• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI SOSIAL TENTANG METROSEKSUAL (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah Usia Dewasa Awal di Yogyakarta) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "REPRESENTASI SOSIAL TENTANG METROSEKSUAL (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah Usia Dewasa Awal di Yogyakarta) SKRIPSI"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

 

Usia Dewasa Awal di Yogyakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Nyoman Trisna Aryanata NIM: 059114061

Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

(2)
(3)
(4)

MOTTO

"I think that somehow, we learn who we really are

and then live with that decision"

(5)

Skripsi ini kupersembahkan untuk

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 22 September 2009 Penulis

(7)

ABSTRAK

Nyoman Trisna Aryanata (2010). Representasi sosial tentang metroseksual (studi deskriptif pada masyarakat kelas menengah usia dewasa awal di Yogyakarta). Yogyakarta: Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi; Universitas Sanata Dharma.

Perhatian lebih pada penampilan fisik yang ditunjukkan oleh kalangan metroseksual menunjukkan ketidaksinambungan dengan konstruksi gender yang berlaku di Indonesia. Kehadiran mereka yang ‘unik’ mengindikasikan perubahan sosial dalam konstruksi gender di Indonesia. Meski demikian, penelitian yang dijumpai masih menggunakan perspektif metroseksual yang diadopsi dari penelitian agen pemasaran, dengan mengambil komunitas metroseksual sebagai pusat penelitian. Belum ditemukan jawaban mengenai bagaimana masyarakat di Yogyakarta mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang metroseksual serta posisi kalangan metroseksual di tengah-tengah mereka. Representasi Sosial dengan anchoring dan objectifiication di dalamnya dapat membantu untuk memahami keberadaan kalangan metroseksual dalam sudut pandangan masyarakat di Yogyakarta, terkait dengan keberadaan metroseksual di kota Yogyakarta.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner terbuka dan wawancara semi-terstruktur pada 34 responden di Yogyakarta dan berusia 21-36 tahun. Pengetahuan tentang metroseksual diperoleh dari media massa dan direpresentasikan sebagai pria, berada di kota, serta diasosiasikan dengan istilah-istilah yang berorientasi pada penampilan, yakni harum, bersih, rapi, gay,

fashionable, dan modis. Objectification mereka tentang metroseksual adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan, kaya, berada di kota, dan perilakunya tidak sesuai dengan idealisasi pria. Perhatian lebih pada penampilan dianggap tidak wajar untuk dilakukan para pria pada keseharian, terkecuali apabila hal tersebut menjadi tuntutan pekerjaan. Hal ini turut memberikan implikasi bahwa pria dianggap ideal apabila tidak melakukan hal-hal yang melekat pada wanita.

(8)

ABSTRACT

Nyoman Trisna Aryanata (2010). Social representation of metrosexual (descriptive study of the early adulthood middle class people of Yogyakarta). Yogyakarta: Faculty of Psychology; Department of Psychology; Sanata Dharma University.

The extra attention to physical appearance among the metrosexual men indicates a disharmony to the gender stereotypes in Yogyakarta. Their 'unique' presence leads to an indication of changes in the gender construction. However, researches on the topic of Metrosexual tend to use the perspectives taken from the marketing agents by putting metrosexual community as the central of the research. How the society of Yogyakarta constructed their knowledge of metrosexual and the positioning of the metrosexuals among them have not yet been answered. Social representation with its anchoring and objectification helps to comprehend the existence of the metrosexual based on the point of view of the society of Yogyakarta, regarding to their existence in the city of Yogyakarta.

The research was carried out by using open-questionnaires and semi-structured interview to 34 respondents located in Yogyakarta, aged 21 to 36. Knowledge of the metrosexuals is gained from the mass media and being represented as a term for men, as a phenomenon in the city, and associated with physical performance terms, such as fragrant, clean, tidy, gay, fashionable, and modist. The dominant attitude toward the metrosexuals is ambivalent attitude. Their objectifications of the metrosexuals are male who pays extra attention to the physical appearance, rich, living in the city, and tend to show immoderate behavior of the male’s idealization. Extra attention to physical appearance isn’t considered as a proper behavior to be performed by men for daily life, while acceptance is given only if it’s required by their occupation. This situation implicates that men are considered ideal when they don’t perform characteristics adhered to women.

(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Nyoman Trisna Aryanata Nomor Mahasiswa : 059114061

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Representasi Sosial Tentang Metroseksual (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah

Usia Dewasa Awal di Yogyakarta)

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 14 Januari 2010

Yang menyatakan

(10)

KATA PENGANTAR

Berangkat dari rasa ingin tahu terhadap fenomena pria metroseksual, saya pun melakukan proses penelitian ini agar dapat lebih memahami fenomena tersebut, di samping sebagai pemenuhan syarat kelulusan. Dalam proses penyusunannya, saya bertemu dengan sejumlah pihak yang sangat membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada bagian ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak tersebut.

1. Ibu Christina Siwi Handayani adalah dosen pembimbing skripsi saya. Rasa terima kasih yang sangat besar saya berikan kepada beliau berkat bimbingannya yang luar biasa. Berkat beliau, pengalaman menyusun skripsi ini menjadi proses yang sangat inspiratif sembari mengintegrasikan potongan-potongan ilmu yang saya peroleh selama perkuliahan. Arigatou sensei...

2. Ibu Risa Permanadeli adalah sosok yang turut berperan besar dalam penelitian saya ini. Saya menganggap beliau sebagai “dosen pembimbing kedua”. Terima kasih telah memperkenalkan RepSos kepada saya dan teman-teman, serta masukan yang diberikan. Ini memberikan saya sebuah pandangan baru dalam melihat diri dan lingkungan saya.

(11)

4. Orang tua dan kakak-kakak saya yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya. Peran mereka selalu di belakang layar, tetapi sangat besar efeknya pada kelancaran penyusunan skripsi saya. I love you all. 5. Teman-teman satu bimbingan dengan Ibu Siwi, baik yang RepSos maupun

non-RepSos. Terima kasih telah menjadi teman diskusi penelitian dan menjadikan proses penyusunan skripsi ini sangat menyenangkan. Aku

nggak akan pernah melupakan Taman Cemara kita . Semoga jejak kita sebagai kelompok diskusi skripsi dapat mengilhami teman-teman yang lainnya.

6. Teman-teman Kontrakan Aksi 2005 (dan penghuni-penghuni tidak tetapnya). Kalian adalah teman-teman terbaik yang pernah aku temui. Aku akan selalu mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan untuk kalian. Hidupku akan sangat berbeda bila tidak bertemu kalian.

7. Ucie, Joana, Rindi, dan Raniy. Kalian adalah perempuan-perempuan yang hebat. Terima kasih telah menjadi teman berkeluh kesah dan berdiskusi yang centil, penuh canda, dan cerdas. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan untuk kalian.

(12)

9. Bantuan administratif selalu saya dapatkan dengan mudah dari Mas Muji, Mas Doni, Pak Gie, Bu Nani, dan Mas Gandung. Terima kasih banyak atas bantuannya dan kerendahhatiannya.

10.Terdapat 34 orang yang memberikan sumbangan yang sangat besar bagi skripsi saya ini. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden penelitian saya.

