UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
FENOMENA PRIA METROSEKSUAL
di KOTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan oleh:
RIZKY INDAH SARI
040901038
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Latar belakang dari penulisan skripsi yang berjudul : Fenomena Pria Metroseksual di Kota Medan ini berangkat dari pemikiran bahwa fenomena pria metroseksual merupakan suatu perilaku yang unik di daerah perkotaan. Memperhatikan penampilan, melakukan perawatan tubuh, hingga hobi nongkrong di cafe dan dugem merupakan perilaku para pria metroseksual yang tidak dilakukan pria lain pada umumnya. Medan termasuk salah satu kota yang merasakan fenomena pria metroseksual. Fenomena pria metroseksual yang ada di kota Medan pada saat ini belum begitu nampak jelas, ini disebabkan karena para pria metroseksual di kota Medan belum mau di katakan sebagai pria metrseksual. Belum adanya komunitas khusus pria metroseksual di kota Medan merupakan salah satu penyebab mengapa para pria metroseksual yang ada di kota Medan belum mau di sebut sebagai pria metroseksual, hal ini juga yang menyebabkan fenomena pria metroseksual di Kota Medan tidak begitu tampak, akan tetapi, eksistensi para pria metroseksual di kota Medan memang sudah dapat dirasakan. Hal ini dapat dilihat dengan bermunculannya tempat-tempat perawatan tubuh khusus pria, butik-butik baju pria, dan berbagai tempat yang menjadi tujuan kaum pria metroseksual.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini berlokasi di kota Medan, Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia yang perkembangan dan kemajuannya menunjang munculnya berbagai fenomena di perkotaan dan salah satu fenomena yang menarik adalah fenomena pria metroseksual. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berkunjung ke tempat perawatan tubuh dan café-café di mall maupun plaza yang ada di kota Medan. Informan dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 4.000.000 ( empat juta rupiah) setiap bulannya. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil turun lapangan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berkat
rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat merangkai kata demi
kata dan menghadapi berbagai hambatan selama proses penyusunan skripsi ini sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini merupakan karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk dapat
menyelesaikan studi di Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara dengan judul Fenomena Pria Metroseksual di Kota Medan.
Dengan ketulusan hati, skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terima
kasih dan sebagai ungkapan rasa sayang yang tak terhingga kepada papa (Alm) H.
Bambang Mulyono, SE dan mama Hj. Farida Netty tercinta. Serta buat igoes Ivan
Hoesada, S.Si, mbak Dwi Arimbi Puspita Hati dan mbak Dewi Flora Astuti Adin, SE
tercinta, dan adikku Idek Hartodinata. Serta seluruh keluarga yang telah memberikan
dorongan moril dan material serta perhatian yang tulus kepada penulis selama ini
Penulis menyadari tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak
akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Maka izinkanlah penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M.Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
2. Bapak Dr. Badaruddin, M.si sebagai Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Wali
penulis. Terima kasih atas semua ilmu dan nasehat yang telah diberikan kepada
penulis.
3. Ibu Dra. Rosmiani, M.si selaku Sekretaris Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
4. Rasa hormat dan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk ibu Hj.
Harmona Daulay, S.sos.,M.si selaku dosen pembimbing yang telah banyak
mencurahkan waktu, tenaga, masukan serta ide-ide dan pemikiran untuk
membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar khususnya dosen-dosen di Departemen Sosiologi dan
pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik khususnya kak Feni dan Kak Betty
dan juga yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan
andil besar dalam studi penulis.
6. Dengan rasa sayang yang sedalam-dalamnya penulis mengucapkan terima kasih
yang setulus-tulusnya kepada kedua orang tuaku yang tercinta Alm. Papa H.
Bambang Mulyono, SE dan Mama Hj. Farida Netty atas doa, kasih sayang,
pengorbanan moril maupun materil dan motivasi dan nasehat yang sangat besar
dan tiada henti-hentinya diberikan kepada penulis. Skripsi ini penulis
persembahkan sebagai tanda ucapan terima kasih dan bakti penulis.
7. Terima Kasih kepada Goes Ivan Hoesada S.Si dan mbak Dewi Flora Astuti Adin,
memberikan semangat dan motivasi yang sangat besar kepada penulis sehingga
penulis tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis persembahkan kepada
Muhammad Lyansyah atas cinta dan kasih sayang, perhatian, doa, dukungan,
motivasi, kesabaran dan kesetiaan yang telah di berikan kepada penulis sehingga
semua kesulitan dalam penulisan skripsi ini dapat penulis lewati. Semoga cita-cita
kita dapat tercapai. Amin..
9. Terima kasih untuk seluruh keluarga Muhammad Lyansyah yang selalu
mendoakan, mendukung, memberi semangat kepada penulis. Sehingga
memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Terima kasih buat sahabatku Ira dewani yang selalu memberikan semangat dan
selalu membuatku tertawa. Semoga persahabatan kita tetap abadi.
11.Buat teman-temanku Sosiologi stambuk 2004 ; Dila, Ika, Devi, Hesti, serta semua
stambuk 04 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
perhatian dan dukungannya semoga sukses dalam meraih cita-cita.
12.Terima kasih kepada seluruh informan yang telah membantu dan menyediakan
waktu untuk memberikan informasi yang penulis perlukan dalam penyusunan
skripsi ini. Skripsi ini tidak akan selesei tanpa bantuan kalian semuanya.
Akhirnya terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu atas doa, dukungan dan partisipasinya. Semoga amal kebaikan yang telah
Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sehingga dapat
menambah kesempurnaan kajian dan penulisan ini. Akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 2008
Penulis
DAFTAR ISI
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pria Metroseksual ... 12
2.2. Gaya Hidup (lifestyle) ... 14
2.3. Media dan Gaya Hidup... 19
2.4. Konsep Gender... 22
2.5. Proses Sosialisasi ... 24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... 29
3.2. Lokasi Penelitian ... 29
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 30
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30
3.5. Interpretasi Data ... 32
3.6. Jadwal Kegiatan ... 33
3.7. Keterbatasan Penelitian ... 34
BAB IV. DESKRIPSI LOKASI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Profil Kota Medan ... 36
4.1.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 36
4.1.2. Kota Medan Secara Demografis ... 37
4.1.3. Pendidikan ... 38
4.1.4. Agama ... 38
4.1.5. Tempat Peribadatan ... 39
4.1.6. Pusat Perbelanjaan dan Hiburan ... 39
4.2. Penyajian dan Interpretasi Analisis Data ... 45
4.2.1 Profil Informan ... 45
4.2.1.2. MR. Pria Metroseksual yang hobi Dugem ... 47
4.2.1.3. KK. Pria Metroseksual yang pemalu ... 49
4.2.1.4. RA. Pria Metroseksual yang tampan ... 51
4.2.1.5. AB. Pria Metroseksual yang maniak teknologi 53 4.2.1.6. ID. Pria Metroseksual penggaet wanita ... 55
4.2.1.7. DN. Pria Metroseksual yang percaya diri... 57
4.2.1.8. PT. Pria Metroseksual yang ambisius ... 59
4.2.1.9. RZ. Pria Metroseksual yang atletis ... 61
4.2.1.10. ML. Pria Metroseksual yang hobi olah raga ... 63
4.3. Faktor-Faktor Penyebab Menjadi Pria Metroseksual ... 66
4.4. Gaya Hidup Pria Metroseksual ... 72
4.4.1. Gaya Hidup Dalam Penampilan Diri Pria Metroseksual ... 75
4.4.2. Gaya Hidup Pria Metroseksual Dalam Kehidupan Sehari-hari ... 82
4.5. Pria Metroseksual dan Isu Gender ... 85
4.6. Analisa data Pria Metroseksual... 93
BAB V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 101
5.2. Saran ... 105
