Usia Dewasa Awal di Yogyakarta)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Nyoman Trisna Aryanata NIM: 059114061
Program Studi Psikologi Jurusan Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
MOTTO
"I think that somehow, we learn who we really are
and then live with that decision"
Skripsi ini kupersembahkan untuk
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 22 September 2009 Penulis
ABSTRAK
Nyoman Trisna Aryanata (2010). Representasi sosial tentang metroseksual (studi deskriptif pada masyarakat kelas menengah usia dewasa awal di Yogyakarta). Yogyakarta: Fakultas Psikologi; Jurusan Psikologi; Universitas Sanata Dharma.
Perhatian lebih pada penampilan fisik yang ditunjukkan oleh kalangan metroseksual menunjukkan ketidaksinambungan dengan konstruksi gender yang berlaku di Indonesia. Kehadiran mereka yang ‘unik’ mengindikasikan perubahan sosial dalam konstruksi gender di Indonesia. Meski demikian, penelitian yang dijumpai masih menggunakan perspektif metroseksual yang diadopsi dari penelitian agen pemasaran, dengan mengambil komunitas metroseksual sebagai pusat penelitian. Belum ditemukan jawaban mengenai bagaimana masyarakat di Yogyakarta mengkonstruksikan pengetahuan mereka tentang metroseksual serta posisi kalangan metroseksual di tengah-tengah mereka. Representasi Sosial dengan anchoring dan objectifiication di dalamnya dapat membantu untuk memahami keberadaan kalangan metroseksual dalam sudut pandangan masyarakat di Yogyakarta, terkait dengan keberadaan metroseksual di kota Yogyakarta.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan kuesioner terbuka dan wawancara semi-terstruktur pada 34 responden di Yogyakarta dan berusia 21-36 tahun. Pengetahuan tentang metroseksual diperoleh dari media massa dan direpresentasikan sebagai pria, berada di kota, serta diasosiasikan dengan istilah-istilah yang berorientasi pada penampilan, yakni harum, bersih, rapi, gay,
fashionable, dan modis. Objectification mereka tentang metroseksual adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan, kaya, berada di kota, dan perilakunya tidak sesuai dengan idealisasi pria. Perhatian lebih pada penampilan dianggap tidak wajar untuk dilakukan para pria pada keseharian, terkecuali apabila hal tersebut menjadi tuntutan pekerjaan. Hal ini turut memberikan implikasi bahwa pria dianggap ideal apabila tidak melakukan hal-hal yang melekat pada wanita.
ABSTRACT
Nyoman Trisna Aryanata (2010). Social representation of metrosexual (descriptive study of the early adulthood middle class people of Yogyakarta). Yogyakarta: Faculty of Psychology; Department of Psychology; Sanata Dharma University.
The extra attention to physical appearance among the metrosexual men indicates a disharmony to the gender stereotypes in Yogyakarta. Their 'unique' presence leads to an indication of changes in the gender construction. However, researches on the topic of Metrosexual tend to use the perspectives taken from the marketing agents by putting metrosexual community as the central of the research. How the society of Yogyakarta constructed their knowledge of metrosexual and the positioning of the metrosexuals among them have not yet been answered. Social representation with its anchoring and objectification helps to comprehend the existence of the metrosexual based on the point of view of the society of Yogyakarta, regarding to their existence in the city of Yogyakarta.
The research was carried out by using open-questionnaires and semi-structured interview to 34 respondents located in Yogyakarta, aged 21 to 36. Knowledge of the metrosexuals is gained from the mass media and being represented as a term for men, as a phenomenon in the city, and associated with physical performance terms, such as fragrant, clean, tidy, gay, fashionable, and modist. The dominant attitude toward the metrosexuals is ambivalent attitude. Their objectifications of the metrosexuals are male who pays extra attention to the physical appearance, rich, living in the city, and tend to show immoderate behavior of the male’s idealization. Extra attention to physical appearance isn’t considered as a proper behavior to be performed by men for daily life, while acceptance is given only if it’s required by their occupation. This situation implicates that men are considered ideal when they don’t perform characteristics adhered to women.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Nyoman Trisna Aryanata Nomor Mahasiswa : 059114061
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Representasi Sosial Tentang Metroseksual (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kelas Menengah
Usia Dewasa Awal di Yogyakarta)
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 14 Januari 2010
Yang menyatakan
KATA PENGANTAR
Berangkat dari rasa ingin tahu terhadap fenomena pria metroseksual, saya pun melakukan proses penelitian ini agar dapat lebih memahami fenomena tersebut, di samping sebagai pemenuhan syarat kelulusan. Dalam proses penyusunannya, saya bertemu dengan sejumlah pihak yang sangat membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada bagian ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak tersebut.
1. Ibu Christina Siwi Handayani adalah dosen pembimbing skripsi saya. Rasa terima kasih yang sangat besar saya berikan kepada beliau berkat bimbingannya yang luar biasa. Berkat beliau, pengalaman menyusun skripsi ini menjadi proses yang sangat inspiratif sembari mengintegrasikan potongan-potongan ilmu yang saya peroleh selama perkuliahan. Arigatou sensei...
2. Ibu Risa Permanadeli adalah sosok yang turut berperan besar dalam penelitian saya ini. Saya menganggap beliau sebagai “dosen pembimbing kedua”. Terima kasih telah memperkenalkan RepSos kepada saya dan teman-teman, serta masukan yang diberikan. Ini memberikan saya sebuah pandangan baru dalam melihat diri dan lingkungan saya.
4. Orang tua dan kakak-kakak saya yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya. Peran mereka selalu di belakang layar, tetapi sangat besar efeknya pada kelancaran penyusunan skripsi saya. I love you all. 5. Teman-teman satu bimbingan dengan Ibu Siwi, baik yang RepSos maupun
non-RepSos. Terima kasih telah menjadi teman diskusi penelitian dan menjadikan proses penyusunan skripsi ini sangat menyenangkan. Aku
nggak akan pernah melupakan Taman Cemara kita . Semoga jejak kita sebagai kelompok diskusi skripsi dapat mengilhami teman-teman yang lainnya.
6. Teman-teman Kontrakan Aksi 2005 (dan penghuni-penghuni tidak tetapnya). Kalian adalah teman-teman terbaik yang pernah aku temui. Aku akan selalu mendoakan kesuksesan dan kebahagiaan untuk kalian. Hidupku akan sangat berbeda bila tidak bertemu kalian.
7. Ucie, Joana, Rindi, dan Raniy. Kalian adalah perempuan-perempuan yang hebat. Terima kasih telah menjadi teman berkeluh kesah dan berdiskusi yang centil, penuh canda, dan cerdas. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan untuk kalian.
9. Bantuan administratif selalu saya dapatkan dengan mudah dari Mas Muji, Mas Doni, Pak Gie, Bu Nani, dan Mas Gandung. Terima kasih banyak atas bantuannya dan kerendahhatiannya.
10.Terdapat 34 orang yang memberikan sumbangan yang sangat besar bagi skripsi saya ini. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden penelitian saya.
