• Tidak ada hasil yang ditemukan

Presisi metode uji antioksidan

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 35-67)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

F. Hasil Validasi Metode Uji Aktivitas Antioksidan

2. Presisi metode uji antioksidan

Nilai Recovery yang masih dapat diterima (%) > 10 98-102 1-10 90-110 0,1-1 80-120 <0,1 75-125 2. Presisi

Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan (reproducibility) (Harmita, 2004). Definisi ripitabilitas dari ICH adalah gambaran keterulangan dengan dibawah pengaruh dari operasi sistem yang sama setealah interval waktu yang singkat. Ripitabilitas metode dapat dideterminasi dari multiple replikasi preparasi dari sampel yang sama. Dilakukan dengan cara multiple preparasi sampel (n=6) pada eksperimen yang sama atau dengan menyiapkan tiga kali replikasi dengan tiga konsentrasi berbeda (Chan, et al., 2004).

Tabel II. Kriteria Nilai Presisi yang Masih dapat Diterima Menurut APVMA (2004)

Kadar zat aktif (%)

Nilai KVyang masih dapat diterima (%) > 10 < 2 1-10 < 5 0,1-1 < 10 <0,1 < 20 3. Linearitas

Linearitas menunjukan ukuran seberapa baik kurva kalibrasi dalam garis lurus, terlihat dari respon yang sebanding dengan jumlah analit. Target konsentrasi dari analit dalam preparasi obat dengan lima larutan standar dalam kurva linearitas dengan jarak 0,5-1,5 kali konsentrasi analit. Setiap standar harus dipreparasi dan dianalisis sebanyak tiga kali (Harris, 2010).

4. Selektivitas (Spesifisitas)

Selektivitas atau spesifisitas suatu metode adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel (Harmita, 2004). Spesifisitas dapat meliputi akurasi dan presisi, kemurnian reagen, toleransi alat, menggunakan bahan standar bersertifikat untuk analit dalam sampel yang akan dianalisis. Metode analisis harus menghasilkan jawaban yang dapat diterima mendekati nilai standar baku. Blanko yang terhitung akan menjadi pengganggu saat pengukuran analit pada saat penyiapan sampel dan saat analisis. Jumlah terhitung pada blanko yang terdeteksi ini mungkin merupakan sampel sebelumnya yang tertinggal pada alat kaca atau instrument (Harris, 2010).

H. Spektrofotometri

Spektrum tampak terdapat pada rentang panjang gelombang 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah), sedangkan spektrum ultraviolet terdapat pada rentang panjang gelombang 100 nm sampai 400 nm. Absorbansi cahaya ultraviolet atau cahaya tampak mengakibatkan suatu transisi elektronik yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi yang berenergi lebih tinggi. Energi yang terserap selanjutnya terbuang sebagai kalor, sebagai cahaya, atau tersalurkan dalam reaksi kimia (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Absorbsi energi direkam sebagai absorban. Absorban pada sutau panjang gelombang tertentu didefinisikan sebagai :

A= log 𝐼°

𝐼

Dengan: A = absorbans

IΒΊ = Intensitas berkas cahaya rujukan

I = Intensitas berkas cahaya sampel

Absorban suatu senyawa pada suatu panjang gelombang tertentu bertambah dengan molekul yang mengalami transisi. Oleh karena itu absorban bergantung pada struktur elektronik senyawanya dan juga pada kepekatan sampel (Fessenden dan Fessenden, 1986).

Output dari spektrofotometri UV-Vis dapat berupa spekra UV-Vis yang dapat digunakan sebagai informasi kualitatif dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif Dari aspek kualitatif spektroskopi UV dan Vis menghasilkan data berupa panjang gelombang maksimal, intensitas, efek, pH, dan pelarut yang

kesemuanya dapat dibandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan sebelumnya. Dari aspek kuantitatif suatu berkas radiasi dikenakan pada larutan sampel (cuplikan) yang akan diiukur dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan tersebut kemudian diukur besarnya. Intensitas atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton melalui satu satuan luas penampang per detik (Gandjar, dan Rohman, 2007).