Yogyakarta, 14 Januari 2010 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR DIAGRAM ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

(14)

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II. TINJAUAN TEORITIS ... 11

A. Profil Metroseksual ... 11

B. Gender Dan Ketimpangan Gender ... 15

1. Tinjauan Teoritis Konsep Gender ... 15

2. Ketimpangan Gender Pada Pria ... 18

C. Representasi Sosial ... 22

1. Teori Representasi Sosial ... 22

2. Representasi Sosial Metroseksual ... 26

D. Konteks Penelitian: Masyarakat Umum di Kota Yogyakarta Yang Berada Pada Tahap Dewasa Awal ... 28

1. Masyarakat Umum ... 28

2. Dewasa Awal ... 32

E. Peta Konsep Penelitian ... 33

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 34

A. Pendekatan Penelitian ... 34

B. Responden Penelitian ... 35

C. Batasan Istilah ... 36

(15)

2. Makna Metroseksual ... 36

3. Sikap Terhadap Metroseksual ... 36

4. Sumber Informasi Metroseksual ... 36

5. Masyarakat ... 37

D. Metode Pengumpulan Data ... 37

1. Kuesioner Terbuka ... 37

2. Wawacara Semi-terstruktur ... 40

E. Teknik Analisis Dan Interpretasi Data ... 42

1. Kuesioner Terbuka ... 43

2. Wawancara Semi-terstruktur ... 44

F. Keabsahan Data ... 45

BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 47

A. Pelaksanaan Penelitian ... 47

1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 47

2. Latar Belakang Responden ... 49

B. Hasil Penelitian ... 53

1. Kategorisasi dan Tabulasi Respon ... 54

2. Sumber Informasi Metroseksual ... 64

3. Sikap Terhadap Metroseksual ... 65

C. Pembahasan ... 77

1. “Metroseksual adalah cowok-cowok yang dandan” ... 80

2. Sumber Informasi “Metroseksual” ... 82

(16)

4. Ambivalensi Kedudukan Pria Metroseksual

Dalam Masyarakat ... 86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 96

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Lokasi Pengambilan Data ... 50

Tabel 2a. Usia Responden ... 50

Tabel 2b. Kategorisasi Usia Responden ... 51

Tabel 3. Tabulasi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51

Tabel 4. Pekerjaan Responden ... 51

Tabel 5. Daerah Asal Responden ... 52

Tabel 6. Masa Tinggal di Yogyakarta ... 52

Tabel 7. Pengeluaran Bulanan ... 52

Tabel 8. Kategorisasi Respon ... 55

Tabel 9. Rekapitulasi Respon Terbanyak ... 58

Tabel 10. Prosentase Prioritas Kata ... 61

Tabel 11. Daftar Sumber Pengetahuan “Metroseksual” ... 64

Tabel 12. Sikap Responden Terhadap Metroseksual ... 65

Tabel 13. Respon Ketidaklaziman Pada Responden yang Bersikap Ambivalen ... 67

(18)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Peta Konsep Penelitian ... 33

Bagan 2. Kalangan Dewasa Awal Kelas Menengah yang

Bersikap Setuju Terhadap Pria Metroseksual ... 92

Bagan 3. Kalangan Dewasa Awal Kelas Menengah yang

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Terbuka ... 103

Lampiran 2. Tabulasi Seluruh Respon Kata Pada Tiap-tiap Responden ... 105

Lampiran 3. Rekapitulasi Jumlah Seluruh Respon Kata ... 113

Lampiran 4. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 1 ... 115

Lampiran 5. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 2 ... 117

Lampiran 6. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 3 ... 119

Lampiran 7. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 4 ... 121

Lampiran 8. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 5 ... 123

Lampiran 9. Rekapitulasi Jumlah Respon Prioritas 1 s/d 5 ... 127

Lampiran 10. Jumlah & Prosentase Respon Prioritas Kata Per Kategori ... 129

Lampiran 11. Tabulasi Arti 5 Kata Prioritas 1 s/d 5 ... 130

(20)

1 A. Latar Belakang

Pada masyarakat perkotaan kontemporer, fenomena metroseksual

menjadi sebuah hal yang telah populer, terutama pada medio tahun 2003-2005.

Kartajaya, Yuswohady, Madyani, Christynar, dan Indrio (2004) mengulas

secara lugas fenomena ini dalam buku mereka yang berjudul “Metrosexuals in

Venus”. Jika kita memasuki pusat-pusat perbelanjaan, dapat kita jumpai

sejumlah gerai yang menyediakan pakaian khusus pria dalam berbagai model

serta produk-produk perawatan tubuh “for men”. Kartajaya et al. (2004)

menyebutkan bahwa perusahaan kosmetik ini dulu hanya menghasilkan produk

wanita. Akan tetapi, kini koleksi mereka telah semakin lengkap, mulai dari

scrub, shaving gel (gel pencukur), moisturizer (pelembab wajah), dan lotion

(krim untuk tubuh), disediakan lengkap khusus bagi kaum adam yang

menginginkan penampilan yang menarik.

Pria metroseksual pun dinyatakan telah menunjukkan keberadaannya

di Yogyakarta. Harian Kompas Jogja mengulas mereka dalam tiga artikel

terpisah yang berjudul “Spa Pun Mulai Menjamur” (2005), “Fitness,

Menangkap Tren Pria Metroseksual” (2007), dan “Pria Metroseksual, Dari

Esensi Ke Eksistensi” (2005). Kehadiran spa yang menjamur di Yogyakarta

turut menjaring konsumen pria yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku pada

(21)

ingin memiliki penampilan fisik yang menarik. Kemunculan metroseksual pun

tampak dalam media massa, dimana sejak tahun 2003 bermunculan

majalah-majalah pria dengan porsi iklan produk perawatan tubuh pria dan berbagai tips

memperhatikan penampilan bagi mereka yang cukup dominan. Beberapa dari

mereka yang terkenal adalah FHM, Men’s Health, dan Popular (Kartajaya et

al., 2004).

Beberapa tulisan menjelaskan bahwa istilah metroseksual selalu

dilekatkan pada pria. Pria metroseksual senantiasa dikatakan sebagai pria yang

dandy atau pria yang sangat memperhatikan dandanannya (Simpson, 1994;

Simpson, 2002; Kartajaya et al., 2004). Mereka bersedia meluangkan waktu

secara khusus untuk melakukan perawatan ataupun membenahi

penampilannya. Mereka umumnya klimis, dandy, dan paling peduli dengan yang namanya penampilan (Kartajaya et al., 2004). Jika kita melihat dalam

kacamata kontruksi gender, perilaku semacam ini menjadi sebuah bentuk

perilaku yang tidak sejalan dengan apa yang dianggap sesuai untuk dilakukan

oleh pria. Penelitian Rosenkrantz (dalam Brannon, 1996) mengkonfirmasi hal

ini, dimana ia menemukan persepsi stereotip gender yang kuat pada

mahasiswa. Ketika para mahasiswa tersebut (baik pria dan wanita) diminta

untuk menyebutkan sifat-sifat yang membedakan kedua jenis kelamin, salah

satu hal yang mereka pasangkan pada sosok wanita adalah sifat ‘interested in own appearance’ dan sifat ‘not conceited about appearance’ pada pria.

Dengan kata lain, perilaku merawat dan memperhatikan tubuh telah menjadi

(22)

diharapkan) sebagai sosok yang lekat dengan aktivitas yang bernuansa kasar

(misalnya adventurous dan skilled in business) dan sifat-sifat yang keras (misalnya aggressive, ambitious, unemotional), dimana perilaku memberi perhatian pada penampilan akan memberikan kesan feminin dengan nada yang

negatif (Brannon, 1996).

Konstruksi gender yang saat ini berlaku secara umum di Indonesia

adalah pria dan wanita dianggap memiliki atribut kepribadian yang

berlawanan. Pria harus bersifat maskulin sedangkan wanita harus bersifat

feminin; peran pria di sektor publik sedangkan peran wanita di sektor

domestik-privat. Hal ini dapat dilihat dalam ciri-ciri ideal wanita dan pria Jawa

dalam novel sejarah karangan Promoedya Ananta Toer yang berjudul “Rumah

Kaca” (2009) dan “Bumi Manusia” (2006). Wanita Jawa yang ideal dijelaskan

sebagai wanita yang pandai bersolek dan bersopan-santun, luwes dalam

pergaulan, setiap saat sedia membantu dan menolong orang, serta terampil di

depan umum dan di rumah (Toer, 2009). Dalam kenyataan masyarakat Jawa

sehari-hari, masih sangat dikenal peran yang hanya melekat pada wanita yaitu

masak, manak, dan macak (catatan lapangan 10 Agustus 2009). Masak adalah

tugas wanita di dapur, manak adalah tugas wanita untuk melahirkan anak, dan

macak adalah tugas wanita harus bisa dandan. Sementara itu, pria dianggap

ideal apabila memenuhi syarat-syarat yang mengekspresikan kekuasaan dan

kekuatan maskulin dimana mereka memiliki wisma (rumah), wanita, turangga

(23)

masyarakat sehari-hari, peran yang melekat pada pria adalah minum, medok,

dan madat (catatan lapangan 10 Agustus 2009).