Yogyakarta, 14 Januari 2010 Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR DIAGRAM ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
1. Manfaat Teoritis ... 10
2. Manfaat Praktis ... 10
BAB II. TINJAUAN TEORITIS ... 11
A. Profil Metroseksual ... 11
B. Gender Dan Ketimpangan Gender ... 15
1. Tinjauan Teoritis Konsep Gender ... 15
2. Ketimpangan Gender Pada Pria ... 18
C. Representasi Sosial ... 22
1. Teori Representasi Sosial ... 22
2. Representasi Sosial Metroseksual ... 26
D. Konteks Penelitian: Masyarakat Umum di Kota Yogyakarta Yang Berada Pada Tahap Dewasa Awal ... 28
1. Masyarakat Umum ... 28
2. Dewasa Awal ... 32
E. Peta Konsep Penelitian ... 33
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 34
A. Pendekatan Penelitian ... 34
B. Responden Penelitian ... 35
C. Batasan Istilah ... 36
2. Makna Metroseksual ... 36
3. Sikap Terhadap Metroseksual ... 36
4. Sumber Informasi Metroseksual ... 36
5. Masyarakat ... 37
D. Metode Pengumpulan Data ... 37
1. Kuesioner Terbuka ... 37
2. Wawacara Semi-terstruktur ... 40
E. Teknik Analisis Dan Interpretasi Data ... 42
1. Kuesioner Terbuka ... 43
2. Wawancara Semi-terstruktur ... 44
F. Keabsahan Data ... 45
BAB IV. PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 47
A. Pelaksanaan Penelitian ... 47
1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 47
2. Latar Belakang Responden ... 49
B. Hasil Penelitian ... 53
1. Kategorisasi dan Tabulasi Respon ... 54
2. Sumber Informasi Metroseksual ... 64
3. Sikap Terhadap Metroseksual ... 65
C. Pembahasan ... 77
1. “Metroseksual adalah cowok-cowok yang dandan” ... 80
2. Sumber Informasi “Metroseksual” ... 82
4. Ambivalensi Kedudukan Pria Metroseksual
Dalam Masyarakat ... 86
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 96
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Lokasi Pengambilan Data ... 50
Tabel 2a. Usia Responden ... 50
Tabel 2b. Kategorisasi Usia Responden ... 51
Tabel 3. Tabulasi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 51
Tabel 4. Pekerjaan Responden ... 51
Tabel 5. Daerah Asal Responden ... 52
Tabel 6. Masa Tinggal di Yogyakarta ... 52
Tabel 7. Pengeluaran Bulanan ... 52
Tabel 8. Kategorisasi Respon ... 55
Tabel 9. Rekapitulasi Respon Terbanyak ... 58
Tabel 10. Prosentase Prioritas Kata ... 61
Tabel 11. Daftar Sumber Pengetahuan “Metroseksual” ... 64
Tabel 12. Sikap Responden Terhadap Metroseksual ... 65
Tabel 13. Respon Ketidaklaziman Pada Responden yang Bersikap Ambivalen ... 67
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Peta Konsep Penelitian ... 33
Bagan 2. Kalangan Dewasa Awal Kelas Menengah yang
Bersikap Setuju Terhadap Pria Metroseksual ... 92
Bagan 3. Kalangan Dewasa Awal Kelas Menengah yang
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Terbuka ... 103
Lampiran 2. Tabulasi Seluruh Respon Kata Pada Tiap-tiap Responden ... 105
Lampiran 3. Rekapitulasi Jumlah Seluruh Respon Kata ... 113
Lampiran 4. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 1 ... 115
Lampiran 5. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 2 ... 117
Lampiran 6. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 3 ... 119
Lampiran 7. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 4 ... 121
Lampiran 8. Rekapitulasi Seluruh Respon Prioritas 5 ... 123
Lampiran 9. Rekapitulasi Jumlah Respon Prioritas 1 s/d 5 ... 127
Lampiran 10. Jumlah & Prosentase Respon Prioritas Kata Per Kategori ... 129
Lampiran 11. Tabulasi Arti 5 Kata Prioritas 1 s/d 5 ... 130
1 A. Latar Belakang
Pada masyarakat perkotaan kontemporer, fenomena metroseksual
menjadi sebuah hal yang telah populer, terutama pada medio tahun 2003-2005.
Kartajaya, Yuswohady, Madyani, Christynar, dan Indrio (2004) mengulas
secara lugas fenomena ini dalam buku mereka yang berjudul “Metrosexuals in
Venus”. Jika kita memasuki pusat-pusat perbelanjaan, dapat kita jumpai
sejumlah gerai yang menyediakan pakaian khusus pria dalam berbagai model
serta produk-produk perawatan tubuh “for men”. Kartajaya et al. (2004)
menyebutkan bahwa perusahaan kosmetik ini dulu hanya menghasilkan produk
wanita. Akan tetapi, kini koleksi mereka telah semakin lengkap, mulai dari
scrub, shaving gel (gel pencukur), moisturizer (pelembab wajah), dan lotion
(krim untuk tubuh), disediakan lengkap khusus bagi kaum adam yang
menginginkan penampilan yang menarik.
Pria metroseksual pun dinyatakan telah menunjukkan keberadaannya
di Yogyakarta. Harian Kompas Jogja mengulas mereka dalam tiga artikel
terpisah yang berjudul “Spa Pun Mulai Menjamur” (2005), “Fitness,
Menangkap Tren Pria Metroseksual” (2007), dan “Pria Metroseksual, Dari
Esensi Ke Eksistensi” (2005). Kehadiran spa yang menjamur di Yogyakarta
turut menjaring konsumen pria yang tidak sedikit. Hal yang sama berlaku pada
ingin memiliki penampilan fisik yang menarik. Kemunculan metroseksual pun
tampak dalam media massa, dimana sejak tahun 2003 bermunculan
majalah-majalah pria dengan porsi iklan produk perawatan tubuh pria dan berbagai tips
memperhatikan penampilan bagi mereka yang cukup dominan. Beberapa dari
mereka yang terkenal adalah FHM, Men’s Health, dan Popular (Kartajaya et
al., 2004).
Beberapa tulisan menjelaskan bahwa istilah metroseksual selalu
dilekatkan pada pria. Pria metroseksual senantiasa dikatakan sebagai pria yang
dandy atau pria yang sangat memperhatikan dandanannya (Simpson, 1994;
Simpson, 2002; Kartajaya et al., 2004). Mereka bersedia meluangkan waktu
secara khusus untuk melakukan perawatan ataupun membenahi
penampilannya. Mereka umumnya klimis, dandy, dan paling peduli dengan yang namanya penampilan (Kartajaya et al., 2004). Jika kita melihat dalam
kacamata kontruksi gender, perilaku semacam ini menjadi sebuah bentuk
perilaku yang tidak sejalan dengan apa yang dianggap sesuai untuk dilakukan
oleh pria. Penelitian Rosenkrantz (dalam Brannon, 1996) mengkonfirmasi hal
ini, dimana ia menemukan persepsi stereotip gender yang kuat pada
mahasiswa. Ketika para mahasiswa tersebut (baik pria dan wanita) diminta
untuk menyebutkan sifat-sifat yang membedakan kedua jenis kelamin, salah
satu hal yang mereka pasangkan pada sosok wanita adalah sifat ‘interested in own appearance’ dan sifat ‘not conceited about appearance’ pada pria.
Dengan kata lain, perilaku merawat dan memperhatikan tubuh telah menjadi
diharapkan) sebagai sosok yang lekat dengan aktivitas yang bernuansa kasar
(misalnya adventurous dan skilled in business) dan sifat-sifat yang keras (misalnya aggressive, ambitious, unemotional), dimana perilaku memberi perhatian pada penampilan akan memberikan kesan feminin dengan nada yang
negatif (Brannon, 1996).
Konstruksi gender yang saat ini berlaku secara umum di Indonesia
adalah pria dan wanita dianggap memiliki atribut kepribadian yang
berlawanan. Pria harus bersifat maskulin sedangkan wanita harus bersifat
feminin; peran pria di sektor publik sedangkan peran wanita di sektor
domestik-privat. Hal ini dapat dilihat dalam ciri-ciri ideal wanita dan pria Jawa
dalam novel sejarah karangan Promoedya Ananta Toer yang berjudul “Rumah
Kaca” (2009) dan “Bumi Manusia” (2006). Wanita Jawa yang ideal dijelaskan
sebagai wanita yang pandai bersolek dan bersopan-santun, luwes dalam
pergaulan, setiap saat sedia membantu dan menolong orang, serta terampil di
depan umum dan di rumah (Toer, 2009). Dalam kenyataan masyarakat Jawa
sehari-hari, masih sangat dikenal peran yang hanya melekat pada wanita yaitu
masak, manak, dan macak (catatan lapangan 10 Agustus 2009). Masak adalah
tugas wanita di dapur, manak adalah tugas wanita untuk melahirkan anak, dan
macak adalah tugas wanita harus bisa dandan. Sementara itu, pria dianggap
ideal apabila memenuhi syarat-syarat yang mengekspresikan kekuasaan dan
kekuatan maskulin dimana mereka memiliki wisma (rumah), wanita, turangga
masyarakat sehari-hari, peran yang melekat pada pria adalah minum, medok,
dan madat (catatan lapangan 10 Agustus 2009).
