• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pria Metroseksual dan Isu Gender

Dalam dokumen Fenomena Pria Metroseksual Di Kota Medan (Halaman 94-102)

BAB IV. DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA

4.5. Pria Metroseksual dan Isu Gender

Pria metroseksual dilihat dari perspektif gender merupakan perbedaan psikologis dan budaya kontemporer. Dimana ketika budaya (life style) mempengaruhi psikologi seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan budaya tersebut. Perilaku tersebut bisa menjadi ganda.

Para pria metroseksual merupakan penikmat hidup yang ditopang kemampuan finansial. Selain rutin ke gym, mereka juga rajin merawat diri disalon dan spa, gemar nongkrong di kafe serta menjelajah mal untuk berburu fashion dan aksesori bermerek. Sebagai konsumen, pria membutuhkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat kapitalis untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.

Pria metroseksual adalah istilah yang ditujukan kepada pria yang moderen, biasanya single yang tidak hanya mengerti sisi maskulinnya tetapi juga sisi feminimnya. Pria jenis ini biasanya selalu tampil rapi serta memelihara kebersihan tubuh dari kepala sampai ujung kaki. Namun pria ini tidak mau dikatakan sebagai gay ataupun

homoseksual.

Hermawan Kartajaya menjelaskan bahwa pria metroseksual bukanlah seorang homoseksual atau pria yang kemayu. Ia tetaplah pria normal yang bisa memiliki keluarga yang bahagia, dengan istri yang cantik dan anak-anak yang lucu. Hanya lebih “kewanitaan”, misalnya lebih senang ngobrol dan mampu berkomunikasi dengan lebih baik daripada rata-rata pria. Dan yang paling nyata, metroseksual ini sangatlah fashionable (Suara Merdeka, 24 Juli 2004). Banyak pendapat kenapa muncul pria metroseksual ini, salah satunya adalah karena semakin banyak wanita bekerja. Kehadiran makin banyak wanita yang bekerja yang sebelumnya lebih banyak didominasi kaum pria

tentu menuntut rekan prianya untuk juga menjaga menampilan, misalnya dengan berbusana rapi, bertubuh bugar dan berbau harum. Sementara itu, menurut Jean-Marc Carriol direktur perusahaan fashion Trimex (dalam kompas 31 Agustus 2004), gerakan feminis punya kontribusi besar pada perkembangan pasar produk untuk pria. Ketika kelompok wanita terus mendorong terjadinya kesetaraan hak, perubahan pun kemudian terjadi. Sukses gerakan feminis secara mendasar mengubah cara pria dan wanita berinteraksi di lingkungan kerja mereka. Penampilan dan perawatan tubuh menjadi sangat penting.

Dari sepuluh informan pria meroseksual, empat yang tidak mengetahui isu gender. Enam informan pria metroseksual, mengetahui adanya isu gender. Menurut pengakuan informan yang mengetahui isu gender (KK, RA, AB, PT, ID, ML), pada zaman sekarang ini sudah saatnya pria dan wanita setara. Sudah tidak ada lagi perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita. Yang menjadi perbedaan-perbedaan antara pria dan wanita adalah hanya jika dilihat dari segi biologisnya saja. Wanita mempunyai vagina, sedangkan pria mempunyai penis dan sperma. Jika dilihat dari segi sifat, pekerjaan pria dan wanita sama. pria dapat mengerjakan pekerjaan wanita, sedangkan wanita juga dapat mengerjakan pekerjaan pria. Demikian juga pada masalah perawatan tubuh. Pada zaman sekarang ini tidak hanya perempuan saja yang bisa rapi, bersih, modis, dan wangi. Tetapi pria pun juga ingin terlihat rapi, bersih, dan wangi. Berikut ini penuturan RA kepada penulis:

“Isu gender, yang saya tahu kayaknya tentang kesetaraan, sudah saatnya wanita punya kesetaraan dengan pria, dan pria berhak punya kesetaraan dengan wanita, dengan batasan koridor tertentu. Jadi tidak terlalu berlebihan kayak pria yang terlalu kewanitaan tapi bagaimana pun pria mempunyai sisi feminimnya, wanita juga punya sisi maskulinnya, tapi tetap harus pada batasan-batasan tertentu, yang dimana cewek wanita boleh setara dengan pria tapi tetap ada saatnya dimana dia berada dibawah pria, dan pria pun juga demikian. Sebenarnya itu tidak milik

wanita, karna pria perlu terlihat rapi juga di depan wanita, dan wanita pun saya rasa juga demikian.”

(Wawancara, Desember 2008)

Para informan pria metroseksual tidak takut dikatakan sebagai gay ataupun homoseksual. Karena mereka menganggap masih dalam kewajaran. Mereka berdandan rapi, bersih, dan wangi, karena ingin tampil beda dengan yang lain. Mereka merasa nyaman berpenampilan dendy seperti ini. Dengan adanya berpenampilan seperti ini, mereka merasa lebih percaya diri untuk beraktivitas sehari-hari. Peduli dengan penampilan bukan berarti mereka mau disamakan dengan wanita.