Dapat dilihat bahwa kegiatan bersolek atau memperhatikan

penampilan menjadi ciri yang melekat secara khusus pada wanita, dan bukan

pada pria. Meskipun demikian, kenyataan tertentu dalam kultur masyarakat

Jawa juga memberi ruang bagi sifat feminin sekaligus sifat memperhatikan

penampilan pada pria (Pemberton, 2003). Wujud pria yang menunjukkan ciri

feminin ini dapat dilihat secara cukup menonjol dalam tradisi Gemblak di Jawa

Timur dan Bissu pada masyarakat Bugis, bahkan mereka memiliki kedudukan

yang tergolong penting dalam masyarakatnya. Sosok gemblak adalah sosok

pria berusia kurang dari 15 tahun yang memiliki paras cantik dan dia menjadi

peliharaan warok yang dalam hal ini merupakan tokoh sentral dalam kesenian

Reog, yang memiliki kesaktian tertentu (Ranggasutrasna, 1999). Sosok Bissu

adalah seorang pria yang memiliki peranan memimpin upacara adat di suku

Bugis, dimana dalam penampilan kesehariannya selalu membawa sebuah badi

(semacam keris) sekaligus ia juga bersolek dan mengenakan bunga di

rambutnya (Graham, 2002). Dengan kata lain, sosok Bissu adalah sosok pria

yang halus sekaligus kuat tetapi bersolek dan menggunakan atribut bunga yang

biasanya melekat pada wanita, tetapi secara kultural dia memiliki posisi

penting dalam masyarakat sebagai pemimpin upacara adat.

Dengan demikian, terdapat dua bentuk konstruksi yang berbeda

mengenai pria di dalam masyarakat ini. Konstruksi yang pertama hanya

(24)

rumah, wanita dan badi. Sedangkan konstruksi yang kedua melekatkan pria

dengan karakter feminin yang identik dengan kehalusan dan kecantikan yang

terekspresi dalam atribut bunga dan kegiatan bersolek.

Oleh karena itu, untuk memahami posisi pria metroseksual dalam

masyarakat ini kita tidak bisa lepas dari konteks sosial yang dimiliki

masyarakat ini mengenai pria dalam bentuk konstruksi gender yang ada.

Dengan memperhitungkan konteks sosial masyakarat diharapkan dapat

memberikan pemahaman yang proporsional mengenai pria metroseksual dalam

keberadaannya di tengah masyarakat.

Karsidi (2007) menyebutkan adanya tiga hal besar yang menimbulkan

perubahan besar bagi kehidupan manusia, yaitu (1) demokratisasi, (2)

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi komunikasi

dan informasi, dan (3) globalisasi. Media massa menjadi sebuah contoh yang

sesuai untuk menggambarkan ketiga hal tersebut. Kita ketahui bersama bahwa

media massa merupakan salah satu bentuk teknologi informasi-komunikasi.

Keberadaan istilah “metroseksual” sendiri tidak lepas dari media massa,

dimana istilah ini muncul dalam sebuah artikel di internet, yang kemudian

menyebar luas di berbagai media massa lainnya. Kekuatan media, sebagai

bagian dari globalisasi, pun membawa istilah ini ke Indonesia, yang dapat kita

saksikan dalam berbagai ulasan media lokal mengenai metroseksual. Terdapat

sejumlah majalah yang mengkhususkan diri pada pria-pria yang mereka sebut

“metroseksual” (Kartajaya et al., 2004), berbagai iklan yang menayangkan

(25)

yang berkaitan dengan metroseksual. Hal ini lah yang turut mendorong

popularitas istilah ini dalam masyarakat. Adanya berbagai ulasan di media

massa pun mendorong pembentukan pemikiran atau opini tersendiri dalam

masyarakat mengenai istilah “metroseksual”, meski pun mereka belum

menjumpai secara langsung kalangan metroseksual tersebut. Hal ini pun secara

tidak langsung dapat membentuk konstruksi pengetahuan mereka tentang

orang-orang yang disebut sebagai “metroseksual”, maupun dalam memberikan

kesempatan akan keberadaan mereka di tengah masyarakat.

Wibowo (dalam Adlin, 2006) menyebutkan bahwa berbagai tulisan

mengenai metroseksual menyatakan bahwa konsep tersebut pertama kali

muncul di surat kabar Independent di Inggris pada tahun 1994 yang ditulis oleh

Mark Simpson. Sebuah penelitian bertajuk “The Future Study of Men in

Indonesia” dilakukan oleh MarkPlus&Co (dalam Kartajaya et al., 2004), sebuah lembaga konsultan pemasaran, telah menemukan gambaran pria kelas

A++ ke atas di Jabotabek. Mereka pun menyebutkan bahwa kalangan pria ini

merupakan pria metroseksual. Penelitian ini ternyata mengadopsi penelitian

serupa yang dilakukan oleh sebuah agensi konsultan komunikasi pemasaran di

Amerika Serikat, Euro RSCG Worldwide, dimana lembaga tersebut juga

mengacu pada konsep metroseksual yang dijelaskan oleh Mark Simpson.

Metroseksual dijelaskan sebagai:

(26)

Mereka umumnya klimis, dandy, dan paling peduli dengan yang namanya penampilan...” (Kartajaya et al., 2004).

Dengan meletakkan pria metroseksual sebagai komunitas khusus,

maka ulasan tersebut menjadi kurang komprehensif. Hal ini dikarenakan ulasan

tersebut tidak melihat kondisi sosiokultural dalam masyarakat yang

memberikan ruang bagi keberadaan metroseksual. Oleh karena itu, perlu

dilakukan suatu penelurusan pada masyarakat umum demi mendapatkan suatu

gambaran akan representasi keberadaan mereka (metroseksual) di tengah

masyarakat. Pria metroseksual pun dilihat melalui sudut pandang masyarakat

dimana mereka berada sehingga kalangan metroseksual ini pun dilihat sebagai

bagian dari masyarakat tersebut. Dengan mendapatkan gambaran posisi mereka

di tengah masyarakat maka diharapkan penelitian ini memberi kontribusi pada

usaha untuk meminimalisir bias gender dalam masyarakat.

Kartajaya et al. (2004) telah melakukan sebuah penelitian yang

menemukan karakteristik pria metroseksual di beberapa kota besar di Indonesia

(Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Meskipun demikian, penelitiannya

belum memberikan kita gambaran keberadaan mereka dalam konteks sosial

dimana kalangan metroseksual itu berada. Penelitian-penelitian yang terkait

dengan metroseksual masih banyak berada dalam lingkup ekonomi, dimana

metroseksual dilihat sebagai sebuah komoditas, seperti yang dilakukan oleh

Kartajaya dan Euro RSCG. Dalam hal ini, kalangan metroseksual dipandang

sebagai kalangan pria yang gemar menggunakan produk perawatan tubuh

(27)

pria metroseksual pun masih menggunakan pengulasan yang dipergunakan

oleh media massa di Barat. Oleh karena itu, studi ini juga diharapkan akan

menemukan sebuah pemaknaan metroseksual dalam perspektif masyarakat

umum di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.

Yogyakarta menjadi lokasi dimana penelitian ini dilaksanakan.

Terdapat dua alasan mengapa Yogyakarta menjadi lokasi yang dipilih.

Pertama, artikel dengan topik Metroseksual di harian Kompas Jogja

menunjukkan bahwa fenomena kalangan metroseksual ini telah terjadi di

Yogyakarta. Dengan kata lain, kalangan metroseksual ini telah menunjukkan

keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Kedua, terkait

dengan gender, budaya yang dominan di Yogyakarta adalah budaya patriarki,

seperti yang pada umumnya terjadi di Jawa (Handayani, 2004). Budaya ini

menempatkan nilai-nilai maskulinitas yang melekat pada laki-laki sebagai hal

yang lebih superior. Hal ini menekankan adanya ketidaksinambungan antara

budaya tersebut dengan fenomena pria metroseksual, dimana kalangan pria

metroseksual tersebut melakukan aktivitas bersolek yang identik dengan

wanita. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus ingin melihat keberadaan

‘metroseksual’ dalam konstruksi gender yang berlaku di masyarakat

Yogyakarta. Dalam hal ini, hendak ditemukan konstruksi gender seperti apa

yang memberikan ruang bagi keberadaan kalangan metroseksual tersebut.

Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

(28)

konstruksi gender yang hanya melihat sosok pria sebagai sosok yang tidak

sesuai untuk melakukan aktivitas feminin.

B. Rumusan Masalah

Demi memberikan suatu gambaran akan pemaknaan metroseksual

dalam diri masyarakat, maka hendak dijawab berbagai permasalahan berikut:

1. Sumber-sumber informasi apa sajakah yang memberi kontribusi pada

pemahaman tentang konsep metroseksual muncul dalam masyarakat

di Yogyakarta?

