukmo Plaza

ada Caesar Café and Lounge (ditutup), dan di Seturan ada Terrace Café and Karaoke.

Selain hiburan dunia malam, bermunculan obyek wisata baru yang biasanya dikembangkan oleh masyarakat lokal seperti Air Terjun Srigethuk dan Goa Pindul di Kabupaten Gunung Kidul. Pembukaan lahan ini tak jarang menimbulkan masalah berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Di Goa Pindul misalnya, sempat terjadi sengketa pengelolaan tempat wisata (2013) dan polemik penggunaan Sultan Ground untuk membuka lapak dagang (2016). Menurut pihak yang melarang penggunaan lahan, di area Sultan Ground tidak diperkenankan mendirikan bangunan. Padahal, penggunaan Sultan Ground sebagai pusat mancanegara dan nusantara cenderung meningkat secara berturut-turut pada tahun 2010 sebanyak 1.456.980, tahun 2011 sebanyak 1.607.694, tahun 2012 sebanyak 2.360.173, tahun 2013 sebanyak 2.837.967, dan tahun 2014 sebanyak 3.346.180.

perbelanjaan sudah menjadi rahasia umum bahkan disetujui oleh Sultan sendiri.

Sementara itu, sektor industri rumahan terus berkembang sebagai dampak dari perkembangan tempat wisata. Pabrik industri juga makin menjamur dengan berbagai isu-isu miring yang menyertai, misalnya dengan tambang pasir besi Kulon Progo atau pabrik gawai

Foxconn. Pabrik-pabrik ini menyerap tenaga kerja buruh dan biasanya terletak di pinggiran kota, misalnya di Cangkringan, Piyungan, Berbah, atau Godean. Di samping industri, beberapa bisnis besar di Yogyakarta dimiliki oleh orang kaya dari Jakarta seperti Hartono Mall, Carrefour, Hotel Tentrem, Hotel Sheraton, Hotel Hyatt, dan Bank BCA.92 Selain itu, bisnis besar seperti Jogja Bay Waterpark, Ambarukmo Plaza dan Jogja City Mall93, yang menggunakan Sultan Ground menjadi bagian dari bisnis milik kraton.94 Selain tempat hiburan malam, jenis usaha urban tersebut juga menarik pembukaan lahan parkir yang acapkali menjadi perebutan wilayah kekuasaan antar preman.

Di samping industri dan jasa tersebut di atas, pertanian juga masih menjadi pilihan untuk mencukupi kebutuhan finansial, meskipun

92 Subagya, 2015, Op.Cit., hal. 46.

93 Pusat perbelanjaan seluas 2,8 ha ini adalah milik PT Garuda Mitra Sejati dengan

komisarisnya adalah KGPH Hadiwinoto, adik kandung HB X. Lihat dalam

http://www.krjogja.com/web/news/read/215441/jadi_kebanggaan_baru_masyarakat_yog ya diunduh pada 2 Juni 2016.

94 Bisnis milik keluarga kraton ini pernah didata oleh Kus Sri Antoro. Lihat dalam

http://www.aktual.com/10-kerajaan-bisnis-keraton-yogyakarta/ diunduh pada 22 Juli

lahan pertanian terus menyusut.95 Sektor pertanian dikembangkan misalnya di Ngireng-ireng (Bantul), Bleberan (Wonosari), atau Samigaluh (Kulon Progo) yang cenderung berada menjauhi pusat perkotaan. Di DIY sendiri, Bappeda melaporkan bahwa pada tahun 2013 luas lahan sawah di DIY sebesar 55.829 ha. Diprediksikan kemudian pada tahun 2020 berkurang sebanyak 1.621 ha.96 Penyusutan ini menggambarkan bagaimana Yogyakarta tengah beranjak menjadi daerah yang semakin padat pemukiman penduduknya.

Meskipun usaha-usaha kecil maupun bisnis terus berkembang, namun tercatat bahwa jumlah pengangguran di DIY cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2014, sebanyak 67.000 orang adalah pengangguran. Pada tahun 2015 jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi 80.000 orang.97 Peningkatan jumlah pengangguran ini dibarengi dengan peningkatan jumlah penduduk dan penurunan persentase jumlah kemiskinan di DIY. Jumlah pengangguran makin tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Misalnya pada bulan September 2013, Maret 2014, September 2014, dan Maret 2015 secara berturut-turut jumlah pengangguran naik, yaitu 541.950 orang, 544.870 orang, 532.590 orang, dan 550.230 orang. Isu peningkatan jumlah

95 Penyusutan ini merupakan implikasi dari meningkatnya jumlah penduduk di Yogyakarta

dan berubahnya lahan pertanian menjadi bangunan, baik permukiman maupun usaha.