DAFTAR TABEL
TABEL 4.1. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pria
Menjadi Pria Metroseksual ... 71 TABEL 4.2. Cara Para Pria Metroseksual Melakukan Perawatan Tubuh... 76 TABEL 4.3. Biaya Yang di Keluarkan untuk ke Salon dan
ke Gym dalam Sebulan ... 79 TABEL 4.4. Tanggapan Masyarakat di Sekitar Pria Metroseksual ... 81 TABEL 4.5. Bias Gender dari Sudut Pandang Masyarakat
ABSTRAK
Latar belakang dari penulisan skripsi yang berjudul : Fenomena Pria Metroseksual di Kota Medan ini berangkat dari pemikiran bahwa fenomena pria metroseksual merupakan suatu perilaku yang unik di daerah perkotaan. Memperhatikan penampilan, melakukan perawatan tubuh, hingga hobi nongkrong di cafe dan dugem merupakan perilaku para pria metroseksual yang tidak dilakukan pria lain pada umumnya. Medan termasuk salah satu kota yang merasakan fenomena pria metroseksual. Fenomena pria metroseksual yang ada di kota Medan pada saat ini belum begitu nampak jelas, ini disebabkan karena para pria metroseksual di kota Medan belum mau di katakan sebagai pria metrseksual. Belum adanya komunitas khusus pria metroseksual di kota Medan merupakan salah satu penyebab mengapa para pria metroseksual yang ada di kota Medan belum mau di sebut sebagai pria metroseksual, hal ini juga yang menyebabkan fenomena pria metroseksual di Kota Medan tidak begitu tampak, akan tetapi, eksistensi para pria metroseksual di kota Medan memang sudah dapat dirasakan. Hal ini dapat dilihat dengan bermunculannya tempat-tempat perawatan tubuh khusus pria, butik-butik baju pria, dan berbagai tempat yang menjadi tujuan kaum pria metroseksual.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penelitian ini berlokasi di kota Medan, Medan adalah salah satu kota terbesar di Indonesia yang perkembangan dan kemajuannya menunjang munculnya berbagai fenomena di perkotaan dan salah satu fenomena yang menarik adalah fenomena pria metroseksual. Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berkunjung ke tempat perawatan tubuh dan café-café di mall maupun plaza yang ada di kota Medan. Informan dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif muda yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp. 4.000.000 ( empat juta rupiah) setiap bulannya. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan catatan dari setiap hasil turun lapangan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pria pada umumnya telah dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial dan
budaya sebagai sosok yang jantan, perkasa, tidak terlalu memperdulikan penampilan,
tidak suka dengan rumitnya mode, tidak suka memasak, ke salon, dan semua kegiatan
yang “biasanya” dilakukan para wanita. Masyarakat juga telah memiliki asumsi bahwa
yang seharusnya berdandan adalah seorang wanita. Lalu, bagaimana bila seorang pria
sangat memperhatikan penampilannya dan merawat tubuhnya mulai dari kepala sampai
ujung kaki? Fenomena ini adalah contoh bahwa pada suatu tempat dan waktu tertentu
pemikiran manusia tentang suatu nilai yang bahkan telah diyakini dan tertanam dalam di
pikirannya dapat berubah, namun untuk merubah apa yang telah tertanam dalam pikiran
manusia tersebut membutuhkan proses evolusi pikiran yang cukup lama. Hal ini juga bisa
dikatakan sebuah perubahan sosial, yaitu bergesernya struktur dan nilai-nilai yang
terdapat pada suatu masyarakat.
Pada beberapa tahun terakhir ini muncul suatu fenomena dikalangan masyarakat
khususnya para pria. Sebagian dari para pria menjadi sangat suka merawat diri dengan
pergi ke salon, spa, dan lebih memperhatikan penampilan atau lain sebagainya yang bisa
membuat mereka merasa lebih fresh, suatu kebiasaan yang semula hanya disukai oleh
para wanita sehingga jika pria melakukannya dianggap suatu penyimpangan oleh
masyarakat, karena pada umumnya masyarakat telah memiliki nilai tentang bagaimana
seharusnya seorang pria dan wanita secara sosial dan budaya seperti yang telah dijelaskan
Munculnya pria metroseksual adalah sebuah fenomena yang menunjukkan
tentang perubahan pemikiran manusia pada suatu nilai yang sudah lama ada. Seperti yang
telah kita ketahui bahwa masyarakat pada umumnya telah merekonstruksikan pemikiran
mereka tentang seorang pria. Namun karena terjadinya kemajuan pemikiran manusia
tentang beberapa hal maka apa yang telah tertanam di dalam pikiran manusia dapat
berubah. Ada beberapa faktor yang dapat mengubah pola pikir dan prilaku manusia
antara lain; kondisi ekonomi, kemajuan teknologi, keadaan geografis ataupun biologis.
Hal inilah kemudian yang mendorong munculnya pemikiran dan pola tingkah laku
manusia yang baru seperti pria metroseksual.
Ide mengenai pria metroseksual sendiri datang dari seorang inggris bernama Mark
Simpson didalam artikelnya pada tahun 1994 yang berjudul “Here Come The Mirror
Men” .Bagi kaum metroseksual, penampilan memang nomor satu, demi memperkuat
sebutan metroseksual yang membanggakan, selain terus bergerak dan menjangkau klub,
spa, toko, butik, dan restoran terbaik dimetropolis, mereka sengaja melakukan perawatan
untuk sekujur tubuhnya; mulai dari creambath (perawatan tubuh), facial (perawatan
muka), manikur-padikur (perawatan kuku kaki-tangan), hingga, menyemprot dengan
wewangian
Pola konsumsi yang ada pada masa ini tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai
guna dalam angka memenuhi kebutuhan utilities, akan tetapi ini berkaitan dengan
unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol tertentu. Konsumsi
dimasyarakat. Salah satu dampak dari pola konsumsi adalah berkembangnya berbagai
gaya hidup.
Menurut Gervasi : “pilihan-pilihan tidak di buat secara kebetulan, tetapi terkontrol
secara sosial, dan menggambarkan model budaya ditengah budaya yang mereka buat.
Orang tidak menghasilkan, juga tidak mengkonsumsi benda apa saja”. Mereka harus
memiliki beberapa arti menurut pandangan sistem nilai (Jean P. Boudrillard, 1970 : 75)
Konsumsi sendiri sebagai suatu proses menghabiskan nilai-nilai yang tersimpan
dalam sebuah objek telah dikaji dalam berbagai sudut pandang. Di kota-kota besar
kecenderungan ke arah pembentukkan simbol dan identitas cultural melalui gaya,
pakaian, mobil, atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik telah dikondisikan
melalui teknik pemasaran yang merupakan pembentukan budaya konsumerisme di dalam
masyarakat konsumer Indonesia. Dalam budaya konsumerisme, konsumsi tidak lagi
diartikan semata sebagai suatu lintas sosial kebudayaan benda akan tetapi menjadi sebuah
panggung sosial yang didalamnya terjadi perang posisi antara anggota-anggota
masyarakat yang terlibat. Budaya konsumerisme yang berkembang merupakan suatu
arena, dimana produk-produk konsumer merupakan suatu media untuk pembentukan
personalitas, gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang
berbeda-beda. Barang-barang konsumer pada akhirnya merupakan sebuah cermin tempat
konsumer menemukan makna kehidupan. Konsumsi membentuk semacam totalitas
objek-objek dari pesan-pesan yang dibangun didalam sebuah wacana yang saling
berkaitan.
Keinginan para metroseksual untuk selalu mengikuti teknologi dan trend
hidup di kota – kota besar, mapan secara ekonomi, sehingga selera teknologi mereka
selalu mengikuti trend global. Di samping itu karena tingkat pendidikan yang tinggi,
mereka umumnya memiliki akses dan sumber informasi yang sangat luas dari dan ke
manapun di seluruh dunia ini. Jadi tidak heran bila melihat mereka selalu memburu
informasi mengenai gadgetgizmo (peralatan – peralatan canggih) mulai dari iPod, MP3
Player, PDA, atau game terdepan dan termutakhir di seluruh dunia
.
Produk-produk wanita dengan embel-embel “for men” kini semakin banyak
bermunculan. Jenis produk yang muncul beraneka ragam, mulai dari bedak, facial, body
spray, salon, dan spa, majalah fashion, makanan rendah kalori hingga butik.
Merek-merek terkenal seperti, Armani, Esprit, Dolce&Gabbana, Calvi Klein, Hugo Boss, kini
berlomba-lomba untuk menciptakan produk-produk baru ini.