2. Bagaimanakah masyarakat di Yogyakarta memaknai dan

mengkonstruksikan pengetahuan tentang ‘metroseksual’ ?

3. Bagaimanakah posisi kalangan metroseksual dalam konstruksi gender

di Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan, maka tujuan dari

penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sumber-sumber informasi mengenai

“metroseksual”.

2. Menemukan representasi sosial “metroseksual” dalam sudut pandang

masyarakat Yogyakarta serta berdasarkan latar belakang masyarakat

tersebut terkait dengan konstruksi konsep metroseksual di

(29)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Sumbangan pengayaan psikologi sosial dan representasi sosial

masyarakat terkait dengan tema metroseksual dan kegunaannya dalam

melihat permasalahan psikologis di sekitarnya, khususnya karena ruang

pencarian di dalamnya yang masih luas.

b. Memberikan gambaran akan kehadiran metroseksual dalam perspektif

masyarakat Indonesia dan memahami kondisi psikososial masyarakat

yang memberikan ruang bagi keberadaan metroseksual.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman tentang posisi pria metroseksual dalam

masyarakat untuk memberi kontribusi pada usaha meminimalisir bias

(30)

11

A. Profil Metroseksual

“Metroseksual” merupakan sebuah istilah yang kini tidak asing lagi

kita dengar. Mengacu pada istilah aslinya yang dalam bahasa Inggris, secara

etimologis, metrosexual merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata, yakni ‘metropolitan’ dan ‘sexual’. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (University of Oxford, 2005) dan Encarta Webster’s College Dictionary 2nd Edition (Bloomsbury Publishing, 2005), ‘metropolitan’ memiliki pengertian yang mengacu pada ibukota atau kota besar. Sementara

itu, kata ‘sexual’ memiliki makna yang lebih beragam. Istilah ini mengacu

pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu sendiri.

Dengan kata lain, kedua istilah ini memiliki fungsi sebagai kata benda (noun) yang pemakaiannya dipasangkan dengan kata lain untuk memperoleh arti

yang lebih spesifik. Akan tetapi, dalam kedua kamus tersebut, ketika kata

‘sexual’ dan ‘metropolitan’ digabungkan ke dalam kata ‘metrosexual’ ternyata memiliki pemaknaan tersendiri. Metrosexual dijelaskan sebagai pria heteroseksual yang berusia muda, tinggal di kota, dan memiliki ketertarikan

pada fashion dan shopping (kegiatan berbelanja) serta memperhatikan penampilan mereka.

Penelitian pertama tentang metroseksual dilakukan pertama kali oleh

(31)

mereka merupakan adopsi dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Euro

RSCG. Riset paling terkemuka sejak lahirnya gejala metroseksual dilakukan

tahun 2003 oleh Euro RSCG, sebuah biro periklanan ternama yang berbasis

di New York. Meskipun demikian, ulasan pertama di Indonesia mengenai

metroseksual diangkat pertama kali oleh koran Kompas edisi 31 Agustus

2003 dalam artikel yang berjudul “Dunia Masa Kini: Metroseksual!”

(Kartajaya et al., 2004).

Pendefinisian istilah metroseksual dalam Wibowo (dalam Adlin,

2006) dan Kartajaya et al., (2004), dalam beberapa artikel di harian Kompas,

serta dalam riset yang dilakukan oleh Euro RSCG senantiasa bermuara pada

pendefinisian yang ditulis oleh Mark Simpson pada harian Independent

(1994) di Inggris dan dalam artikelnya di www.salon.com pada tahun 2002.

Menurutnya, untuk menentukan apakah seseorang merupakan metroseksual

adalah cukup dengan melihatnya karena mereka sangat memperhatikan

penampilannya. Metroseksual dijelaskan dalam pernyataan berikut:

The typical metrosexual is a young man with money to spend, living in or within easy reach of a metropolis -- because that's where all the best shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference. Particular professions, such as modeling, waiting tables, media, pop music and, nowadays, sport, seem to attract them but, truth be told, like male vanity products and herpes, they're pretty much everywhere.

(Simpson, www.salon.com, 22 Juli 2002).

Penjelasan bernada satir oleh Simpson tersebut menunjukkan

bagaimana metroseksual menjadi sebuah istilah yang mengacu pada pria yang

(32)

(“...best shops”) maupun jasa (“...clubs, gyms, and hairdresser”) yang dapat menunjang kebutuhannya akan perhatian pada penampilan. Kalangan ini juga

dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau memiliki akses yang

mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana. Jenis pekerjaan yang

mereka geluti pun cukup bervariasi. Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan

Kartajaya et al., (2004) menyebutkan bahwa pekerjaan mereka mulai dari

model, resepsionis, profesional media, musisi populer, olahragawan, bahkan

berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan cantiknya serta

memiliki akses ke produk-produk mahal.

MarkPlus&Co dan Euro RSCG memandang metroseksual sebagai

sebuah bagian dari keberhasilan feminisme, khususnya dalam dunia kerja.

Dalam survei mereka, pria-pria yang menjadi responden menunjukkan

penerimaan terhadap masuknya wanita ke dalam kehidupan mereka serta

kenyamanan dalam mengekspresikan sisi feminin mereka. Dalam pandangan

mereka, hal ini dikarenakan telah masuknya wanita ke dalam berbagai sektor

publik sehingga menimbulkan interaksi yang lebih intens antara wanita dan

pria, meski metroseksual bukanlah bagian dari hasrat dan politisasi gerakan

perempuan. Para pria tersebut pun menjadi semakin mengenal sisi wanita,

bahkan melakukan kebiasaan perilaku yang selama ini menjadi stereotip

wanita (Kartajaya, 2004).

Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai

metroseksual ketika ia pertama kali mengulas mereka. Mark Simpson

(33)

artikelnya yang berjudul “Metrosexual? That rings a bell....” (2003). Istilah

‘metrosexual’ merupakan istilah yang disebutkan dengan tidak terlalu serius oleh Simpson ketika ia pertama kali menuliskannya. Metrosexual adalah terminologi yang digunakannya untuk menggambarkan dampak

konsumerisme dan poliferasi media massa terhadap paham maskulinitas

tradisional, yang termanifestasikan dalam berbagai glossy magazines

(majalah gaya hidup pria kontemporer). Simpson memandang bahwa

metroseksual adalah kalangan pria yang tidak lagi mengumpulkan uang untuk

digunakan oleh pasangan wanita mereka. Peran ini tergantikan dengan

pria-pria yang kini kurang yakin dalam identitasnya, sangat memperhatikan

penampilan, yang kini menjadi impian bagi kalangan pemasaran. Hal ini

menunjukkan bahwa ‘metrosexual’ merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Simpson dalam kritiknya terhadap konsumerisme yang dipacu oleh

media massa pada kaum pria.

Penjelasan mengenai metroseksual di atas menunjukkan bahwa

meskipun berbagai penjelasan mengenai metroseksual pada akhirnya

bermuara pada artikel Mark Simpson, ternyata terdapat ketidaksinambungan

dalam pemaknaan metroseksual, baik yang dilontarkan oleh Simpson maupun

yang dinyatakan oleh EuroRSCG (secara tidak langsung juga termasuk

MarkPlus&Co). Dalam satu sisi, metroseksual digambarkan sebagai sebuah

sebutan satir pada pria yang mempercantik dirinya, yang biasanya hidup di

perkotaan. Di sisi lain, metroseksual juga dilihat sebagai sebuah fenomena

(34)

Ketika melihat pada asal-muasal metroseksual itu sendiri, kedua pihak

tersebut juga memiliki pandangan yang berbeda. Wibowo (dalam Adlin,

2006) juga memaparkan bahwa Mark Simpson melihat metroseksual sebagai

bentukan glossy magazines (majalah gaya hidup pria) dan komodifikasi pria dalam berbagai produk perawatan tubuh. Sementara itu, Euro RSCG melihat

metroseksual sebagai hasil dari gerakan feminisme dan lingkungan pekerjaan.

Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa metroseksual berada dalam

lingkungan perkotaan. Dari berbagai pandangan tersebut, metroseksual

kemudian disimpulkan melalui dua tolok ukur yang utama. Pertama, pria

metroseksual dapat dicirikan secara visual. Ia berpenampilan rapi dan

menarik walaupun bentuk-bentuk prakteknya berbeda tapi efek yang

dihasilkannya sama (kesan rapi dan menarik). Kedua, pria metroseksual

bertempat tinggal di kota besar. Kategori-kategori lainnya selain kedua hal

tersebut di atas dipandang sebagai kategori yang bersifat tidak tetap dalam

identitas pria metroseksual.

