• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skenario Pengendalian Pencemaran Minyak di Selat

IX. MODEL PENGENDALIAN PENCEMARAN MINYAK DI SELAT

9.3.3 Skenario Pengendalian Pencemaran Minyak di Selat

Pada umumnya, pengendalian pencemaran minyak saat ini telah dilakukan, namun masih belum optimal, sehingga konsentrasi minyak di beberapa wilayah perairan masih melampaui nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu perlu upaya pengendalian yang sistematis menggunakan instrumen regulasi dan teknologi. Pemilihan alternatif pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: skenario I menggunakan instrumen regulasi (peraturan perundang- undangan), skenario II menggunakan teknologi (oilboom dan dispersant) dan skenario III menggunakan gabungan instrumen regulasi dan teknologi,

133

a) Skenario I (menggunakan regulasi peraturan perundang-undangan)

Pada skenario I, instrumen regulasi merupakan hal penting yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh stakeholder yang berpotensi mencemari lingkungan perairan. Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan bersifat mengikat dan harus diikuti. Apabila tidak diikuti akan dikenakan sanksi hukuman pidana dan denda. Regulasi yang digunakan pada skenario ini merupakan langkah pencegahan melalui peraturan perundang-undangan yang mampu menurunkan tingkat pencemaran di perairan melalui penurunan konsentrasi minyak pada sumbernya. Pada penelitian ini yang menjadi sumber pencemar minyak adalah industri migas, muara sungai dan aktivitas kapal di pelabuhan. Upaya penting yang perlu dilakukan adalah dengan melaksanakan peraturan perundang- undangan yang berlaku dan memberikan sanksi pada pihak yang melanggar. Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan dengan upaya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut, khususnya Selat Rupat ini adalah:

1. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat, tentang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan), pemeliharaan (meliputi konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam), pengawasan dan sanksi (administrasi, pidana dan denda) yang tegas bagi pihak yang melanggar (110 halaman).

2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 ini memuat tentang transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan laut (206 halaman).

3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut, pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan perusakan laut, pemulihannya (9 halaman).

134

4. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di laut yang memuat kewajiban stakeholders (nakhoda, pimpinan kapal, Adpel, Kakanpel, pimpinan unit pengusahaan minyak dan gas bumi, dan pimpinan lainnya), dan tata cara penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di perairan (20 Halaman).

5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang memuat tentang klasifikasi dan kriteria mutu air dan pengendalian pencemaran air (46 halaman)

6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan yang memuat tentang jenis-jenis angkutan air, pengusahaan angkutan di perairan, tanggungjawab dan sistem informasi (49 halaman).

7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi (13 Halaman).

8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 86 Tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dari Kapal-kapal. Keputusan ini memuat persyaratan peralatan dan perlengkapan pencegahan pencemaran, sertifikasi peralatan dan perlengkapan pencegahan pencemaran (7 halaman).

9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang merupakan penyempurnaan dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan, khususnya Bab IV pasal 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 ini memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan (lampiran I), baku mutu air laut untuk wisata bahari (lampiran II) dan baku mutu air laut untuk biota laut - lampiran III (11 halaman).

Instrumen regulasi (peraturan perundang-undangan) merupakan kontrol bagi berbagai pemerintah untuk mencegah terjadinya pencemaran minyak di lingkungan perairan. Selain itu, dalam menjalankan kegiatannya semua pelaku industri harus mempunyai prosedur tetap (protap) untuk mencegah terjadinya berbagai berbagai insiden (kecelakaan) yang merugikan diri sendiri dan lingkungan kerjanya. Pada saat ini, industri migas dibawah koordinasi BP Migas juga telah mengeluarkan prosedur tetap (protap) untuk penanggulangan tumpahan

135

minyak di perairan. Apabila pemerintah sebagai pelaku kebijakan telah menjalankan instrumen regulasi tersebut dengan baik dan penegakan sanksi (pidana dan denda) bagi yang melanggar dilaksanakan, maka pencemaran minyak di perairan dapat dicegah secara dini. Respon lingkungan terhadap penerapan skenario I dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Penerapan skenario I, respon klas bahaya dan hasil tangkapan nelayan. Tahun Konsentrasi

Minyak (ppm) Resiko klas bahaya pencemaran

Tangkapan (ton/tahun)

