• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Karakteristik Minyak di Perairan

2.2.3 Prilaku Minyak di Perairan

Pada saat terjadi pencemaran minyak di perairan, minyak akan mengalami serangkaian perubahan atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun sebahagian minyak tersebut terurai oleh lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk proses penguraian itu tergantung pada karakteristik fisika dan kimiawi minyak dan proses penguraiannya secara alamiah. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah:

a. Karaterisik fisika minyak (densitas, viskositas, dan kelarutannya). b. Komposisi dan karakteristik kimia minyak.

c. Kondisi sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanografi dan suhu udara.

d. Karakteristik air laut (pH, arus, suhu, keberadaan bakteri, nutrien, dan oksigen terlaut).

Pada saat minyak masuk ke lingkungan laut sebagai pencemar, minyak segera mengalami perubahan fisik dan kimia melalui proses penyebaran (spreading), penguapan (evaporation), dispersi (dispersion) emulsifikasi (emulsification), pelarutan (dissolution), oksidasi (oxidation) dan sedimentasi (sedimentation) dan penguraian secara biologis (biodegredation). Semua proses ini merupakan proses pelapukan (weathering) yang menguraikan komponen minyak di perairan (IPIECA 2001).

Proses penyebaran minyak akan menyebabkan lapisan menjadi lebih tipis serta tingkat penguapan meningkat. Hilangnya sebahagian material yang volatil

19

menyebabkan minyak lebih padat, berat dan tenggelam (GAO 2007). Prilaku minyak di perairan tersebut diuraikan sebagai berikut.

a. Penyebaran (spreading)

Pada saat masuk ke perairan laut, minyak akan tersebar ke seluruh permukaan laut dalam satu lapisan. Kecepatan penyebarannya tergantung pada tingkat viskositas minyak. Minyak yang viskositasnya rendah dan berbentuk cair akan menyebar lebih cepat dari minyak yang viskositasnya tinggi. Lapisan minyak ini akan menyebar dengan cepat dan menutupi wilayah permukaan laut. Penyebaran minyak tersebut pada umumnya tidak merata. Setelah beberapa jam, lapisan tersebut akan pecah dan karena pengaruh angin, aksi gelombang dan turbulensi air laut, akan membentuk buih tipis. Tingkat penyebaran minyak juga ditentukan oleh kondisi fisik perairan seperti temperatur, arus laut, pengaruh pasang dan kecepatan angin (Reed et al. 1999).

Gelombang dan turbulensi di permukaan laut dapat mengakibatkan seluruhnya atau sebagian dari lapisan minyak pecah menjadi beberapa bagian dan tetesan yang ukurannya bervariasi. Ini akan tercampur ke dalam lapisan atas pada kolom air. Beberapa dari tetesan yang lebih kecil akan tertinggal dan tersuspensi pada air laut sementara tetesan yang lebih besar akan cenderung naik ke permukaan, dimana tetesan-tetesan ini kemungkinan tidak bergabung dengan tetesan lain dan membentuk lapisan atau tersebar membentuk lapisan tipis (NOOA 2002). Penyebaran ini merupakan proses terpenting selama awal ekspose minyak dalam air. Proses ini akan memperluas sebaran minyak sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui proses evaporasi, pelarutan dan biodegradasi.

b. Penguapan (evaporation)

Proses penguapan adalah mekanisme utama hilangnya sebahagian fraksi minyak dari permukaan laut. Laju dan jangkauan proses penguapan banyak tergantung pada proporsi fraksi bertitik-didih rendah dari lapisan minyak yang tumpah. Proses penguapan juga bergantung pada proses penyebaran awal yang telah berlangsung, sebab makin luas dan tipis ketebalan tutupan daerah penyebaran minyak, makin cepat fraksi minyak ringan untuk menguap. Faktor lingkungan yang mempengaruhi penguapan minyak adalah angin, gelombang

20

air dan suhu. Proses penguapan menyebabkan minyak yang mengalami peningkatan densitas dan viskositas (Mangkoedihardjo 2005). Minyak ringan seperti bensin dapat menguap hingga 90 % dari total volumenya selama dua hari, sedangkan minyak mentah ringan dapat menguap hingga 40%. Sebaliknya minyak mentah berat (residu) melepaskan tidak lebih dari 10% dari volume awalnya beberapa hari setelah terjadi pencemaran minyak. Penguapan senyawa alkana (< C15) dan aromatik berlangsung 1 – 10 hari (Xueqing et al. 2001). c. Dispersi (dispertion)