B. Gender dan Ketimpangan Gender

1. Tinjauan Teoritis Konsep Gender

Secara biologis, manusia dapat dibedakan berdasarkan

karakteristik fisiknya, yaitu pria dan wanita, yang kemudian disebut

sebagai jenis kelamin (atau ‘sex’ dalam bahasa Inggris). Akan tetapi, gender tidak akan dapat dipahami sesederhana itu, dimana hanya dengan

(35)

Istilah “seks” dan “gender” pada hakekatnya memiliki pemaknaan yang

berbeda. Oakley (dalam Kasiyan, 2008) menegaskan secara prinsip

bahwa gender menunjuk pada kategori sosial, sedangkan seks mengacu

pada kategori biologis. Hal yang senada juga disebutkan oleh Mosses

(1996), dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin (seks) merupakan

pemberian (given), yakni kelahiran kita sebagai pria dan wanita. Akan tetapi, jalan yang menjadikan kita feminin atau maskulin adalah atribut

psikologis yang ditetapkan oleh kultur kita terhadap jenis kelamin kita.

Dengan kata lain, gender merupakan sebuah konstruksi sosial.

Ketika membahas gender, kita akan terbawa pada istilah

stereotip gender dan peran gender. Peran gender dapat digambarkan

sebagai sebuah ketentuan yang berlaku bagi pria dan wanita untuk

memenuhi peta tertentu dalam masyarakat dan bertingkah laku sesuai

dengan gendernya (Brannon, 1996; Kasiyan, 2008; Megawangi, 1999;

Nugroho, 2008). Contoh yang dapat menggambarkan hal tersebut adalah

bagaimana pria di Indonesia diharapkan untuk menjadi sosok yang kuat,

bertanggung jawab, dan dapat memenuhi nafkah keluarganya (bila telah

berkeluarga), sementara wanita diharapkan untuk menjadi sosok yang

lemah lembut dan melakukan pekerjaan rumah tangga (Handayani,

2004).

Stereotip gender merupakan suatu istilah yang menggambarkan

(36)

wanita (Brannon, 1996). Anggapan mengenai pria sebagai sosok yang

agresif, dominan, tidak memperhatikan penampilan, berpikir logis, dan

sebagainya, merupakan sebagian dari berbagai stereotip yang melekat

pada pria. Wanita pun seringkali disebut sebagai sosok yang lemah

lembut, cerewet, suka memperhatikan penampilan, dan sebagainya

(Rosenkrantz, dalam Brannon, 1996).

Jika dilihat secara sekilas, stereotip gender dan peran gender

tampak memiliki pengertian yang serupa. Namun, kedua istilah ini

memiliki pemaknaan yang berbeda. Kedua konsep ini pada dasarnya

memiliki keterkaitan satu sama lain. Akan tetapi, peran gender lebih

mengacu pada tingkah laku yang diharapkan pada pria dan wanita dalam

situasi sosial (peran sosial), sementara stereotip gender merupakan

kepercayaan mengenai maskulinitas dan femininitas pada pria dan wanita

(Brannon, 1996; Handayani, 2004; Kasiyan, 2008; Nugroho, 2008).

Dengan kata lain, stereotip gender merupakan ciri sifat yang melekat

pada peran gender. Kita bisa mengambil contoh pada masyarakat kita

dimana wanita diharapkan kelak untuk menjadi seorang ibu rumah

tangga yang akan mengasuh anaknya. Oleh karena itu, ia pun kemudian

diharapkan untuk memiliki sifat-sifat lemah lembut, penyayang, sabar,

dan mengayomi. Pria kemudian diharapkan kelak menjadi seorang

kepala keluarga, sehingga ia perlu menjadi sosok yang tegas, disiplin,

(37)

sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan pasif, sementara pria

dianggap kuat, rasional, dan agresif.

Di sisi lain, kedua istilah (stereotip gender dan peran gender) ini

secara ideologis maupun praktek juga menciptakan sebuah dinding yang

tidak tipis antara pria dan wanita secara sosiokultural. Batasan mengenai

hal yang pantas dan tidak pantas menjadi acuan dalam menilai kedua

jenis kelamin tersebut. Batasan-batasan tersebut menyangkut sikap,

perilaku, dan penampilan yang diarahkan bagi pria dan wanita dalam

interaksi sosial (Brannon, 1996). Pleck (dalam Courtenay, 2000) juga

menjelaskan bahwa cara berpikir dan berperilaku pria dan wanita bukan

disebabkan oleh identitas jenis kelamin yang dimiliki tetapi karena

konstruksi femininitas pada wanita dan maskulinitas pada laki-laki. Hal

ini pun menyebabkan dikotomi pria dan wanita tidak hanya terbatas pada

ciri biologis mereka, tetapi juga termasuk aspek psikososialnya. Wilayah

wanita pun menjadi tidak dapat dimasuki dengan mudah oleh pria,

demikian pula sebaliknya, dengan konsekuensi kesan abnormal apabila

dilanggar. Hal ini juga dikarenakan adanya konstruksi gender di

masyarakat yang telah menjadi nilai-nilai yang melekat kuat dan diyakini

bersama (Kasiyan, 2008).

2. Ketimpangan Gender Pada Pria

Pembahasan mengenai kedudukan pria dan wanita secara

(38)

dan wanita secara kultural senantiasa menimbulkan perdebatan,

khususnya yang menonjol adalah mengenai kesetaraan antara kedudukan

pria dan wanita sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum feminis.

Istilah kesetaraan gender seringkali terkait dengan subordinasi atau

ketidakadilan yang dialami wanita, bukan yang dialami oleh pria.

Wacana ketidakadilan gender masih jarang mempersoalkan kedudukan

pria di Indonesia sehingga di sisi lain tampak memberikan sebuah

petunjuk akan ketidakadilan dalam posisi pria (Kasiyan, 2008;

Megawangi, 1999; Nugroho, 2008; Prabasmoro, 2006).

Pergerakan emansipasi wanita telah memberikan sejumlah

kesempatan bagi wanita untuk beraktivitas dalam ruang publik. Wanita

dalam sistem pembagian kerja secara seksual, cenderung selalu

ditempatkan dalam wilayah domestik atau rumah tangga, dengan

serangkaian kerja yang sifatnya reproduktif (Kasiyan, 2008). Ketika

wanita berhasil mengejar atau menyamai kedudukan pria, akan muncul

sebuah kesan positif, sanjungan, dan pembanggaan atas keberhasilan

tersebut. Hal ini digambarkan oleh Prabasmoro (2006) sebagai berikut.

Adalah hipokrisi dan standar ganda yang sebenarnya muncul dalam fenomena itu. Wanita boleh memasuki sektor publik karena ada konsep lebih tingginya nilai-nilai maskulin. Artinya, wanita menjadi maskulin lebih berterima daripada pria yang feminin. Artinya lagi, wanita boleh bekera di luar tapi tetap melaksanakan pekerjaan domestiknya, tetapi pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik karena itu merendahkan dirinya. (Prabasmoro, 2006).

Dalam contoh yang lebih mudah, wanita yang mengenakan jas

(39)

dibandingkan dengan pria yang mengenakan sweater dengan bentuk meliuk seperti tubuh wanita. Hal ini didasari pada stereotip pada pakaian,

dimana celana dipandang sebagai sesuatu hal yang pantas bagi pria,

sementara rok ataupun pakaian lain yang menonjolkan lekuk tubuh

dianggap sebagai “milik” wanita. Ketika kita membahas kesetaraan

gender, asumsinya adalah (seharusnya) terdapat kesempatan yang sama

bagi pria maupun wanita untuk merambah domain satu sama lain dan

apresiasi bagi kemampuan mereka. Spirit dasar konsep feminisme adalah

menempatkan pria dan wanita setara sebagai manusia yang lengkap

dengan nilai yang dilekatkan (Kasiyan, 2008). Dalam kenyataan yang

terjadi, meski pria telah berhasil merambah sejumlah ruang yang menjadi

stereotip wanita, seperti memasak dan mengasuh anak, masih terdapat

tuntutan bagi pria untuk mempertahankan kemaskulinitasannya dalam

berbagai segi.