Pria metroseksual bukan seorang waria atau gay, tapi mereka memiliki sikap yang lebih menonjolkan kesan memperhatikan penampilan yang harus perfect. Bagi pria metroseksual penampilan yang paling utama, dengan adanya merawat tubuh agar terlihat terkesan ketika orang melihat.

Pada dasarnya para pria metroseksual yang menjadi informan saya ini menyadari dan memahami batasan-batasan antara pria dan wanita, yang telah diciptakan oleh konstruksi pikiran-pikiran masyarakat Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat maupun oleh nilai-nilai agama yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Memang pada awalnya masyarakat merasa aneh dengan adanya fenomena pria yang hobi ke salon dan berdandan, namun kemudian secara perlahan masyarakat mulai dapat memahami alasan para pria yang berdandan. Menurut para pria metroseksual, bila kita terus mengikuti nilai-nilai tradisional yang dimiliki masyarakat kita, maka kita sangat sulit untuk keluar dan maju seperti negara-negara lain. Walaupun tidak semua nilai-nilai tradisional itu memberikan dampak negatif bagi perkembangan kemajuan bangsa ini. Bagi para informan saya (yang mungkin bisa mewakili para pria metroseksual di kota

Medan ini) sudah saatnya para pria dan wanita berkolaborasi dalam segala aspek kehidupan. Pria yang berdandan dan memperdulikan penampilannya tetaplah seorang pria yang tulen dan tanpa kelainan seksual, begitu juga wanita yang mampu memasuki wilayah kehidupan para pria tetaplah seorang wanita yang harus melahirkan anak-anaknya dan menjadi seorang isteri. Perbedaan antara wanita dan pria secara konstruksi budaya boleh dan bisa saja berubah, namun pergeseran nilai antara wanita dan pria secara biologis sedapat mungkin untuk dapat dihindari.

Budaya yang didukung oleh sosialisasi juga menuntut seorang pria untuk lebih berprestasi, sementara tuntutan yang sama terhadap wanita sangat kurang di masyarakat, sehingga dalam jumlah pria lebih banyak meninjukkan prestasi dari pada wanita. Begitu juga dalam hal melakukan perawatan tubuh, jika dikaji secara mendalam bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang jenis kelamin. Budaya yang berkembang di masyarakat mengatakan bahwa yang lebih pantas untuk lebih peduli dengan perawatan tubuh adalah wanita.

Berikut ini penuturan DN kepada penulis:

“Menurut saya, masyarakat kita menganggap tidak pantas kalo pria melakukan perawatan tubuhnya secara berlebihan, karena dianggap sebagai wanita atau waria. Kalo untuk di Jakarta, pria yang melakukan perawatan tubuhnya secara berlebihan mungkin sudah biasa, beda halnya dengan di Medan pria yang melakukan perawatan tubuhnya secara berlebihan masih dianggap sedikit tabu.” (Wawancara, Januari 2008)

Hal yang sama juga di utarakan oleh RZ, dimana melakukan perawatan tubuh bukan lah masakah pria atau wanita, walaupun diakuinya menurut budaya memang ruang untuk wanita lebih dibatasi, kebebasan wanita juga dibatasi sehingga ada stigma yang memang mengatakan lebih wajar seorang wanita untuk berpenampilan modis dibandingkan dengan pria, akan tetapi menurutnya jika dilihat dari sudut kebutuhan maka

saat ini sudah menjadi kewajaran jika baik pria maupun wanita untuk melakukan perawatan tubuhnya secara berlebihan. Sementara menurut penuturan AB masyarakat kita menganggap yang lebih pantas melakukan perawatan tubuhnya secara berlebihan adalah wanita. Seperti yang dituturkannya berikut ini:

“Masyarakat kita menganggap bahwa yang lebih pantas berdandan adalah wanita. Ini bersumber dari budaya patriarkhi yang kental di Indonesia, sehingga perlu waktu yang lama untuk mengubah budaya seperti ini.”

(Wawancara, Desember 2007)

Dari penuturan informan di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk disimpulkan, bahwa melakukan perawatan tubuh secara berlebihan dapat menjadi aib bagi pria yang melakukan perilaku seperti itu. Padahal melakukan perawatan tubuh secara berlebihan adalah masalah kebutuhan pribadi masing-masing individu yang membutuhkannya tanpa memandang jenis kelamin. Berikut ini dapat kita lihat tabel bias gender dari sudut pandang masyarakat tentang para pria metroseksual.