Dispersi adalah mekanisme fraksinasi dari lapisan minyak menyebar dalam bentuk gumpalan (droplet) dan pergerakannya di dalam badan air dapat secara vertikal dan horizontal. Dispersi vertikal berkaitan dengan pergerakan droplet yang memiliki dimensi kurang dari 100 μm. Fenomena ini lebih dianggap sebagai pergerakan polutan dari satu tempat ketempat lain dan bukan sebagai mekanisme degradasi. Formasi gumpalan minyak ukuran kecil secara signifikan mampu meningkatkan kontak antara air laut dan minyak dan penguraian minyak oleh mikroorganisme akan semakin besar. Gumpalan minyak akan menyebar melalui lapisan atas air laut dan akan terapung kembali ke permukaan laut tergantung pada densitas dan ukuran gumpalan minyak tersebut (Syakti 2004).

d. Emulsifikasi (emulsification)

Emulsifikasi adalah proses perubahan status butiran minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak. Gerakan gelombang menyebabkan lapisan permukaan minyak bergerak ke bagian atas permukaan air sehingga menyebabkan formasi minyak yang tidak larut dalam air akan teremulsi dengan cepat. Emulsi mampu mengubah karakteristik minyak secara signifikan. Emulsi yang stabil mengandung 65-80 % air. Emulsi perangkap air dapat meningkatkan volume minyak menjadi 3-5 kali lebih besar (Mukhtasor 2007). e. Pelarutan (dissolution)

Proses pelarutan berperan penting bagi proses biodegradasi minyak di perairan. Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh komposisi kimiawi hidrokarbon minyak bumi, luasan penyebaran, dan kondisi hidrooseanografi perairan (arus, angin dan gelombang) dan viskositasnya. Senyawa aromatik dengan berat

21

molekul kecil seperti benzena dan toluena lebih mudah larut dalam air dibanding senyawa minyak yang berberat molekul besar (NAS 1985). Kelarutan berbagai jenis hidrokarbon minyak di dalam air dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelarutan hidrokarbon didalam air (mg. L-1) pada 25 °C n-alkana Kelarutan (ppm) Senyawa Aromatik Kelarutan (ppm) nC5 40 Benzena 1700 nC6 10 Toluena 530 nC7 3 Ethylbenzena 170 nC8 1 p-Xylena 150 nC12 0.01 Naphtalena 30 nC30 0.002 Phénanthrène 1 Sumber: (Syakti 2004).

Berdasarkan Tabel 3, senyawa aromatis memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa alkana. Benzena memiliki kelarutan yang lebih tinggi, kemudian diikuti oleh toluene, ethylbenzena, xylena dan naphtalena. Pada umumnya makin berat molekul dari senyawa hidrokarbon minyak semakin kecil kelarutannya dalam air.

f. Oksidasi

Proses oksidasi mampu mengubah minyak menjadi senyawa-senyawa baru berdasarkan kemampuan oksidasinya. Pada proses ini, hidrokarbon dapat teroksidasi menjadi alkohol, keton dan asam-asam organik. Hasil oksidasi merupakan senyawa yang lebih mampu larut dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon sebelumnya. Oksidasi minyak mentah dapat terjadi melalui dua proses yaitu foto-oksidasi dan mikrobial-oksidasi. Saat minyak di perairan terkena sinar matahari melalui bantuan oksigen maka terjadilah fotooksidasi dan diikuti dengan oksidasi mikrobial secara aerob. Hal yang mempengaruhi fotooksidasi adalah spektrum dan intensitas cahaya matahari, serta karakteristik permukaan air. Radiasi matahari yang sampai ke lapisan minyak dapat meningkatkan proses oksidasi (photo-oxidation), namun laju penguraian ini tidak lebih dari 0.1% per hari meskipun dibawah intensitas sinar matahari yang tinggi. Disamping itu, aksi gelombang yang dapat mengakibatkan pecahnya minyak menjadi komponen-komponen kecil dapat mempercepat proses oksidasi, karena luas bidang kontak antara minyak dan oksigen semakin besar.

22

Proses oksidasi akan sukar berlangsung pada komponen minyak yang tebal dan berviskositas tinggi. Proses oksidasi cenderung berjalan lambat sehingga minyak dapat membentuk formasi yang persistant (sukar terurai) karena formasi komponen minyak dengan berat molekul tinggi dapat menghasilkan lapisan pelindung pada permukaan gumpalan minyak. Komponen ini cenderung mengalami proses sedimentasi karena berat jenisnya lebih tinggi dari air laut (Mukhtasor 2007).

g. Sedimentasi (sedimentation)

Sedimentasi merupakan proses perubahan minyak menjadi sedimen tersuspensi yang akhirnya akan tinggal di kolom air dan terakumulasi pada dasar perairan. Sinking merupakan mekanisme dimana minyak yang berat jenisnya lebih besar dari air akan pindah ke lapisan bawah secara alami karena gaya gravitasi. Sedimentasi memerlukan mekanisme proses untuk merubah minyak menjadi sedimen. Proses sedimentasi minyak lebih cenderung berlangsung melalui rantai makanan dan terdeposit pada dasar laut bersama kotoran buangan organisme laut. Salah satu mekanisme yang terjadi adalah penyebaran butiran minyak ke kolom perairan oleh zooplankton dan tenggelam ke dasar perairan (Lee et al. 2005).