Dapat dilihat bahwa kegiatan bersolek atau memperhatikan
penampilan menjadi ciri yang melekat secara khusus pada wanita, dan bukan
pada pria. Meskipun demikian, kenyataan tertentu dalam kultur masyarakat
Jawa juga memberi ruang bagi sifat feminin sekaligus sifat memperhatikan
penampilan pada pria (Pemberton, 2003). Wujud pria yang menunjukkan ciri
feminin ini dapat dilihat secara cukup menonjol dalam tradisi Gemblak di Jawa
Timur dan Bissu pada masyarakat Bugis, bahkan mereka memiliki kedudukan
yang tergolong penting dalam masyarakatnya. Sosok gemblak adalah sosok
pria berusia kurang dari 15 tahun yang memiliki paras cantik dan dia menjadi
peliharaan warok yang dalam hal ini merupakan tokoh sentral dalam kesenian
Reog, yang memiliki kesaktian tertentu (Ranggasutrasna, 1999). Sosok Bissu
adalah seorang pria yang memiliki peranan memimpin upacara adat di suku
Bugis, dimana dalam penampilan kesehariannya selalu membawa sebuah badi
(semacam keris) sekaligus ia juga bersolek dan mengenakan bunga di
rambutnya (Graham, 2002). Dengan kata lain, sosok Bissu adalah sosok pria
yang halus sekaligus kuat tetapi bersolek dan menggunakan atribut bunga yang
biasanya melekat pada wanita, tetapi secara kultural dia memiliki posisi
penting dalam masyarakat sebagai pemimpin upacara adat.
Dengan demikian, terdapat dua bentuk konstruksi yang berbeda
mengenai pria di dalam masyarakat ini. Konstruksi yang pertama hanya
rumah, wanita dan badi. Sedangkan konstruksi yang kedua melekatkan pria
dengan karakter feminin yang identik dengan kehalusan dan kecantikan yang
terekspresi dalam atribut bunga dan kegiatan bersolek.
Oleh karena itu, untuk memahami posisi pria metroseksual dalam
masyarakat ini kita tidak bisa lepas dari konteks sosial yang dimiliki
masyarakat ini mengenai pria dalam bentuk konstruksi gender yang ada.
Dengan memperhitungkan konteks sosial masyakarat diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang proporsional mengenai pria metroseksual dalam
keberadaannya di tengah masyarakat.
Karsidi (2007) menyebutkan adanya tiga hal besar yang menimbulkan
perubahan besar bagi kehidupan manusia, yaitu (1) demokratisasi, (2)
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi komunikasi
dan informasi, dan (3) globalisasi. Media massa menjadi sebuah contoh yang
sesuai untuk menggambarkan ketiga hal tersebut. Kita ketahui bersama bahwa
media massa merupakan salah satu bentuk teknologi informasi-komunikasi.
Keberadaan istilah “metroseksual” sendiri tidak lepas dari media massa,
dimana istilah ini muncul dalam sebuah artikel di internet, yang kemudian
menyebar luas di berbagai media massa lainnya. Kekuatan media, sebagai
bagian dari globalisasi, pun membawa istilah ini ke Indonesia, yang dapat kita
saksikan dalam berbagai ulasan media lokal mengenai metroseksual. Terdapat
sejumlah majalah yang mengkhususkan diri pada pria-pria yang mereka sebut
“metroseksual” (Kartajaya et al., 2004), berbagai iklan yang menayangkan
yang berkaitan dengan metroseksual. Hal ini lah yang turut mendorong
popularitas istilah ini dalam masyarakat. Adanya berbagai ulasan di media
massa pun mendorong pembentukan pemikiran atau opini tersendiri dalam
masyarakat mengenai istilah “metroseksual”, meski pun mereka belum
menjumpai secara langsung kalangan metroseksual tersebut. Hal ini pun secara
tidak langsung dapat membentuk konstruksi pengetahuan mereka tentang
orang-orang yang disebut sebagai “metroseksual”, maupun dalam memberikan
kesempatan akan keberadaan mereka di tengah masyarakat.
Wibowo (dalam Adlin, 2006) menyebutkan bahwa berbagai tulisan
mengenai metroseksual menyatakan bahwa konsep tersebut pertama kali
muncul di surat kabar Independent di Inggris pada tahun 1994 yang ditulis oleh
Mark Simpson. Sebuah penelitian bertajuk “The Future Study of Men in
Indonesia” dilakukan oleh MarkPlus&Co (dalam Kartajaya et al., 2004), sebuah lembaga konsultan pemasaran, telah menemukan gambaran pria kelas
A++ ke atas di Jabotabek. Mereka pun menyebutkan bahwa kalangan pria ini
merupakan pria metroseksual. Penelitian ini ternyata mengadopsi penelitian
serupa yang dilakukan oleh sebuah agensi konsultan komunikasi pemasaran di
Amerika Serikat, Euro RSCG Worldwide, dimana lembaga tersebut juga
mengacu pada konsep metroseksual yang dijelaskan oleh Mark Simpson.
Metroseksual dijelaskan sebagai:
Mereka umumnya klimis, dandy, dan paling peduli dengan yang namanya penampilan...” (Kartajaya et al., 2004).
Dengan meletakkan pria metroseksual sebagai komunitas khusus,
maka ulasan tersebut menjadi kurang komprehensif. Hal ini dikarenakan ulasan
tersebut tidak melihat kondisi sosiokultural dalam masyarakat yang
memberikan ruang bagi keberadaan metroseksual. Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu penelurusan pada masyarakat umum demi mendapatkan suatu
gambaran akan representasi keberadaan mereka (metroseksual) di tengah
masyarakat. Pria metroseksual pun dilihat melalui sudut pandang masyarakat
dimana mereka berada sehingga kalangan metroseksual ini pun dilihat sebagai
bagian dari masyarakat tersebut. Dengan mendapatkan gambaran posisi mereka
di tengah masyarakat maka diharapkan penelitian ini memberi kontribusi pada
usaha untuk meminimalisir bias gender dalam masyarakat.
Kartajaya et al. (2004) telah melakukan sebuah penelitian yang
menemukan karakteristik pria metroseksual di beberapa kota besar di Indonesia
(Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Meskipun demikian, penelitiannya
belum memberikan kita gambaran keberadaan mereka dalam konteks sosial
dimana kalangan metroseksual itu berada. Penelitian-penelitian yang terkait
dengan metroseksual masih banyak berada dalam lingkup ekonomi, dimana
metroseksual dilihat sebagai sebuah komoditas, seperti yang dilakukan oleh
Kartajaya dan Euro RSCG. Dalam hal ini, kalangan metroseksual dipandang
sebagai kalangan pria yang gemar menggunakan produk perawatan tubuh
pria metroseksual pun masih menggunakan pengulasan yang dipergunakan
oleh media massa di Barat. Oleh karena itu, studi ini juga diharapkan akan
menemukan sebuah pemaknaan metroseksual dalam perspektif masyarakat
umum di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Yogyakarta menjadi lokasi dimana penelitian ini dilaksanakan.
Terdapat dua alasan mengapa Yogyakarta menjadi lokasi yang dipilih.
Pertama, artikel dengan topik Metroseksual di harian Kompas Jogja
menunjukkan bahwa fenomena kalangan metroseksual ini telah terjadi di
Yogyakarta. Dengan kata lain, kalangan metroseksual ini telah menunjukkan
keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Yogyakarta. Kedua, terkait
dengan gender, budaya yang dominan di Yogyakarta adalah budaya patriarki,
seperti yang pada umumnya terjadi di Jawa (Handayani, 2004). Budaya ini
menempatkan nilai-nilai maskulinitas yang melekat pada laki-laki sebagai hal
yang lebih superior. Hal ini menekankan adanya ketidaksinambungan antara
budaya tersebut dengan fenomena pria metroseksual, dimana kalangan pria
metroseksual tersebut melakukan aktivitas bersolek yang identik dengan
wanita. Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus ingin melihat keberadaan
‘metroseksual’ dalam konstruksi gender yang berlaku di masyarakat
Yogyakarta. Dalam hal ini, hendak ditemukan konstruksi gender seperti apa
yang memberikan ruang bagi keberadaan kalangan metroseksual tersebut.
Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
konstruksi gender yang hanya melihat sosok pria sebagai sosok yang tidak
sesuai untuk melakukan aktivitas feminin.
B. Rumusan Masalah
Demi memberikan suatu gambaran akan pemaknaan metroseksual
dalam diri masyarakat, maka hendak dijawab berbagai permasalahan berikut:
1. Sumber-sumber informasi apa sajakah yang memberi kontribusi pada
pemahaman tentang konsep metroseksual muncul dalam masyarakat
di Yogyakarta?
2. Bagaimanakah masyarakat di Yogyakarta memaknai dan
mengkonstruksikan pengetahuan tentang ‘metroseksual’ ?
3. Bagaimanakah posisi kalangan metroseksual dalam konstruksi gender
di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui sumber-sumber informasi mengenai
“metroseksual”.
2. Menemukan representasi sosial “metroseksual” dalam sudut pandang
masyarakat Yogyakarta serta berdasarkan latar belakang masyarakat
tersebut terkait dengan konstruksi konsep metroseksual di
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sumbangan pengayaan psikologi sosial dan representasi sosial
masyarakat terkait dengan tema metroseksual dan kegunaannya dalam
melihat permasalahan psikologis di sekitarnya, khususnya karena ruang
pencarian di dalamnya yang masih luas.
b. Memberikan gambaran akan kehadiran metroseksual dalam perspektif
masyarakat Indonesia dan memahami kondisi psikososial masyarakat
yang memberikan ruang bagi keberadaan metroseksual.
2. Manfaat Praktis
Memberikan pemahaman tentang posisi pria metroseksual dalam
masyarakat untuk memberi kontribusi pada usaha meminimalisir bias
11
A. Profil Metroseksual
“Metroseksual” merupakan sebuah istilah yang kini tidak asing lagi
kita dengar. Mengacu pada istilah aslinya yang dalam bahasa Inggris, secara
etimologis, metrosexual merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata, yakni ‘metropolitan’ dan ‘sexual’. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (University of Oxford, 2005) dan Encarta Webster’s College Dictionary 2nd Edition (Bloomsbury Publishing, 2005), ‘metropolitan’ memiliki pengertian yang mengacu pada ibukota atau kota besar. Sementara
itu, kata ‘sexual’ memiliki makna yang lebih beragam. Istilah ini mengacu
pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu sendiri.
Dengan kata lain, kedua istilah ini memiliki fungsi sebagai kata benda (noun) yang pemakaiannya dipasangkan dengan kata lain untuk memperoleh arti
yang lebih spesifik. Akan tetapi, dalam kedua kamus tersebut, ketika kata
‘sexual’ dan ‘metropolitan’ digabungkan ke dalam kata ‘metrosexual’ ternyata memiliki pemaknaan tersendiri. Metrosexual dijelaskan sebagai pria heteroseksual yang berusia muda, tinggal di kota, dan memiliki ketertarikan
pada fashion dan shopping (kegiatan berbelanja) serta memperhatikan penampilan mereka.
Penelitian pertama tentang metroseksual dilakukan pertama kali oleh
mereka merupakan adopsi dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Euro
RSCG. Riset paling terkemuka sejak lahirnya gejala metroseksual dilakukan
tahun 2003 oleh Euro RSCG, sebuah biro periklanan ternama yang berbasis
di New York. Meskipun demikian, ulasan pertama di Indonesia mengenai
metroseksual diangkat pertama kali oleh koran Kompas edisi 31 Agustus
2003 dalam artikel yang berjudul “Dunia Masa Kini: Metroseksual!”
(Kartajaya et al., 2004).
Pendefinisian istilah metroseksual dalam Wibowo (dalam Adlin,
2006) dan Kartajaya et al., (2004), dalam beberapa artikel di harian Kompas,
serta dalam riset yang dilakukan oleh Euro RSCG senantiasa bermuara pada
pendefinisian yang ditulis oleh Mark Simpson pada harian Independent
(1994) di Inggris dan dalam artikelnya di www.salon.com pada tahun 2002.
Menurutnya, untuk menentukan apakah seseorang merupakan metroseksual
adalah cukup dengan melihatnya karena mereka sangat memperhatikan
penampilannya. Metroseksual dijelaskan dalam pernyataan berikut:
The typical metrosexual is a young man with money to spend, living in or within easy reach of a metropolis -- because that's where all the best shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference. Particular professions, such as modeling, waiting tables, media, pop music and, nowadays, sport, seem to attract them but, truth be told, like male vanity products and herpes, they're pretty much everywhere.
(Simpson, www.salon.com, 22 Juli 2002).
Penjelasan bernada satir oleh Simpson tersebut menunjukkan
bagaimana metroseksual menjadi sebuah istilah yang mengacu pada pria yang
(“...best shops”) maupun jasa (“...clubs, gyms, and hairdresser”) yang dapat menunjang kebutuhannya akan perhatian pada penampilan. Kalangan ini juga
dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau memiliki akses yang
mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana. Jenis pekerjaan yang
mereka geluti pun cukup bervariasi. Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan
Kartajaya et al., (2004) menyebutkan bahwa pekerjaan mereka mulai dari
model, resepsionis, profesional media, musisi populer, olahragawan, bahkan
berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan cantiknya serta
memiliki akses ke produk-produk mahal.
MarkPlus&Co dan Euro RSCG memandang metroseksual sebagai
sebuah bagian dari keberhasilan feminisme, khususnya dalam dunia kerja.
Dalam survei mereka, pria-pria yang menjadi responden menunjukkan
penerimaan terhadap masuknya wanita ke dalam kehidupan mereka serta
kenyamanan dalam mengekspresikan sisi feminin mereka. Dalam pandangan
mereka, hal ini dikarenakan telah masuknya wanita ke dalam berbagai sektor
publik sehingga menimbulkan interaksi yang lebih intens antara wanita dan
pria, meski metroseksual bukanlah bagian dari hasrat dan politisasi gerakan
perempuan. Para pria tersebut pun menjadi semakin mengenal sisi wanita,
bahkan melakukan kebiasaan perilaku yang selama ini menjadi stereotip
wanita (Kartajaya, 2004).
Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai
metroseksual ketika ia pertama kali mengulas mereka. Mark Simpson
artikelnya yang berjudul “Metrosexual? That rings a bell....” (2003). Istilah
‘metrosexual’ merupakan istilah yang disebutkan dengan tidak terlalu serius oleh Simpson ketika ia pertama kali menuliskannya. Metrosexual adalah terminologi yang digunakannya untuk menggambarkan dampak
konsumerisme dan poliferasi media massa terhadap paham maskulinitas
tradisional, yang termanifestasikan dalam berbagai glossy magazines
(majalah gaya hidup pria kontemporer). Simpson memandang bahwa
metroseksual adalah kalangan pria yang tidak lagi mengumpulkan uang untuk
digunakan oleh pasangan wanita mereka. Peran ini tergantikan dengan
pria-pria yang kini kurang yakin dalam identitasnya, sangat memperhatikan
penampilan, yang kini menjadi impian bagi kalangan pemasaran. Hal ini
menunjukkan bahwa ‘metrosexual’ merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Simpson dalam kritiknya terhadap konsumerisme yang dipacu oleh
media massa pada kaum pria.
Penjelasan mengenai metroseksual di atas menunjukkan bahwa
meskipun berbagai penjelasan mengenai metroseksual pada akhirnya
bermuara pada artikel Mark Simpson, ternyata terdapat ketidaksinambungan
dalam pemaknaan metroseksual, baik yang dilontarkan oleh Simpson maupun
yang dinyatakan oleh EuroRSCG (secara tidak langsung juga termasuk
MarkPlus&Co). Dalam satu sisi, metroseksual digambarkan sebagai sebuah
sebutan satir pada pria yang mempercantik dirinya, yang biasanya hidup di
perkotaan. Di sisi lain, metroseksual juga dilihat sebagai sebuah fenomena
Ketika melihat pada asal-muasal metroseksual itu sendiri, kedua pihak
tersebut juga memiliki pandangan yang berbeda. Wibowo (dalam Adlin,
2006) juga memaparkan bahwa Mark Simpson melihat metroseksual sebagai
bentukan glossy magazines (majalah gaya hidup pria) dan komodifikasi pria dalam berbagai produk perawatan tubuh. Sementara itu, Euro RSCG melihat
metroseksual sebagai hasil dari gerakan feminisme dan lingkungan pekerjaan.
Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa metroseksual berada dalam
lingkungan perkotaan. Dari berbagai pandangan tersebut, metroseksual
kemudian disimpulkan melalui dua tolok ukur yang utama. Pertama, pria
metroseksual dapat dicirikan secara visual. Ia berpenampilan rapi dan
menarik walaupun bentuk-bentuk prakteknya berbeda tapi efek yang
dihasilkannya sama (kesan rapi dan menarik). Kedua, pria metroseksual
bertempat tinggal di kota besar. Kategori-kategori lainnya selain kedua hal
tersebut di atas dipandang sebagai kategori yang bersifat tidak tetap dalam
identitas pria metroseksual.
B. Gender dan Ketimpangan Gender
1. Tinjauan Teoritis Konsep Gender
Secara biologis, manusia dapat dibedakan berdasarkan
karakteristik fisiknya, yaitu pria dan wanita, yang kemudian disebut
sebagai jenis kelamin (atau ‘sex’ dalam bahasa Inggris). Akan tetapi, gender tidak akan dapat dipahami sesederhana itu, dimana hanya dengan
Istilah “seks” dan “gender” pada hakekatnya memiliki pemaknaan yang
berbeda. Oakley (dalam Kasiyan, 2008) menegaskan secara prinsip
bahwa gender menunjuk pada kategori sosial, sedangkan seks mengacu
pada kategori biologis. Hal yang senada juga disebutkan oleh Mosses
(1996), dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin (seks) merupakan
pemberian (given), yakni kelahiran kita sebagai pria dan wanita. Akan tetapi, jalan yang menjadikan kita feminin atau maskulin adalah atribut
psikologis yang ditetapkan oleh kultur kita terhadap jenis kelamin kita.
Dengan kata lain, gender merupakan sebuah konstruksi sosial.
Ketika membahas gender, kita akan terbawa pada istilah
stereotip gender dan peran gender. Peran gender dapat digambarkan
sebagai sebuah ketentuan yang berlaku bagi pria dan wanita untuk
memenuhi peta tertentu dalam masyarakat dan bertingkah laku sesuai
dengan gendernya (Brannon, 1996; Kasiyan, 2008; Megawangi, 1999;
Nugroho, 2008). Contoh yang dapat menggambarkan hal tersebut adalah
bagaimana pria di Indonesia diharapkan untuk menjadi sosok yang kuat,
bertanggung jawab, dan dapat memenuhi nafkah keluarganya (bila telah
berkeluarga), sementara wanita diharapkan untuk menjadi sosok yang
lemah lembut dan melakukan pekerjaan rumah tangga (Handayani,
2004).
Stereotip gender merupakan suatu istilah yang menggambarkan
wanita (Brannon, 1996). Anggapan mengenai pria sebagai sosok yang
agresif, dominan, tidak memperhatikan penampilan, berpikir logis, dan
sebagainya, merupakan sebagian dari berbagai stereotip yang melekat
pada pria. Wanita pun seringkali disebut sebagai sosok yang lemah
lembut, cerewet, suka memperhatikan penampilan, dan sebagainya
(Rosenkrantz, dalam Brannon, 1996).
Jika dilihat secara sekilas, stereotip gender dan peran gender
tampak memiliki pengertian yang serupa. Namun, kedua istilah ini
memiliki pemaknaan yang berbeda. Kedua konsep ini pada dasarnya
memiliki keterkaitan satu sama lain. Akan tetapi, peran gender lebih
mengacu pada tingkah laku yang diharapkan pada pria dan wanita dalam
situasi sosial (peran sosial), sementara stereotip gender merupakan
kepercayaan mengenai maskulinitas dan femininitas pada pria dan wanita
(Brannon, 1996; Handayani, 2004; Kasiyan, 2008; Nugroho, 2008).
Dengan kata lain, stereotip gender merupakan ciri sifat yang melekat
pada peran gender. Kita bisa mengambil contoh pada masyarakat kita
dimana wanita diharapkan kelak untuk menjadi seorang ibu rumah
tangga yang akan mengasuh anaknya. Oleh karena itu, ia pun kemudian
diharapkan untuk memiliki sifat-sifat lemah lembut, penyayang, sabar,
dan mengayomi. Pria kemudian diharapkan kelak menjadi seorang
kepala keluarga, sehingga ia perlu menjadi sosok yang tegas, disiplin,
sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, dan pasif, sementara pria
dianggap kuat, rasional, dan agresif.
Di sisi lain, kedua istilah (stereotip gender dan peran gender) ini
secara ideologis maupun praktek juga menciptakan sebuah dinding yang
tidak tipis antara pria dan wanita secara sosiokultural. Batasan mengenai
hal yang pantas dan tidak pantas menjadi acuan dalam menilai kedua
jenis kelamin tersebut. Batasan-batasan tersebut menyangkut sikap,
perilaku, dan penampilan yang diarahkan bagi pria dan wanita dalam
interaksi sosial (Brannon, 1996). Pleck (dalam Courtenay, 2000) juga
menjelaskan bahwa cara berpikir dan berperilaku pria dan wanita bukan
disebabkan oleh identitas jenis kelamin yang dimiliki tetapi karena
konstruksi femininitas pada wanita dan maskulinitas pada laki-laki. Hal
ini pun menyebabkan dikotomi pria dan wanita tidak hanya terbatas pada
ciri biologis mereka, tetapi juga termasuk aspek psikososialnya. Wilayah
wanita pun menjadi tidak dapat dimasuki dengan mudah oleh pria,
demikian pula sebaliknya, dengan konsekuensi kesan abnormal apabila
dilanggar. Hal ini juga dikarenakan adanya konstruksi gender di
masyarakat yang telah menjadi nilai-nilai yang melekat kuat dan diyakini
bersama (Kasiyan, 2008).
2. Ketimpangan Gender Pada Pria
Pembahasan mengenai kedudukan pria dan wanita secara
dan wanita secara kultural senantiasa menimbulkan perdebatan,
khususnya yang menonjol adalah mengenai kesetaraan antara kedudukan
pria dan wanita sebagaimana yang diperjuangkan oleh kaum feminis.
Istilah kesetaraan gender seringkali terkait dengan subordinasi atau
ketidakadilan yang dialami wanita, bukan yang dialami oleh pria.
Wacana ketidakadilan gender masih jarang mempersoalkan kedudukan
pria di Indonesia sehingga di sisi lain tampak memberikan sebuah
petunjuk akan ketidakadilan dalam posisi pria (Kasiyan, 2008;
Megawangi, 1999; Nugroho, 2008; Prabasmoro, 2006).
Pergerakan emansipasi wanita telah memberikan sejumlah
kesempatan bagi wanita untuk beraktivitas dalam ruang publik. Wanita
dalam sistem pembagian kerja secara seksual, cenderung selalu
ditempatkan dalam wilayah domestik atau rumah tangga, dengan
serangkaian kerja yang sifatnya reproduktif (Kasiyan, 2008). Ketika
wanita berhasil mengejar atau menyamai kedudukan pria, akan muncul
sebuah kesan positif, sanjungan, dan pembanggaan atas keberhasilan
tersebut. Hal ini digambarkan oleh Prabasmoro (2006) sebagai berikut.
Adalah hipokrisi dan standar ganda yang sebenarnya muncul dalam fenomena itu. Wanita boleh memasuki sektor publik karena ada konsep lebih tingginya nilai-nilai maskulin. Artinya, wanita menjadi maskulin lebih berterima daripada pria yang feminin. Artinya lagi, wanita boleh bekera di luar tapi tetap melaksanakan pekerjaan domestiknya, tetapi pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik karena itu merendahkan dirinya. (Prabasmoro, 2006).