I. Landasan Teori

Antioksidan adalah senyawa yang dapat secara langsung menahan pembentukan radikal bebas. Karakteristik utama antioksidan adalah kemampunnya untuk menangkap radikal bebas yang terkandung dalam sistem biologis. Radikal bebas ini dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lipid atau DNA dan dapat menimbulkan penyakit degenaratif seperti kanker. Komponen antioksidan yang terdapat pada tanaman benalu seperti kuersetin dan kamferol akan menangkap radikal bebas seperti peroksida, hidroperoksida atau lipid peroksil dan juga menghambat mekanisme oksdiatif yang menunjukan penyakit degeneratif.

Benalu adalah tanaman setengah parasit dengam memiliki alat hisap yang disebut haustorium, yang digunakan untuk mengambil nutrisi dari tanaman inangnya namun juga dapat menghasilkan fotosintesis. Benalu memiliki aktivitas antioksidan, namun aktivitas antioksidannya dipengaruhi inang dari benalu. Tanaman kepel memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong sangat kuat.

Kemampuan antioksidan dilihat dengan mengukur pengurangan intensitas warna dari DPPH akibat penangkapan elektron radikal DPPH oleh antioksidan yang menjadi berikatan dengan hidrogennya DPPH-H. Hasil dari pengurangan warna ini merupakan stokiometri terhadap jumlah dari elektron yang ditangkap.

Estimasi kandungan fenolik total dilakukan dengan cara memberikan reagen Folin Ciocalteu dan reaksi yang terjadi adalah oksidasi dari ion fenolat senyawa uji oleh pereaksi Folin-Ciocalteu. Dimana oksidasi dari senyawa fenol oleh reagen molibdotungstat menghasilkan produk warna biru sekitar panjang gelombang 745-750 nm.

J. Hipotesis

Fraksi etil asetat ekstrak etanol daun benalu memiliki aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai IC50 dan memiliki kandungan fenolik yang dinyatakan dengan massa ekivalen asam galat per gram fraksi etil asetat.

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni.

B. Variabel

1. Variabel bebas berupa konsentrasi fraksi etil asetat ekstrak etanol benalu. 2. Variabel tergantung berupa kemampuan fraksi etil asetat ekstrak etanol

benalu untuk menangkap radikal DPPH (%IC).

3. Variabel pengacau terkendali berupa tempat tumbuh tanaman, waktu pemanenan, variasi jenis benalu.

4. Variabel pengacau tak terkendali berupa cahaya matahari, curah hujan, cuaca, kelembapan ruangan, umur daun, dan komposisi senyawa penyusun ekstrak.

C. Definisi Operasional

1. Ekstrak etanolik daun benalu adalah sari hasil proses maserasi daun benalu dengan penyari etanol 70%.

2. Fraksi etil asetat adalah fase non polar hasil fraksinasi ekstrak etanol daun benalu dengan menggunakan etil asetat.

3. Persen inhibition concentration (%IC) adalah persen yang menyatakan kemampuan fraksi etil asetat ekstrak etanolik daun benalu untuk menangkap

radikal DPPH dilihat dari pengurangan absorbansi menggunakan spektroskopi visible.

4. Persen inhibition concentration 50 (IC50) adalah nilai konsentrasi fraksi etil asetat ekstrak etanolik daun benalu yang menghasilkan penangkapan 50% radikal DPPH dilihat dengan pengurangan absorbansi menggunan spektroskopi

visible.

D. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: daun benalu

(Dendrophthoe pentandra L. Miq) yang diambil dari pohon kepel (Stelechocarpus burahol (Bl) Hook. f.) yang terdapat di taman Universitas Sanata Dharma,

kampus III, Paingan (Yogyakarta); akuades(Laboratorium Kimia Analisis Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma); bahan kualitas p.a. E. Merck, yaitu: metanol, bahan kualitas p.a. SigmaChem. Co., USA, yaitu: DPPH, reagen Folin-Ciocalteu, asam galat, dan kuersetin;bahan kualitas teknis Brataco Chemica, yaitu: wasbensin dan etil asetat; bahankualitas teknis CV. General Laboratorium, yaitu: etanol 70%; dan aluminium foil.

2. Alat penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: neraca analitik (Scaltec SBC 22, BP 160P), vacuum rotary evaporator (Junke & Kunkel), waterbath (labo-tech, Heraeus), vortex (Janke & Kunkel), spektrofotometer UV-Vis (Perkin Elmer Lamda 20), blender, corong Buchner, oven, mikropipet 10-1000ΞΌL; 1-10

mL (Acura 825, Socorex), tabung reaksi bertutup, dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium analisis (Pyrex-Germany dan Iwaki).

E. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi tumbuhan daun benalu (Dendrophthoe pentandra L. Miq)

Determinasi tanaman benalu dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Fitokimia Universitas Sanata Dharma, Fakultas Biologi Universitas Sanata Dharma. Determinasi tanaman ini untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan untuk penelitian benar-benar tanaman benalu (Dendrophthoe

pentandra L. Miq).

2. Pembuatan dan penyiapan bahan (simplisia)

a. Pengumpulan bahan.Tanaman benalu diperoleh dari taman Universitas

Sanata Dharma (Yogyakarta). Pengumpulan pada musim kemarau bulan Juli tahun 2012. Pemanenan dilakukan pada tanaman yang menjelang berbunga saat pagi hari.

b.Sortasi basah. Bahan baku dipisahkan dari bahan-bahan pengganggu seperti tanah, krikil, rumput, bagian tanaman yang tidak dibutuhkan (tangkai, biji, dan bunga), bagian dari tanaman lain (tangkai, daun, bunga dan biji inang), bahan yang rusak dan lain-lain.

c.Pencucian. Pencucian herba benalu dilakukan dengan menggunakan air mengalir yang berasal dari air sumur. Sejumlah daun benalu dicuci dengan cara dialiri air sumur sambil dibersihkan kotoran yang melekat pada daun. Pencucian ini dilakukan sebanyak tiga kali.

d. Pengeringan. Daun benalu yang masih basah dikeringkan pada sinar matahari secara tidak langsung. Cara pengeringan adalah bahan dihamparkan di atas nampan bambu dengan diatur agar tidak terlalu menumpuk dan diusahakan agar bahan (daun) tidak menggulung, kemudian ditutup kain hitam dan dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari pada pukul 09.00 (pagi) sampai pukul 15.00 (sore). Posisi daun harus sering dibalik sehingga pemanasan dapat merata. Akhir pengeringan ditandai dengan mudah dipatahkannya bahan simplisia.

e. Sortasi kering. Sejumlah simplisia yang sudah kering (ditandai dengan mudah hancur ketika diremas) dipisahkan dari bahan-bahan pengganggu seperti tanah, krikil, bahan yang rusak dan lain-lain (khususnya tanpa pencucian).

f. Perajangan atau penyerbukan simplisia. Simplisia yang telah kering dan disortasi basah ditumbuk sampai halus, kemudian dilakukan pengayakan untuk memperoleh serbuk yang lebih halus dengan ayakan dengan nomor mesh 40. g. Pengepakan dan penyimpanan. Sejumlah simplisia yang telah halus kemudian dibungkus dengan menggunakan kantong plastik kedap udara dengan cara dibungkus rapat. Penyimpanan dilakukan di suhu ruangan

3. Ekstraksi simplisia

Simplisia yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 30 g dan dituang kedalam bejana maserasi, ditambah etanol 70% sampai terendam sempurna, dan dicampur homogen. Campuran dimasersi pada suhu ruangan selama dua hari. Filtrat diperoleh melalui penyaringan dengan corong Buchner. Ampas penyaringan diremaserasi dengan etanol 70% secukupnya selama 2 hari kemudian

disaring. Lalu hasil penyaringan filtrat diuapkan pelarutnya hingga diperoleh ekstak etanol daun benalu.

4.Pembuatan fraksi etil asetat

Ekstrak etanol daun benalu ditambahkan 300 mL air hangat dan di ekstraksi cair-cair menggunakan wasbensin dengan perbandingan larutan ekstrak wasbensin (1:1 v/v), kemudian didiamkan hingga terpisah sempurna. Fase air akan berada pada paling bawah, sedangkan fase washbensin berada pada bagian atas.

Hasil partisi diperoleh dua fraksi, yaitu fraksi wasbensin dan fraksi air. Selanjutnya, fraksi air diekstraksi cair-cair lagi menggunakan etil asetat dengan perbandingan larutan fraksi air-etil asetat (1:1 v/v) sehingga didapatkan fraksi air dan etil asetat. Setelah dipisahkan fraksi etil asetat diuapkan dengan vacum rotary

evaporator dan waterbath hingga didapakan ekstrak kental. Lalu hasil fraksi

tersebut digunakan analisis lebih lanjut.

