• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN TEORITIS

A. Profil Metroseksual

“Metroseksual” merupakan sebuah istilah yang kini tidak asing lagi kita dengar. Mengacu pada istilah aslinya yang dalam bahasa Inggris, secara etimologis, metrosexual merupakan sebuah istilah yang terdiri dari dua kata, yakni ‘metropolitan’ dan ‘sexual’. Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (University of Oxford, 2005) dan Encarta Webster’s College Dictionary 2nd Edition (Bloomsbury Publishing, 2005), ‘metropolitan’ memiliki pengertian yang mengacu pada ibukota atau kota besar. Sementara itu, kata ‘sexual’ memiliki makna yang lebih beragam. Istilah ini mengacu pada praktik, orientasi, daya tarik, dan aspek fisik dari seks itu sendiri. Dengan kata lain, kedua istilah ini memiliki fungsi sebagai kata benda (noun) yang pemakaiannya dipasangkan dengan kata lain untuk memperoleh arti yang lebih spesifik. Akan tetapi, dalam kedua kamus tersebut, ketika kata

‘sexual’ dan ‘metropolitan’ digabungkan ke dalam kata ‘metrosexual’ ternyata memiliki pemaknaan tersendiri. Metrosexual dijelaskan sebagai pria heteroseksual yang berusia muda, tinggal di kota, dan memiliki ketertarikan pada fashion dan shopping (kegiatan berbelanja) serta memperhatikan penampilan mereka.

Penelitian pertama tentang metroseksual dilakukan pertama kali oleh MarkPlus&Co, sebuah lembaga pemasaran, pada tahun 2003. Penelitian

mereka merupakan adopsi dari penelitian serupa yang dilakukan oleh Euro RSCG. Riset paling terkemuka sejak lahirnya gejala metroseksual dilakukan tahun 2003 oleh Euro RSCG, sebuah biro periklanan ternama yang berbasis di New York. Meskipun demikian, ulasan pertama di Indonesia mengenai metroseksual diangkat pertama kali oleh koran Kompas edisi 31 Agustus 2003 dalam artikel yang berjudul “Dunia Masa Kini: Metroseksual!” (Kartajaya et al., 2004).

Pendefinisian istilah metroseksual dalam Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan Kartajaya et al., (2004), dalam beberapa artikel di harian Kompas, serta dalam riset yang dilakukan oleh Euro RSCG senantiasa bermuara pada pendefinisian yang ditulis oleh Mark Simpson pada harian Independent (1994) di Inggris dan dalam artikelnya di www.salon.com pada tahun 2002. Menurutnya, untuk menentukan apakah seseorang merupakan metroseksual adalah cukup dengan melihatnya karena mereka sangat memperhatikan penampilannya. Metroseksual dijelaskan dalam pernyataan berikut:

The typical metrosexual is a young man with money to spend, living in or within easy reach of a metropolis -- because that's where all the best shops, clubs, gyms and hairdressers are. He might be officially gay, straight or bisexual, but this is utterly immaterial because he has clearly taken himself as his own love object and pleasure as his sexual preference. Particular professions, such as modeling, waiting tables, media, pop music and, nowadays, sport, seem to attract them but, truth be told, like male vanity products and herpes, they're pretty much everywhere.

(Simpson, www.salon.com, 22 Juli 2002).

Penjelasan bernada satir oleh Simpson tersebut menunjukkan bagaimana metroseksual menjadi sebuah istilah yang mengacu pada pria yang memiliki kemampuan finansial untuk mengkonsumsi berbagai produk

(“...best shops”) maupun jasa (“...clubs, gyms, and hairdresser”) yang dapat menunjang kebutuhannya akan perhatian pada penampilan. Kalangan ini juga dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau memiliki akses yang mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana. Jenis pekerjaan yang mereka geluti pun cukup bervariasi. Wibowo (dalam Adlin, 2006) dan Kartajaya et al., (2004) menyebutkan bahwa pekerjaan mereka mulai dari model, resepsionis, profesional media, musisi populer, olahragawan, bahkan berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan cantiknya serta memiliki akses ke produk-produk mahal.