Dalam contoh yang lebih mudah, wanita yang mengenakan jas
dibandingkan dengan pria yang mengenakan sweater dengan bentuk meliuk seperti tubuh wanita. Hal ini didasari pada stereotip pada pakaian,
dimana celana dipandang sebagai sesuatu hal yang pantas bagi pria,
sementara rok ataupun pakaian lain yang menonjolkan lekuk tubuh
dianggap sebagai “milik” wanita. Ketika kita membahas kesetaraan
gender, asumsinya adalah (seharusnya) terdapat kesempatan yang sama
bagi pria maupun wanita untuk merambah domain satu sama lain dan
apresiasi bagi kemampuan mereka. Spirit dasar konsep feminisme adalah
menempatkan pria dan wanita setara sebagai manusia yang lengkap
dengan nilai yang dilekatkan (Kasiyan, 2008). Dalam kenyataan yang
terjadi, meski pria telah berhasil merambah sejumlah ruang yang menjadi
stereotip wanita, seperti memasak dan mengasuh anak, masih terdapat
tuntutan bagi pria untuk mempertahankan kemaskulinitasannya dalam
berbagai segi.
Di dalam kehidupan sosial, pria memiliki tuntutan sosiokultural
yang tidak ringan. Seperti yang dijelaskan di atas, selama ini konsep
maskulin memiliki nilai yang lebih tinggi di dalam masyarakat kita yang
patriarkis. Hal ini turut pula menandakan adanya tuntutan bagi pria untuk
tetap mempertahankan kemaskulinitasannya dalam kehidupan sosial.
Secara harafiah, istilah ‘patriarki’ memuat pengertian sebagai
kepemimpinan para ayah (Mies, dalam Kasiyan, 2008). Dalam
perkembangan selanjutnya, ternyata istilah ini berkembang menjadi
mengenai pria yang berkuasa di berbagai institusi sosial. Karena adanya
serangkaian stereotip maskulinitas pria yang seringkali berkonotasi
positif, maka pria menempati posisi di wilayah publik yang sifatnya
produktif dalam hierarki pembagian kerja secara seksual, dimana
kemudian pekerjaan-pekerjaan ini dipandang lebih terhormat (Kasiyan,
2008). Dalam kehidupan kita, dapat dengan dicontohkan dalam posisi
pemimpin di berbagai institusi sosial, seperti kepala daerah, presiden,
maupun pemimpin perusahaan yang didominasi oleh pria. Bahkan secara
tradisional pun pria diharapkan untuk menjadi seorang kepala keluarga.
Maka tidak mengherankan apabila terdapat tuntutan bagi pria untuk
selalu maskulin dan tidak melakukan hal-hal yang menjadi stereotip
wanita atas dasar kedudukan sosiokultural yang tinggi tersebut. Wujud
beban yang dimiliki oleh pria dapat dilihat pula dalam kultur Jawa
dimana pria menanggung beban publik untuk selalu bisa membawa diri
sesuai dengan tata krama yang tepat (Handayani, 2004).
Tuntutan kemaskulinitasan yang dialamatkan pada pria, bila
dicermati lebih jauh akan menunjukkan suatu ‘kesulitan’ atau
‘ketidakadilan’ bagi kaum pria. Kita dapat mengambil contoh pada
tangisan. Dalam studi yang dilakukan oleh Levoy (dalam Handayani,
2004) menunjukkan bahwa tangisan sesungguhnya memiliki dampak
positif. Secara biologis, tangis akan memicu keluarnya air mata yang
turut pula mengeluarkan mangan dari tubuh. Sebagian besar wanita
setelah menangis dan mereka pun melihat tangisan sebagai sesuatu yang
positif. Dengan kata lain, tangisan menjadi suatu hal yang memiliki
dampak fisik dan psikis yang positif. Akan tetapi, fasilitas tersebut secara
sosial tidak diberikan bagi pria. Pria secara sosial dianggap tidak pantas
untuk menangis sehingga agak berkurang daya tahan emosionalnya
terhadap kejadian-kejadian yang mengandung stres (Handayani, 2004).
Berdasarkan keseluruhan penjelasan di atas, maka dapat ditarik
suatu pemahaman bahwa sulit bagi pria untuk ‘melunakkan’ dirinya
(menjadi lebih feminin) tanpa mendapatkan stigma negatif dari
masyarakat. Pergerakan feminis yang bertujuan untuk memberikan
kesetaraan bagi pria dan wanita dalam kehidupan sosial tidak secara
langsung memberikan kesempatan bagi pria untuk menjadi lebih feminin.
Konstruksi gender yang ada dalam masyarakat pun turut menjadi
kontributor di dalamnya, dimana hal ini melibatkan stereotip gender yang
berkembang di masyarakat. Dalam kondisi apapun, pria tetap diharapkan
untuk selalu menunjukkan ciri-ciri yang sejalan dengan stereotip
gendernya.
C. Representasi Sosial
1. Teori Representasi Sosial
Teori Representasi Sosial merupakan teori yang dipelopori oleh
Serge Moscovici yang berasal dari Perancis. Dalam sudut pandang teori
dapat dipahami apabila dilihat sebagai sesuatu hal yang disatukan oleh
kondisi historis, kultural dan makrososial (Wagner, Duveen, Farr,
Jovchelovitch, Lorenzi-Cioldi, Marková, dan Rose, 1999). Dengan kata
lain, memahami reaksi psikologis seseorang terhadap suatu fenomena
tidak akan lepas dari latar belakang kultural dimana orang tersebut
berada dan nilai lokal yang dimilikinya. Seorang individu dalam
memahami suatu fenomena akan menggunakan berbagai pengetahuan
yang telah dimilikinya, termasuk berbagai nilai maupun keyakinan yang
dimilikinya, untuk kemudian menjadi pedomannya dalam berperilaku.
Hal ini tidak lepas pula dari lingkungan sosial dimana ia berada. Hal ini
turut pula menunjukkan bahwa dalam pandangan representasi sosial,
kondisi psikologis seseorang merupakan produk sosial yang akan
menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam
lingkungan yang sama (Walmsley, 2004).
Dari penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa representasi
sosial merupakan sebuah sistem nilai, ide, dan praktek yang memiliki
empat fungsi representasi sosial yang diungkapkan oleh Moscovici
(dalam Walmsley, 2004). Keempat fungsi tersebut adalah sebagai
berikut.
a) Fungsi pengetahuan, yakni memungkinkan suatu realita
untuk dipahami dan dijelaskan.
b) Fungsi identitas, yakni meletakkan individu dan kelompok
perkembangan sebuah identitas sosial selaras dengan norma
dan nilai-nilai dalam masyarakat.
c) Fungsi orientasi, yakni dapat mengarahkan sikap dan
praktek.
d) Fungsi pembenaran, yakni mengizinkan sesudah fakta
pembenaran posisi dan perilaku.
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa representasi
sosial merupakan seperangkat konsep, pernyataan, ataupun penjelasan
yang berasal dari kehidupan sehari-hari pada masyarakat dan hanya
mungkin terjadi karena adanya proses komunikasi terus-menerus antar
anggota dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Melalui representasi
sosial, mereka (masyarakat umum) memperoleh pengetahuan akan
bagaimana perilaku mereka diarahkan dalam menanggapi suatu obyek
representasi serta bagaimana mereka menjelaskan obyek tersebut
(Moscovici, 2001).
Menurut Moscovici (2001), tujuan dari representasi sosial
adalah untuk membuat sesuatu yang tidak familiar menjadi familiar.
Representasi sosial menyediakan instrumen untuk mengatasi dan
mengklasifikasikan suatu fenomena baru dan perubahan-perubahan di
dalam suatu fenomena yang telah diketahui. Dalam proses representasi
sosial terdapat dua buah konsep sentral, yakni anchoring dan
Objectification merupakan sebuah proses menerjemahkan ide-ide dan konsep-konsep abstrak ke dalam sebuah gambaran konkrit
ataupun menghubungkannya ke dalam suatu objek konkret (Moscovici,
1984). Dalam proses penerjemahan ini suatu teori direorganisir sehingga
terdapat bagian yang menghilang dan bagian lainnya yang dipertajam
atau difokuskan. Dijelaskan lebih lanjut oleh Wagneret al (1999) bahwa
suatu kelompok sosial dalam komunikasi di dalamnya mengembangkan
interpretasi mereka sendiri terhadap suatu fenomena yang tidak dikenal
atau baru. Objectification menjadi mekanisme dimana pengetahuan sosial yang direpresentasikan oleh kelompok tersebut memperoleh wujud
spesifiknya terhadap fenomena tersebut, misalnya dalam bentuk icon, metafora, sebutan, praktek, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, melalui
proses itu terbentuk suatu struktur image yang direproduksi dalam suatu susunan ide berdasarkan susunan ide atau pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya (Lorenzo-Cioldi, dalam Wagner et al, 1999).