Majalah fashion dan gaya hidup yang khusus ditujukan untuk kaum metroseksual
seperti Maxim, FHM, Details, misalnya selama tujuh bulan pertama mampu
meningkatkan pendapatan iklannya hampir 50 persen. Diseluruh dunia FHM yang edisi
Indonesianya terbit sebulan sekali, mampu meningkatkan pendapatan iklan fashion dan
perawatan tubuh pria hingga mencapai hampir 40 persen selama tiga tahun terakhir.
Kafe dan coffe shop yang berlokasi strategis, sering dijadikan tempat berkumpul
untuk memobilisasi anggota komunitas pria metroseksual. Bagi sebagian mereka,
makanan dan minuman ringan yang disediakan kafe atau coffee shop, ada kalanya
dianggap lebih fleksibel untuk teman ngobrol dibanding makanan berat. Meskipun bukan
berarti mereka menghindari resto – resto atau kafe – kafe baru, khususnya franchise resto
ketahui dengan lebih cepat dari lingkaran komunitas dibandingkan pemberitaan media
massa.
Kota-kota besar di Indonesia khususnya Medan merupakan salah satu kota yang
sangat potensial timbulnya Pria metroseksual. Pada umumnya pria metroseksual adalah
pria yang memiliki status sosial ekonomi yang telah mapan dan tidak heran pria-pria
tersebut berprofesi sebagai profesional maupun pengusaha (eksekutif muda) yang
memiliki gaya hidup tinggi dan glamour. Menurut majalah SWA no.6 tanggal 18 - 31
maret tahun 2004, menyatakan bahwa pria-pria metroseksual di Indonesia banyak
mengeluarkan uang untuk perawatan tubuh dan kebugaran sekitar 2,5 juta – 3 juta/bulan.
Selain menghabiskan banyak uang untuk perawatan tubuhnya, seorang pria metroseksual
juga banyak menghabiskan waktu untuk merawat tubuhnya. Pada umumnya rata-rata pria
metroseksual menghabiskan 1 – 2 jam di pagi hari untuk kegiatan rutin dan rela
berjam-jam di salon atau spa selama week end untuk memanjakan diri (sebagai kompensasi dari
kerja kerasnya selama senin – jumat). Mereka rela menghabiskan waktu 1 – 2 jam hanya
untuk memanjakan dirinya seperti mandi, olahraga ringan, memilih baju yang sesuai,
memakai beberapa produk perawatan kulit, dan memakai gel untuk rambut.
Menariknya, meskipun para pria metroseksual bisa saja terkesan berpenampilan
manis, atau flamboyan, adalah salah bila mereka langsung diasosiasikan sebagai gay atau
homoseksual. Sebab, para pria pedandan dalam kisaran umur 20 – 40 tahun ini yang
memiliki uang untuk dihamburkan – hamburkan khususnya untuk perawatan tubuh dan
penampilan, hidup di tengah keramaian metropolis, dimana terdapat mal, klub, butik,
pusat kebugaran, salon kecantikan, dan lain-lain memang bisa saja gay, biseksual, atau
preferensi seksual. Melainkan muncul sebagai preferensi lifestyle gaya baru, sebagai cara
para pria muda modern menerjemahkan kecintaan mereka akan penampilan maksimal.
Serba harum dan parlente, resis – dan fashionable, percaya diri, ramah, menebar senyum
persahabatan ke sekitar. Gaya hidup dan kebiasaan yang secara umum sering dilakukan
oleh para pekerja hukum pekerja iklan, dan orang – orang dari dunia entertainment, yang
kemudian ternyata menyebar cepat ke berbagai kalangan profesi, seperti pengusaha,
banker, dokter, politisi, dan lain-lain.
Para pria metroseksual tidak mau disamakan dengan kaum gay atau homoseksual.
Hai ini dikarenakan dalam urusan berpenampilan rapi, bersih, dan wangi, para pria
metroseksual memiliki tujuan yang berbeda dengan kaum gay ataupun waria. Berdandan
rapi, bersih dan wangi, bukan ciri-ciri utama seorang gay, karena ini sangat sulit
membedakan antara pria normal dengan gay. Gay pada umumnya memiliki ciri-ciri
khusus dalam berpenampilan begitu juga para waria.
Kota Medan adalah kota terbesar nomor tiga di Indonesia dan Medan termasuk
kota metropolitan. Perkembangan pembangunan dan kemajuan teknologi yang terjadi di
kota Medan menjadi salah satu alasan mengapa fenomena pria metroseksual juga muncul
di kota Medan, terdapat beberapa mall dan berbagai tempat-tempat hiburan yang
berpotensi dapat mendukung penelitian ini. Karena pada umumnya para pria
metroseksual memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi. Penelitian ini akan
dikhususkan pada tempat-tempat yang potensial untuk berkumpulnya para pria
metroseksual seperti kafe-kafe, restoran-restoran, salon dan tempat-tempat hiburan yang
Fenomena pria metroseksual yang ada di kota Medan pada saat ini juga belum
begitu nampak jelas, ini disebabkan karena para pria metroseksual di kota Medan tidak
mau dikatakan sebagai pria metroseksual, karena di kota Medan belum terdapat satu
komunitas khusus yang menyatakan diri mereka adalah para pria metroseksual, hal ini
berbeda bila dibandingkan dengan kota Jakarta, yang terdapat satu komunitas khusus pria
metroseksual dan mereka mau dikatakan sebagai pria metroseksual. Fenomena pria
metroseksual memang merupakan suatu prilaku yang unik di daerah perkotaan.
Sesungguhnya diperlukan penelitian yang terarah untuk dapat melakukan analisa
fenomena tersebut, maka atas dasar alasan tersebut dan penjelasan diatas maka saya
tertarik untuk melakukan penelitian tentang pria metroseksual di kota Medan.
1.2Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang akan saya angkat dalam penelitian ini adalah :
1. Apa motivasi seseorang menjadi pria metroseksual ?
2. Bagaimana gaya hidup, sosial dan ekonomi pria metroseksual ?
3. Bagaimana pria metroseksual mengatasi sanksi secara sosial dalam perspektif
gender ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Secara Teoritis, penelitian ini bertujuan melakukan pemetaan dan perumusan
masalah di atas yaitu : Apa motivasi mereka menjadi pria metroseksual,
bagaimana gaya hidup, sosial dan ekonomi pria metroseksual tersebut, dan
bagaimana para pria metroseksual tersebut mengatasi sanksi secara sosial dalam
2. Mengungkapkan mengenai hal tersebut dengan didasarkan pada pendekatan
sosiologis, yaitu pendekatan sosiologi gender
1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan menjadi sebuah kajian ilmiah yang
akurat bagi sosiologi gender, sehingga dapat memberi sumbangan pemikiran bagi
kalangan akademisi dalam bidang pendidikan khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
2. Secara praktis, penelitan ini diharapkan akan menjadi sumbangan bagi khazanah
kepustakaan yang bermutu serta sebagai bahan masukkan bagi institusi
pendidikan dan ini juga diharapkan dapat memberikan pengertian yang jelas
tentang pria metroseksual kepada semua masyarakat agar tidak ada lagi
pemahaman yang keliru.
3. Bagi penulis, penelitian ini akan berguna untuk dapat meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai kasus atau fenomena pria
metroseksual dan sebagai wadah latihan serta pembentukkan pola pikir ilmiah dan
rasional dalam menghadapi segala macam persoalan sosial yang ada
ditengah-tengah masyarakat.
1.5. Definisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah generalisasi dari kelompok
Konsep-konsep yang penting dalam penelitian ini adalah :
1. Fenomena adalah suatu peristiwa yang terjadi di realitas sosial dan memiliki
gejala-gejala yang spesifik. Pada penelitian ini fenomena yang dimaksud adalah
timbulnya suatu keadaan sekelompok maupun individu yang di citrakan sebagai
pria metroseksual.
2. Pria Metroseksual adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki gaya hidup
yang tinggi sehingga mereka sangat mengutamakan performance (penampilan)
dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan sebagai pria metroseksual terkadang
melebihi penampilan seorang wanita. Pria eksekutif muda yang berada di kota
Medan yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria
yang mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari
Rp. 4.000.000 setiap bulannya.
