• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DESKRIPTIF PEMBELIAN IMPULSIF PADA PRIA METROSEKSUAL DI YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "STUDI DESKRIPTIF PEMBELIAN IMPULSIF PADA PRIA METROSEKSUAL DI YOGYAKARTA"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF PEMBELIAN IMPULSIF PADA PRIA

METROSEKSUAL DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Eka Ayu Noningtyas

079114022

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

LIVE AS IF YOU WERE TO DIE

TOMORROW

LEARN AS IF YOU WERE TO LIVE

FOREVER

(5)

v

Dipersembahkan untuk ;

Tuhan Yesus Kristus

Bapak Eko Yulianto dan Ibu Siswantini

Kedua adik kandung saya Daniar Sepdianti

dan Maria Indah Damayanti

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 25 Juli 2014

Penulis,

(7)

vii

STUDI DESKRIPTIF PEMBELIAN IMPULSIF PADA PRIA

METROSEKSUAL DI YOGYAKARTA

Eka Ayu Noningtyas

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pembelian impulsif yang terdapat pada pria metroseksual. Subjek penelitian ini berjumlah tiga orang dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan skala yang diberikan kepada subjek penelitian yakni menggunakan skala kecenderungan pembelian impulsif dan wawancara semi terstruktur. Hasil penelitian menunjukan bahwa dinamika psikologis dari pembelian impulsif pada pria metroseksual ialah ketika ada stimulus yang merangsang need yang mendorong untuk melakukan pembelian impulsif maka akan disesuaikan dengan kondisi keuangan terlebih dahulu untuk memutuskan membeli barang tersebut. Stimulus yang memicu pembelian impulsif juga bermacam-macam, yang nampak dalam penelitian ini ialah stimulus yang berasal dari barang-barang yang dipajang di toko, seperti barang yang lucu, warna yang menarik, merk yang disukai, serta adanya diskon. Setelah melihat stimulus yang disajikan maka timbullah need seseorang untuk membeli barang tersebut, need yang paling banyak ditemukan ialah pemenuhan need of exhibition. Selain pemenuhan need tersebut, need lain yang mendorong seseorang melakukan pembelian impulsif ialah need of inavoidance. Setelah munculnya need untuk membeli maka kondisi keuangan sebagai penentu seseorang itu melakukan pembelian atau tidak. Jika kondisi keuangan cukup maka tanpa pikir panjang akan langsung membeli barang tersebut. Namun jika kondisi keuangan tidak mencukupi ada dua cara seseorang tetap membeli barang tersebut yaitu dengan cara memakai kartu kredit dan menunda pembelian sampai kondisi keuangannya mencukupi.

(8)

viii

DESCRIPTIVE STUDY OF AN IMPULSIVE BUYING ON

METROSEXUAL MEN IN YOGYAKARTA

Eka Ayu Noningtyas

ABSTRACT

This study is aimed to understand the psychological dynamics of impulsive buying that occur on metrosexual men. Subject of the study were three male. This study conducted with two ways which is by using impulsive buying tendency scale and semi-structural interview. The results of the study shows that psychological dynamics of impulsive buying on metrosexual men is, when there is a stimulus that triggers need with the result that encourage to do impulsive buying, therefore it will be adapted first to the financial condition to decide buying the stuff. Stimulus that triggers the impulsive buying is vary, stimulus that showed in this research is those who comes from stuff that been displayed in store, such as cute stuff, radiant colors, preffered brand, and also the availability of discount. After looking at the stimulus that being showed someone‟s need to

buy the stuff developed, the most founded need is need of exhibition. Besides of the that need „s

fulfillment, the other needs that encourage someone to do impulsive buying is the need of inavoidance. After the appearance of the need to buy therefore the financial condition as a determinant for someone to do or not to do the buying. If the financial condition is sufficient, without further thinking he will straight to buy the stuff . however if the financial condition is insufficient there is two ways that someone can do to still buy the stuff, which is by using credit card or postpone the purchase until the financial is sufficient.

(9)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Eka Ayu Noningtyas

Nim : 079114022

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudu :

Studi Deskriptif Pembelian Impulsif Pada Pria Metroseksual di Yogyakarta

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet maupun media

lain, untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 25 Juli 2014

Yang menyatakan

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

bimbingan dan rahmat-Nya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas akhir ini

merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar dari Fakultas Psikologis

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan ini penulis hendak

menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu

penulis,

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dekan Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Dr. Tjipto Susana selaku dosen pembimbing skripsi. Terima

kasih atas bimbingan dari awal penulisan skripsi yang akhirnya dapat

terselesaikan. Terima kasih atas kesempatan, diskusi dan nasehat

yang telah diberikan.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi., M.Si selaku dosen

pembimbing akademik peneliti. Terima kasih atas bimbingan selama

masa perkuliahan

4. Segenap dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik dan mengajar

penulis selama masa perkuliahan.

5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Gandung,

Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah banyak membantu

peneliti selama masa perkuliahan, terima kasih atas pelayanannya

(11)

xi

6. Para dosen penguji, Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. dan Ibu P.

Henrietta P.D.A.D.S., M.A., yang telah meluluskan saya.

7. Ketiga subjek atas partisipasinya dalam penelitian ini. Penulis

mengucapkan banyak terimakasih atas partisipasinya. Upah kalian

besar di surga.

8. Terutama untuk bapak dan ibu yang sangat saya hormati dan cintai.

Atas cinta, kasih, dukungan, dan semangatnya. Semoga dengan

selesainya skripsi ini mengurangi sedikit beban pikiran kalian.

9. Kedua adik kandungku yang selalu menemaniku dan menyindir

karena gak lulus-lulus. Terimakasih cambukan semangatnya dan

semoga bisa menjadi contoh yang baik bagi kalian.

10.Special untuk Rengga Oktabiarto atas cinta dan dukungannya yang

luar biasa dalam proses penyelesaian tugas akhir yang lama ini.

Terima kasih selalu menemani di saat paling buruk sekalipun.

Terimakasih atas doa, suka, duka, dan semua yang telah kita lalui

bersama.

11.Keluarga Legowo Soebiarto dan keluarga Lintang Enrico atas

dukungan dan doanya. Terima kasih atas semua dukungan dan

menjadikanku bagian dalam keluarga kalian.

12.Listia Janwari Singarimbun teman gila dalam skripsi ini. Kalau

bukan kita sendiri siapa lagi yakan?

13.Geng rasan-rasan, Seli dan Veani. Makasih gengs buat supportnya. I

(12)

xii

14.Angkatan 2007 titik darah penghabisan atas dukungan dan

bantuannya. Reno, Intan, Ve, Arya, Anton, Dea, Tino, dan Riko kita

pasti bisa dan akhirnya kita bisa juga.

15.Terimakasih juga untuk semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan

satu persatu yang membantu dan memperlacar terselesaikan

tanggung jawab ini.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini

masih jauh dari sempurna. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga

skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. DASAR TEORI ... 11

A. Pembelian Impulsif ... 11

1. Pengertian Pembelian Impulsif ... 11

2. Aspek Pembelian Impulsif ... 14

(14)

xiv

B. Pria Metroseksual ... 17

1. Definisi Metroseksual ... 17

2. Faktor-faktor yang Mendorong Pria menjadi Metroseksual ... 19

3. Karakteristik Pria Metroseksual ... 20

C. Teori Murray ... 21

D. Pembelian Impulsif pada Pria Metroseksual ... 28

E. Kerangka Penelitian ... 30

D. Pertanyaan Penelitian ... 32

BAB III. METODE PENELITIAN ... 33

A. Metode Penelitian ... 33

B. Fokus Penelitian ... 33

C. Subjek Penelitian ... 34

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

E. Tahap Pengumpulan Data ... 37

F. Prosedur Analisis Data ... 40

G. Kredibilitas Penelitian ... 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

B. Deskripsi Subjek ... 44

C. Hasil Penelitian ... 46

1. Subjek 1 ... 46

2. Subjek 2 ... 47

(15)

xv

D. Pembahasan Penelitian ... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

A. Kesimpulan ... 54

B. Saran Aplikatif ... 55

C. Keterbatasan Penelitian ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Kebutuhan Menurut Murray ... 23

Tabel 2. Blueprint Skala Pembelian Impulsif ... 36

Tabel 3. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 61

Tabel 4. Tabel Verbatim Subjek 1 ... 63

Tabel 5. Tabel Verbatim Subjek 2 ... 68

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dinamika Pembelian Impulsif Pria Metroseksual ... 29

Gambar 2. Dinamika Pembelian Impulsif Subjek 1 ... 47

Gambar 3. Dinamika Pembelian Impulsif Subjek 2 ... 49

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini banyak bermunculan produk-produk kosmetik maupun

kecantikan yang ditujukan bagi lelaki, misalnya sabun, parfum, shampo,

pembersih muka, pelembab, maupun lotion yang dahulu hanya ditujukan

untuk wanita saja. Produk-produk tersebut kini telah banyak dijumpai dalam

kehidupan sehari hari dan sangat gampang jika ingin memperolehnya.