Anchoring merupakan suatu mekanisme yang hendak mengaitkan (to anchor) suatu ide yang tak dikenal, untuk mereduksinya ke dalam suatu gambaran dan kategori umum, serta meletakkannya ke
dalam konteks yang familiar (Moscovici, 2001). Anchoring kemudian dapat dipahami sebagai suatu proses sosial yang meletakkan individu ke
dalam konteks sosialnya serta ke dalam tradisi kultural kelompoknya
(masyarakatnya) (Billig, Condor, Edwards, Gane, Middleton, dan
2. Representasi Sosial Metroseksual
Kartajaya et al (2004) menyatakan bahwa hal yang menonjol
dari kalangan metroseksual adalah perilaku mereka yang sangat
memperhatikan penampilannya. Oleh karena adanya bentuk perilaku pria
yang berbeda ini maka diperlukan suatu proses untuk menjadikannya
sebagai sesuatu hal yang familiar atau mudah untuk dipahami. Melalui
suatu diskursus yang melibatkan pengetahuan lokal (konsep gender) dan
pengetahuan akan metroseksual dari media massa, maka terbentuk
representasi akan metroseksual ini di dalam masyarakat. Media massa
menjadi salah satu hal yang sangat berperan, khususnya melihat
munculnya konsep ini pertama kali. Oleh karena itu, objectification dari kalangan metroseksual ini tidak akan lepas dari informasi mengenai
kalangan metroseksual yang disebarluaskan oleh media massa. Dalam
hal ini, proses objectification merupakan proses dimana terjadi penerjemahan ide tentang metroseksual yang cenderung abstrak ke dalam
gambaran tertentu yang lebih konkrit dan lebih familiar bagi individu. Di
sisi lain, pada proses anchoring, suatu informasi yang baru (dalam hal ini adalah metroseksual) diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan
sistem makna yang telah dimiliki masyarakat. Melalui berbagai proses
tersebut, masyarakat pun menentukan pemaknaan dan sikap sosial
Sikap dalam representasi sosial lebih disebut sebagai ‘sikap
sosial’, yakni suatu hasil konstruksi dan evaluasi terhadap suatu objek
pikiran. Sikap ini disebut ‘sosial’ karena dalam pembentukannya,
individu akan mengacu pada kumpulan pengetahuan yang diperoleh dari
lingkungan sosialnya, sekaligus juga ia akan membaginya pada anggota
kelompok yang lain, atau bahkan ia terpengaruhi oleh anggota
kelompoknya (Wagner et al., 1999). Oleh karena itu, sikap masyarakat
terhadap metroseksual merupakan bagian dari representasi mereka
terhadap metroseksual, serta merupakan sesuatu hal yang timbul dari
pembauran pengetahuan yang mereka peroleh tentang metroseksual
dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki mengenai kedudukan pria
dalam konstruksi gender.
Membentuk suatu ‘hipotesa’ akan metroseksual sebagai suatu
bentuk representasi sosial dapat saja kita lakukan, akan tetapi hal ini
belum dapat dipastikan kebenarannya karena belum didasarkan pada
penelitian. MarkPlus&Co (dalam Kartajaya et al., 2004) telah melakukan
penelitian pada pria golongan A++ yang kemudian mereka jelaskan
sebagai pria metroseksual. Akan tetapi, gambaran akan status keberadaan
mereka di dalam masyarakat Indonesia tidak terjelaskan karena tidak
dilakukannya penelitian dalam lingkup masyarakat. Oleh sebab itu,
makna dari metroseksual itu sendiri pun terbatas pada makna yang
diperoleh dari komunitas metroseksual itu sendiri, tidak dalam lingkup
metroseksual sebagai sebuah representasi akan membawa kita kepada
lokasi dimana representasi itu terjadi, khususnya bila melihat mereka
sebagai kalangan yang ‘ada’ dan memiliki sebutan sendiri akan identitas
mereka. Dengan kata lain, berdasarkan sudut pandang representasi sosial,
dalam memahami keberadaan metroseksual perlu dilakukan suatu
tinjauan dalam masyarakat dimana terdapat fenomena metroseksual
tersebut.
D. Konteks Penelitian: Masyarakat umum di kota Yogyakarta yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal
1. Masyarakat Umum
Ketika berbicara mengenai masyarakat maka kita perlu untuk
melihat kelompok manusia dalam lokasinya dan budaya atau kehidupan
sosial yang mereka miliki bersama (Macionis, 2008; Soekanto, 1982).
Representasi sosial juga merupakan sebuah teori yang mempelajari
masyarakat sesuai dengan kultur yang mereka miliki bersama.
Representasi sosial merupakan sebuah paradigma yang melakukan
penelitian pada masyarakat dalam konteks kehidupan sehari-hari
(Moscovici, 2001).
Representasi sosial juga melihat bahwa representasi suatu
kelompok terbentuk melalui suatu diskursus, dimana media massa
menjadi salah satu kontributor yang cukup besar bagi pembentukan
Moscovici, 2001). Diketahui pula bahwa media massa sebagai suatu
bentuk teknologi informasi-komunikasi memiliki peranan yang
signifikan dalam mempengaruhi hidup seseorang terkait dengan
kemampuannya mengkonstruksikan identitas dan kehidupan sosial, serta
diakses oleh segala kalangan usia (Afdjani, 2007; Baran, 2004; Borchers,
2005; Giles, 2005; Hoare, 2006).
Penelitian ini hendak dilakukan pada kalangan masyarakat
umum yang berada di Yogyakarta. Yogyakarta menjadi lokasi penelitian
karena di dalamnya telah dapat kita jumpai berbagai tempat yang
menunjang pertukaran informasi, di samping berdasarkan temuan artikel
di Kompas Jogja yang menunjukkan adanya fenomena metroseksual di
kota ini.
Kota Yogyakarta memiliki budaya dominan yaitu budaya Jawa.
Dalam masyarakat Jawa kedudukan pria dan wanita bisa dijelaskan dari
konstruksi kultural dan agama. Konstruksi kultural memberi ruang bagi
sifat feminin pria dan kegiatan bersolek pada pria (Pemberton, 2003;
Ranggasutrasna, 1999; Graham, 2002). Tradisi lokal yang memberikan
tempat pada pria yang menunjukkan ciri feminin dapat dilihat dalam
kesenian Reog di Jwa Timur, dimana di dalamnya terdapat warok dan
percintaan maupun sebagai syarat untuk memperoleh kesaktian
(Ranggasutrasna, 1999).
Dalam masyarakat Jawa dijumpai suatu filosofi yang
menjelaskan pentingnya berpakaian. Hal ini tampak dalam tradisi ngadi salira, ngadi busana maupun (Purwadi, 2007) Ungkapan tersebut mengungkapkan maksud bahwa antara jiwa dan raga perlu perhatian
khusus, agar dirinya mendapat penghormatan yang layak dari pihak lain.
Dijelaskan pula lebih lanjut bahwa dalam pergaulan sehari-hari
penampilan seseorang ternyata sebagian ditentukan oleh cara berpakaian.
Cara berpakaian menjadi bagian dari cara seseorang menempatkan diri
dalam lingkungannya, sesuai dengan situasi dan kondisi. Pria dan wanita
dipandang perlu untuk memperhatikan penampilannya melalui cara
berpakaian, dimana hal ini dapat menunjukkan sifat tabiat seseorang,
baik dalam tindak laku sehari-hari, tata krama, selera, maupun pandangan
hidupnya (Purwadi, 2007).