96 Lihat dalam Setiap Tahun Yogya Kehilangan (ektare Sawah , diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2014/01/20/setiap-tahun-yogya-kehilangan-245-hektare-

sawah pada 24 Oktober 2016.

97 Lihat misalnya dalam Tribunnews, Jumlah Pengangguran D)Y Capai . Orang ,

diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2016/07/20/jumlah-pengangguran-diy-capai-

pengangguran ini memungkinkan untuk dibukanya usaha dalam sektor jasa terkait dengan pembangunan Yogyakarta sebagai tujuan wisata.

Dibukanya berbagai jenis usaha termaksud sejalan dengan pertumbuhan pendidikan di DIY yang jumlah mahasiswanya mencapai porsi 10% dari total jumlah penduduk. Pada tahun 2014 tercatat ada 10 perguruan tinggi negeri dengan jumlah 106.973 mahasiswa dan 106 perguruan tinggi swasta dengan jumlah 77.355 mahasiswa.98 Dengan jumlah mahasiswa yang besar, maka potensi perekonomian, tidak hanya dari pendidikan namun, jumlah mahasiswa yang besar ini mendatangkan keuntungan dalam sektor pariwisata.99 Isu berupa pendidikan dan pariwisata yang diikuti dengan pertukaran budaya di Yogyakarta juga meningkat semenjak reformasi dan ditanggapi dengan respon berupa pengadaan kos, homestay, atau guest house serta pembangunan hotel yang menjadi perhatian publik sejak 2013 hingga saat ini.

Dana keistimewaan (danais) tiap tahunnya digunakan untuk mengelola (1) Urusan Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, (2) Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, (3) Urusan Kelembagaan, (4) Urusan Kebudayaan Urusan Pertanahan, dan (5) Urusan Tata Ruang. Pada tahun 2013, DIY menerima danais sebesar Rp 231,39 miliar. Jumlah

98 Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2015), hal. 107.

99 Seorang penulis dari Yogyakarta, Tri Agus S. Siswowiharjo, mengatakan bahwa

wisatawan sejati di Yogyakarta adalah mahasiswa, karenanya, tidak mungkin

dibayangkan Yogyakarta tanpa mahasiswa. Lihat dalam Tri Agus S. Siwowiharjo, Saya Tak Bisa Membayangkan Jogja Tanpa Mahasiswa , diunduh dari

http://www.indeksberita.com/tak-membayangkan-jogja-tanpa-mahasiswa/ pada 30 Juli

ini meningkat pada tahun 2014 sampai Rp 523,8 miliar. 100 Pada tahun 2015, diajukan danais sebesar Rp 1,02 trilyun, namun pemerintah pusat memangkasnya hingga menjadi Rp 547,5 miliar dengan alasan anggaran terlalu besar dan tidak sebagaimana tahun sebelumnya. Tidak heran kemudian pada tahun 2016, masih dalam jumlah sebagaimana tahun sebelumnya.101 Sedangkan pada tahun 2017, Pemda DIY mengusulkan danais sebanyak Rp 1,537 trilyun102, yang berarti hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan hampir setengah dari APBD DIY yang berkisar antara Rp 3-4 trilyun. Dana ini seringkali digunakan untuk menyelenggarakan pertunjukan budaya tradisi, menyokong acara kesenian tahunan seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), memberi gaji abdi dalem, revitalisasi cagar budaya, sampai pencatatan Sultan Ground dan Paku Alam Ground (SG/PAG).103

Politik Lokal

Kedudukan Sultan sebagai penguasa daerah sangat kuat di mata masyarakat. Pada tahun 1998, reformasi yang dibarengi kerusuhan sosial

100 Lihat dalam D)Y Dapat Kucuran Danais Rp Miliar pada , diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2013/12/20/diy-dapat-kucuran-danais-rp-523-miliar-pada- 2014 pada 24 Oktober 2016.

101 Lihat dalam Tahun Depan, Alokasi Danais D)Y Sebesar Rp Miliar , diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2015/07/15/tahun-depan-alokasi-danais-diy-sebesar-rp-547-

miliar pada 24 Oktober 2016.