Semakin banyak bermunculan produk-produk kosmetik bagi kaum lelaki itu

berarti juga bahwa semakin banyak kaum lelaki yang mulai memperhatikan

penampilan mereka. Menurut Simpson (1994) para pria yang mulai

memperhatikan penampilannya ini bisa disebut dengan istilah metroseksual.

Fakta terakhir yang ditemukan di London adalah jumlah penjualan

kosmetik pria di Inggris dua kali lipat dari penjualan kosmetik wanita.

Berdasarkan survei yang dilansir Reuters (2010) pada pria, alasan kebutuhan

untuk terlihat menawan saat wawancara kerja dan ketakutan untuk menjadi

terlihat tua menjadi kunci penting mengapa penjualan kosmetik untuk pria di

London mengalami peningkatan (Dewi, 2010). Pria metroseksual menjadi

pasar yang potensial bagi para produsen sehingga para produsen semakin

memanfaatkan fenomena pria metroseksual tersebut, seperti yang dikatakan

(19)

metroseksual adalah profit center yang potensial karena kelompok ini gemar

berbelanja dan dapat mempengaruhi ribuan pria yang ingin tampil menawan

namun tidak tahu bagaimana caranya (dalam CBN, 2004).

Solomon (2009) mengatakan bahwa konsep tradisional laki laki yang

ideal ialah yang berotot, tangguh, agresif, dan pria yang menikmati olahraga

serta beraktivitas. Namun telah terjadi evolusi pada sex roles (peran gender),

dahulu pria dikenal sebagai makhluk yang macho dan tidak memperhatikan

penampilan, tetapi sekarang pria juga mulai memperhatikan penampilannya

daripada dahulu. Yuswohady (2006) menyebutkan bahwa pria metroseksual

merupakan segmen pasar yang sangat potensial.

Fenomena pria metroseksual ini mulai banyak dan berkembang di

Indonesia, terutama di kota kota besar. Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono

menyatakan bahwa sosok mereka dapat ditemui dimana-mana, di mall,

kampus, kantor, kafe, kereta eksekutif, apalagi pesawat terbang kelas

eksekutif (dalam Wibowo, 2006). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan

MarkPlus&Co(perusahaan yang bergerak dalam bidang pemasaran dan

konsultasi strategi) yang bekerja sama dengan EuroRSCG AdWork! (agensi

advertising dan iklan komersial), pria metroseksual telah mencapai 15% dari

populasi pria di Jakarta (Swistinawati & Basuki, 2009). Jika dilihat sekitar

sepuluh tahun yang lalu masih sedikit pria yang memperhatikan

penampilannya, akan tetapi sekarang sudah banyak sekali pria yang

memperhatikan penampilannya yang ditunjang oleh berbagai macam produk

(20)

muka, pelembab, lotion, gym, bahkan salon kecantikan (Majalah Tempo

Online, 2004).

Istilah metroseksual mulai diperkenalkan oleh penulis yang bernama

Mark Simpson pada tahun 1994 dalam artikelnya yang berjudul “Here Come

The Mirror Men”. Ia mengatakan bahwa metroseksual ialah seorang pria

urban yang menunjukkan ketertarikan yang kuat dan pengetahuan mengenai

fashion, desain rumah, masakan, dan perawatan tubuh dimana hal tersebut

bertentangan dengan peran gender pada pria secara tradisional. Pria

metroseksual memiliki pesona tersendiri pada era 90-an. Pada tahun 1970-an

para lelaki dilingkupi suasana maskulin seperti Charles Bronson, lalu pada

tahun 1980-an tren kumis lebat memudar dan mulai menghilang, dan satu

dasawarsa kemudian minat pria mulai bergeser ke perawatan wajah, parfum,

perawatan kuku, pijat refleksi hingga bergesernya tokoh idola menjadi Brad

Pitt dan David Beckham

(http://www.republika.co.id/suplemen/cetak.details.asp diakses tanggal 28

Juli 2013).

Metroseksual tersebut memiliki pengertian narcissictic dengan

penampilan dandy (pesolek), yang tidak jauh dari penampilan pria yang

berada di media massa yang jatuh cinta tidak hanya kepada diri sendiri namun

kepada kehidupan metropolis (Handoko, 2009). Hal tersebut didukung oleh

Arifin (Sulandary, 2009), yang mengatakan bahwa perilaku pria yang

memperhatikan penampilan lebih dengan melakukan perawatan diri dan

(21)

penggambaran laki-laki yang kewanita-wanitaan alias banci atau waria, tetapi

pria yang mencintai dirinya sendiri untuk menemukan kepuasan tersendiri di

dalam dirinya (Imawan, 2008). Metroseksual bukan pula selalu homoseksual

melainkan pria normal yang bisa memiliki keluarga yang bahagia dengan istri

dan anak, hanya saja pria metroseksual lebih “kewanitaan” (Apsari, 2010).

Dulu hanyalah kaum homoseksual yang memperhatikan penampilannya

dengan cara berpakaian, mengunjungi salon maupun spa, serta rutin

mengunjungi pusat kebugaran. Namun saat ini batas tersebut mulai bergeser,

pria heteroseksual pun melakukan berbagai upaya agar tampil baik, memiliki

potongan rambut yang bagus, memiliki baju yang bagus, harum, bersih, dan

memiliki badan yang proporsional (Kompasiana, 2011). Pria metroseksual

tidak segan untuk berkunjung ke tempat-tempat yang identik dengan kaum

wanita seperti salon dan spa, bahkan ada yang melakukan operasi kecantikan

demi menunjang penampilannya.

Menurut Fathia (dalam Fathia, 2006) jika dilihat melalui pandangan

masyarakat biasa, kaum metroseksual termasuk di dalam golongan orang

yang sangat royal. Produk-produk yang mereka beli umumnya barang yang

bermerk dan biasanya tempat mereka berbelanja berada di dalam suatu mal

atau yang sering kali disebut one stop shopping karena tidak hanya pusat

perbelanjaan saja yang ada disana melainkan restaurant, tempat nongkrong,

bahkan salon kecantikan (Fathia, 2006).

Berbelanja merupakan kegiatan yang hampir seluruh umat manusia

(22)

manusia tanpa mengenal jenis kelamin dan umur. Setiap orang berbelanja

demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Mangkunegara (2002) mengatakan

bahwa kebutuhan adalah suatu kesenjangan antara suatu kenyataan dengan

dorongan yang ada dalam diri. Hal tersebut menunjukkan jika manusia tidak

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya maka akan menimbulkan perasaan

kecewa, namun sebaliknya jika kebutuhan tersebut terpenuhi akan

menimbulkan rasa kepuasan dalam diri individu tersebut.

Dewasa ini kegiatan belanja tidak hanya untuk memperoleh kebutuhan

pokok, melainkan sebagai pengisi waktu luang dan salah satu aktifitas gaya

hidup guna memenuhi kebutuhan psikologis seseorang (Herabadi,

Verplanken, & Knippenberg, 2009). Munculnya suatu dorongan psikologis

yang kuat dalam diri seseorang kemungkinan menjadi sulit dilawan, karena

akan menjadi sulit bagi seseorang untuk mencegah pengalaman yang

dianggap menyenangkan bagi dirinya (Rook, 1987).