Pendapatan (US$x1000) Pelintung Lb.Gaung P.Ketam

2010 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2011 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2012 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2013 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2014 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2015 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2016 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2017 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2018 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2019 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5 2020 23.7 1 2 1 2,163.00 5,407.5

Keterangan: klas 1=sangat aman, 2= aman, 3=cukup berbahaya, 4=berbahaya, 5 sangat berbahaya

Peran regulasi dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan Selat Rupat mampu menurunkan respon klas bahaya wilayah Lubuk Gaung menjadi aman terhadap resiko pencemaran minyak. Penerapan regulasi mampu memberikan tekanan kepada stakeholders terkait. Semenjak diberlakukannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007, maka konsentrasi minyak di outlet effluent industri migas telah mengalami penurunan hingga dibawah baku mutu (< 20 ppm).

Pelaksanaan regulasi ini ternyata hanya efektif untuk mengendalikan pencemaran minyak di effluent industri, namun untuk wilayah pelabuhan dan muara sungai masih sukar diwujudkan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen dari stakeholder terkait (pengelola kapal dan industri di daratan) dalam menekan input pencemaran minyak di perairan.

b) Skenario II menggunakan teknologi (dispersant dan oilboom).

Pada skenario II digunakan dispersant dan oilboom secara parsial tanpa instrumen regulasi. Pada umumnya oilboom kurang efektif untuk mengendalikan

136

pencemaran minyak di perairan laut yang memiliki arus dan gelombang yang kuat, namun oilboom mampu merangkap minyak agar tidak menyebar luas di perairan. Sebaliknya dispersant mempunyai kemampuan dan efektifitas yang tinggi memecah lapisan minyak di perairan laut.

Menurut Lessard dan Demarco (2000), penggunaan dispersant mampu memecah minyak yang menutupi permukaan air menjadi butiran-butiran kecil (droplets) yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu terdispersi ke badan air. Hasil dispersi ini menyebabkan semakin besarnya droplet minyak yang lepas ke badan air sehingga mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terdegredasi karena luas permukaannya menjadi lebih kecil. Hal ini mencegah agar minyak tidak sampai ke pantai. Jumlah dispersant yang digunakan harus disesuai dengan konsentrasi minyak yang mencemari perairan. Kelebihan penggunaan dispersant ini adalah dapat digunakan dalam segala macam cuaca, dapat diaplikasikan di wilayah yang luas dengan menggunakan helikopter dan dapat mendegredasi minyak dengan cepat. Efektivitas dispersant tergantung pada jenis minyak, umumnya 1 bahagian dispersant mampu memecah 100 bahagian minyak dan dengan bantuan arus dan gelombang dispersant mampu memecah minyak berat (Lessard & Demarco 2000). Penggunan teknologi dispersant mampu mengurangi resiko bahaya di wilayah Lubuk Gaung yang sangat peka terhadap pencemaran minyak.

Penggunaan dispersant dan oilboom di perairan mampu mengurangi resiko pencemaran minyak di kawasan Selat Rupat. Respon bahaya wilayah pelintung dan Pulau Ketam mengalami perubahan dari kriteria aman (klas 2) menjadi sangat aman (klas 1). Wilayah Lubuk Gaung juga mengalami perubahan respon dari cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas 2) terhadap pencemaran minyak. Respon lingkungan terhadap penerapan skenario II dapat dilihat pada Tabel 22.

137

Tabel 22 Penerapan skenario II, respon klas bahaya dan hasil tangkapan nelayan. Tahun Konsentrasi

Minyak (ppm)

Resiko klas bahaya pencemaran Tangkapan (ton/tahun)

Pendapatan (US$x1000) Pelintung Lb.Gaung P.Ketam

2010 22.8 1 2 1 2,184.60 5,461.5 2011 21.6 1 2 1 2,168.70 5,421.8 2012 22.5 1 2 1 2,175.10 5,437.8 2013 21 1 2 1 2,170.00 5,425.0 2014 21.5 1 2 1 2,178.50 5,446.3 2015 20.3 1 2 1 2,175.90 5,439.8 2016 20.5 1 2 1 2,182.50 5,456.3 2017 19.6 1 2 1 2,181.70 5,454.3 2018 19.5 1 2 1 2,186.70 5,466.8 2019 18.8 1 2 1 2,187.20 5,468.0 2020 18.6 1 2 1 2,191.30 5,478.3

Keterangan: klas 1=sangat aman, 2= aman, 3=cukup berbahaya, 4=berbahaya, 5 sangat berbahaya

Dari Tabel 22, penggunaan teknologi mampu mengurangi konsentrasi minyak di perairan secara signifikan sehingga respon lingkungan terhadap resiko pencemaran minyak di Selat Rupat menjadi aman hingga sangat aman. Kondisi aman, mampu meningkatkan hasil tangkapan nelayan dari 2,058 ton (tahun 2005) menjadi 2,184 ton (2010) dan berdasarkan hasil simulasi penggunaan skenario II dapat meningkat hasil tangkapan hingga 2,191,3 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung akan meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.

c) Skenario III (pengendalian gabungan menggunakan teknologi dan regulasi).