Di dalam kehidupan sosial, pria memiliki tuntutan sosiokultural

yang tidak ringan. Seperti yang dijelaskan di atas, selama ini konsep

maskulin memiliki nilai yang lebih tinggi di dalam masyarakat kita yang

patriarkis. Hal ini turut pula menandakan adanya tuntutan bagi pria untuk

tetap mempertahankan kemaskulinitasannya dalam kehidupan sosial.

Secara harafiah, istilah ‘patriarki’ memuat pengertian sebagai

kepemimpinan para ayah (Mies, dalam Kasiyan, 2008). Dalam

perkembangan selanjutnya, ternyata istilah ini berkembang menjadi

(40)

mengenai pria yang berkuasa di berbagai institusi sosial. Karena adanya

serangkaian stereotip maskulinitas pria yang seringkali berkonotasi

positif, maka pria menempati posisi di wilayah publik yang sifatnya

produktif dalam hierarki pembagian kerja secara seksual, dimana

kemudian pekerjaan-pekerjaan ini dipandang lebih terhormat (Kasiyan,

2008). Dalam kehidupan kita, dapat dengan dicontohkan dalam posisi

pemimpin di berbagai institusi sosial, seperti kepala daerah, presiden,

maupun pemimpin perusahaan yang didominasi oleh pria. Bahkan secara

tradisional pun pria diharapkan untuk menjadi seorang kepala keluarga.

Maka tidak mengherankan apabila terdapat tuntutan bagi pria untuk

selalu maskulin dan tidak melakukan hal-hal yang menjadi stereotip

wanita atas dasar kedudukan sosiokultural yang tinggi tersebut. Wujud

beban yang dimiliki oleh pria dapat dilihat pula dalam kultur Jawa

dimana pria menanggung beban publik untuk selalu bisa membawa diri

sesuai dengan tata krama yang tepat (Handayani, 2004).

Tuntutan kemaskulinitasan yang dialamatkan pada pria, bila

dicermati lebih jauh akan menunjukkan suatu ‘kesulitan’ atau

‘ketidakadilan’ bagi kaum pria. Kita dapat mengambil contoh pada

tangisan. Dalam studi yang dilakukan oleh Levoy (dalam Handayani,

2004) menunjukkan bahwa tangisan sesungguhnya memiliki dampak

positif. Secara biologis, tangis akan memicu keluarnya air mata yang

turut pula mengeluarkan mangan dari tubuh. Sebagian besar wanita

(41)

setelah menangis dan mereka pun melihat tangisan sebagai sesuatu yang

positif. Dengan kata lain, tangisan menjadi suatu hal yang memiliki

dampak fisik dan psikis yang positif. Akan tetapi, fasilitas tersebut secara

sosial tidak diberikan bagi pria. Pria secara sosial dianggap tidak pantas

untuk menangis sehingga agak berkurang daya tahan emosionalnya

terhadap kejadian-kejadian yang mengandung stres (Handayani, 2004).

Berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas, maka dapat ditarik

suatu pemahaman bahwa sulit bagi pria untuk ‘melunakkan’ dirinya

(menjadi lebih feminin) tanpa mendapatkan stigma negatif dari

masyarakat. Pergerakan feminis yang bertujuan untuk memberikan

kesetaraan bagi pria dan wanita dalam kehidupan sosial tidak secara

langsung memberikan kesempatan bagi pria untuk menjadi lebih feminin.

Konstruksi gender yang ada dalam masyarakat pun turut menjadi

kontributor di dalamnya, dimana hal ini melibatkan stereotip gender yang

berkembang di masyarakat. Dalam kondisi apapun, pria tetap diharapkan

untuk selalu menunjukkan ciri-ciri yang sejalan dengan stereotip

gendernya.

C. Representasi Sosial

1. Teori Representasi Sosial

Teori Representasi Sosial merupakan teori yang dipelopori oleh

Serge Moscovici yang berasal dari Perancis. Dalam sudut pandang teori

(42)

dapat dipahami apabila dilihat sebagai sesuatu hal yang disatukan oleh

kondisi historis, kultural dan makrososial (Wagner, Duveen, Farr,

Jovchelovitch, Lorenzi-Cioldi, Marková, dan Rose, 1999). Dengan kata

lain, memahami reaksi psikologis seseorang terhadap suatu fenomena

tidak akan lepas dari latar belakang kultural dimana orang tersebut

berada dan nilai lokal yang dimilikinya. Seorang individu dalam

memahami suatu fenomena akan menggunakan berbagai pengetahuan

yang telah dimilikinya, termasuk berbagai nilai maupun keyakinan yang

dimilikinya, untuk kemudian menjadi pedomannya dalam berperilaku.

Hal ini tidak lepas pula dari lingkungan sosial dimana ia berada. Hal ini

turut pula menunjukkan bahwa dalam pandangan representasi sosial,

kondisi psikologis seseorang merupakan produk sosial yang akan

menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam

lingkungan yang sama (Walmsley, 2004).

Dari penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa representasi

sosial merupakan sebuah sistem nilai, ide, dan praktek yang memiliki

empat fungsi representasi sosial yang diungkapkan oleh Moscovici

(dalam Walmsley, 2004). Keempat fungsi tersebut adalah sebagai

berikut.

a) Fungsi pengetahuan, yakni memungkinkan suatu realita

untuk dipahami dan dijelaskan.

b) Fungsi identitas, yakni meletakkan individu dan kelompok

(43)

perkembangan sebuah identitas sosial selaras dengan norma

dan nilai-nilai dalam masyarakat.

c) Fungsi orientasi, yakni dapat mengarahkan sikap dan

praktek.

d) Fungsi pembenaran, yakni mengizinkan sesudah fakta

pembenaran posisi dan perilaku.

Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa representasi

sosial merupakan seperangkat konsep, pernyataan, ataupun penjelasan

yang berasal dari kehidupan sehari-hari pada masyarakat dan hanya

mungkin terjadi karena adanya proses komunikasi terus-menerus antar

anggota dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Melalui representasi

sosial, mereka (masyarakat umum) memperoleh pengetahuan akan

bagaimana perilaku mereka diarahkan dalam menanggapi suatu obyek

representasi serta bagaimana mereka menjelaskan obyek tersebut

(Moscovici, 2001).

Menurut Moscovici (2001), tujuan dari representasi sosial

adalah untuk membuat sesuatu yang tidak familiar menjadi familiar.

Representasi sosial menyediakan instrumen untuk mengatasi dan

mengklasifikasikan suatu fenomena baru dan perubahan-perubahan di

dalam suatu fenomena yang telah diketahui. Dalam proses representasi

sosial terdapat dua buah konsep sentral, yakni anchoring dan

(44)

Objectification merupakan sebuah proses menerjemahkan ide-ide dan konsep-konsep abstrak ke dalam sebuah gambaran konkrit

ataupun menghubungkannya ke dalam suatu objek konkret (Moscovici,

1984). Dalam proses penerjemahan ini suatu teori direorganisir sehingga

terdapat bagian yang menghilang dan bagian lainnya yang dipertajam

atau difokuskan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Wagneret al (1999) bahwa

suatu kelompok sosial dalam komunikasi di dalamnya mengembangkan

interpretasi mereka sendiri terhadap suatu fenomena yang tidak dikenal

atau baru. Objectification menjadi mekanisme dimana pengetahuan sosial yang direpresentasikan oleh kelompok tersebut memperoleh wujud

spesifiknya terhadap fenomena tersebut, misalnya dalam bentuk icon, metafora, sebutan, praktek, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, melalui

proses itu terbentuk suatu struktur image yang direproduksi dalam suatu susunan ide berdasarkan susunan ide atau pengetahuan yang telah

dimiliki sebelumnya (Lorenzo-Cioldi, dalam Wagner et al, 1999).