Pengalaman yang dianggap menyenangkan dapat terjadi pada kegiatan

pembelian yang dilakukan oleh konsumen dalam kehidupan sehari-hari

(Rook, 1987). Seringkali konsumen tidak hati-hati dan kurang dapat

memikirkan kegiatan belanja yang dilakukan, sehingga dapat memicu

seseorang untuk melakukan pembelian secara tiba-tiba, tidak direncanakan,

dan sulit dikendalikan. Munculnya situasi tersebut dinamakan pembelian

impulsif (impulsive buying) (Herabadi, Verplanken, Knippenberg, 2009)

Dahulu pembelian impulsif identik dengan kaum wanita. Wanita lebih

(23)

pergi ke salon, dan rajin membeli produk perawatan tubuh. Sedangkan pria

lebih suka menghabiskan waktu dengan teman-temannya dan biasanya

melakukan aktivitas yang mengeluarkan keringat. Namun seiring dengan

berkembangnya jaman, Kertajaya (2004) mengatakan bahwa pada akhirnya

kaum pria mengikuti perilaku kaum wanita dalam hal berbelanja dan merawat

tubuh.

Menurut Kemala (dalam Kemala, 2008) pembelian impulsif pada pria

metroseksual cenderung hampir sama dengan pembelian impulsif wanita dari

kalangan kelas atas. Hal itu nampak dari pembelian parfum, produk

perawatan tubuh, hingga pakaian. Pria metroseksual akan melakukan

berbagai macam upaya agar dirinya terlihat sempurna sehingga ia pun rela

mengeluarkan banyak uang agar dirinya tampil seperti yang ia inginkan. Jika

bentuk tubuhnya kurang bagus maka ia akan membentuk tubuhnya di fitness

centre, jika potongan rambutnya tidak sesuai yang ia inginkan, maka ia tidak

segan-segan untuk ke salon kecantikan untuk memperbaharui gaya

rambutnya. Layaknya wanita, pria metroseksual sangat senang menghabiskan

waktu berjam-jam untuk berbelanja di mall maupun nongkrong di kafe

(Kemala, 2008). Pria metroseksual akan membeli suatu barang sesuai dengan

mood mereka (Kemala, 2008). Aspek kegunaan barang tersebut tidak menjadi

persoalan bagi kaum metroseksual karena yang terpenting dia telah

memilikinya terlebih dahulu (Kartajaya dkk, 2004).

Menurut Rahardjo dan Yuliani (2007) pria metroseksual memiliki

(24)

sehingga mereka dapat memenuhi segala keinginannya. Pembelian impulsif

pria metroseksual dapat terlihat secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari

sehingga perilaku tersebut nampak dari perilaku mereka sehari-hari. Perilaku

tersebut dapat terlihat dari keseharian mereka yang ingin agar penampilannya

terlihat selalu dandy (sesuai dengan apa yang diinginkannya dan tampak

elegan).

Beberapa fenomena mengenai kemunculan pembelian impulsif pada pria

metroseksual mengundang beberapa peneliti untuk melakukan penelitian

terkait dengan pembelian impulsif. Namun sejauh pencarian peneliti, belum

banyak penelitian mengenai pembelian impulsif pada pria metroseksual.

Peneliti sudah melakukan pencarian penelitian tersebut melalui jurnal-jurnal,

skripsi terdahulu, serta penelitian-penelitian sebelumnya mengenai pembelian

impulsif, akan tetapi belum banyak ditemukan mengenai pembelian impulsif

pada pria metroseksual.

Penelitian yang ditemukan mengenai kecenderungan pembelian impulsif

pada usia dewasa awal, penelitian tersebut ialah milik Wikantanti (2012).

Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat gambaran mengenai

kecenderungan pembelian impulsif pada usia dewasa awal di Yogyakarta.

Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif deskriptif.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara umum

kecenderungan pembelian impulsif pada usia dewasa awal di Yogyakarta

(25)

kecenderungan pembelian impulsif menurut jenis kelamin, frekuensi belanja

per bulan, serta cara penawaran barang (Wikantanti, 2012).

Peneliti tertarik untuk meneliti pembelian impulsif pada pria

metroseksual karena pria metroseksual cenderung melakukan pembelian

impulsif untuk menunjang penampilannya agar selalu terlihat dandy dan

menarik.

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif dan teknik

pengumpulan data melalui pengisian skala dan wawancara semi terstruktur.

Penelitian ini akan menunjukkan proses dan alur munculnya perilaku

pembelian impulsif yang tidak dapat diketahui jika memakai metode

kuantitatif. Pengumpulan data dengan metode wawancara semi terstruktur

diharapkan dapat meminimalisir munculnya perilaku menilai diri baik atau

dikenal dengan istilah faking good pada subjek, dalam hal ini subjek akan

sengaja memunculkan perilaku yang dinilai baik oleh norma-norma dan

nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat sehingga tidak menimbulkan citra

negatif.

Kelebihan lain yang didapat adalah metode ini dapat mengungkap

dorongan-dorongan yang mungkin tidak disadari oleh subjek itu sendiri.

Yang dimaksud dengan dorongan yang tidak disadari itu tidak terbatas pada

dorongan yang sengaja disembunyikan karena melakukan faking good

ataupun bentuk kebohongan lain, namun juga dorongan yang tidak

diungkapkan karena ketidaksengajaan. Biasanya dalam kasus

(26)

hanya mengungkapkan dorongan-dorongan yang disadari saja.Oleh karena itu

wawancara dilakukan untuk mengetahui perilaku yang tidak disadari subjek

yang tidak dimunculkan dalam pernyataan ketika pengisian skala. Maka,

dengan menggunakan metode ini, dorongan-dorongan yang bahkan tidak

disadari kehadirannya oleh subjek sendiri dapat diungkap melalui wawancara

pada subjek.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian tersebut mengenai semakin banyaknya pria

metroseksual terutama di kota-kota besar dimana pria metroseksual

melakukan berbagai upaya demi penampilannya dan membuat pria

metroseksual cenderung melakukan pembelian impulsif. Sehingga muncullah

pertanyaan “bagaimanakah dinamika psikologis pria metroseksual yang

melakukan pembelian impulsif?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis pembelian

impulsif yang terdapat pada pria metroseksual.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah agar menyumbang

(27)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

Membuka pandangan atau paradigma mengenai laki-laki

metroseksual yang melakukan pembelian impulsif agar lebih

memahami dinamika psikologis pria metroseksual yang melakukan

pembelian impulsif sehingga bisa menjadi salah satu bahan

pertimbangan sebelum menjatuhkan penilaian negatif terhadap

laki-laki metroseksual yang melakukan pembelian impulsif.

b. Bagi para Laki-Laki Metroseksual

Membuka pandangan sehingga menyadari sepenuhnya dorongan

untuk pembelian impulsif dan memunculkan kewaspadaan diri pelaku

(28)

11

BAB II

DASAR TEORI

A. Pembelian Impulsif

1. Pengertian Pembelian Impulsif

Rook (1987) menyatakan bahwa pembelian impulsif terjadi ketika

konsumen seringkali melakukan pembelian secara tiba-tiba serta memiliki

dorongan yang kuat untuk membeli suatu barang secepatnya. Hal ini

muncul karena karena keinginan untuk membeli yang didasarkan dari

kesenangan semata tanpa mempedulikan cara mendapatkannya. Oleh

sebab itu, pembelian impulsif juga ditandai dengan dengan munculnya

perasaan puas dan gembira setelah melakukan pembelian. Bellenger dan

Korgaonkar (dalam Gasiorowska, 2011) menyatakan bahwa konsumen

yang melakukan pembelian impulsif adalah orang yang menjadi

recreational shopper. Rook dan Hock (dalam Gasiorowska, 2011)

mengatakan bahwa ketika orang berbelanja, seseorang menemukan mood

positif dan merasakan adanya kepuasan dalam aktifitas belanja, bahkan

ketika membeli melebihi apa yang telah direncanakan sebelumnya.

Senada dengan hal tersebut, Rook (1987) mengemukakan bahwa

pembelian impulsif lebih mengutamakan emosional daripada rasional.