Dalam masyarakat Jawa juga dijumpai hal yang berbeda dari
kegiatan memperhatikan penampilan. Di dalam masyarakat Jawa juga
terdapat suatu pandangan yang melekatkan kegiatan memperhatikan
penampilan sebagai hal yang hanya dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini
tampak dalam ungkapan “macak, manak, masak” (Primariantari, Rika,
Ilsa, Gail, 1998). Ketiga kata tersebut mengacu pada kewajiban yang
bahwa kegiatan memperhatikan penampilan alias berdandan merupakan
kegiatan yang identik dengan para wanita. Kegiatan berdandan atau
bersolek ini pun menjadi bagian dari pandangan mengenai idealisasi para
wanita (Primariantari et al, 1998; Toer, 2009). Kegiatan memperhatikan
penampilan ini tidak tampak dalam idealisasi sosok pria. Novel sejarah
yang berjudul “Bumi Manusia” (Toer, 2006) menunjukkan bagaimana
kalangan pria dianggap ideal ketika mereka memiliki rumah, wanita,
kuda (kendaraan), burung (hobi), dan keris (senjata), tanpa menunjukkan
adanya ketentuan bagi pria untuk wajib memperhatikan penampilan.
Hal yang dapat disimpulkan dari penjelasan yang diberikan di
atas adalah bahwa dalam masyarakat Jawa terdapat dua pandangan yang
berbeda mengenai kegiatan memperhatikan penampilan. Pertama,
memperhatikan penampilan merupakan hal yang sepatutnya dilakukan
oleh pria dan wanita sebagai bagian dari usaha untuk menyesuaikan diri
di dalam lingkungan serta diperlukan dalam menjaga keselarasan
hubungan dengan orang lain sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pandangan yang kedua menempatkan kegiatan memperhatikan
penampilan alias berdandan sebagai hal yang wajib untuk dilakukan atau
mampu untuk dilakukan oleh para wanita. Kalangan pria tidak dipandang
sesuai untuk memiliki perhatian yang penuh pada usaha menjaga
2. Dewasa Awal
Dalam penelitian ini, subyek yang diambil adalah kalangan
masyarakat yang berusia antara 21-36 tahun. Dalam tahap perkembangan
manusia, subyek dalam rentang usia tersebut berada pada tahap
perkembangan dewasa awal (Santrock, 2002). Hal yang serupa berlaku
pula di Indonesia, dimana batas usia individu yang telah dinyatakan
dewasa adalah 21 tahun, dimana dinyatakan bahwa pada usia ini
seseorang telah dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa tergantung
pada orang tuanya (Monks, Knoers, dan Haditono, 2002).
Pada usia dewasa awal ini, individu dinyatakan telah
mengkonstruksikan dirinya sebagai bagian dari suatu masyarakat
sekaligus juga melakukan peranannya di dalam lingkungan sosialnya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ia telah mempunyai tanggung
jawab terhadap perilakunya, termasuk sanksi sosial dari perilakunya
(Monks et al., 2002). Hal ini juga disebabkan karena ia telah melalui
suatu tahap transisi dimana ia bertemu dengan lingkungan sosial yang
lebih luas (norma, nilai, peran) dan akhirnya mencapai kestabilan acuan
diri dalam lingkungan sosialnya (Carr, 2009; Santrock, 2002; Monks et
al., 2002). Terkait dengan representasi sosial, acuan pada kehidupan
sosial merupakan hal yang mendasari suatu representasi karena hal ini
lah yang kemudian mendasari konsep yang digunakan individu dalam
membentuk identitas, berperilaku dalam keseharian, serta berinteraksi
34
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan sebuah penelitian yang
bertujuan untuk menggunakan gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta, gejala-gejala perilaku, dan sifat-sifat populasi atau
daerah tertentu ketika melihat suatu masalah atau situasi. Prosedur
penelitiannya akan menghasilkan data-data deskriptif yang berupa ucapan
atau tulisan, ataupun tingkah laku yang dapat diamati dari subyek penelitian
(Suryabrata, 1998). Penelitian ini mencoba menggali data yang dicari secara
‘grounded’ dan menganalisis data secara kualitatif. Akan tetapi, untuk
mempermudah membaca data dan menemukan representasi yang muncul,
maka data kualitatif tersebut kemudian dianalisis dan disajikan secara
kuantitatif.
Paradigma representasi sosial digunakan dalam penelitian ini karena
meletakkan individu dalam ruang sosialnya sehingga pemahaman dan sikap
sosial individu dapat dilihat sesuai dengan konteks sosial budayanya.
Paradigma ini juga merupakan kerangka berpikir konsep dan ide psikologis
dalam dunia sosial dalam rangka mempelajari fenomena psikososial dalam
masyarakat modern (Wagner et al., 1999). Dengan objectification dan
mengungkap representasi masyarakat akan suatu fenomena baru setelah
adanya integrasi informasi baru dengan sistem pengetahuan yang telah
mereka miliki sebelumnya. Selain itu, juga dapat membantu untuk melihat
bagaimanakah perilaku dan komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok
dalam dinamika sosialnya, yang terkait dengan fenomena yang terjadi.
Bahasa menjadi aspek penting dalam penelitian ini. Bahasa sebagai
unsur fundamental dari komunikasi, interpretasi, dan pemahaman manusia
dalam rangka memberi arti pada dunia sosial dengan cara mengekspresikan
pembentukan makna tersebut pada diri kita sendiri dan orang lain secara
linguistik. Melalui bahasa, suatu makna dalam perilaku manusia dapat dilihat
secara kognitif, afektif, maupun normatif (Handayani, 2002; Smith, 2009).
Oleh karena itu, bahasa melalui kata-kata yang dikumpulkan dalam penelitian
ini menjadi aspek penting dalam memahami representasi sosial masyarakat
umum tentang metroseksual.
B. Responden Penelitian
Responden penelitian ini diambil dengan cara purposive, yaitu
pemilihan subyek dilakukan oleh peneliti berdasarkan kriteria tertentu yang
ditentukan oleh peneliti (Sulistyo, 2006). Penelitian ini hendak menemukan
representasi sosial yang dimiliki masyarakat di Yogyakarta mengenai
metroseksual. Kriteria lainnya yang digunakan dalam memilih responden
a) Berusia antara 21 – 40 tahun
b) Responden bertempat tinggal di kota Yogyakarta
c) Responden tersebar di ruang publik (mall dan café) maupun
ruang privat (kediaman responden)
C. Batasan Istilah
Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian ini mengkaji representasi sosial tentang
metroseksual pada masyarakat umum yang diungkap
melalui sikap dan makna yang mereka miliki, dimana sikap
dan makna ini sebagai pengetahuan yang mereka miliki
bersama tentang metroseksual.
2. Makna metroseksual bagi masyarakat adalah segala sesuatu
yang dipersepsikan, dipahami, dan dirasakan oleh
masyarakat tentang mestroseksual.
3. Sikap terhadap metroseksual adalah kecenderungan
berperilaku masyarakat, baik positif maupun negatif,
terhadap “metroseksual” berdasarkan pengetahuan sosial
yang mereka miliki mengenai “metroseksual”.
4. Sumber informasi metroseksual adalah segala hal yang
menjadi sumber bagi masyarakat dalam mengkonstruksikan
5. Yang dimaksud dengan masyarakat dalam penelitian ini
adalah kalangan masyarakat yang berusia 21-40 tahun dan
bertempat tinggal di kota Yogyakarta.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan kuesioner terbuka yang dilanjutkan
dengan wawancara semi-terstruktur. Pengambilan data dilakukan secara
bertahap, dimana responden dikumpulkan satu per satu untuk kemudian
dianalisa, dan berhenti ketika tidak ditemukan lagi variasi yang berarti dalam
data. Adapun wawancara yang dilakukan merupakan wawancara yang
sifatnya sebagai pelengkap, dimana tujuan utamanya adalah untuk
memastikan peneliti memiliki pemahaman yang sama akan jawaban
responden yang tercantum dalam kuesioner. Meskipun demikian, tidak
menutup kemungkinan untuk ditemukannya data lain melalui proses
wawancara yang dilakukan.
1. Kuesioner Terbuka
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan survei atau
kusioner, yaitu model penelitian yang menggunakan sampel untuk
melihat secara langsung ide dan pikiran sekelompok orang secara alami.
Model ini juga memberikan suatu keuntungan yakni memperoleh data
dari responden dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
(Zechmeister, Zechmeister, dan Shaughnessy, 1997). Akan tetapi, demi