Anchoring merupakan suatu mekanisme yang hendak mengaitkan (to anchor) suatu ide yang tak dikenal, untuk mereduksinya ke dalam suatu gambaran dan kategori umum, serta meletakkannya ke

dalam konteks yang familiar (Moscovici, 2001). Anchoring kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses sosial yang meletakkan individu ke

dalam konteks sosialnya serta ke dalam tradisi kultural kelompoknya

(masyarakatnya) (Billig, Condor, Edwards, Gane, Middleton, dan

(45)

2. Representasi Sosial Metroseksual

Kartajaya et al (2004) menyatakan bahwa hal yang menonjol

dari kalangan metroseksual adalah perilaku mereka yang sangat

memperhatikan penampilannya. Oleh karena adanya bentuk perilaku pria

yang berbeda ini maka diperlukan suatu proses untuk menjadikannya

sebagai sesuatu hal yang familiar atau mudah untuk dipahami. Melalui

suatu diskursus yang melibatkan pengetahuan lokal (konsep gender) dan

pengetahuan akan metroseksual dari media massa, maka terbentuk

representasi akan metroseksual ini di dalam masyarakat. Media massa

menjadi salah satu hal yang sangat berperan, khususnya melihat

munculnya konsep ini pertama kali. Oleh karena itu, objectification dari kalangan metroseksual ini tidak akan lepas dari informasi mengenai

kalangan metroseksual yang disebarluaskan oleh media massa. Dalam

hal ini, proses objectification merupakan proses dimana terjadi penerjemahan ide tentang metroseksual yang cenderung abstrak ke dalam

gambaran tertentu yang lebih konkrit dan lebih familiar bagi individu. Di

sisi lain, pada proses anchoring, suatu informasi yang baru (dalam hal ini adalah metroseksual) diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan

sistem makna yang telah dimiliki masyarakat. Melalui berbagai proses

tersebut, masyarakat pun menentukan pemaknaan dan sikap sosial

(46)

Sikap dalam representasi sosial lebih disebut sebagai ‘sikap

sosial’, yakni suatu hasil konstruksi dan evaluasi terhadap suatu objek

pikiran. Sikap ini disebut ‘sosial’ karena dalam pembentukannya,

individu akan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang diperoleh dari

lingkungan sosialnya, sekaligus juga ia akan membaginya pada anggota

kelompok yang lain, atau bahkan ia terpengaruhi oleh anggota

kelompoknya (Wagner et al., 1999). Oleh karena itu, sikap masyarakat

terhadap metroseksual merupakan bagian dari representasi mereka

terhadap metroseksual, serta merupakan sesuatu hal yang timbul dari

pembauran pengetahuan yang mereka peroleh tentang metroseksual

dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki mengenai kedudukan pria

dalam konstruksi gender.

Membentuk suatu ‘hipotesa’ akan metroseksual sebagai suatu

bentuk representasi sosial dapat saja kita lakukan, akan tetapi hal ini

belum dapat dipastikan kebenarannya karena belum didasarkan pada

penelitian. MarkPlus&Co (dalam Kartajaya et al., 2004) telah melakukan

penelitian pada pria golongan A++ yang kemudian mereka jelaskan

sebagai pria metroseksual. Akan tetapi, gambaran akan status keberadaan

mereka di dalam masyarakat Indonesia tidak terjelaskan karena tidak

dilakukannya penelitian dalam lingkup masyarakat. Oleh sebab itu,

makna dari metroseksual itu sendiri pun terbatas pada makna yang

diperoleh dari komunitas metroseksual itu sendiri, tidak dalam lingkup

(47)

metroseksual sebagai sebuah representasi akan membawa kita kepada

lokasi dimana representasi itu terjadi, khususnya bila melihat mereka

sebagai kalangan yang ‘ada’ dan memiliki sebutan sendiri akan identitas

mereka. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang representasi sosial,

dalam memahami keberadaan metroseksual perlu dilakukan suatu

tinjauan dalam masyarakat dimana terdapat fenomena metroseksual

tersebut.

D. Konteks Penelitian: Masyarakat umum di kota Yogyakarta yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal

1. Masyarakat Umum

Ketika berbicara mengenai masyarakat maka kita perlu untuk

melihat kelompok manusia dalam lokasinya dan budaya atau kehidupan

sosial yang mereka miliki bersama (Macionis, 2008; Soekanto, 1982).

Representasi sosial juga merupakan sebuah teori yang mempelajari

masyarakat sesuai dengan kultur yang mereka miliki bersama.

Representasi sosial merupakan sebuah paradigma yang melakukan

penelitian pada masyarakat dalam konteks kehidupan sehari-hari

(Moscovici, 2001).

Representasi sosial juga melihat bahwa representasi suatu

kelompok terbentuk melalui suatu diskursus, dimana media massa

menjadi salah satu kontributor yang cukup besar bagi pembentukan

(48)

Moscovici, 2001). Diketahui pula bahwa media massa sebagai suatu

bentuk teknologi informasi-komunikasi memiliki peranan yang

signifikan dalam mempengaruhi hidup seseorang terkait dengan

kemampuannya mengkonstruksikan identitas dan kehidupan sosial, serta

diakses oleh segala kalangan usia (Afdjani, 2007; Baran, 2004; Borchers,

2005; Giles, 2005; Hoare, 2006).

Penelitian ini hendak dilakukan pada kalangan masyarakat

umum yang berada di Yogyakarta. Yogyakarta menjadi lokasi penelitian

karena di dalamnya telah dapat kita jumpai berbagai tempat yang

menunjang pertukaran informasi, di samping berdasarkan temuan artikel

di Kompas Jogja yang menunjukkan adanya fenomena metroseksual di

kota ini.

Kota Yogyakarta memiliki budaya dominan yaitu budaya Jawa.

Dalam masyarakat Jawa kedudukan pria dan wanita bisa dijelaskan dari

konstruksi kultural dan agama. Konstruksi kultural memberi ruang bagi

sifat feminin pria dan kegiatan bersolek pada pria (Pemberton, 2003;

Ranggasutrasna, 1999; Graham, 2002). Tradisi lokal yang memberikan

tempat pada pria yang menunjukkan ciri feminin dapat dilihat dalam

kesenian Reog di Jwa Timur, dimana di dalamnya terdapat warok dan

(49)

percintaan maupun sebagai syarat untuk memperoleh kesaktian

(Ranggasutrasna, 1999).

Dalam masyarakat Jawa dijumpai suatu filosofi yang

menjelaskan pentingnya berpakaian. Hal ini tampak dalam tradisi ngadi salira, ngadi busana maupun (Purwadi, 2007) Ungkapan tersebut mengungkapkan maksud bahwa antara jiwa dan raga perlu perhatian

khusus, agar dirinya mendapat penghormatan yang layak dari pihak lain.

Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa dalam pergaulan sehari-hari

penampilan seseorang ternyata sebagian ditentukan oleh cara berpakaian.

Cara berpakaian menjadi bagian dari cara seseorang menempatkan diri

dalam lingkungannya, sesuai dengan situasi dan kondisi. Pria dan wanita

dipandang perlu untuk memperhatikan penampilannya melalui cara

berpakaian, dimana hal ini dapat menunjukkan sifat tabiat seseorang,

baik dalam tindak laku sehari-hari, tata krama, selera, maupun pandangan

hidupnya (Purwadi, 2007).

Dalam masyarakat Jawa juga dijumpai hal yang berbeda dari

kegiatan memperhatikan penampilan. Di dalam masyarakat Jawa juga

terdapat suatu pandangan yang melekatkan kegiatan memperhatikan

penampilan sebagai hal yang hanya dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini

tampak dalam ungkapan “macak, manak, masak” (Primariantari, Rika,

Ilsa, Gail, 1998). Ketiga kata tersebut mengacu pada kewajiban yang

(50)

bahwa kegiatan memperhatikan penampilan alias berdandan merupakan

kegiatan yang identik dengan para wanita. Kegiatan berdandan atau

bersolek ini pun menjadi bagian dari pandangan mengenai idealisasi para

wanita (Primariantari et al, 1998; Toer, 2009). Kegiatan memperhatikan

penampilan ini tidak tampak dalam idealisasi sosok pria. Novel sejarah

yang berjudul “Bumi Manusia” (Toer, 2006) menunjukkan bagaimana

kalangan pria dianggap ideal ketika mereka memiliki rumah, wanita,

kuda (kendaraan), burung (hobi), dan keris (senjata), tanpa menunjukkan

adanya ketentuan bagi pria untuk wajib memperhatikan penampilan.

Hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan yang diberikan di

atas adalah bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat dua pandangan yang

berbeda mengenai kegiatan memperhatikan penampilan. Pertama,

memperhatikan penampilan merupakan hal yang sepatutnya dilakukan

oleh pria dan wanita sebagai bagian dari usaha untuk menyesuaikan diri

di dalam lingkungan serta diperlukan dalam menjaga keselarasan

hubungan dengan orang lain sesuai dengan situasi dan kondisi.