Konsumen yang sering melakukan pembelian secara impulsif (highly

(29)

pemikirannya. Konsumen memiliki ketertarikan secara emosional pada

objek, menginginkan kepuasan segera dan disertai dengan gerakan cepat

dan menggemari pengalaman spontan ketika melakukan pembelian. Hal

tersebut ditunjukkan dengan adanya daftar belanja yang bersifat terbuka,

sehingga menyebabkan terjadinya pembelian barang yang tidak terduga

yang didominasi oleh emosi (Hoch & Lowenstein, 1991., Thomson et al.,

1990 dalam Kacen and Lee, 2002). Rook (dalam Kacen and Lee, 2002)

juga menjelaskan bahwa pembelian impulsif didefinisikan sebagai

pembelian tidak terencana (unplanned purchased).

Pembelian impulsif juga didefinisikan oleh Gasiorowska (2011)

sebagai pembelian yang tidak reflektif, sebenarnya tidak diharapkan

terjadi secara spontan, diiringi dengan munculnya keinginan yang

mendadak untuk membeli produk-produk tertentu. Secara spesifik,

kecenderungan konsumen untuk membeli secara impulsif terlihat ketika

membeli secara spontan, tidak reflektif, dan tiba-tiba.

Konsumen distimulasi oleh kedekatan secara fisik dari hasrat

sebuah produk dan reaksinya terhadap stimulus bisa dikaitkan dengan

kontrol intelektual yang rendah (kurangnya evaluasi pada kriteria

kebutuhan, berkurangnya alasan untuk membeli, kurangnya evaluasi

terhadap konsekuensi yang mungkin ditimbulkan, munculnya kepuasan

yang datang secara tiba-tiba sebagai penundaan datangnya kekecewaan)

(30)

disebabkan oleh produk atau oleh situasi atau proses membeli)

(Gasiorowska, 2011; Rook & Fisher, 1995).

Pembelian impulsif merupakan kecenderungan konsumen untuk

membeli secara spontan, mendadak, dan cenderung terjadi secara tiba-tiba

(Peck & Childres, dalam Rohman, 2009). Selain itu, pembelian impulsif

juga didefinisikan sebagai pembelian yang tiba-tiba dan segera tanpa ada

minat pembelian sebelumnya (Beatty & Ferrel, dalam Rohman, 2009).

Adapun beberapa ciri-ciri pembelian impulsif menurut Verplanken

dan Herabadi (Verplanken & Herabadi, 2001) antara lain :

1. Kurangnya perencanaan sebelum melakukan pembelian

2. Kurangnya pertimbangan ketika berbelanja

3. Munculnya perasaan puas dan senang setelah membeli barang yang

diinginkan, namun sesudahnya mengalami kekecewaan

4. Munculnya hasrat untuk melakukan pembelian berkali-kali

5. Pembelian tidak terkontrol

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pembelian impulsif adalah suatu pembelian yang terjadi secara

tiba-tiba, spontan, tidak terencana, dan diiringi dengan adanya keinginan

atau dorongan yang kuat untuk mendapatkan suatu produk atau barang

secara mendadak tanpa mempedulikan bagaimana cara mendapatkannya,

sehingga pada akhirnya merasakan adanya kegembiraan dan kepuasan

dalam diri setelah mendapatkan produk atau barang yang diinginkannya

(31)

2. Aspek Pembelian Impulsif

Verplanken dan Herabadi (2001) mengemukakan dua aspek

pembelian impulsif, yakni aspek kognitif dan aspek afektif.

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif yang dimaksud adalah kekurangan pada unsur

pertimbangan dan unsur perencanaan dalam pembelian yang

dilakukan. Hal ini didasari oleh pernyataan Verplanken dan Aarts

(dalam Verplanken & Herabadi, 2001) bahwa pembayaran yang

dilakukan mungkin tidak direncanakan atau dipertimbangkan secara

matang, misalnya ketika pembayaran tak terencana tampak tak

direncanakan dalam waktu yang panjang atau dalam kasus

pengulangan pembayaran atau kebiasaan pembayaran. Oleh sebab itu,

dapat disimpulkan bahawa aspek kognitif dalam pembelian impulsif

meliputi tidak adanya pertimbangan, tidak adanya proses berpikir, dan

tidak adanya perencanaan dalam melakukan pembelian.

b. Aspek Afektif

Aspek afektif meliputi dorongan emosional yang secara serentak

meliputi perasaan senang dan gembira setelah membeli tanpa

perencanaan (Verplanken & Herabadi, 2001). Setelah itu muncul

perasaan atau hasrat untuk melakukan pembelian berdasarkan

keinginan yang muncul secara tiba-tiba, sifatnya berkali-kali atau

kompulsif, tidak terkontrol, kepuasan, kecewa, dan penyesalan karena

(32)

Oleh sebab itu, maka dapat disimpulkan bahwa aspek afektif dalam

pembelian impulsif antara lain adanya perasaan senang, gembira, dan

muncul perasaan bersalah atau menyesal.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

Gasiorowska (2011) mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor

yang mempengaruhi pembelian impulsif, yakni karakteristik individu,

sekelompok individu (grup) dan faktor situasional, serta kontrol diri dan

evaluasi normatif.

a. Karakteristik individu

Karakteristik individu yang mempengaruhi pembelian impulsif

seperti dorongan yang tinggi dari diri seseorang, munculnya orientasi

sementara, dan memiliki kecenderungan berbelanja untuk rekreasi

(recreational shopping), yaitu berbelanja untuk mendorong atau

meningkatkan mood, menemukan kepuasan saat berbelanja, dan

membeli barang lebih dari yang direncanakan (Gasiorowska, 2011).

Wood (dalam Verplanken & Herabadi, 2001) menyatakan bahwa

mood atau suasana hati tertentu (kombinasi antara keinginan,

kegembiraan, dan kekuatan) dapat menjadi faktor terjadinya

pembelian impulsif. Di samping itu Dittmar et al (dalam Verplanken

& Herabadi, 2001) juga menyatakan bahwa pembelian impulsif

(33)

b. Sekelompok Individu (grup) dan Faktor Situasional

Sekelompok individu (grup) dan faktor situasi tertentu juga

memicu terjadinya pembelian impulsif. Hal tersebut diikuti oleh emosi

tertentu yang sedang dirasakan seseorang sebelum dan setelah proses

pembelian, muncul sikap menuju ke arah promosi, yaitu adanya

rangsangan yang berasal dari dalam toko seperti adanya kenyamanan

yang ditawarkan, kemudahan dalam pembelian, serta waktu yang

tersedia untuk berbelanja (Gasiorowska, 2011). Senada dengan hal itu,

Hoch dan Loewenstein (dalam Gasiorowska, 2011) menyatakan

bahwa konsumen akan merasa dibujuk dan digoda secara emosional

oleh produk-produk yang ditawarkan untuk memperoleh kepuasan

secara tiba-tiba dari suatu produk tertentu. Secara spesifik dijelaskan

bahwa ketika konsumen percaya jika pembelian impulsif itu diterima

secara sosial, maka konsumen akan cenderung melakukan pembelian

impulsif tersebut, tetapi apabila pembelian impulsif yang akan

dilakukan tidak diterima secara sosial, maka konsumen akan

mencegah pembelian impulsif tersebut (Kacen & Lee, 2002).

Verplanken (2001) menunjukkan bahwa kondisi produk atau

lingkungan belanja juga dapat memicu terjadinya pembelian impulsif,

antara lain penampilan produk, warna yang menarik, bau yang enak,

dan iringan musik yang nyaman. Selain itu, Beatty dan Ferrell (dalam

Verplanken, 2001) menyatakan bahwa dalam situasi tertentu uang dan

(34)

c. Kontrol Diri dan Evaluasi Normatif

Kontrol diri seseorang dapat memicu maupun menghambat dalam

mengambil keputusan, khususnya dalam keputusan pembelian

impulsif. Kontrol diri yang rendah akan memicu terjadinya pembelian

impulsif, sebaliknya jika kontrol diri seseorang tinggi, maka dapat

menjadi penghambat terjadinya pembelian impulsif. Di samping itu,

akses dalam penggunaan uang juga dapat memicu terjadinya

pembelian impulsif (Gasiorowska, 2012). Sedangkan evaluasi

normative didefinisikan sebagai penilaian konsumen tentang

kesesuaian antara pembelian impulsif dengan situasi pembelian

tertentu (Rook & Fisher, 1995).