Pada skenario III, pengendalian pencemaran minyak dilakukan dengan menggunakan instrumen gabungan teknologi (oilboom dan dispersant) dan regulasi (peraturan perundang-undangan). Instrumen teknologi yang digunakan adalah oilboom dan dispersant memiliki fungsi yang berbeda sesuai dengan kondisi lapangan. Oilboom umumnya hanya efektif digunakan pada perairan yang tenang yang berfungsi sebagai perangkap minyak di perairan agar minyak tetap pada lokasi tertentu sehingga tidak menyebar pada wilayah yang luas, kemudian dilakukan penyedotan. Efektivitas oilboom di perairan laut pada umumnya dipengaruhi arus dan gelombang. Sebaliknya, penggunaan dispersant lebih efektif pada perairan yang memiliki arus yang kuat dan bergelombang karena

138

membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur sempurna dengan minyak.

Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan aktif yang dikenal dengan nama surfactant yang mampu memecahkan minyak menjadi butiran-bituran kecil (droplet). Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak mudah terdegredasi dan mencegah minyak agar tidak sampai ke pantai sehingga wilayah yang peka diharapkan menjadi lebih aman.

Keberadaan instrumen regulasi dalam bentuk peraturan perundang- undangan meliputi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi, Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. mampu menekan polutan minyak di perairan. Respon lingkungan terhadap penerapan skenario III dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Penerapan skenario III, respon klas bahaya dan hasil tangkapan. Tahun Konsentrasi

Minyak (ppm) Respon klas bahaya pencemaran

Tangkapan (ton/tahun)

Pendapatan (US$x1000) Pelintung Lb.Gaung P.Ketam

2010 17.37 1 2 1 2,230.00 5,575.0 2011 13.51 1 2 1 2,199.40 5,498.5 2012 16.3 1 2 1 2,221.50 5,553.8 2013 14.29 1 2 1 2,205.50 5,513.8 2014 15.74 1 2 1 2,217.10 5,542.8 2015 14.69 1 2 1 2,208.70 5,521.8 2016 15.45 1 2 1 2,214.80 5,537.0 2017 14.9 1 2 1 2,210.40 5,526.0 2018 15.3 1 2 1 2,213.60 5,534.0 2019 15.01 1 2 1 2,211.30 5,528.3 2020 15.22 1 2 1 2,212.90 5,532.3

Keterangan: klas 1=sangat aman, 2= aman, 3=cukup berbahaya, 4=berbahaya, 5 sangat berbahaya

Penggunaan instrumen gabungan teknologi (oilboom dan dispersant) dan instrumen regulasi mampu menurunkan resiko bahaya wilayah Pelintung dan Pulau Ketam menjadi sangat aman (klas 1) dan wilayah Lubuk Gaung dari tingkat cukup berbahaya (klas 3) menjadi aman (klas 2). Perubahan status respon ke kriteria aman menyebabkan meningkatnya hasil tangkapan nelayan yang diikuti dengan peningkatan pendapatan. Berdasarkan hasil simulasi, hasil tangkapan nelayan yang sebelumnya 2,058 ton pada tahun 2005 dapat meningkat hingga

139

2,212,9 ton pada tahun 2020. Peningkatan hasil tangkapan ini secara langsung dapat meningkatkan pendapatan nelayan di sekitarnya.

Wilayah Lubuk Gaung tidak mudah mengalami perubahan respon terhadap resiko menjadi sangat aman (klas 1), karena wilayah ini merupakan wilayah yang sangat peka terhadap minyak. Walaupun konsentrasi minyak yang mencemari kecil, namun respon terhadap minyak di wilayah Lubuk Gaung sangat tinggi. Oleh sebab itu, wilayah ini perlu diprioritaskan dalam pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat.

Dokumen terkait