5. Pembuatan larutan pembanding dan uji

a. Pembuatan larutan DPPH. DPPH sebanyak 15,7 mg diambil dan dilarutkan metanol p.a ke dalam labu ukur 100 mL sehingga diperoleh larutan DPPH dengan konsentrasi 0,4 mM. Larutan tersebut ditutup dengan alumunium foil dan harus selalu dibuat baru.

b. Pembuatan larutan stok kuersetin. Kuersetin diambil 2,5 mg ke dalam labu takar 10,0 mL, kemudiandilarutkan dengan metanol p.a sampai batas tanda.

c. Pembuatan larutan pembanding.Larutan stok kuersetin diambil sebanyak 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; 0,6 mL, kemudian ditambahkan metanol p.a sampai 10,0 mL,

sehingga diperoleh konsentrasi larutan standar kuersetin sebesar 5,0; 7,5; 10,0; 12,5; dan 15,0 ΞΌg/mL.

d. Pembuatan larutan uji

1) Larutan uji untuk aktivitas antioksidan. Fraksi etil asetat ditimbang sebanyak 25,0 mg ke dalam labu takar 25,0 mL, kemudiandilarutkan dengan metanol p.a sampai batas tandasebagai larutan stok. Larutan stok diambil sebanyak 2 mL ke dalam labu takar 10,0 mL, kemudian ditambahkan metanol p.a sampai batas tanda sebagai larutan intermediet. Larutan intermediet diambil sebanyak 0,6; 0,9; 1,2; 1,5; 1,8 mLke dalam labu takar 10,0 mL,kemudian ditambahkan metanol p.a sampai batas tanda. Konsentrasi larutan uji sebesar 6,05; 9,07; 12,10; 15,12; 18,14 ΞΌg/mL.

2) Larutan uji untuk penentuan kandungan fenolik total. Fraksi etil asetat ditimbang sebanyak 10,1 mg ke dalam labu takar 10,0 mL, lalu ditambahkan metanol p.a sampai batas tanda sehingga diperoleh konsentrasi larutan uji sebesar 141,7 ΞΌg/mL.

e. Pembuatan larutan asam galat. Larutan asam galat dibuat dengan konsentrasi 500 ΞΌg/mL dalam akuades : metanol (1:1). Larutan asam galat diambil sebanyak 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; dan 3,0 mL ke dalam labu takar 10,0 mL, kemudian ditambahkan akuades : metanol (1:1) sampai batas tanda, sehingga diperoleh konsentrasi larutan baku asam galat sebesar 50; 75; 100; 125; dan 150 ΞΌg/mL.

6. Uji pendahuluan

a. Uji fenolik.Larutan uji dengan konsentrasi 750,0 ΞΌg/mL dan larutan pembanding asam galat 150,0 ΞΌg/mL diambil sebanyak 0,5 mLkemudian ditambahkan 2,5 mL pereaksi fenol Folin-Ciocalteu yang telah diencerkan dengan akuades (1:10 v/v) kedalam tabung reaksi laludidiamkan selama 10 menit. Larutan natrium karbonat 1 M ditambahkan sebanyak 7,5 mL, kemudian amati warna larutan tersebut.

b. Uji pendahuluan aktivitas antioksidan. Larutan DPPH diambil sebanyak 1 mL dimasukan ke dalam masing-masing tiga tabung reaksi. Larutan DPPH ditambahkan masing-masing dengan 1 mL metanol p.a, larutan pembanding kuersetin 37,5 ΞΌg/mL, dan larutan uji 200,0 ΞΌg/mL. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan dengan 3 mL metanol p.a. Larutan tersebut kemudian divortex selama 30 detik. Setelah 30 menit, amati warna pada larutan tersebut.

7. Optimasi metode uji aktivitas antioksidan

a. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum.Larutan DPPHdimasukan masing-masing 0,5; 1,0; 1,5 mLpada 3 labu ukur 10 mL,. Ditambahkan larutan tersebut dengan metanol hingga tanda batas sehingga konsentrasi DPPH menjadi 0,020; 0,040; dan 0,080 mM. Larutan tersebut kemudian divortex selama 30 detik. Diamkan selama OT. Lalu dilakukan scanning panjang gelombang serapan maksimum dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 400-600 nm.

b. Penentuan operating time (OT).Larutan DPPH sebanyak 2 mL dimasukan kedalam masing-masing tiga labu ukur 5 mL, ditambahkan masing-masing

dengan 1 mL larutan pembanding kuersetin 12,5; 37,5 dan 62,5 ΞΌg/mL. Selanjutnya larutan tersebut ditambahkan dengan metanol p.a hingga tanda batas. Larutan tersebut kemudian divortex selama 30 detik. Setelah itu dibaca absorbansinya denga spektrofotometer visibel pada panjang gelombang

scanninghasil dari serapan panjang gelombang selama 1 jam. Dilakukan demikian

juga untuk larutan uji 100; 200; 300 ΞΌg/mL.