B. Pria Metroseksual

1. Definisi Metroseksual

Menurut Sumardi (2003, h.13) laki-laki metroseksual merupakan

pria yang selalu mengikuti perkembangan fashion dan selalu

menginginkan produk terbaru serta tergolong liberal dan senang

bersosialisasi. Meskipun tergolong pria yang suka memanjakan dirinya,

pria metroseksual tergolong pria yang menghormati persamaan gender.

Menurut Simpson (dalam Irnida, 2005, h.13) pria metroseksual

ialah pria heteroseksual yang suka bersolek dengan cara mengelupas

rambut-rambut yang ada di kulitnya, memakai pelembab, serta

(35)

rambut-rambut yang tidak diinginkan telah menjadi tren baru-baru ini. Beberapa

diantaranya dari kalangan polisi, tentara, bisnis eksekutif, dokter dan

pengacara, bahkan mahasiswa melakukannya secara rutin. Snyder (dalam

Irnida, 2005, h.15) penata busana di Waco mengatakan pengelupasan

rambut itu juga termasuk dalam merapikan alis yang sekarang mulai

marak.

Menurut Trubo (dalam Irnida, 2005, h.13) pria metroseksual

adalah laki-laki normal, sensitif, berpendidikan baik, tinggal di kota yang

dekat dengan sisi feminim, dapat menghabiskan setiap minggu untuk

manicure, dan lebih suka menata rambutnya ke penata rambut daripada ke

tukang cukur biasa. Selain itu suka berbelanja, sebagian besar suka

memakai perhiasan dan di dalam tempat mandinya banyak terdapat

produk khusus pria, termasuk pelembab. Ada kemungkinannya mereka

menggunakan sedikit make-up. Pria metroseksual suka melatih fisiknya

dengan fitness dan penampilannya banyak mendapatkan perhatian, selain

memang suka diperhatikan.

Menurut Salzman (dalam Kertajaya, 2004, h.42) pria metroseksual

ingin memperhatikan diri, memelihara dan berperilaku terbuka, serta

menolak sifat-sifat tradisional laki-laki pada umumnya. Jenis pria ini

bukan banci karena sangat yakin dengan maskulinitas dan

kepribadiannya.

Dapat disimpulkan bahwa pria metroseksual adalah pria muda

(36)

menyukai perawatan tubuh, seperti ke tempat-tempat kebugaran (fitness

centre), dan mengikuti fashion, serta menginginkan produk-produk

terbaru, serta menghargai kesetaraan gender.

2. Faktor-Faktor yang Mendorong Pria menjadi Metroseksual

Faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya pria metroseksual

(Kartajaya, 2004) adalah :

a. Emansipasi wanita

Emansipasi wanita menyebabkan banyak wanita bekerja, yang

akhirnya menggeser nilai-nilai “kelaki-lakian” yang ada pada pria. Hal

ini disebabkan karena perempuan membawa masuk kebiasaan

mempercantik diri ke dalam dunia kerja dan norma ini kemudian

mempengaruhi kebijakan dunia kerja yang mulai memasukkan

penampilan diri sebagai kriteria dalam penilaian karyawan. Dan ketika

penampilan diri diperhitungkan dalam promosi karier maka saat itulah

pria mulai berpikir ulang untuk memperhatikan penampilan sehingga

muncullah pria-pria metroseksual yang sangat memperhatikan

penampilannya.

b. Wanita sebagai bread-winner

Wanita modern mulai mereposisi dirinya sebagai bread-winner

(pencari nafkah). Hal ini membuat pria mengalami krisis identitas

karena peran yang sejak lama menjadi dasar dalam hubungan

sosialnya telah diambil alih. Namun hal ini tidak membuat kaum pria

(37)

adanya ruang yang luas bagi proses rekonstruksi identitasnya yang

baru sehingga muncullah pria metroseksual.

Namun menurut Simpson (dalam Kartajaya, 2004) penyebab

munculnya pria-pria metroseksual yaitu dikarenakan naiknya gerakan

feminisme dan jatuhnya norma keluarga inti (nuclear family) serta

banyaknya wanita yang bekerja membuat pria tidak berhak

mengklaim diri sebagai “pemimpin” dan tidak berhak pula mengklaim

maskulin sehingga mereka mengkonstruksi jati diri mereka menjadi

pria metroseksual.

3. Karakteristik Pria Metroseksual

Beberapa ciri pria metroseksual dikemukakan oleh Kertajaya dkk

(2004) yaitu :

a. Pada umumnya hidup dan tinggal di kota besar dimana hal ini tentu

saja berkaitan dengan kesempatan akses informasi, pergaulan, dan

gaya hidup yang dijalani dan secara jelas akan mempengaruhi

keberadaan mereka.

b. Berasal dari kalangan berada dan memiliki banyak uang karena

banyaknya materi yang dibutuhkan sebagai penunjang gaya hidup

yang dijalani.

(38)

d. Secara intens mengikuti perkembangan fashion di majalah-majalah

mode pria agar dapat mengetahui perkembangan fashion terakhir yang

mudah diikuti.

e. Umumnya memiliki penampilan yang klimis, dandy, dan sangat

memperhatikan penampilan serta perawatan tubuh.

Dilihat dari karakteristik tersebut kaum metroseksual tidak hanya

terdapat di daerah perkotaan saja, hal ini berkaitan dengan perkembangan

modernisasi yang begitu cepat sehingga kesempatan akses informasi

dapat saja pria yang berada bukan di kawasan perkotaan mengikuti gaya

hidup pria perkotaan.

Berdasarkan dari karakteristik dan definisi tersebut dapat disimpulkan

bahwa ciri-ciri pria metroseksual adalah :

a. Menyukai gaya hidup urban, hedonis, dan bersosialisasi di café/mall

b. Menyukai untuk tampil rapi, klimis dan dandy, dan mengikuti

perkembangan mode terbaru

c. Merawat diri dengan cara pergi ke salon untuk melakukan luluran,

facial, spa, perawatan kuku dan tangan, perawatan kuku dan kaki, dan

fitness

C. Teori Murray

Murray merupakan salah satu tokoh psikolog yang bertumpu pada

(39)

setiap perilaku manusia didasari oleh motivasi tertentu. Untuk berbicara

tentang motivasi, tentu harus berbicara tentang kebutuhan-kebutuhan. Murray

mengemukakan 5 kriteria untuk mengidentifikasi kebutuhan:

1. Merupakan respons terhadap suatu objek atau sekelompok objek yang

berfungsi sebagai stimulus

2. Menyebabkan munculnya suatu perilaku

3. Adanya konsekuensi atau hasil akhir dari perilaku tersebut

4. Adanya suatu respons emosional tertentu dalam perilaku tersebut

5. Ada tingkat kepuasan atau ketidak puasan tertentu setelah seluruh respons

dilakukan

Murray (dalam Hall & Lindzey, 1993) membedakan tipe kebutuhan ke

dalam lima kelompok, yaitu:

a. Viscerogenic and Psychogenic Needs (Kebutuhan Viskerogenik atau

Kebutuhan Primer dan Kebutuhan Psikogenik atau Kebutuhan Sekunder)

Kebutuhan viskerogenik merupakan kebutuhan yang berhubungan

dengan organ-organ tubuh terutama berkaitan dengan kepuasan fisik.

Contoh: kebutuhan akan udara, air, makan, seks, laktasi, kencing dan

defekasi. Sedangkan kebutuhan psikogenik merupakan kebutuhan yang

berasal dari kebutuhan viskerogenik dan tidak memiliki hubungan dengan

kepuasan fisik. Contoh: kebutuhan berprestasi, pengakuan, otonomi,

(40)

Tabel 1

Daftar Kebutuhan Menurut Murray

Kebutuhan Batasan Singkat Emosi yang Terlibat kepada kekuatan eksternal, merasa bersalah bila orang lain berbuat kesalahan, menerima inferioritas, mengatasi rintangan, dan mencapai standar, berbuat sebaik mungkin, bersaing mengungguli orang lain. mendapat afeksi dari orang yang disenangi, menjadi teman bagi orang lain, berbaik hati, berbuat sesuatu bersama dengan orang lain.