3. Gaya hidup adalah gaya hidup menurut weber berarti persamaan status
kehormatan yang ditandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup
yang sama. Gaya hidup merupakan suatu bentuk ekspresi dan simbol untuk
menampakkan identitas diri atau identitas kelompok. Gaya hidup para pria
metroseksual dapat kita jumpai di mal-mal yaitu SUN plaza, tempat fitnes, salon,
retro, dan tempat lainnya.
4. Konsumerisme adalah pola hidup dengan keinginan untuk membeli
barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan. Dengan sifat konsumtif ini maka
pembelian sebuah produk lebih didasarkan pada perasaan suka (keinginan) dari
konsumen dari pada memperhatikan manfaat, kecocokan serta kesesuai produk
dimana mereka membeli barang-barang tanpa pertimbangan yang objektif
melainkan secara emosional, terlebih-lebih jika produk itu sudah terkenal. Para
pria metroseksual mengkonsumsi pakaian dan aksesoris merk-merk yang mahal
dan terkenal seperti Body shop, Lee-Cooper, M2000, Piere-Cardin, dan yang
lainnya.
5. Bias gender adalah suatu konstruksi sosial dan kultural yang menyebabkan
perbedaan perilaku antara pria dan wanita sehingga memunculkan perbedaan
sikap yang terkadang memberi ketidakadilan terhadap pria ataupun wanita di
dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya pria di kenal memiliki sifat kuat,
jantan, rasional, dan perkasa, sedangkan wanita memiliki sifat lemah lembut,
cantik, keibuan, dan emosional, perbedaan antara wanita dan pria secara
konstruksi budaya ini sebenarnya dapat dipertukarkan antara pria maupun wanita,
karena tidak bersifat secara biologis. Akan tetapi, di dalam masyarakat patriarkhi,
setiap pria atau wanita harus melakukan perannya berdasarkan nilai gendernya
yang telah di tentukan sebelumnya, apabila ada seorang pria yang melakukan
kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang pria maka pria tersebut
dianggap telah melakukan penyimpangan dan akan mendapatkan sanksi dari
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pria Metroseksual
Pria metroseksual adalah istilah yang ditujukan kepada seseorang (pria) yang
moderen biasanya single yang tidak hanya mengerti sisi maskulinnya tetapi juga sisi
feminimnya. Pria jenis ini biasanya selalu tampil rapi serta memelihara kebersihan tubuh
dari kepala sampai ujung kaki. Pria metroseksual biasanya memiliki kemampuan yang
sangat tinggi untuk dekat dengan lawan jenis dan membangun hubungan yang erat. Pria
metroseksual ini mampu mengekspresikan kemampuannya. Pria metroseksual bisa di
sebut juga pria yang mengagumi dan mencintai dirinya sendiri. Dalam hal ini biasa pria
metroseksual sangat menghargai seni film dan musik tidak lebih dari pria tipe lain.
Pria metroseksual dilihat dari perspektif gender merupakan perbedaan psikologis
dan budaya kontemporer. Dimana ketika budaya (life style) mempengaruhi psikologi
seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan budaya tersebut. Perilaku tersebut bisa
menjadi ganda.
Hermawan Kartajaya menjelaskan bahwa pria metroseksual bukanlah seorang
homoseksual atau pria yang kemayu. Ia tetaplah pria normal yang bisa memiliki keluarga
yang bahagia, dengan istri yang cantik dan anak-anak yang lucu. Hanya lebih
“kewanitaan”, misalnya lebih senang ngobrol dan mampu berkomunikasi dengan lebih
baik dari pada rata-rata pria. Dan yang paling nyata, metroseksual ini sangatlah
fashionable (Suara Merdeka, 24 Juli 2004). Banyak pendapat kenapa muncul pria
metroseksual ini, salah satunya adalah karena semakin banyak wanita bekerja. Kehadiran
tentu menuntut rekan prianya untuk juga menjaga penampilan, misalnya dengan
berbusana rapi, bertubuh bugar dan berbau harum. Sementara itu, menurut Jean-Marc
Carriol direktur perusahaan fashion Trimex ( dalam Kompas 31 Agustus 2004), gerakan
feminis punya kontribusi besar pada perkembangan pasar produk untuk pria. Ketika
kelompok wanita terus mendorong terjadinya kesetaraan hak, perubahan pun kemudian
terjadi. Sukses gerakan feminis secara mendasar mengubah cara pria dan wanita
berinteraksi di lingkungan kerja mereka. Penampilan dan perawatan tubuh menjadi
sangat penting.
Para pria metroseksual merupakan penikmat hidup yang ditopang kemampuan
finansial. Selain rutin ke gym, mereka juga rajin merawat diri disalon dan spa, gemar
nongkrong di kafe serta menjelajah mal untuk berburu fashion dan aksesori bermerek,
namun mereka bukan sekedar pembelanja potensial, tetapi juga pekerja cerdas yang
penuh percaya diri, berdedikasi serta berkomitmen kepada karya dan keluarga. Jumlah
mereka terus bertambah banyak menjadikan mereka potensi pasar yang luar biasa besar.
Sebagai konsumen, pria membutuhkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat
kapitalis untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.
Para pria metroseksual tidak mau disamakan dengan kaum gay atau homoseksual.
Hai ini dikarenakan dalam urusan berpenampilan rapi, bersih, dan wangi, para pria
metroseksual memiliki tujuan yang berbeda dengan kaum gay ataupun waria. Berdandan
rapi, bersih dan wangi, bukan ciri-ciri utama seorang gay, karena ini sangat sulit
membedakan antara pria normal dengan gay. Gay pada umumnya memiliki ciri-ciri
Para pria metroseksual peduli dengan penampilan bukan berarti mereka mau
disamakan dengan wanita, karena penampilan pria dan wanita sangat jelas berbeda. Pria
metroseksual hanyalah pria yang sedikit memiliki sikap yang lebih menonjolkan kesan
memperhatikan penampilan dan mengharuskan kesempurnaan dalam penampilannya.
Pria metroseksual selalu mendapat stereotipe yang negatif dari masyarakat, karena
masyarakat memandang perilaku pria metroseksual merupakan suatu perilaku wanita
yang suka merawat tubuhnya secara berlebihan. Masyarakat membedakan antara pria dan
wanita dengan maskulin dan feminim. Maskulin identik dengan keperkasaan, bergelut
disektor publik, jantan dan agresif, sedangkan feminim identik dengan lemah lembut,
bergelut disektor domestik, pesolek, pasif.
2.2 Gaya Hidup ( lifestyle)
Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur. Sementara istilah ini memiliki
arti sosiologis yang lebih terbatas dengan merujuk pada gaya hidup khas dari berbagai
kelompok status tertentu, dalam budaya konsumen kontemporer istilah ini
mengkonotasikan individualitas, ekspresi diri, serta kesadaran diri yang semu. Tubuh,
busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah,
kendaraan dan pilihan hiburan, dan seterusnya di pandang sebagai indikator dari
individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen (Fatherstone Mike,
2005;201)
Tubuh adalah bagian yang melekat pada diri kita sekaligus penyedia ruang-ruang
tak terbatas untuk memamerkan segala bentuk identitas diri. Tubuh merupakan medium
dikatakan sebagai suatu proyek besar bagi seseorang. Tubuh terus-menerus dapat
dibongkar, ditata ulang, dikonstruksi dan direkonstruksi, dieksplorasi secara
besar-besaran : didandani, disakiti, dibuat menderita atau didisplinkan untuk mencapai efek
gaya tertentu dan menciptakan cita rasa gaya individualitas tertentu.
Gaya hidup adalah suatu titik tempat pertemuan antara kebutuhan ekspresi diri
dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak, yang tertuang dalam
norma-norma kepantasan. Terdapat norma-norma-norma-norma kepantasan yang diinternalisasikan dalam diri
individu, sebagai standar dalam mengekspresikan dirinya.
Gaya hidup sendiri lahir karena adanya masyarakat komoditas, masyarakat yang
mengkonsumsi barang-barang dan jasa bukan karena kebutuhannya tetapi untuk
memuaskan keinginannya. Menurut Adorno masyarakat komoditas ini terjadi karena
meningkatnya tuntutan terus menerus akan pemuasan kebutuhan masyarakat terhadap
benda-benda komoditas.