102 Lihat dalam Danais D)Y Tahun )ni Capai Angka Rp Triliun , diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2016/03/22/danais-diy-tahun-ini-capai-angka-rp-1-triliun

pada 24 Oktober 2016. Menurut para pegiat keistimewaan, dana yang disetujui dan digelontorkan sebesar Rp 900 miliar.

103 Bagian ini telah saya tuliskan juga di dalam A. Harimurti, Masa Lalu Sukses i untuk

Dinasti Keistimewaan Masa Kini , dalam Y. Apriastuti Rahayu, A. Windarto, & A.

Harimurti, Sukses(i) Penguasa: Menyadur Kuasa Sastra Wayang Prasthanikaparwa

cenderung terjadi dalam skala yang lebih kecil dibanding kota besar lainnya seperti Jakarta, Solo, Bandung, atau Surabaya. Gerakan kerakyatan yang oleh media kemudian disebut Pisowanan Ageng

dianggap sebagai bukti bahwa otoritas Sultan masih kuat.

Pada tahun 2011, gerakan yang menuntut status keistimewaan Yogyakarta diorganisir oleh Sekber Keistimewaan dan menegaskan ketidaksetujuannya terhadap Presiden SBY yang dinilai mengusik

paugeran dalam keistimewaan Yogyakarta. Gerakan Keistimewaan ini berakhir dengan dibuatnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan yang secara garis besar menegaskan bahwa Yogyakarta merupakan Daerah Istimewa. Undang-undang yang menegaskan kekuasaan penuh Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin tertinggi DIY menandai bahwa politik dinasti menjadi basis politik kekuasaan diselenggarakan.

Namun, status keistimewaan yang disematkan DIY bukannya tanpa konflik. Konflik ini terjadi dalam tubuh Pakualaman maupun Kraton terkait dengan suksesi kepemimpinan yang memiliki hubungan dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Di Pakualaman, suksesi terus menjadi konflik yang tidak kunjung mereda sejak 1999. Sementara itu, masalah suksesi muncul di pihak Kasultanan karena keturunan HB X tidak satupun laki-laki. Padahal, dalam sejarah raja di Yogyakarta, semua sultan adalah laki-laki. Meskipun demikian, polemik suksesi Kraton telah terjadi semenjak tahun 1989 di mana Herjuno Darpito diangkat menjadi KGPH Mangkubumi, untuk kemudian pada

tahun 1998 menjadi HB X. Lewat rapat keluarga, KGPH Mangkubumi dipilih menjadi pengganti HB IX, meskipun bukan putra dari permaisuri HB IX.

Pada tanggal 30 April 2015 lalu, HB X mengeluarkan Sabda Raja yang menggantikan nama Buwono dengan Bawana , menghilangkan gelar Khalifatullah , penyebutan kaping sedasa menjadi kaping sepuluh , berakhirnya perjanjian Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan, dan menyempurnakan keris Kyai Ageng Gopek dengan Kyai Ageng Joko Piturun. Wacana paling santer kemudian pada penghilangan gelar Khalifatullah yang membuka kemungkinan untuk kelima putri Sultan, terkhusus GKR Pembayun, untuk menggantikan kedudukan ayahnya kelak.

Dari peristiwa Sabda Raja termaksud, pada bulan Juli muncul gerakan yang mengukuhkan Prabukusumo, adik dari HB X, sebagai calon HB XI. Selain itu, pada September 2015 muncul gerakan-gerakan yang menyebarkan spanduk maupun stiker Tolak Sabda Raja yang dilakukan oleh kelompok yang menamai diri Laskar Mangkusegoro dan Pejuang Khalifatullah. Spanduk dan stiker tersebut, diperhatikan atau tidak, muncul di tempat-tempat dari yang cukup ramai hingga relatif sepi, misalnya di perempatan pertigaan Demangan, Jalan Kaliurang, Tugu Jogja, daerah Kauman, sampai di sekitaran stadion Maguwoharjo. Keberadaan spanduk dengan warna tulisan hijau tersebut disusul dengan spanduk dengan tulisan berwarna merah yang di beberapa menggantikan