Mengatasi oposisi dengan kekerasan, berkelahi, membalas penghinaan, menghukum, melukai, membunuh, meremahkan, mengutuk dan memfitnah. Menyerang pendapat orang melawan paksaan atau hambatan, menghindari kekuasaan orang lain, mandiri, tidak terikat,

Terhambat

(41)

membuat keputusan, menghindari urusan dan campur tangan orang lain.

N

Counteraction

(mengimbangi)

Memperbaiki kegagalan dengan berjuang lagi, menghilangkan pelecehan, terhadap serangan, kritik dan celaan, mengenai dirinya, tunduk, menyesuaikan diri dengan harapan orang lain, berbuat lebih baik dari contohnya.

Inferioritas orang lain, mempengaruhi dengan sugesti, persuasi atau perintah, membuat orang lain mengerjakan apa yang disuruhnya. dilihat dan didengar, membuat orang lain kagum, bergairah, terpesona, terhibur, terkejut, terangsang, terpikat. Menjadi pusat

(42)

Avoidance

(menghindari bahaya)

luka, penyakit, kematian. Melarikan diri dari situasi bahaya, tindakan pencegahan. Untuk melindungi diri sendiri tanpa mengadakan perlawanan.

Kecurigaan tidak menentu Bahaya yang memalukan, kondisi yang bisa menimbulkan pelecehan, makian, ejekan, atau sikap masa bodoh. Menahan diri untuk bertindak karena takut gagal. menyenangkan orang lain yang tidak berdaya atau bayi atau orang yang lemah, membantu orang dalam bahaya. Untuk mengampuni dan berlaku dermawan untuk orang lain.

Membuat semua teratur, menjaga kebersihan, susunan, organisasi, keseimbangan, kerapian, ketelitian. Untuk berbuat secara teratur dengan perencanaan yang cermat sebelumnya. berkelakar, relaksasi dari stress secara menyenangkan, ikut dalam permainan, sport, menari,

Gembira

(43)

tidak mempedulikan,

Mencari dan menikmati kesan yang menyentuh perasaan. Untuk memiliki dan menikmati keindahan, kesempurnaan yang abadi. fisik dan psikologik, memuaskan libido. mengerti dan membantu dirinya.

Tabel diambil dari Hall, C. S., dan Lindzey, G. (1993). Teori-Teori Holistik

(Organismik-Fenomenologis); Editor A. Supratiknya. Yogyakarta:Penerbit

Kanisius.

b. Proactive and Reactive Needs (Kebutuhan Proaktif dan Kebutuhan

(44)

Kebutuhan proaktif adalah kebutuhan yang hampir selalu

ditentukan dari dalam diri. Kebutuhan ini bergerak dengan spontan sebagai

akibat dari sesuatu yang berasal dari dalam diri orang tersebut bukan

akibat dari lingungan. Sedangkan kebutuhan reaktif merupakan kebutuhan

yang digerakkan dari luar diri individu sebagai akibat dari respon individu

terhadap lingkungan.

c. Overt and Covert Needs (Kebutuhan Terbuka dan Kebutuhan Tertutup)

Kebutuhan terbuka merupakan kebutuhan yang nyata, dimana

kebutuhan ini dapat dilihat secara langsung atau segera yang tercermin

dalam tingkah laku motorik. Sedangkan kebutuhan tertutup merupakan

kebutuhan yang laten atau tersembunyi, dimana kebutuhan ini biasanya

dikekang, dihambat atau ditekan yang biasanya muncul dalam bentuk

fantasi atau impian. Kebutuhan tertutup merupakan hasil dari

penginternalisasian superego, dimana superego menentukan

perilaku-perilaku yang pantas atau dapat diterima.

d. Focal and Diffuse Types of Needs (Kebutuhan yang Memusat dan

Kebutuhan yang Menyebar)

Kebutuhan yang memusat berarti kebutuhan yang memiliki hubungan

yang erat dengan objek-objek tertentu, sedangkan kebutuhan yang

menyebar berarti kebutuhan ini bersifat umum yang berlaku hampir di

setiap keadaan.

e. Effect and Modal Types of Needs (Kebutuhan Akibat dan Kebutuhan

(45)

Kebutuhan akibat adalah kebutuhan yang mengarah pada suatu

keadaan yang diinginkan, sedangkan kebutuhan modal adalah

kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku tertentu demi perilaku

itu sendiri.

D. Pembelian Impulsif pada Pria Metroseksual

Seseorang yang metroseksual merupakan pria yang memiliki kemampuan

financial untuk mengkonsumsi berbagai produk maupun jasa yang dapat

menunjang kebutuhannya akan perhatian pada penampilan (Simpson, 2002).

Kalangan ini juga dilihat sebagai kalangan yang berada di kota besar atau

memiliki akses yang mudah ke kota besar dan mereka pun ada dimana-mana.

Jenis pekerjaan yang mereka geluti pun cukup bervariasi. Wibowo (dalam

Adlin, 2006) dan Kertajaya et al., (2004) menyebutkan bahwa pekerjaan

mereka mulai dari model, resepsionis, professional media, musisi populer,

olahragawan, bahkan berbagai profesi lainnya yang mendukung penampilan

cantiknya serta memiliki akses ke produk-produk mahal. Hal tersebut memicu

terjadinya pembelian secara tiba-tiba, tidak direncanakan, dan sulit

dikendalikan. Pembelian yang seperti itu disebut sebagai pembelian secara

impulsif.

Wood (dalam Lin & Lin, 2005) menyatakan bahwa usia rentan pembelian

impulsif terjadi pada seseorang yang berusia antara 18-39 tahun. Hal ini

berarti bahwa seseorang dengan rentang umur tersebut dapat rentan terhadap

(46)

masyarakay Yogyakarta. Aktifitas pembelian impulsif dapat mempengaruhi

adanya perubahan gaya hidup di masyarakat. Perubahan gaya hidup dalam

berbelanja ini didukung oleh munculnya banyak gerai fashion, kafe, industry

kecantikan dan kuliner, serta mal dan pusat perbelanjaan yang memberikan

kepuasan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan maupun keinginan

masyarakat (Chaney, 2009).

Seseorang yang metroseksual menyukai gaya hidup hedonis dengan

banyak sosialisasi di café atau mall dan mengikuti perkembangan mode

terbaru. Setiap pria metroseksual memiliki need, need tersebut dipicu oleh

faktor eksternal yang berupa stimulus dan kondisi keuangan pria

metroseksual tersebut lalu respon yang terjadi ialah membeli. Sehingga ketika

pria metroseksual melihat adanya stimulus yang memicunya untuk

melakukan pembelian impulsif agar dirinya selalu mengikuti perkembangan

mode dimana pembelian tidak berdasarkan kebutuhan melainkan keinginan,

maka respon yang mengikutinya ialah pria metroseksual akan langsung

melakukan pembelian tanpa pikir panjang.

Gambar 1. Dinamika pembelian impulsif pria metroseksual

Need Respon

Membeli

Menunda Eksternal :

Stimulus

(47)

E. Kerangka Penelitian

Beberapa penelitian dan artikel telah cukup banyak membahas mengenai

pembelian impulsif pada pria metroseksual. Namun belum banyak buku yang

membahas hal tersebut secara lebih detail. Di sisi lain, fenomena pembelian

impulsif pada pria metroseksual mulai banyak terjadi dan muncul ke

permukaan dengan berbagai tanggapan yang berasal dari lingkungan

masyarakat.

Hal ini terbukti dari beberapa salon yang kini mulai membuka pelayanan

bagi kaum laki-laki dengan fasilitas yang menyerupai salon-salon perawatan

untuk wanita pada umumnya. Beberapa produk perawatan khusus laki-laki

juga mulai bermunculan dengan menggunakan ikon-ikon artis kenamaan.