Gaya hidup bisa merupakan identitas kelompok. Gaya hidup setiap kelompok
akan mempunyai ciri-ciri unit tersendiri. Gaya hidup secara luas diidentifikasikan oleh
bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktivitas) apa yang mereka anggap
penting dalam lingkungannya (ketertarikan), dan apa yang mereka pikirkan tentang diri
mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya. Gaya hidup suatu masyarakat akan berbeda
dengan masyarakat lainnya, bahkan dari masa ke masa gaya hidup suatu individu dan
kelompok masyarakat tertentu akan bergerak dinamis. Namun demikian, gaya hidup tidak
cepat berubah sehingga pada kurun waktu tertentu gaya hidup relative permanen.
Gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern, atau yang biasa juga di sebut
menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri
maupun orang lain. Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan antara satu
orang dengan orang lain. Dalam interaksi sehari-hari kita dapat menerapkan suatu
gagasan mengenai gaya hidup tanpa harus menjelaskan apa yang kita maksud.
Menurut Weber, konsumsi juga merupakan gambaran gaya hidup tertentu dari
kelompok status tertentu. Konsumsi terhadap barang merupakan landasan bagi
perjenjangan dari kelompok status, konsumsi juga dapat di jadikan penggunaan
barang-barang simbolik kelompok tertentu. Dengan demikian ia dibedakan dari kelas yang
landasan penjenjangannya dalam hubungan terhadap produksi dan perolehan
barang-barang. Dalam hal ini konsumsi seseorang menentukan gaya hidup seseorang. Karena
penggunaan barang-barang simbolik itu tadi seperti pemilihan konsumsi gaya berpakaian,
selera dalam hiburan, selera konsumsi terhadap makanan dan minuman menentukan dari
kelas mana ia berada.
Gaya hidup merupakan cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu
kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik, tapi ini juga berarti bahwa gaya
hidup adalah cara bermain dengan identitas. Gaya hidup berkaitan dengan kompetensi
simbolik.
Menurt Henny E. Wirawan, M.Hum, Psi, Universitas Tarumanegara Fakultas
Psikologi, modernisasi dan industrialisasi menyebabkan munculnya manusia jenis baru
ini. Modernisasi mengubah gaya hidup menjadi lebih maju seirama perkembangan
zaman. Terjadi pergeseran sosial dan perubahan gaya hidup dengan meninggalkan nilai
lama. Modernisasi juga mengharuskan perubahan sikap dan mental dalam rangka
penyebaran barang – barang yang diproduksinya, di antaranya perlengkapan untuk
budaya metroseksual. Nantinya, perlengkapan yang tadinya sebatas kebutuhan sekunder
dapat menjadi primer. Secara hukum ekonomi, pola penyebaran semacam ini tentu sah–
sah saja.
Menurut Simmel, fashion tidak ekslusif bagi modernitas, tapi suatu ilustrasi
perennial dari temanya mengenai interdependensi bentuk dan isi (David Chane,1996:100)
Erving Goffman mengemukakan bahwa kehidupan sosial terutama terdiri dari
penampilan teatrikal yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan
dramaturgi (dramaturgical approach). Yang dia maksudkan adalah bahwa kita bertindak
seolah-olah diatas sebuah panggung. Bagi Goffman, berbagai penggunaan ruang,
barang-barang, bahasa tubuh, ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi kehidupan sosial
sehari-hari (David Chane, 1996 : 15)
Simbol merupakan sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh
mereka yang mempergunakannya. Makna suatu simbol hanya dapat ditangkap melalui
cara nonsensoris.
Interaksionisme-simbolis yang dijabarkan Blumer sesungguhnya memilki
sejumlah gagasan dasar (root images) yang dapat diringkaskan sebagai berikut :
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut kemudian
saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk atau struktur sosial
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain
3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsic. Makna lebih merupakan
4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, melainkan juga dapat
mempersepsikan dirinya sebagai obyek
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretative yang dibuatnya sendiri
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan manusia adalah
tindakan interpretative yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Seperti dikemukakan
Blumer :
“Pada dasarnya tindakan manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahui dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari orang lain, gambaran tentang diri sendiri, dan mungkin hasil dari cara bertindak tertentu”.
Blumer juga cenderung mengabaikan pengaruh lingkungan sosial terhadap
perilaku manusia dan lebih menekankan aspek pertimbangan individual. Beberapa orang
mungkin menghadapi tantangan yang sama, namun perilaku berbeda.
Dalam pandangan konsep diri manusia mempunyai pandangan dan persepsi atas
dirinya sendiri. Konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu adalah berupa
penilaian-penilaian terhadap dirinya sendiri. Secara umum konsep diri diatur oleh dua prinsip yaitu:
keinginan untuk mencapai konsistensi dan keinginan untuk meningkatkan harga diri (self
esteem). Konsep actual self menyatakan bahwa pembelian yang dilakukan oleh
konsumen dipengaruhi oleh konsep yang dimiliki oleh mereka sendiri. Konsistensi diri
dicapai dengan membeli produk yang dirasakan oleh konsumen sama dengan konsep diri
Mark Simpson adalah seorang penulis dan pengamat lifestyle asal Inggris, pada
tahun 1994, pertama kali mengedepankan hadirnya para pria metroseksual di tengah
masyarakat. Menurut Simpson metroseksual adalah sosok pria muda berpenampilan
dendi yang sangat perduli dengan penampilan, tertarik pada fesyen dan berani
menonjolkan sisi femininimnya, senang memanjakan diri dan menjadi pusat perhatian
dan bahkan menikmatinya.
(http.//www.republika.co.id/suplemen/cetak.details.asp+- diakses tanggal 28 April 2004)
2.3. Media dan Gaya hidup
Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang
diminta untuk bisa memainkan dan mengontrol peranan mereka sendiri. Gaya pakaian,
dandanan rambut, segala macam asesoris yang menempel, selera musik, atau
pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian
diri.
Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh
kepribadian yang banyak beredar di sekitar kita bintang film, bintang iklan, penyanyi,
model, bermacam-macam tipe kelompok yang ada atau kita bisa menciptakan sendiri
gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah
digunakan oleh orang lain.
Dewasa ini masyarakat modern telah mengalami ketidaksadaran massal akan
terjadinya transformasi yang menyebabkan pembentukan kembali diri dan perumusan
kembali makna kehidupan akibat munculnya realitas semu. Mc Luhan yang pertama kali
melihat munculnya realitas semu ini Mc Luhan melihat perkembangan media massa telah
tak lebih besar dari sebuah layar kaca atau sebuah disket. Karena dapat disiarkannya
kembali segala bentuk informasi melalui media tersebu ( Ibrahim, Idi subandy.1997:191)
Media informasi telah mempengaruhi cara pandang mereka mengenai gaya hidup
yang harus mereka jadikan pedoman dalam mengekpresikan diri, yang dianggap
nilai-nilai barat, mengandung nilai-nilai-nilai-nilai moderen sehingga banyak ditiru oleh pria
metroseksual, nilai timur bergeser menjadi gaya hidup barat. Kapitalisme melalui media
informasi membentuk dan mengembangkan suatu gaya yang ideal menurut mereka
melalui media dan instrumen komunikasi. Misalnya mereka menciptakan busana yang
sedang trend, pasar musik, asesoris, film, dan pergaulan yang ideal sebagai budaya
massa.
Dengan perkembangan teknologi informasi seperti media televisi, internet, media
cetak seperti majalah, memudahkan masuknya gaya hidup global. Demam gaya hidup
global tampak menyentuh kehidupan para pria. Mereka mengoleksi simbol-simbol status
western seperti memakai sepatu Nike, celana jeans, minum Coca-cola, makan di Mc’d.
Serta menjadikan gaya hidup Amerika sebagai sarana mengekspresikan diri (Susanto,
AB, 2001;84)
Gaya hidup yang dianut oleh masyarakat pada saat ini cenderung hanya mengikuti
trend yang berlaku, sehingga bisa dikatakan gaya hidup yang dianut bersifat homogen
dan tidak variatif. Dalam konteks ini tindakan yang di lakukan seorang individu bukanlah
murni tindakan objektifnya akan tetapi termotivasi oleh unsur-unsur yang ada di luar
individu, sehingga apa yang sedang berlaku umum disekitarnya, itulah yang menjadi
dasar tindakannya. Kapitalisme bisa menjadi pihak yang bertanggung jawab atas hal ini.
atas market atau pasar akan selalu di lakukan. Konsumerisme dan hedonisme yang di
sebarkan kapitalisme global lewat berbagai cara, seakan-akan sudah mendarah daging
bagi masyarakat.