spanduk sebelumnya. Spanduk yang mengatasnamakan Forum Peduli Keistimewaan dan Forum Perempuan Istimewa ini menyampaikan secara berturut-turut Paugeran Harga Mati! dan Tolak Amandemen UUK . Sementara itu, muncul juga kelompok yang menyebarkan poster bertuliskan Saatnya Raja Jogja Perempuan, Kenapa Tidak? dengan gambar GKR Pembayun yang disebar oleh kelompok bernama Superpan. Gerakan yang mengaku sebagai gerakan politik tanpa partai ini menyertakan nomor kontak meskipun tidak memberi respon ketika coba dikontak. Meskipun spanduk dan stiker tersebut tidak diikuti aksi tindakan kekerasan, namun keduanya turut menciptakan wacana mengenai bagaimana pemerintahan di Yogyakarta diselenggarakan dan bagaimana paugeran menjadi perbincangan tersendiri bagi beberapa kelompok. Kondisi ini tentu saja akan berbeda dengan daerah lain di Indonesia yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan pada partai politik.

Penegasan keistimewaan DIY yang dibarengi pertumbuhan perekonomian dan padat-sesaknya ruang-ruang di Yogyakarta memunculkan isu baru mengenai agraria dan lingkungan, terutama dengan ditinjaunya kembali SG/PAG. Pada tahun 2006, muncul isu mengenai penambangan pasir besi sepanjang 22 kilometer di Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur Kabupaten Kulon Progo.104

104 Warga Kulon Progo lainnya, yang berada di Glagah, mengakami konflik dengan aparat

dan PT. Angkasa Pura I sebagai dampak rencana pembangunan bandara mulai 2011. Baik polisi maupun TNI diisukan terlibat dalam peneroran warga.

Penambangan ini ditolak oleh warga yang sebagian besar telah mendapatkan untung lewat pengolahan lahan di sebelah Selatan jalan Daendels. Pada tanggal 1 April 2006, di-sesepuh-i Raden Mas Adjie Kusumo yang adalah adik HB X, dibentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP) beranggotakan warga dari 10 desa yang terancam oleh dampak buruk penambangan pasir besi.105

Isu mengenai lingkungan hidup semakin marak pada tahun 2013 berkaitan dengan pembangunan hotel dan surutnya air tanah. Gerakan seperti Jogja Asat, Kota untuk Manusia, dan Jogja Ora Didol mendominasi perhatian masyarakat publik, di samping isu lebih besar lain berkaitan dengan pertanahan dalam RUUK DIY, yakni Sultan Ground dan Paku Alam Ground yang dimanfaatkan sebagai aset bisnis pihak Kraton. Kepemilikan tanah oleh pihak Kasultanan dan Pakualaman menciptakan polemik- polemik seperti Cina tidak boleh memiliki tanah di Jogja , artinya pertanahan bisa jadi menentukan mana yang bukan orang Yogyakarta atau pribumi dan mana yang cuma pendatang. Meskipun kategori ini sangat rawan dan rapuh karena perlu dipertanyakan: atas dasar apa?

105 Investor dari proyek penambangan pasir besi ini adalah PT Jogja Magasa Mining (JMM)

yang adalah kerajaan bisnis keluarga Kraton Yogyakarta. Lihat dalam A.B. Widyanta,

Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya juga dalam George Junus Aditjondro, SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta .

Tabel 2.2.

Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten

No. Kabupaten/

Kota Bidang Luas (m²)

Jumlah Sertipikat s/d Tahun 2015 Target Pensertipikatan Tahun 2016 1. Yogyakarta 339 613,345 m² 286 50 2. Bantul 3.074 7,031,574 m² 1.447 300 3. Kulon Progo 1.281 16,452,534 m² 312 240 4. Gunungkidul 4.046 26,656,191 m² 516 300 5. Sleman 4.486 7,465,502 m² 306 300 Jumlah 13.226 58,219,146 m² 2.867 1.190 Sumber: Bappeda DIY 2016

Pertemuan dari berbagai latar belakang dan konteks politik nasional pasca reformasi kemudian memungkinkan pergolakan dalam bidang kesukuan dan keagamaan. Munculnya kelompok primordial kesukuan dan kelompok-kelompok atas nama agama adalah khas pasca reformasi di Indonesia. Subagya (2015) menemukan bahwa masyarakat Yogyakarta cenderung mengidentifikasi diri dengan agamanya alih-alih etnisnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspresi dan praktek keagamaan cenderung meningkat dari dekade 1990.106 Ekspresi dan praktek keagamaan ini tampak misalnya dengan munculnya figur selebritis dalam agama107, gereja mall108, atau dalam ormas berbasis agama.

Ormas-ormas, baik berbasis agama atau tidak, melakukan

Dokumen terkait