MarkPlus&Co dan Euro RSCG memandang metroseksual sebagai sebuah bagian dari keberhasilan feminisme, khususnya dalam dunia kerja. Dalam survei mereka, pria-pria yang menjadi responden menunjukkan penerimaan terhadap masuknya wanita ke dalam kehidupan mereka serta kenyamanan dalam mengekspresikan sisi feminin mereka. Dalam pandangan mereka, hal ini dikarenakan telah masuknya wanita ke dalam berbagai sektor publik sehingga menimbulkan interaksi yang lebih intens antara wanita dan pria, meski metroseksual bukanlah bagian dari hasrat dan politisasi gerakan perempuan. Para pria tersebut pun menjadi semakin mengenal sisi wanita, bahkan melakukan kebiasaan perilaku yang selama ini menjadi stereotip wanita (Kartajaya, 2004).

Mark Simpson memiliki pandangan yang berbeda mengenai metroseksual ketika ia pertama kali mengulas mereka. Mark Simpson memberikan tanggapannya terhadap hasil penelitian Euro RSCG dalam

artikelnya yang berjudul “Metrosexual? That rings a bell....” (2003). Istilah

‘metrosexual’ merupakan istilah yang disebutkan dengan tidak terlalu serius oleh Simpson ketika ia pertama kali menuliskannya. Metrosexual adalah terminologi yang digunakannya untuk menggambarkan dampak konsumerisme dan poliferasi media massa terhadap paham maskulinitas tradisional, yang termanifestasikan dalam berbagai glossy magazines

(majalah gaya hidup pria kontemporer). Simpson memandang bahwa metroseksual adalah kalangan pria yang tidak lagi mengumpulkan uang untuk digunakan oleh pasangan wanita mereka. Peran ini tergantikan dengan pria-pria yang kini kurang yakin dalam identitasnya, sangat memperhatikan penampilan, yang kini menjadi impian bagi kalangan pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa ‘metrosexual’ merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh Simpson dalam kritiknya terhadap konsumerisme yang dipacu oleh media massa pada kaum pria.

Penjelasan mengenai metroseksual di atas menunjukkan bahwa meskipun berbagai penjelasan mengenai metroseksual pada akhirnya bermuara pada artikel Mark Simpson, ternyata terdapat ketidaksinambungan dalam pemaknaan metroseksual, baik yang dilontarkan oleh Simpson maupun yang dinyatakan oleh EuroRSCG (secara tidak langsung juga termasuk MarkPlus&Co). Dalam satu sisi, metroseksual digambarkan sebagai sebuah sebutan satir pada pria yang mempercantik dirinya, yang biasanya hidup di perkotaan. Di sisi lain, metroseksual juga dilihat sebagai sebuah fenomena sebagai wujud keberhasilan feminisme Barat (Wibowo, dalam Adlin, 2006).

Ketika melihat pada asal-muasal metroseksual itu sendiri, kedua pihak tersebut juga memiliki pandangan yang berbeda. Wibowo (dalam Adlin, 2006) juga memaparkan bahwa Mark Simpson melihat metroseksual sebagai bentukan glossy magazines (majalah gaya hidup pria) dan komodifikasi pria dalam berbagai produk perawatan tubuh. Sementara itu, Euro RSCG melihat metroseksual sebagai hasil dari gerakan feminisme dan lingkungan pekerjaan. Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa metroseksual berada dalam lingkungan perkotaan. Dari berbagai pandangan tersebut, metroseksual kemudian disimpulkan melalui dua tolok ukur yang utama. Pertama, pria metroseksual dapat dicirikan secara visual. Ia berpenampilan rapi dan menarik walaupun bentuk-bentuk prakteknya berbeda tapi efek yang dihasilkannya sama (kesan rapi dan menarik). Kedua, pria metroseksual bertempat tinggal di kota besar. Kategori-kategori lainnya selain kedua hal tersebut di atas dipandang sebagai kategori yang bersifat tidak tetap dalam identitas pria metroseksual.

Dokumen terkait