Trend pria metroseksual yang kemudian di fasilitasi dengan kemunculan Pusat
kebugaran, Salon, SPA dan majalah khusus pria -Misal For Him Magazine (FHM), Male
Emporium (ME), Mens Health- menjadi menarik untuk dicermati dalam masyarakat
consumer saat ini, karena fenomena ini merupakan salah satu contoh “rasionalitas
masyarakat modern” untuk membelanjakan uangnya. Diciptakan dengan sengaja
“created needs” oleh pihak kapitalis yang berfungsi sebagai “desiring machine”.
Kapitalisme menurut Marx merupakan sistem sosio-ekonomi yang dibangun
untuk mencari keuntungan yang didapat dari proses produksi atau melalui mode of
production tertentu. Komoditi menurut Marx disebut sebagai social hieroglyphic.
Komoditi baginya tidak hanya dilihat sebagai benda, tetapi tersembunyi hubungan sosial.
Sifat komoditi ini mengaburkan persepsi orang tentang realitas kapitalis, yang oleh Marx
disebut the fetishism of commodities. Artinya, suatu komoditi dapat ditukarkan
seolah-olah hanya karena fisiknya, padahal nilai tukar suatu komoditi justru terletak pada adanya
hubungan sosial dengan tenaga kerja yang terkandung di dalamnya. Melalui konsep
fetihism ini dipahami bahwa suatu komoditi mengandung dan membungkus persoalan
kapitalisme ( Mansour Fakih, 2001).
Kapitalisme menganggap semua barang itu komoditi, artinya barang bernilai
hanya sejauh ia mempunyai nilai tukar dan dapat ditukarkan dalam tindakan tukar
dari pekerjaannya yang khas. Komoditi adalah tempat keterasingan manusia dari
pekerjaannya ( Sindhunata, 1983).
2.4. Konsep Gender
Gender adalah perbedaan perilaku ( behavioral differences) antara pria dan wanita
yang bisa berubah-ubah dari waktu-kewaktu dan bisa berbeda dari suatu tempat ke
tempat yang lainnya, maupun dari satu kelas ke kelas lainnya, yang bisa disebabkan oleh
berbagai hal dan melalui proses yang panjang sebagai akibat dari konstruksi secara sosial
maupun kultural. Misalnya pria dikenal memiliki sifat jantan, kuat, rasional dan perkasa,
sedangkan wanita memiliki sifat lemah, lembut, cantik, emosional dan keibuan. Semua
sifat-sifat ini sebenarnya dapat dipertukarkan antara pria maupun wanita, karena tidak
bersifat secara biologis.
Menurut Giddens konsep gender menyangkut “the psychological, sosial and
differences between males and females”—perbedaan psikologis, sosial, dan budaya
antara pria dan wanita. Macionis (1996 : 240 ) mendefinisikan gender sebagai “the
significance a society attaches to biological categories of female and male”— arti penting
yang diberikan masyarakat pada kategori biologis pria dan wanita. Sedangkan Lasswell
(1987 : 51) mendefinisikan gender sebagai “the knowledge and awareness, wheather
conscious or unconscious, that one belongs to one sex and not to the other”— pada
pengetahuan dan kesadaran, baik sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong
dalam suatu jenis secara kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain ( Kamanto
perbedaan biologis antara wanita dan pria, melainkan pada perbedaan psikologis, sosial,
dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara pria dan wanita.
Dalam penggunaan sehari harinya, gender ( berasal dari bahasa Perancis, gendre,
diambil dari bahasa latin genus, type biologis), yang menunjuk kepada perbedaan jenis
kelamin diantara wanita dan pria berdasarkan segi anatomi. pria dan wanita diasumsikan
kepada bentuk yang secara biologis berbeda.
Pengertian seks menunjuk kepada perbedaan jenis kelamin berdasarkan aspek
biologis, seperti pria dan wanita, sedangkan gender itu sendiri mempunyai maksud untuk
membedakan peran secara sosial antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Gender itu
sendiri tidak terlepas dari streotipe-streotipe seks yang melekat, misalnya seorang wanita
lebih cocok bekerja di sektor domestik, dikarenakan ia adalah sosok yang lemah dan
begitu juga sebaliknya. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata
gender dengan kata seks ( Fakih, 1999 : 7 )
Jadi, “kodrat” yang umumnya berkembang di kehidupan pria maupun wanita
tidak lebih adalah streotipe gender mereka, yang diterima sebagai status yang diterima
dengan mutlak.
Adanya pembedaan kesempatan dan hak antara pria maupun wanita di pengaruhi
oleh bias gender yaitu akibat pengaruh konstruksi sosial dan kultur yang menyebabkan
perbedaan perilaku sehingga memunculkan ketidakadilan. Hal ini selaras dengan apa
yang dikemukakan oleh Fakih (1996 : 72), bahwa :
Gender tersebut pada dasarnya hanya pandangan eksternal yang telah terpola
secara khusus, jadi berbias subjektif sifatnya, sehingga hidup yang mereka jalani tidak
terlepas dari streotipe yang mereka terima. Secara umum streotipe adalah pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya streotipe selalu merugikan
dan menimbulkan ketidakadilan ( Fakih, 1996 : 16 )
Superiotas pria atas wanita bisa di runut mulai dari jaman penciptaan Adam dan
Hawa, jaman filosofi yunani kuno sampai jaman modern. Pria dan wanita tidak hanya
dianggap sebagai makhluk yang berbeda, tapi juga sebagai seks yang berlawanan. Sebuah
pertemuan antara dunia pria dan wanita adalah “ pertemuan seks ” (the battle of the
sexes). Pria dan wanita dipolarisasikan dalam kebudayaan sebagai “berlawanan” dan “
tidak sama”.
2.5. Proses Sosialisasi
Peter Berger ( dalam Sunarto, 1998:27), menyebutkan ada perbedaan penting
antara manusia disaat lahirnya manusia merupakan makhluk yang tak berdaya karena
dilengkapi oleh naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh karena itu manusia kemudian
mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi dengan naluri.
Kebudayaan itu berdasarkan atas kebiasaan dan keseluruhan kebiasaan itu, -ekonomi,
kekeluargaan, pendidikan, agama, politik, dan sebagainya-, harus dipelajari oleh setiap
anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan dengan sosialisasi
(socialization).
Sosialisasi dapat berjalan karena ada agen atau perantara penyampai sosialisasi
seorang individu, maka agen sosialisasi juga mempunyai banyak bentuk dan varian,
walaupun agen sosialisasi yang utama dan pertama bagi seseorang adalah keluarga,
karena keluarga adalah tempat mula-mula seseorang mengenal kehidupan disekitarnya.
Akan tetapi keluarga mempunyai banyak keterbatasan, sehingga sang individu perlu
untuk mengenal kebiasaan tersebut melalui perantara agen sosialisasi lainnya.
Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia.
Dalam kaitan inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti
sosialisasi setelah masa kanak-kanak (socialization after childhood), pendidikan
sepanjang hidup (life-long education), atau pendidikan berkesinambungan (continuing
education). Light (dalam Sunarto,1998:35), mengemukakan bahwa setelah sosialisasi
dini yang dinamakan dengan sosialisasi primer (primary socialization) kita akan
menjumpai socialization sekunder (secondary socialization). Berger dan Luckman
mendefenisikan socialization primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu
semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat, sedangkan sosialisasi
sekunder didefenisikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang
telah disosialisasikan kedalam sektor baru dari dunia obyektif.
