• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENYELESAIKAN BISNIS YANG MENGANDUNG KLASUL ARBITRASE

B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

1. Prinsip Final dan Binding

Putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dijalankan di Indonesia, dianggap sebagai “suatu putusan arbitrase internasional yang berkekuatan hukum tetap” dari putusan arbitrase Internasional di Indonesia. Demikian isi Pasal 68 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbirase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Sebelumnya, Pasal 2 PEMA No. I Tahun 1990 juga menegaskan hal yang sama. Demikian pula Pasal III New York Convention 1958 antara lain menyatakan “each contracting state sha recognize arbitral awards as binding and enforce them”. Demikian jelaslah bahwa setiap anggota konvensi berkewajiban (shall) mengakui putusan arbitrase internasional sebagai suatu putusan yung mengikat ( binding) mempunyai kekuatan eksekusi terhadap para pihak.62

Dengan adanya penegasan pengakuan putusan arbitrase internasional yang diajukan permintaan eksekutoral kepada pengadilan, sama halnya sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, tidak ada alasan lagi untuk menolak atau menyatakan pemberian eksekutornya tidak dapat diterima, kecuali putusan

melanggar asas-asas yang ditentukan. Di samping itu, dengan adanya penegasan ini, pengadilan tidak berwenang untuk mempermasalahkan materi putusan. Tugas pokoknya dalam menjalankan fungsi eksekutor, hanya meneliti apakah ada dilanggar asas-asas yang dilarang maupun penggaran atas aturan formal yang bersifat serius atau fundamental Bila tidak ada, dia harus memberi eksekutor. Bila ada, dia menolak memberi pemberian eksekutor.63

Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 antara lain menegaskan, putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia bila putusan tersebut dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Demikian pula sebelumnya, Pasal 3 PEMA No. 1 Tahun 1990 2. Prinsip Resiproritas

Pengadilan dalam memberikan eksekutor juga harus berlandaskan pada prinsip resiproritas, yang berarti tidak semua putusan arbitrase Internasional dapat diakui dan dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia. Indonesia hanya akan mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase Internasional tersebut juga mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase Indonesia. Untuk itu, dipersyaratkan adanya ikatan secara bilateral maupun multiteral dengan Indonesia mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Inilah yang dimaksud dengan asas atau prinsip resiproritas atau timbal balik.

63

menentukan syarat pengakuan dan pekasanaan putusan arbitrase asing didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas). Prinsip resiprositas ini pun juga diakui oleh hukum internasional. Pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 antara lain menyatakan : "any state may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the Recognition and Enforcement of awards only in the territory of another Contrating Stage“. Dengan merujuk bunyi pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 dideklarasikan pernyataan prinsip resiprositas ini dalam Keputusan Presiden No.34 Tahun 1981, bahwa “the Government of Republic of Indonesia declares that it will apply the Convencation on the basis of reciprociyy”.

Sikap negara Indonesia yang berpegang teguh pada prinsip resiprositas mengenai pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase internasional, merupakan landasan atas prinsip kedaulatan negara dan hukum maupun pengadilan negara dan bangsa Indonesia. Asas ini berpegang teguh pada prinsip saling hormat-menghormati diantara sesama bangsa dan negara lain. Kita akan hormat-menghormatinya apabila secara timbal balik dia juga menghormati kita. Kita akan mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase yang dijatuhkan di suatu negara. Penegasan ini bukan didasarkan atas sikap eksekusi. Tidak pula didasarkan atas sikap sempit dan ekstrim. Penegasan asas tersebut, didasarkan atas nilai-nilai hukum internasional yang secara universal telah berlaku sejak dulu dalam semua bidang kehidupan antar bangsa. Prinsip resiprositas yang terjalin sejak dulu antar kehidupan bangsa, meliputi semua aspek, termasuk bidang hukum.64

Putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia, selain harus memenuhi syarat diatas, juga harus putusan yang menurut

hukum Indonesia termasuk dalam kasus atau ruang linkup hukum dagang atau perdagangan atau ekonomi. Sepanjang putusan arbitrase internasional itu termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan, maka dapat dilaksanakan pula di Indonesia.

Pembatasan ini dengan tegas disebutkan dalam pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 yang antara lain menyatakan, putusan arbitrase internasional yang diakui dan dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Demikian juga pengaturan yang sama dapat dijumpai sebelumnya dalam Pasal 3 PEMA No. 1 Tahun 1990, yang menegaskan bahwa putusan-putusan arbitrase asing yang dapat diakui dan dieksekusi di Indonesia hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.

Baik Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999 maupun Pasal 3 PEMA No. 1 Tahun 1990 tidak lain adalah nasionalisasi bunyi Pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 maupun pernyataan yang di cantumkan dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Pasal 1 ayat (3) New York Convention 1958 antara lain menyatakan :it may also declare that it will apply the Convention onlv to differences arising out of legal telationships whether contractual or not, which are considered as commercial inder the national law of state making .such declaration ".

Sedangkan dalam lampiran Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 antara lain menyatakan : "and that it will aplyy the Convention only to coA nsidered as commercial under the Indonesia law ". Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa putusan arbitrase internasional yang dapat diakui dan dieksekusi oleh pegadilan di Indonesia hanya terbatas pada putusan yang berhubungan dengan

sengketa atau perselisihan di bidang hukum dagang atau ekonomi dalam artian yang luas.

Pembatasan inilah yang harus dijadikan sebagai salah satu patokan dalam penelitian pemberian eksekutor terhadap putusan arbitrase Internasional. Namun, dalam hal ini jangan sampai terjebak kepada pemahaman hukum dagang yang terlampau sempit. Tetapi harus dipahami secara luas. Ke dalamnya termasuk nilai- nilai globalisasi maupun kebiasaan-kebiasaan yang ada di atas asas-asasnya dalam hukum dagang Indonesia maupun dalam asas-asas hukum perjanjian. Beberapa jenis bentuk bisnis yang dapat dimasukkaan kedalam ruang lingkup "commercial" yang tidak diatur dalam hukum dagang Indonesia, sehingga merupakan hal baru dalam praktik hukum di lingkungan pengdilan. Namum secara konkreto dia tergolong salah satu bentuk bidang bisnis. Dia dianggap sebagai salah satu aspek komersial.