f. Penguraian secara biologi (biodegredation)

Biodegradasi adalah proses penguraian minyak oleh mikro-organisme pada permukaan kontak minyak dengan air yang berlangsung pada beberapa komponen minyak. Proses biodegradasi merupakan proses perpindahan massa dari media lingkungan ke dalam massa mikroba (menjadi bentuk terikat dalam massa mikroba) sehingga minyak hilang dari perairan. Menurut Syakti (2009), kemampuan mikroorganisme mendegradasi minyak berbeda-beda dengan kecenderungan urutannya adalah senyawa n-alkana (hidrokarbon jenuh), aromatik (benzena, naftalena, dan fenantrena), hidrokarbon jenuh bercabang (isoprenoid), dan porhyrin. Hasil proses biodegradasi umumnya adalah karbondioksida dan metana yang kurang berbahaya dibandingkan minyak pada besaran konsentrasi yang sama. Mikroba yang mampu menguraikan minyak tersedia di dalam air yang terdiri atas berbagai jenis bakteri, ragi dan fungi. Bakteri terpenting adalah Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes,

23

Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium, Cornybacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Vibrio. Jenis ragi dan fungi yang mampu menguraikan minyak adalah Aspergillus, Candida, Cladosporium, Penicillium, Rhodotorula, Sporobolomyces, Trichoderma.

Menurut Shin (2001), efektivitas bioremediasi ditentukan oleh kondisi faktor suhu, jumlah oksigen, nutrien pH dan salinitas. Pada suhu rendah viskositas minyak meningkat dan volatilitas senyawa toksik menurun sehingga akan menghambat proses bioremediasi. Hidrokarbon rantai pendek alkana lebih mudah larut pada suhu rendah, sebaliknya pada suhu tinggi, senyawa aromatis lebih mudah larut. Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat dengan peningkatan suhu sampai batas tertentu. Laju biodegradasi minyak tertinggi di laut dapat dicapai pada suhu 15 - 20°C (Mangkoedihardjo 2005). Ketersediaan oksigen memegang peranan penting dalam proses biodegradasi hidrokarbon jenuh dan aromatik (BTEX). PAHs dan alkanes dapat terdegradasi pada kondisi anaerob (Xueqing et al. 2001).

Pada saat terjadi pencemaran minyak di laut, suplai karbon ke dalam air laut meningkat. Pada saat itu di perairan terjadi ketidak seimbangan komposisi nutrient dimana unsur C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar melebihi komposisi normal bagi kebutuhan mikroba. Untuk mengefektifkan aktifitas mikroba diperlukan penambahan unsur nitrogen (N) dan fospor (P) agar proporsi C/N/P seimbang. Secara teoritis perbandingan unsur C/N/P di perairan adalah 150 mg nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi 1 g hidrokarbon menjadi sel baru (Mangkoedihardjo 2005). Pada umumnya bakteri heterotrof dan fungi menyukai pH netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Oleh sebab itu biodegradasi minyak akan lebih cepat berlangsung dengan peningkatan pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Mangkoedihardjo 2005). Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon akan menurun 3.3-28.4%.

Pada saat terjadi pencemaran minyak, polutan ini akan pecah dan menyebar ke lingkungan laut selama beberapa waktu. Penghamburan ini adalah hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang menyebabkan berubahnya

24

komposisi minyak. Proses tersebut dinamakan pelapukan (weathering). Cara dimana lapisan minyak pecah dan menyebar yang sangat tergantung pada ketahanan (persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin cenderung terevaporasi, tersebar dengan cepat dan akan hilang secara alami. Sifat fisika minyak seperti densitas, viskositas, dan titik alir minyak akan mempengaruhi sifat penyebarannya (IPIECA 2001).

Proses penyebaran minyak dipengaruhi oleh jumlah dan tipe minyak, kondisi cuaca, arus dan gelombang. Berdasarkan sifatnya beberapa komponen dari minyak bumi tergolong polutan konservatif (sukar terurai) sehingga dapat bertahan lama di perairan sebelum menguap atau teradsorbsi oleh organisme perairan. Hal ini di pengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, dan gelombang laut. Sirkulasi arus dapat mempercepat penguapan, penyebaran percampuran, penyerapan dan pengendapan minyak (Clark 2003).

Banyak kapal-kapal tanker, cargo dan ferry yang melintasi perairan Selat Rupat yang menyebabkan perairan ini sangat rentan terhadap pencemaran minyak. Propinsi Riau juga propinsi penghasil minyak, sehingga Pelabuhan Dumai telah digunakan sebagai terminal bongkar-muat minyak. Oleh karena itu, di kawasan Selat Rupat berpotensi terjadinya pencemaran minyak.

Dokumen terkait