Lewat proses sosialisasi warga masyarakat akan saling mengetahui peranan
masing-masing dalam masyarakat dan karenanya kemudian dapat bertingkah laku sesuai
peranan sosial masing-masing itu, tepat sebagaimana diharapkan oleh norma-norma
sosial yang ada; dan selanjutnya mereka-mereka akan dapat saling menyerasikan serta
Aktivitas melaksanakan sosialisasi dikerjakan oleh individu-individu tertentu,
yang sadar atau tidak dalam hal ini bekerja “mewakili” masyarakat. Mereka ini bisa
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Individu-individu yang mempunyai wibawa, patut dihormati, dan kekuasaan
yang superior atas individu-individu yang disosialisasikan. Misalnya; ayah, ibu,
guru, atasan, pemimpin dan sebagainya. Sehingga sosialisasi macam ini disebut
“sosialisasi otoriter”
2. Individu-individu yang mempunyai kedudukan sederajat (atau kurang lebih
sederajat) dengan individu-individu yang tengah disosialisasikan. Misalnya;
saudara sebaya, kawan sepermainan, kawan sekelas, dan sebagainya. Sehingga
sosialisasi macam ini disebut “sosialisasi ekualitas” .
Sosialisasi sendiri mempunyai pola-pola yang khas, yaitu:
1. Sosialisasi represi (repressive socialization), yaitu menekankan pada penggunaan
hukuman terhadap kesalahan.
2. Sosialisasi partisipasi (participatory socialization), yaitu dimana individu diberi
imbalan manakala berperilaku baik dan sebaliknya, dimana hukuman dan imbalan
bersifat simbolis; individu diberi kebebasan, penekanan lebih kepada interaksi.
Vembriarto menyimpulkan bahwa sosialisasi:
• Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana
individu menahan, mengubah impuls-impuls dalam dirinya dan mengambil cara
• Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide-ide,
pola-pola, nilai dan tingkah laku, dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana ia
hidup.
• Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun
dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.
(Khairuddin,1998:63)
Bahwa proses sosialisasi individu mempunyai fase-fase tertentu, mulai dari fase
sosialisasi dalam rumah tangga sampai pada masyarakat luas.
Tujuan dari sosialisasi:
1. Memberikan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan bagi kehidupan
seseorang kelak dimasyarakat.
2. Memampukan orang berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan
kemampuannya untuk menulis dan berbicara.
3. Mengajarkan pengendalian fungsi organis melalui pelatihan mawas diri yang
tepat bagi seseorang.
4. Membiarkan tiap-tiap individu dengan nilai-nilai kepercayaan pokok yang ada
dalam masyarakat. (Cohen, 1983:103)
Manusia hidup didunia selalu berkelompok. Karena tidak satupun manusia yang
dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Kehidupan kelompok manusia secara
bersama disebut sebagai suatu kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat
itu sendiri manusia menciptakan suatu sistem yang dapat menjamin berlangsungnya
norma-norma kehidupan untuk mengatur kehidupan untuk mengatur kehidupan
masyarakatnya.
Dalam sebuah lembaga atau institusi keberadaan nilai dan norma-norma adalah
mutlak adanya. Hal ini berfungsi sebagai penjamin eksistensi kehidupan kelompok.
Namun lebih jauh yang perlu dikaji adalah bagaimana melestarikan nilai-nilai tersebut
pada generasi berikutnya atau kepada para keturunan mereka dimasa yang akan datang.
Proses inilah yang disebut sebagai sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang di gunakan adalah metode penelitian kualitatif, yang
digunakan karena beberapa pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih
muda apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan; dan ketiga, metode ini lebih
peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi ( Moleong, 1993 : 5)
Penelitian ini menggambarkan secara menyeluruh bagaimana kehidupan Pria
Metroseksual di kota medan.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Medan. Alasan pemilihan lokasi penelitian karena
Medan adalah kota terbesar nomor tiga di Indonesia, Medan termasuk kota metropolitan
dan dikota Medan banyak ditemui para pria metroseksual. Di kota Medan terdapat
beberapa mall yang potensial dan mendukung dalam penelitian ini. Penelitian ini akan
dikhususkan pada tempat-tempat yang potensial untuk berkumpulnya para pria
metroseksual seperti kafe-kafe, restoran-restoran, salon dan tempat-tempat hiburan yang
3.3 Unit Analisis dan Informan
Yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah para pria
eksekutif muda yang berkunjung ke tempat perawatan tubuh dan café-café di mall
maupun plaza di kota Medan. Informan dalam penelitian ini adalah para pria eksekutif
muda yang berusia 20-40 tahun dan lebih memperhatikan penampilannya, pria yang
mapan dari segi ekonomi yaitu pria yang memiliki penghasilan lebih dari Rp 4.000.000
(empat juta rupiah) setiap bulannya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan
dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Dalam mengumpulkan data, peneliti
menggunakan metode tertentu sesuai dengan tujuan. Metode yang dipilih berdasarkan
pada berbagai faktor terutama jenis data dan ciri informan. Metode pengumpulan data
tergantung karakteristik data, maka metode yang digunakan tidak selalu sama untuk
setiap informan ( Gulo, 2002:110-115).
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer
dan data sekunder. Untuk mendapatkan data tersebut, maka peneliti memakai teknik
pengumpulan data melalui :
a) Data primer
Yaitu cara mengumpulkan data yang dilakukan dilapangan. Dalam hal ini,
pengumpulan data pada sepuluh pria metroseksual di Kota Medan. Adapun teknik
• Observasi langsung
Observasi lansung adalah peneliti turun ke lapangan penelitian langsung untuk
mengamati dan melihat bagaimana kehidupan sehari-hari Pria Metroseksual
ini. Disini peneliti hanya sebagai pengamat.
• Wawancara mendalam
Adalah melakukan suatu percakapan atau tanya jawab dengan informan
secara mendalam. Disini peneliti akan berusaha menggali informasi yang
sebanyak-banyaknya dari informan dengan menggunakan pedoman
wawancara yaitu interview guide ( draft wawancara) yang telah disusun
sebelumnya. Hal-hal yang akan di wawancarai berupa bagaimana gaya hidup,
sosial dan ekonomi pria metroseksual dan bagaimana pria metroseksual
mengatasi sanksi sosial dan bias gender.
b) Data sekunder
• Studi kepustakaan
Yaitu cara untuk memperoleh data yang dilakukan melalui studi kepustakaan.
Dalam hal ini kajian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data yang
bersifat teoritis, konsepsi, pandangan, tema melalui buku, dokumen, artikel,
jurnal, tulisan dan catatan lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian
ini.
• Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis, sebagian data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, laporan,
3.5 Interpretasi Data
Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan, tahap berikutnya
yang harus dilakukan adalah tahap analisa dan interpretasi data. Tahap ini adalah tahap
yang penting dan menentukan. Pada tahap inilah data akan dikerjakan dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sampai berhasil mengumpulkan kebenaran yang berguna untuk
menjawab persoalan yang diajukan oleh peneliti ( Koentjaraningrat, 1998 ; 328)
Analisa data adalah Proses Pengorganisasian dalam pengurutan data ke dalam
pola, kategori, dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
3.6. Jadwal Kegiatan dalam Penelitian ini
TABEL 1. Time Schdule Penelitian
KEGIATAN Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV
Pra Penelitian : 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan Proposal X
2. Seminar Proposal X
3. Perbaikan Proposal X
Persiapan Penelitian :
1. Pengurusan Surat Izin Penelitian X
2. Penyiapan Instrumen Penelitian X
Penelitian :
1. Observasi ( Pengamatan ) X X
2. Wawancara X X X
Pasca Penelitian :
1 Organisasi dan Reduksi Data X X
2 Interpretasi Data X X
3 Penyusunan laporan X X X
4 Presentasi Laporan X
5 Perbaikan Laporan X
keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup keterbatasan pengetahuan peneliti
mengenai metode penelitian, keterbatasan data melalui buku-buku ataupun referensi
lainnya yang mendukung penelitian, dan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh para
informan. Keterbatasan pengetahuan peneliti mengenai metode penelitian menyebabkan
lambatnya proses penelitian yang dilakukan dan data-data yang diperoleh di lapangan
menjadi tidak terlalu dalam, namun teknik pengumpulan data yang ditentukan baik
observasi maupun wawancara mendalam telah mampu menjawab permasalahan yang
dimaksud peneliti dalam penelitian ini.
Keterbatasan data melalui buku atau referensi lainnya menyebabkan peneliti agak
kesulitan untuk menjelaskan maksud dari penelitian ini karena data-data akurat yang
dapat mendukung jelas sangat dibutuhkan ketika peneliti akan memulai proses penelitian.