Menanggapi kemunculan berbagai macam perawatan diri pada laki-laki,

berbagai asumsi dalam masyarakat mulai berkembang. Pahlawan yang

populer saat ini bukan lagi yang perkasa, para pembangun kerajaan, para

penemu dan dan orang-orang berprestasi. Selebriti kini adalah para bintang

film dan penyanyi, "orang-orang cantik" yang lebih memilih kenikmatan

daripada kedisiplinan dan kerja keras (Featherstone, 1991 dalam Sturrock

&Pioch,1998). Pernyataan tersebut menggambarkan telah terjadinya

pergeseran asumsi mengenai sosok maskulin yang pada awalnya adalah sosok

yang bekerja secara kasar dan banyak mengandalkan fisik dengan penampilan

seadanya atau bahkan tidak peduli pada penampilan fisik. Sedangkan sosok

maskulin saat ini lebih mengarah pada laki-laki yang tidak banyak bekerja

(48)

kulit bersih dan halus dan banyak menghabiskan waktu serta biaya untuk

melakukan perawatan diri guna menyokong penampilan fisiknya.

Sebuah biro pemasaran terkenal, MarkPlus&Co pernah mengadakan

sebuah survei yang dilakukan di Jakarta pada bulan Desember 2003 silam.

Survei tersebut melibatkan 400 responden pria yang berangkat dari kelas

ekonomi atas (berpengeluaran lebih dari lima juta rupiah perbulan), dengan

rentang usia 26 – 55 tahun. Dalam survei tersebut ditemukan berbagai fakta

yang menarik seputar fenomena metroseksual di Indonesia, seperti misalnya,

35 % dari responden mengaku mereka menjadikan belanja sebagai pleasure

shopping atau menjadikan aktivitas belanja sebagai rekreasi. Mereka tidak

lagi berbelanja sesuai kebutuhan yang mendatangkan nilai guna (purpose

shopping) yang biasa dianut pria konvensional. Sementara itu berkaitan

dengan pandangan pria metroseksual tentang kesetaraan gender juga dapat

dilihat dari hasil survei yang menyatakan bahwa 89,7% dari responden

mendukung emansipasi, mereka merasa manusia tidak boleh dibedakan

berdasarkan gender.

Fenomena-fenomena tersebut mengantarkan peneliti pada pertanyaan baru

mengenai pembelian impulsif pada pria metroseksual jika dilihat dari

dinamika psikologisnya. Penelitian akan dilakukan dengan metode kualitatif

dan teknik pengumpulan data melalui pengisian skala dan wawancara semi

terstruktur.

Pengisian skala kecenderungan pembelian impulsif dilakukan oleh subjek

(49)

diharapkan dapat menggali informasi yang dibutuhkan. Kedua metode

tersebut diharapkan akan meminimalisir kemungkinan terjadinya faking dari

para subjek. Langkah selanjutnya adalah melakukan interpretasi data dan

penggabungan data wawancara. Kedua data tersebut diharapkan dapat saling

melengkapi sehingga data yang didapat adalah data yang lengkap dan valid.

Kemiripan antara kedua data tersebut akan dapat dikelompokkan dan

kemudian akan dapat membantu mengungkapkan mengenai pembelian

impulsif pada pria metroseksual.

F. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan guna mengungkapkan gambaran pembelian

impulsif pada pria metroseksual yang khususnya berada di area Yogyakarta.

Maka pertanyaan penelitiannya adalah, “Bagaimanakah dinamika psikologis

(50)

33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjelaskan suatu

fenomena secara deskriptif dan berusaha untuk mengeksplorasi,

mendeskripsikan maupun menginterpretasikan maksud dari suatu

fenomena maupun pengalaman personal dan sosial yang dialami oleh

subjek penelitian (Geertz dalam Smith, 2009).

Penelitian kualitatif dipilih pada penelitian ini untuk

mengungkapkan dan memahami sesuatu di balik fenomena yang belum

banyak orang tahu kondisi sesungguhnya (Strauss & Corbin, 2003). Hal

ini mengindikasikan bahwa fenomena yang sedang diteliti merupakan

hal-hal yang tidak dapat dilihat dan dikenali secara langsung sehingga

membutuhkan metode yang lebih mendalam guna mengungkap faktor

tersebut.

B. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti berusaha mengungkap gambaran

dinamika psikologis pria metroseksual yang melakukan pembelian

(51)

yang bertujuan untuk menangkap sedekat mungkin begaimana fenomena

tersebut dialami di dalam konteks terjadinya fenomena tersebut (Smith,

2009). Selain itu fenomenologi berusaha menemukan makna-makna

psikologis yang terkandung dalam fenomena melalui penyelidikan dan

analisis contoh-contoh hidup (Smith, 2009). Langkah-langkah analisis data

menurut Giorgi (dalam Smith, 2009) :

1. Membaca keseluruhan data secara detail

2. Menentukan unit-unit makna

3. Melakukan transformasi data

4. Menangkap struktur dasar pengalaman

Fokus penelitian adalah pada dinamika psikologis pria

metroseksual yang melakukan pembelian impulsif.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berjenis kelamin laki-laki. Subjek tersebut dipilih

dengan menggunakan Criterion Sampling yaitu cara penentuan subjek

berdasarkan criteria tertentu dari peneliti (Creswell, 1998). Subjek

penelitian ini ialah pria metroseksual yang melakukan pembelian impulsif.

Subjek tersebut dipilih dengan menggunakan kriteria tertentu yakni

berdasarkan kriteria dari peneliti dengan standar pria metroseksual yang

melakukan pembelian impulsif. Adapun karakteristik pria metroseksual

ialah menyukai gaya hidup urban, hedonis, dan bersosialisasi di café/mall;

menyukai untuk tampil rapi, klimis dan dandy, dan mengikuti

(52)

salon untuk melakukan luluran, facial, spa, perawatan kuku dan tangan,

perawatan kuku dan kaki, dan fitness

Dalam hal ini, pembelian impulsif dapat mencakup perilaku

pembelian yang terjadi secara tiba-tiba, spontan, tidak terencana, dan

diiringi dengan adanya keinginan atau dorongan yang kuat untuk

mendapatkan suatu barang secara mendadak.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu dengan

menggunakan skala yang diberikan kepada subjek penelitian dan

wawancara semi terstruktur. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan wawancara yang berdasarkan pada skala kecenderungan

pembelian impulsif. Skala kecenderungan pembelian impulsif tersebut

diadaptasi dari jurnal yang dibuat oleh Verplanken dan Herabadi (2001).

Skala ini telah diujicobakan di Belanda dan menghasilkan koefisien alpha

sebesar 0,86. Oleh karena itu item pada skala tergolong cukup

memuaskan.

1. Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif

Penelitian ini menggunakan satu skala yaitu skala kecenderungan

pembelian impulsif (The Impulse Buying Tendency Scale). Skala

kecenderungan pembelian impulsif tersebut dialihbahasakan dari jurnal

yang dibuat oleh Verplanken dan Herabadi (2001). Skala yang

(53)

pengumpulan datanya dengan menggunakan metode rating yang

dijumlahkan dan terdiri dari empat kategori pilihan jawaban, yaitu

Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak

Setuju (STS). Pada awalnya skala ini terdiri dari 52 item yang

didasarkan dari aspek pembelian impulsif tersebut. Skala ini telah

diujicobakan di Belanda dan menghasilkan koefisien alpha sebesar

0,86. Oleh karena itu item pada skala tergolong cukup memuaskan.

Setelah dilakukan uji coba skala ini menghasilkan 20 item dengan skor

koefisien korelasi item yang baik (Verplanken dan Herabadi, 2001).

Berikut adalah blueprint skala penelitian.

Tabel 2

Blueprint Skala Pembelian Impulsif

No. Aspek Item Jumlah

Favorable Unfavorable 1. Kognitif

- Spontan - Tanpa berpikir

sebelumnya - Tidak ada

perencanaan

3,9,10 1,2,4,5,6,7,8 10

2. Afektif

- Perasaan senang - Tidak terkontrol - Puas

- Menyesal - Kecewa

11,12,13, 15,16,17, 18,19,20

14 10

TOTAL 12 8 20

Untuk menjaga validitas dalam penelitian ini, maka peneliti

(54)

dilakukan dengan cara professional judgement atau analisis rasional

yaitu validitas isi dikoreksi oleh orang yang sudah ahli yaitu dosen

pembimbing (Azwar, 2007).