8. Uji aktivitas antioksidan

a. Pengukuran absorbansi larutan DPPH (kontrol).Larutan DPPHdimasukkan sebanyak 2 mLpada labu ukur 10 mL dan ditambahkan metanol p.a hingga tanda batas. Kemudian larutan tersebut dibaca absorbansinya pada saat OT dan panjang gelombang maksimum. Pengerjaan dilakukan sebanyak 3 kali. Larutan ini digunakan sebagai kontrol untuk menguji larutan pembanding dan uji.

b. Pengukuran absorbansi larutan pembanding dan uji.Larutan DPPH sebanyak 2 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 mL kemudian ditambah dengan 2 mL larutan pembanding dan uji pada berbagai seri konsentrasi yang telah dibuat. Selanjutnya larutan tersebut ditambah dengan metanol hingga tanda batas. Larutan tersebut kemudian divortex selama 30 detik dan didiamkan selama OT. Larutan dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang maksimum hasil optimasi. Pengujian dilakukan dengan 3 kali replikasi.

c. Validasi metode uji aktivitas antioksidan. Hasil dari prosedur 7 a dan b divalidasi presisi (%CV) spesipisitas (spektra kontrol), dan linearitas (nilai r).

% CV = π‘†π‘‘π‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘Ÿ π·π‘’π‘£π‘–π‘Žπ‘ π‘– 𝑆𝐷 π‘˜π‘œπ‘›π‘ π‘’π‘›π‘‘π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘– π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘’π‘Ÿ

9. Optimasi metode penetapan kandungan fenolik total

Optimasi metode penetapan kandungan fenolik total ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri sesuai dengan penelitian Rollando ( 2012). a. Penentuan OT. Larutan asam galat sebanyak 0,5 mL 50; 100; dan 150 ΞΌg/mL ditambahkan dengan 5 mL reagen Folin-Ciocalteu yang telah diencerkan dengan air (1:10 v/v). Larutan selanjutnya ditambahkan dengan 4,0 mL natrium karbonat 1 M. Setelah itu, dibaca absorbansinya dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 750 nm selama 30 menit.

b. Penentuan panjang gelombang maksimum. Larutan asam galat diambil sebanyak 0,5 mL 50; 100; dan 150 ΞΌg/mL ditambahkan dengan 5 mL reagen Folin-Ciocalteu yang telah diencerkan dengan air (1:1 v/v). Larutan selanjutnya ditambahkan dengan 4,0 mL natrium karbonat 1 M. Diamkan selama OT, absorbansinya dibaca pada Ξ» maksimum dengan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 600-800 nm.

10. Penetapan kandungan fenolik total

a. Pembuatan kurva baku asam galat. Larutan asam galat diambil sebanyak 0,5 mL 50; 75; 100; 125; dan 150 ΞΌg/mL ditambah dengan 5 mL reagen Folin-Ciocalteu yang telah diencerkan dengan air (1:1 v/v). Larutan selanjutnya ditambah dengan 4,0 mL natrium karbonat 1M. Setelah OT, absorbansinya dibaca pada Ξ» maksimum terhadap blanko yang terdiri atas akuades : metanol p.a (1:1), reagen Folin-Ciocalteu dan larutan natrium karbonat 1M. Pengerjaan dilakukan 3 kali.

b. Validasi metode penetapan kandungan fenolik total. Hasil dari prosedur 9 b, divalidasi presisi (%CV), spesipisitas (spektra kontrol), dan linearitas (nilai r).