Tabel 4.5 Bias Gender dari Sudut Pandang Masyarakat Tentang Para Pria Metroseksual

NO INFORMAN PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG BIAS

GENDER

1. HR Dalam budaya Indonesia, berdandan bukan perilaku pria. Pria berdandan masih dianggap tabu dalam masyarakat kita.

2. MR Masyarakat awam melihat pria yang suka berdandan identik dengan gay, ataupun waria

3. KK Berdandan bagian dari dunia wanita bukan dunia pria

4. RA Masyarakat menggangap adalah suatu hal yang di luar batas kewajaran jika pria berdandan

5. AB Pria berdandan adalah pria yang melenceng dari kebiasaan masyarakat.

6. ID Berdandan hanyalah aib bagi pria karena berani melakukan perilaku wanita

7. DN Pria yang suka berdandan selalu dapat label yang negatif dari masyarakat

8. PT Pria yang suka berdandan identik dengan gay atau waria 9. RZ Masyarakat menganggap pria yang suka berdandan itu adalah

gay, atau waria

10. ML Pria yang suka berdandan selalu dianggap banci, ataupun waria

Berdasarkan penuturan dari informan pria metroseksual pada tabel di atas, berdandan itu pada dasarnya hak bagi setiap orang, terlepas apakah perilaku berdandan itu wanita ataupun pria. Umumnya mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat perilaku berdandan itu lebih condong sebagai perilaku wanita, sehingga para pria metroseksual yang melakukannya dicurigai sebagai pria yang kurang baik. Pada saat ini, berdandan sudah menjadi bagian dari keseharian baik itu wanita maupun pria. Sehingga menurut mereka sangat tidak wajar jika pria berdandan tetap menjadi stereotipe yang negatif. Selain aib yang ditimbulkan karena pria metroseksual suka berdandan tidak dapat menempatkan diri mereka dalam pencitraan pria diatas, pria yag berdandan menimbulkan

aib bagi diri mereka yang muncul karena pengetahuan masyarakat tentang pria yang suka berdandan selalu memberi label negatif. Masyarakat awam melihat pria yang suka berdandan identik dengan gay, waria, meskipun pada kenyataannya pria yang suka berdandan tidak selalu identik dengan gay atau waria.

Peduli dengan penampilan tubuh merupakan kebutuhan sehari-hari baik wanita maupun pria. Wanita dan pria memang sangat membutuhkan keindahan penampilannya setiap hari. Bagi sebagian orang, berdandan adalah termasuk kebutuhan primer. Dengan berdandan mereka bisa merasa nyaman dan dapat lebih percaya diri.

Para pria metroseksual bukannya tidak menyadari streotipe yang ada itu, yang antara lain menyebutkan bahwa pria yang suka berdandan itu adalah gay, waria, dan sebagainya. Tapi, mereka merasa kalau pria metroseksual bukanlah jenis pria seperti itu. Berikut ini dapat kita pada tabel 4.6 bagaimana streotipe sosial yang di dapat para pria metroseksual di lingkungan sekitarnya.

Tabel 4.6 Bagaimana Streotipe yang didapat Para Pria Metroseksual di Lingkungan Sekitarnya

NO INFORMAN STREOTIPE SOSIAL

1. HR Sering diejek-ejek oleh teman-teman, sering dibilang seperti wanita

2. MR Sering dianggap seperti wanita 3. KK Sering dianggap seperti wanita 4. RA Sering dianggap seperti wanita

5. AB Kadang ada yang menganggap sebagai gay

6. ID Sering diejek-ejek, seperti sering dibilang seperti wanita

7. DN Kadang-kadang suka diejekin karena terlalu kerapian, dibilang seperti wanita

8. PT Sering dianggap seperti wanita 9. RZ Sering dianggap seperti wanita 10. ML Sering dianggap seperti wanita

Berdasarkan pada tabel diatas dapat kita lihat bahwasannya para pria metroseksual sering mendapatkan ejekan dari lingkungan sekitarnya, seperti dianggap seperti wanita. Streotipe-streotipe yang muncul di lingkungan para pria metroseksual adalah bahwa mereka seperti wanita, waria ataupun sebagai gay. Dalam kaitannya dengan perilaku para pria metroseksual, pelabelan negatif yang dilekatkan masyarakat kepada pria metroseksual oleh para informan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender. Seperti yang diutarakan oleh ML sebagai berikut:

“Menurut saya peduli dengan perawatan tubuh itu biasa…tidak ada yang harus dibeda-bedakan antara pria dan wanita. Jika memang ada perbedaan itu bukan berarti harus menimbulkan ketidakadilan juga. Bagi saya melakukan perawatan tubuh sudah menjadi kebutuhan hidup saya sehari-hari sama seperti wanita. Dengan adanya rapi, bersih saya dapat merasa nyaman dalam beraktivitas sehari-hari..”

(Wawancara, Januari 2008)

Budaya patriarkhi adalah budaya yang mengikat kuat di tengah masyarakat terutama masyarakat Indonesia, sehingga para informan pria metroseksual menyadari bahwa setiap perilaku yang dilakukan oleh pria, terutama yang menyentuh ranah wanita akan selalu dicurigai. Melakukan perawatan tubuh biasanya dilakukan oleh wanita, akan tetapi pada saat ini melakukan perawatan tubuh bukan hanya milik kaum wanita saja, karena pria pun bisa melakukannya.

Budaya patriarkhi itu sendiri sangat di mengerti oleh para informan pria metroseksual, karena memang sebagai seorang karyawan yang mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup. Umumnya mereka menyadari, bahwa dominasi patriarkhi tersebut sangat lah kuat, termasuk dalam perihal berdandan.

Dalam dokumen Fenomena Pria Metroseksual Di Kota Medan (Halaman 94-102)

Dokumen terkait