Pandangan yang kedua menempatkan kegiatan memperhatikan

penampilan alias berdandan sebagai hal yang wajib untuk dilakukan atau

mampu untuk dilakukan oleh para wanita. Kalangan pria tidak dipandang

sesuai untuk memiliki perhatian yang penuh pada usaha menjaga

(51)

2. Dewasa Awal

Dalam penelitian ini, subyek yang diambil adalah kalangan

masyarakat yang berusia antara 21-36 tahun. Dalam tahap perkembangan

manusia, subyek dalam rentang usia tersebut berada pada tahap

perkembangan dewasa awal (Santrock, 2002). Hal yang serupa berlaku

pula di Indonesia, dimana batas usia individu yang telah dinyatakan

dewasa adalah 21 tahun, dimana dinyatakan bahwa pada usia ini

seseorang telah dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa tergantung

pada orang tuanya (Monks, Knoers, dan Haditono, 2002).

Pada usia dewasa awal ini, individu dinyatakan telah

mengkonstruksikan dirinya sebagai bagian dari suatu masyarakat

sekaligus juga melakukan peranannya di dalam lingkungan sosialnya.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ia telah mempunyai tanggung

jawab terhadap perilakunya, termasuk sanksi sosial dari perilakunya

(Monks et al., 2002). Hal ini juga disebabkan karena ia telah melalui

suatu tahap transisi dimana ia bertemu dengan lingkungan sosial yang

lebih luas (norma, nilai, peran) dan akhirnya mencapai kestabilan acuan

diri dalam lingkungan sosialnya (Carr, 2009; Santrock, 2002; Monks et

al., 2002). Terkait dengan representasi sosial, acuan pada kehidupan

sosial merupakan hal yang mendasari suatu representasi karena hal ini

lah yang kemudian mendasari konsep yang digunakan individu dalam

membentuk identitas, berperilaku dalam keseharian, serta berinteraksi

(52)
(53)

34

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan sebuah penelitian yang

bertujuan untuk menggunakan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat

mengenai fakta-fakta, gejala-gejala perilaku, dan sifat-sifat populasi atau

daerah tertentu ketika melihat suatu masalah atau situasi. Prosedur

penelitiannya akan menghasilkan data-data deskriptif yang berupa ucapan

atau tulisan, ataupun tingkah laku yang dapat diamati dari subyek penelitian

(Suryabrata, 1998). Penelitian ini mencoba menggali data yang dicari secara

‘grounded’ dan menganalisis data secara kualitatif. Akan tetapi, untuk

mempermudah membaca data dan menemukan representasi yang muncul,

maka data kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan disajikan secara

kuantitatif.

Paradigma representasi sosial digunakan dalam penelitian ini karena

meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga pemahaman dan sikap

sosial individu dapat dilihat sesuai dengan konteks sosial budayanya.

Paradigma ini juga merupakan kerangka berpikir konsep dan ide psikologis

dalam dunia sosial dalam rangka mempelajari fenomena psikososial dalam

masyarakat modern (Wagner et al., 1999). Dengan objectification dan

(54)

mengungkap representasi masyarakat akan suatu fenomena baru setelah

adanya integrasi informasi baru dengan sistem pengetahuan yang telah

mereka miliki sebelumnya. Selain itu, juga dapat membantu untuk melihat

bagaimanakah perilaku dan komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok

dalam dinamika sosialnya, yang terkait dengan fenomena yang terjadi.

Bahasa menjadi aspek penting dalam penelitian ini. Bahasa sebagai

unsur fundamental dari komunikasi, interpretasi, dan pemahaman manusia

dalam rangka memberi arti pada dunia sosial dengan cara mengekspresikan

pembentukan makna tersebut pada diri kita sendiri dan orang lain secara

linguistik. Melalui bahasa, suatu makna dalam perilaku manusia dapat dilihat

secara kognitif, afektif, maupun normatif (Handayani, 2002; Smith, 2009).

Oleh karena itu, bahasa melalui kata-kata yang dikumpulkan dalam penelitian

ini menjadi aspek penting dalam memahami representasi sosial masyarakat

umum tentang metroseksual.

B. Responden Penelitian

Responden penelitian ini diambil dengan cara purposive, yaitu

pemilihan subyek dilakukan oleh peneliti berdasarkan kriteria tertentu yang

ditentukan oleh peneliti (Sulistyo, 2006). Penelitian ini hendak menemukan

representasi sosial yang dimiliki masyarakat di Yogyakarta mengenai

metroseksual. Kriteria lainnya yang digunakan dalam memilih responden

(55)

a) Berusia antara 21 – 40 tahun

b) Responden bertempat tinggal di kota Yogyakarta

c) Responden tersebar di ruang publik (mall dan café) maupun

ruang privat (kediaman responden)

C. Batasan Istilah

Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Penelitian ini mengkaji representasi sosial tentang

metroseksual pada masyarakat umum yang diungkap

melalui sikap dan makna yang mereka miliki, dimana sikap

dan makna ini sebagai pengetahuan yang mereka miliki

bersama tentang metroseksual.

2. Makna metroseksual bagi masyarakat adalah segala sesuatu

yang dipersepsikan, dipahami, dan dirasakan oleh

masyarakat tentang mestroseksual.

3. Sikap terhadap metroseksual adalah kecenderungan

berperilaku masyarakat, baik positif maupun negatif,

terhadap “metroseksual” berdasarkan pengetahuan sosial

yang mereka miliki mengenai “metroseksual”.

4. Sumber informasi metroseksual adalah segala hal yang

menjadi sumber bagi masyarakat dalam mengkonstruksikan

(56)

5. Yang dimaksud dengan masyarakat dalam penelitian ini

adalah kalangan masyarakat yang berusia 21-40 tahun dan

bertempat tinggal di kota Yogyakarta.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan kuesioner terbuka yang dilanjutkan

dengan wawancara semi-terstruktur. Pengambilan data dilakukan secara

bertahap, dimana responden dikumpulkan satu per satu untuk kemudian

dianalisa, dan berhenti ketika tidak ditemukan lagi variasi yang berarti dalam

data. Adapun wawancara yang dilakukan merupakan wawancara yang

sifatnya sebagai pelengkap, dimana tujuan utamanya adalah untuk

memastikan peneliti memiliki pemahaman yang sama akan jawaban

responden yang tercantum dalam kuesioner. Meskipun demikian, tidak

menutup kemungkinan untuk ditemukannya data lain melalui proses

wawancara yang dilakukan.

1. Kuesioner Terbuka

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan survei atau

kusioner, yaitu model penelitian yang menggunakan sampel untuk

melihat secara langsung ide dan pikiran sekelompok orang secara alami.

Model ini juga memberikan suatu keuntungan yakni memperoleh data

dari responden dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat

(Zechmeister, Zechmeister, dan Shaughnessy, 1997). Akan tetapi, demi

Gambar

Tabel 2a: Usia Responden
Tabel 2b. Kategorisasi Usia Responden
Tabel 5.  Daerah Asal Responden
Tabel 8. Kategorisasi Respon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan persentase rumput laut dan kedelai yang digunakan memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter kadar abu,

Air yang mengalir pada lingkungan yang tercemar akan terkontaminasi dengan zat-zat kimia yang mengendap pada tanah, akibatnya air yang tadinya aman untuk di

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan menggunakan pengujian hipotesis, dimana penelitian ini bertujuan untuk menguji bagaimana pengaruh masa

Pada dua kelompok tersebut, sama-sama dilakukan pre-test dan post-test dalam penelitian ini fokus memperoleh data dan gambaran di lapangan tentang pengaruh layanan bimbingan

Pengembangan agrowisata di kedua desa tersebut memerlukan tahap-tahap pengembangan: (1) penataan dan penyiapan obyek wisata, (2) penyiapan SDM dan sinergi kelembagaan di

5. Fungsi personel sebagai fungsi organik militer merupakan bagian penting dalam sistem pembinaan secara keseluruhan. Manusai sebagai subjek dan objek pembinaan mempunyai

DAMRI Bandung tersebut dapat berasal dari faktor pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja yang belum berjalan dengan baik yang dilakukan perusahaan atau

Semakin lama tekhnologi akan terus berkembang dan kita harus mampu mengimbanginya dan memanfaatkanya, salah satunya dengan menggunakan metode mikro dalam bidang