% CV = π‘†π‘‘π‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘Ÿ π·π‘’π‘£π‘–π‘Žπ‘ π‘– 𝑆𝐷 π‘˜π‘œπ‘›π‘ π‘’π‘›π‘‘π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘– π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘’π‘Ÿ

π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘Ž βˆ’π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘Ž π‘˜π‘œπ‘›π‘ π‘’π‘›π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘– π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘˜π‘’π‘Ÿ π‘₯ 100 %

c. Estimasi kandungan fenolik total larutan uji. Diambil 0,5 mL larutan uji 750 ΞΌg/mL, lalu masing-masing dimasukan ke dalam labu takar 10,0 mL dan dilanjutkan sebagaimana perlakuan pada pembuatan kurva baku asam galat . Kandungan fenolik total dinyatakan sebagai gram ekivalen asam galat (mg ekivalen asam galat per g fraksi etil asetat). Lakukan 3 kali replikasi.

F. Analisis Hasil

Aktivitas penangkapan radikal DPPH (%) dihitung dengan rumus : π΄π‘π‘ π‘œπ‘Ÿπ‘π‘Žπ‘›π‘ π‘–(π‘™π‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘‘π‘Žπ‘› π‘˜π‘œπ‘›π‘‘π‘Ÿπ‘œπ‘™ βˆ’ π΄π‘π‘ π‘Ÿπ‘œπ‘π‘Žπ‘›π‘ π‘– π‘ π‘Žπ‘šπ‘π‘’π‘™ (π‘™π‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘‘π‘Žπ‘› π‘π‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘›π‘‘π‘–π‘›π‘”/𝑒𝑗𝑖)

π΄π‘π‘ π‘œπ‘Ÿπ‘π‘Žπ‘›π‘ π‘– π‘™π‘Žπ‘Ÿπ‘’π‘‘π‘Žπ‘› π‘˜π‘œπ‘›π‘‘π‘Ÿπ‘œπ‘™ π‘₯100 % Data aktivitas tersebut dianalisis dan dihitung nilai IC50 mengunakan persamaan regresi linear dengan sumbu x adalah konsentrasi larutan uji maupun pembanding, sedangkan sumbu y adalah %IC. Lalu dianalisis secara statistik untuk menentukan ada atau tidak adanya perbedaan bermakna antara IC50 larutan pembanding dan larutan uji.

Uji kandungan fenolik total menghasilkan nilai mg ekivalen asam galat dalam per g fraksi etil asetat. Nilai tersebut didapatkan dari analisis regresi linier dengan data kurva baku secara intrapolasi.

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman adalah langkah awal yang harus dilakukan dari suatu penelitian dengan menggunakan suatu sampel berupa tanaman. Determinasi tanaman bertujuan untuk mengetahui dan memastikan kebenaran identitas tanaman yang akan digunakan dalam penelitian untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengambilan sampel analisis fitokimia. Determinasi tanaman Benalu (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq) telah dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dengan acuan buku β€œFlora untuk Sekolah di Indonesia” karanganvan Steenis (1981). Pembuktian dikuatkan dengan surat determinasi (lampiran 1) tanaman yang dikeluarkan oleh Laboratorium Kebun Tanaman Obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Hasil Pengumpulan Bahan

Daun benalu diperoleh dari beberapa pohon kepel yang ditumbuhi tanaman parasit benalu di kompleks Kampus Sanata Dharma, Desa Paingan, Kecamatan Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Tanaman benalu yang dipilih adalah benalu dengan spesies Dendrophthoe pentandra dengan mencocokan gambar yang telah dipastikan kebenarannya. Hal ini dilakukan untuk memudahkan membantu pengambilan tanaman agar tidak terjadi kesalahan dalam

pengambilan tanaman yang dimaksud. Kemudian tanaman benalu dideterminasi dengan Flora untuk Sekolah di Indonesia untuk memastikan kebenarannya. Daun benalu dipanen dengan kriteria-kriteria berikut ini, yaitu pada musim kemarau pada bulan Juli, saat tanaman berbunga pada pagi hari. Tanaman benalu dikumpulkan dan diambil daunnya yang masih segar, tidak kuning tanpa ada klasifikasi umur tanaman.

Pemanenan dilakukan pada pagi hari dengan tujuan agar daun dalam kondisi segar. Proses pemanenan tidak dilakukan pada siang hari karena akan mengakibatkan kandungan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antioksidan akan berkurang (Andayani, Lisawati dan Maimunah, 2008), senyawa-senyawa antioksidan seperti flavonoid yang terkandung dalam daun merupakan sistem pertahan pada infeksi jamur dan radiasi UV (Cusnie and Lamp, 2005). Daun yang diambil tidak terlalu muda karena kandungan metabolit sekunder yang belum sempurna. Tanman diambil yang belum terlalu tua (tidak berwarna kuning atau coklat), karena daun yang kuning atau coklat kandungan kimianya banyak yang sudah hilang (berkurang).