Sampai sejauh ini, peneliti sudah berusaha mencari buku-buku atau referensi lainnya
yang dapat menunjang penelitian yang dimaksud, tetapi sampai sejauh ini juga hasilnya
belum seperti yang diharapkan peneliti.
Keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian adalah informan tampak agak kurang
terbuka dalam menanggapi pertanyaan peneliti. Sibuknya para informan melakukan
aktivitas dan kegiatan yang sangat banyak dari pagi sampai siang bahkan sore dan malam
hari sehingga menyulitkan peneliti memperoleh data sebanyak-banyaknya. Dalam
beberapa hal, peneliti harus membuat janji terlebih dahulu kepada informan namun
kadang selalu gagal karena ketidaksesuaian waktu antara peneliti dan informan. Selain
itu, para informan terkesan tertutup memberi jawaban dikarenakan mereka takut jika
peneliti berusaha untuk meyakinkan informan, bahwa penelitian ini hanya sebuah karya
ilmiah sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana dari suatu lembaga
BAB 1V
DESKRIPSI LOKASI DAN
INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1.Profil Kota Medan
4.1.1 Gambaran Umum Kota Medan
Perkembangan Kota Medan tidak terlepas dari dimensi historis, ekonomi dan
karakteristik Kota Medan itu sendiri, yakni sebagai kota yang mengemban fungsi yang
luas dan besar (METRO), serta sebagai salah satu dari 3 (tiga) kota metropolitan terbesar
di Indonesia. Realitasnya, Kota Medan kini berfungsi:
1. Sebagai pusat pemerintahan daerah, baik pemerintahan Propinsi Sumatera
Utara, maupun Kota Medan, sebagai tempat kedudukan perwakilan/ konsultan
Negara-Negara sahabat, serta wilayah kedudukan berbagai perwakilan
Perusahaan, Bisnis, Keuangan di Sumatera Utara.
2. Sebagai pusat pelayanan kebutuhan sosial, ekonomi masyarakat Sumatera
Utara seperti: Rumah sakit, Perguruan Tinggi, Stasiun TVRI, RRI, dan
lain-lain, termasuk berbagai fasilitas yang dikembangkan swasta, khususnya
pusat-pusat perdagangan.
3. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, perdagangan, keuangan, dan jasa secara
regional maupun Internasional.
4. Sebagai pintu gerbang regional / Internasional / Kepariwisataan untuk
Kota Medan secara Demografis
Kota Medan merupakan salah satu dari 17 daerah tingkat II di daerah Sumatera
Utara, yang terletak dibagian timur Propinsi Sumatera Utara dan berada di antara 3º
30'-3º 43' LU dan 98º 35'- 98º 44' BT. Permukaan tanahnya cenderung miring keutara dan
berada pada ketinggian 2,5-37,5 m diatas permukaan laut. Luas Kota Medan saat ini
265.10 km. Sebelumnya hingga tahun 1972 Medan hanya mempunyai luas sebesar 51.32
km, namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1973 yang
memperluas wilayah Kota Medan dengan mengintegrasikan sebagian wilayah kabupaten
Deli Serdang.
Kota Medan merupakan pusat pemerintahan tingkat I Propinsi Sumatera Utara
dengan jumlah penduduk sekitar 1.904.273 jiwa. Secara geografis Kota Medan
berbatasan dengan :
• Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur Batu
Kabupaten Deli Serdang
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli
Serdang
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan
4.1.3. Pendidikan
Salah satu amanat yang diemban pemerintah menurut Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 adalah upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana amanat
ini dilaksanakan tercermin antara lain dari profil pendidikan penduduk karena pendidikan
merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah meningkatkan kesejahteraan
rakyat melalui pembangunan sumber daya manusia.
Dalam Sensus Penduduk 2000, pendidikan yang ditamatkan (ditandai dengan
ijazah tertinggi yang dimiliki) dibagi menjadi 7 (tujuh) golongan, yaitu (1) Tidak/belum
tamat SD, (2) SD, (3) SLTP, (4) SLTA, (5) Diploma I/II, (6) Akademi/DIII, (7)
Perguruan tinggi.
4.1.4. Agama
Bidang agama merupakan salah satu institusi yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dalam lima agama besar di Indonesia,
yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha, dan hindu. Agama islam lah yang
merupakan pemeluk mayoritas. Demikian juga hal di Kota Medan, berdasarkan data dari
Kantor Departemen Agama pada tahun 2005, jumlah penduduk yang memeluk agama
Islam menempati urutan pertama sebagai pemeluk agama mayoritas, yakni 1.267.736
jiwa, disusul agama Kristen Protestan ditempat kedua sebesar 320.754 jiwa dan agama
Budha di tempat ketiga sebesar 202.964 jiwa. Agama Kristen Katolik dan Agama Hindu
masing-masing berada diurutan keempat dan kelima dengan pemeluk sebesar 126.378
4.1.5. Tempat Peribadatan
Tempat peribadatan merupakan suatu wadah atau tempat bagi para pemeluk
agama masing-masing untuk melakukan ritual keagamaannya. Agama-agama besar di
Indonesia memiliki masing-masing tempat peribadatan. Agama Islam dengan tempat
peribadatannya yang dinamakan Masjid dan Mushollah atau langgar, Agama Kristen
Protestan dan Katolik dengan Gereja-nya, Agama Budha dengan Wihara, dan Agama
Hindu dengan tempat peribadatan yang dinamakan kuil.
Untuk tahun 2005, jumlah fasilitas peribadatan di Kota Medan berjumlah 1.774
buah yang terdiri dari Masjid 880 buah, Musholla atau Langgar 329, Gereja 398 buah,
kuil 19 buah, Wihara 148 buah.
4.1.6. Pusat Perbelanjaan dan hiburan
Perkembangan kota-kota di Indonesia yang terjadi selama ini dinilai cukup pesat.
Kota Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia juga mengalami perkembangan
yang cukup pesat. Wujud perkembangan ini antara lain ditandai dengan tumbuh pesatnya
berbagai pusat perbelanjaan di Kota Medan. Pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota
Medan antara lain:
• Grand Palladium Mall
• Medan Fair
• Medan Mal
• Medan Plaza
• Millenium Plaza
• Sun Plaza
• Thmarin Plaza
Sejumlah lokasi hiburan di Medan kini kian menyeruak. Ada di setiap sudut kota,
termasuk di pusat-pusat perbelanjaan modern (mal). Di mal, bisa menemukan beragam
wahana yang bisa memberikan hiburan di tengah rutinitas sehari-hari. Karena saat ini mal
bukan sekadar tempat belanja, tapi telah diafiliasikan dengan konsep nuansa entertaint.
Dari situlah kemudian hadir berbagai arena bermain bagi anak-anak, kafe-kafe yang
menawarkan suasana nyaman hingga arena bermain biliar, karaoke dan diskotek.
Satu hal yang cukup menarik saat ini adalah fenomena hadirnya kafe-kafe
memikat di lantai mal-mal di Kota Medan. Pada saat ini, yang paling gencar
menawarkan konsep itu adalah Sun Plaza dan Plaza Medan Fair. Kedua mal tersebut
punya puluhan kafe plus area foodcourt cukup luas. Sun Plaza dinilai cukup sukses
dengan Cabe Rawit-nya. Foodcourt di lantai teratas mal tersebut kini telah menjadi ikon
baru bagi warga Medan, khususnya tempat berkumpul pria metroseksual karena
lokasinya dipandang paling luas, eksotis dan nyaman. Belakangan, Plaza Medan Fair
mencoba menyaingi popularitas Cabe Rawit dengan menghadirkan Food Paradise di
lantai IV plaza tersebut. Foodcourt ini tidak cuma lokasi makan, tapi bisa menjadi tempat
pilihan hiburan. Mengisi waktu luang sambil menikmati secangkir kopi panas bersama
teman bahkan keluarga, dengan alunan suara musik yang menyapa telinga kita.
Di Thamrin Plaza, bisa menemukan diskotek M3 (dulunya Fire-red) di lantai VII
gedung mal tersebut yang masih eksis hingga sekarang. Yang unik adalah diskotek
Crystal yang tetap bertahan di Perisai Plaza, meskipun pusat belanja tersebut sudah tak