2. Wawancara Semi Terstruktur

Wawancara semi-terstruktur dilakukan guna mendapatkan

informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Wawancara semi terstruktur

ini memungkinkan peneliti untuk fleksibel dalam mengembangkan

pertanyaan sesuai respon yang diberikan subjek penelitian dalam skala

kecenderungan pembelian impulsif. Panduan pertanyaan wawancara

harus dapat mengungkapkan tujuan maupun fokus dari penelitian.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terkait dengan perilaku melakukan

pembelian impulsif pada pria metroseksual termasuk pada diri subjek

sendiri.

E. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa tahapan. Pada tahap

awal, pemberian skala kecenderungan pembelian impulsif diawali dengan

pemberian raport dan instruksi. Instruksi yang dapat diberikan sebagai

penjelasan mengenai apa yang harus dilakukan subjek adalah subjek

diminta untuk mengisi skala kecenderungan pembelian impulsif secara

(55)

Langkah-langkah dalam proses pengumpulan data melalui skala

kecenderungan perilaku impulsif dan wawancara ini melalui beberapa

tahap, yakni :

a. Langkah pertama ialah mencari subjek yang sesuai dengan kriteria

yang sudah ditentukan oleh peneliti dengan cara observasi. Subjek

yang dicari adalah laki-laki metroseksual dengan kisaran usia sekitar

23 sampai dengan 34 tahun dan melakukan pembelian impulsif.

b. Menanyakan kesediaan subjek untuk menjadi subjek yang diteliti

dalam penelitian ini.

c. Menyusun jadwal pelaksanaan pengumpulan data dan wawancara agar

antara peneliti dan subjek penelitian terjadi kesepakatan, sehingga

tidak mengganggu aktivitas dari subjek penelitian.

d. Mengalihbahasakan skala kecenderungan pembelian impulsif. Skala

dibuat sesuai dengan tujuan penelitian dan panduan wawancara

digunakan agar peneliti tetap fokus pada pembicaraan dalam bahan

wawancara.

e. Setelah terjadi kesepakatan jadwal maka peneliti membangun rapport

dengan subjek dan meminta subjek untuk menjawab pertanyaan yang

diajukan secara jujur.

f. Kemudian tahap yang dilakukan adalah pemberian skala

kecenderungan pembelian impulsif. Setelah subjek mengisi skala

(56)

pembelian impulsif. Pengukuran skala tersebut didasarkan pada

kategori penilaian.

1. Item-item favorable yaitu :

- Sangat Setuju (SS) : skor 4

- Setuju (S) : skor 3

- Tidak Setuju (TS) : skor 2

- Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 1

2. Item-iten unfavorable yaitu :

- Sangat Setuju (SS) : skor 1

- Setuju (S) : skor 2

- Tidak Setuju (TS) : skor 3

- Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 4

Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek maka

menggambarkan semakin tinggi pula kecenderungan pembelian

impulsif subjek, dan sebaliknya semakin rendah skor total yang

diperoleh subjek maka menggambarkan semakin rendah

kecenderungan pembelian impulsif subjek.

g. Selama proses wawancara, sarana yang akan dibutuhkan adalah alat

perekam guna merekam verbatim subjek. Setelah itu, peneliti akan

membuat transkrip wawancara dan verbatim keseluruhan hasil

(57)

F. Prosedur Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan &

Biklen, dalam Moleong, 1989). Proses analisis data diawali dengan

langkah awal memahami data. Langkah selanjutnya adalah

menyusunnya dalam satuan yang kemudian dikategorisasikan dan

diakhiri dengan langkah penafsiran data. Langkah-langkah analisis

data pada penlitian ini diuraikan sebagai berikut:

a. Organisasi Data

Proses organisasi data merupakan tahap awal dalam

kegiatan mengolah dan menganalisis data. Poerwandari (1998)

menjelaskan organisasi data dilakukan agar peneliti dapat

memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan

analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data dan analisis

yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini, kemudian

hal-hal penting yang disimpan dan diorganisasikan adalah catatan

lapangan, transkrip wawancara dan catatan refleksi peneliti,

dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data

dan langkah analisis, serta data-data yang sudah diberi kode-kode

(58)

proyektif berupa gambar dan hasil wawancara subjek, kemudian

akan dicatat/ditranskripsikan kata per kata (verbatim). Kemudian

dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yakni melakukan koding

dan pengkategorisasian.

b. Kategorisasi

Kategorisasi dilakukan dengan membaca berulang data

yang didapatkan kemudian memberikan kategori pada hasil data

dan dipisahkan berdasarkan kategorinya masing-masing

(Moleong, 1988). Pada langkah ini, peneliti menemukan beberapa

tema. Kemudian dibuatlah pola yang lebih umum sesuai dengan

kategori yang muncul. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian tetap

fokus pada tujuan penelitian yang disusun secara sistematis agar

mudah dianalisa. Dengan membaca berulang,maka akan didapat

tema-tema umum yang muncul sebagai gambaran atau kerangka

untuk menganalisis data selanjutnya. Pada langkah ini, termasuk

juga mengkategorisasikan data yang sudah ditandai.

c. Penafsiran Data

Pada tahap ini, peneliti membaca kembali hasilnya

berulang-ulang guna mempertajam pemahaman terhadap hasil

penelitian sementara. Peneliti kemudian melakukan interpretasi

data atau yang distilahkan sebagai penafsiran data yang bertujuan

(59)

G. Kredibilitas Penelitian

Tahap selanjutnya setelah melakukan analisis data adalah tahap

verifikasi data yaitu untuk menunjukkan apakah hal yang diamati oleh

peneliti sesuai dengan yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan dan

apakah pemahaman peneliti sesuai dengan pemahaman subjek. Tahap

yang dilakukan peneliti yakni sebagai berikut :

1. Triangulasi

Metode triangulasi dilakukan dengan sumber yakni dengan

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yangberbeda dalam

penelitian kualitatif (Moleong, 1989). Dalam penelitian ini, hal tersebut

dilakukan dengan membandingkan data hasil skala kecenderungan

pembelian impulsif dengan data hasil wawancara.

2. Member check

Member check yaitu suatu usaha untuk mengecek apakah informasi

yang ditangkap oleh peneliti sesuai dengan apa yang dimaksud oleh

subjek. Member check dilakukan oleh peneliti dengan mengulangi

kembali di akhir wawancara apa yang telah dikatakan oleh subjek,

sehingga dapat diantisipasi salah pengertian atau dapat diperbaiki

kekurangan atau kelebihan di sana-sini (Nasution, 1988). Metode ini

juga memberikan kesempatan pada responden untuk memberikan

tambahan informasi, memperbaiki atau bahkan menyanggah dan

Gambar

Tabel 1. Daftar Kebutuhan Menurut Murray  .................................................
Gambar 1. Dinamika Pembelian Impulsif Pria Metroseksual ..........................
Tabel 1
Tabel diambil dari Hall, C. S., dan Lindzey, G. (1993). Teori-Teori Holistik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan pembelian impulsif pada mahasiswa pria dan wanita pengguna jejaring sosial instagram ditinjau dari

Hasil penelitian nya menunjukan semakin tinggi konsumen berbelanja dengan motivasi hedonis maka tingkat pembelian secara impulsif pada media online juga akan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat perbedaan tipe perilaku pembelian impulsif (Dorongan murni, Pembelian impulsif yang direncanakan, Pengingat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah terdapat perbedaan tipe perilaku pembelian impulsif (Dorongan murni, Pembelian impulsif yang

Untuk menguji apakah terdapat perbedaan tipe perilaku pembelian impulsif (Dorongan murni, Pembelian impulsif yang direncanakan, Pengingat dan Saran Pembelian

Dari adanya asumsi responden yang tidak mendukung pria metroseksual tersebut, dari hasil survey terhadap responden yang tergolong sebagai pria metroseksual

Kaum metroseksual adalah pria dengan orientasi seks yang normal yang suka dengan gaya hidup perkotaan, suka merawat diri, bersosialisasi, penampilan cenderung rapi.. Metode

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelian impulsif adalah suatu pembelian yang terjadi secara tiba-tiba, spontan, tidak terencana dan