C. Hasil Preparasi Sampel 1. Hasil ekstraksi sampel

Tujuan dilakukan ekstraksi sampel adalah mengumpulkan senyawa kimia yang terkandung dalam daun benalu yang kemungkinan mengandung senyawa-senyawa sebagai antioksidan. Dalam proses penyarian digunakan tanaman yang telah dikeringkan dan diserbukan. Tanaman yang masih segar ataupun tanaman

yang telah dikeringkan dapat digunakan sebagai sumber untuk mengumpulkan senyawa pada tanaman (Tiwari et al., 2011). Penelitian ini digunakan tanaman yang telah dikeringkan dikarenakan senyawa dapat mengalami kerusakan bila senyawa segar dan tidak dikeringkan karena tanaman memiliki enzim yang dapat merusak senyawa antioksidan sehingga perlu dilakukan pengeringan terlebih dahulu untuk mengurangi kerusakan sanyawa yang terkandung (Andersen and Markham, 2006).

Proses pengeringan dilakukan setelah penyortiran dan pencucian yang bertujuan untuk mengurangi kontaminasi dari benda asing yang mungkin akan menjadi pengacau dalam penelitian baik berupa debu, atau bagian tanaman lain. Proses pengeringan dengan cara diangin-anginkan dan ditutup dengan kain hitam. Tanaman ditutup kain hitam bertujuan untuk mengurangi UV yang mungkin dapat merusak senyawa antioksidan yang terdapat pada tanaman tersebut (Andayani, Lisawati dan Maimunah, 2008). Pengeringan dihentikan ketika daun sudah kering dengan tanda rapuh dan mudah dipatahkan. Daun yang telah kering tersebut kemudian diserbuk dengan menggunakan blender sampai halus. Kemudian serbuk diayak dengan nomor mess 40. Tujuan dari dilakukannya penyerbukan ini adalah untuk memperbesar luas permukaan simplisia yang akan kontak dengan cairan penyari. Luas permukaan yang besar ini akan mengoptimalkan pembasahan serbuk simplisia oleh cairan penyari sehingga hasil penyariannya juga akan optimal. Dan pengayakan dilakukan untuk penyeragaman partikel dengan ukuran yang telah ditentukan sehingga diharapkan didapatkan penyarian yang optimum.

Gambar 3 . Persiapan ekstraksi (A= daun yang akan diserbukan, B= daun yang telah diserbukan)

Kesuksesan dari hasil pengambilan komponen aktif dari tumbuhan didasarkan dari tipe pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi. Karakter dari pelarut yang baik adalah memiliki ketoksikan rendah, mudah diuapkan pada suhu rendah, mampu mengabsorbsi dengan baik, memiliki sifat pengawet, tidak memiliki kemampuan yang menyebabkan disosiasi atau kompleks dengan ekstrak (Ellof, 1998). Etanol dipilih sebagai pelarut dikarenakan etanol lebih mempresentasikan jumlah polifenol yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak air, lebih efisien dalam menembus dinding sel dan menarik polifenol untuk keluar dalam sel, dan bersifat preservative terhadap mikroorganisme (Lapornik et al., 2005). Etanol dengan konsentrasi 70% dengan 30 % air dipilih karena komponen bioaktif flavonoid memiliki konsentrasi lebih besar dibandingkan dengan etanol secara murni (Biomakr, 2010). Hal terpenting penting dalam pemilihan etanol sebagai pelarut adalah ketoksikannya yang rendah dibandingkan metanol walaupun metanol memiliki kepolaran yang lebih tinggi, namun pada metanol memiliki sifat sitotoksik yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian mengingat akan hazard yang ditimbulkan (Tiwari et al., 2011).

Proses ekstraksi menggunakan metode maserasi yaitu dengan cara menjaga pelarut tetap kontak dengan pelarut dengan suatu putaran pada beberapa waktu tertentu sampai seluruh senyawa terlarut. Metode ini cocok untuk senyawa yang tidak tahan terhadap suhu yang tinggi (Ncube et al., 2008).

Ekstraksi dengan maserasi dilakukan dengan merendam sampel daun benalu dalam cairan penyari, yaitu etanol 70% selama 5 hari pada temperatur

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 35-67)

Dokumen terkait