Dari segi sifatnya, perjanjian penitipan adalah bersifat riil. Sifat ini terdapat juga pada
perjanjian simpanan, seperti deposito atau tabungan. Namun terdapat perbedaan di antara keduanya yaitu pada perjanjian penitipan, barang yang dititipkan akan disimpan dan dikembalikan seperti wujud semula serta tidak dibebani bunga. Tidak demikian dalam perjanjian simpanan, pihak bank menetapkan persyaratan umum tertentu dalam rekening deposito atau rekening tabungan antara lain pihak penerima simpanan (bank) dapat mempergunakan uang si penyimpan dan dalam waktu tertentu bank akan memberikan bunga.
39
Selain itu, Undang-Undang Perbankan secara tegas membedakan antara simpanan dan penitipan. Yang dimaksud dengan penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara bank umum dengan penitip, dengan ketentuan bank umum yang
bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.40 Perjanjian penitipan yang
diatur dalam Undang-Undang Perbankan juga tidak memberikan ketegasan apakah tunduk
pada aturan KUH Perdata, namun dalam praktiknya selalu mempergunakan KUH Perdata.41
Menurut R. Subekti, perjanjian simpanan (deposito) pada hakikatnya adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan bunga. Ketentuan lain yang dapat dijadikan dasar hubungan
antara bank dengan nasabah penyimpan adalah Perjanjian Pemberian Kuasa (Lastgeving). Dalam
Pasal 1792 KUH Perdata dikatakan bahwa “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Apakah dapat dikatakan bahwa nasabah penyimpan memberikan kuasa kepada bank ketika menandatangani rekening deposito atau rekening tabungan atau rekening koran. Staub yang disitir oleh G. de Grooth mengatakan bahwa perjanjian rekening
koran adalah novasi, sedangkan Mariam Darus berkesimpulan bahwa secara expressis verbis,
perjanjian rekening koran di dalam Undang-Undang Perbankan merupakan perjanjian pemberian
kuasa.42
40
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Menurut penulis, perjanjian simpanan tidak identik dengan perjanjian penitipan dan juga tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian pemberian kuasa. Perjanjian simpanan memiliki
identitas sebagai perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst, innominaat conracten)
dengan ciri-ciri sebagai berikut : pertama, perjanjian simpanan bersifat riil, artinya lahirnya
perjanjian tidak cukup diperlukan kesepakatan saja tetapi nasabah penyimpan harus
41
St. Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 132-134.
42
menyerahkan uang kepada bank untuk disimpan; kedua, uang yang telah diserahkan menjadi
milik bank dan penggunaannya menjadi wewenang penuh dari bank; ketiga, hubungan
hukumnya adalah bank berkedudukan sebagai debitor dan nasabah penyimpan berkedudukan
sebagai kreditor; keempat, bank bukanlah sebagai peminjam uang dari nasabah penyimpan;
kelima, nasabah penyimpan bukan sebagai penitip uang pada bank; keenam, bank akan mengembalikan simpanan nasabah dengan kontraprestasi berupa pemberian bunga.
Dari karakter hukum perdata, ada dua model yang dapat dipergunakan untuk menjamin
simpanan nasabah. Pertama, dengan perjanjian asuransi dan kedua, dengan perjanjian
penanggungan. Perjanjian asuransi tidak identik dengan skim asuransi yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 37 B ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004.
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Pasal 1 angka 1 disebutkan :
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.43
Subyek hukum dalam perjanjian asuransi adalah penanggung dan tertanggung. Tertanggung wajib membayar premi kepada penanggung, dan sebaliknya pula berhak atas pembayaran ganti kerugian jika peristiwa yang tak pasti itu terjadi. Di sinilah letak pentingnya
perjanjian asuransi memberikan proteksi.44
43
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
Hubungan hukum antara penanggung dengan tertanggung ditegaskan dalam polis. Nasabah penyimpan meminta kepada bank untuk menjadi tertanggung dan lembaga asuransi sebagai penanggung. Dalam perjanjian asuransi tersebut dicantumkan klausul bahwa apabila bank dilikuidasi maka hak bank beralih kepada nasabah
44
penyimpan. Jadi, terdapat pengaturan subrogasi,45 sehingga nasabah penyimpan bertindak sebagai kreditor baru untuk menuntut haknya kepada penanggung. Berbeda dengan perjanjian
asuransi, dalam skim asuransi46
Sistem hukum perjanjian dibangun berdasarkan asas-asas hukum. Mariam Darus mengemukakan bahwa sistem hukum merupakan kumpulan asas-asas hukum yang terpadu di atas mana dibangun tertib hukum.
yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perbankan, yang terlibat adalah 3 (tiga) pihak yakni nasabah penyimpan, bank, dan lembaga asuransi simpanan. Dalam hal ini yang menjadi tertanggung adalah bank, dan penanggungnya adalah lembaga asuransi simpanan, sedangkan nasabah penyimpan adalah orang yang menerima manfaat asuransi. Bank sebagai peserta LPS wajib membayar premi penjaminan. Dalam hubungan hukum tersebut tidak diperlukan adanya polis. Namun kehadirannya lebih cenderung untuk menjamin uang nasabah penyimpan.
47
Pandangan ini menunjukkan arti sistem hukum dari segi substantif. Dilihat dari segi
substantif, asas hukum perjanjian adalah suatu pikiran mendasar tentang kebenaran (waarheid,
truth) untuk menopang norma hukum dan menjadi elemen yuridis dari suatu sistem hukum perjanjian. Di depan, di dalam, dan di belakang pasal-pasal dari hukum perjanjian terletak cita-cita hukum dari pembentuk hukum perjanjian. Jika norma hukum perjanjian bekerja tanpa memperhatikan asas hukumnya, maka norma hukum itu akan kehilangan jati diri dan semakin memberikan percepatan bagi runtuhnya norma hukum tersebut.
Hubungan antara norma dan asas hukum perjanjian sedemikian erat seperti bangunan rumah dengan tiang-tiang sebagai penopangnya. Asas hukum perjanjian merupakan landasan tempat melahirkan norma hukum, sebagai rohani hukum, sebagai tempat menganyam sistem
45
Emy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1982, hal. 74-77.
46
Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Bank, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 282.
47
hukum perjanjian, sebagai pedoman kerja bagi hakim, dan pelaksana hukum lainnya. Secara substantif filosofis, asas hukum perjanjian menjadi cita-cita hukum dan secara ajektif memberikan arah dan patokan untuk bekerja menyelesaikan peristiwa hukum perjanjian yang kongkret dalam masyarakat. Suatu norma hukum perjanjian yang baik harus memuat rumusan
pasal yang pasti (lex certa), jelas (concise) dan tidak membingungkan (unambiguous).48
Berikut ini dapat dikemukakan sejumlah asas hukum dalam sistem hukum perjanjian yaitu asas konsensualisme, asas kepastian hukum, asas kepercayaan, asas moral, asas kebebasan berkontrak, asas persamaan, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, asas perlindungan bagi golongan lemah, asas kekuatan mengikat, dan asas itikad baik.
Oleh karena itu, tidak dapat diterima secara utuh cita-cita hukum dari paham liberal sebelum dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan hukum kepribadian bangsa kita (nilai-nilai yang sesuai dengan pandangan hidup yaitu Pancasila). Hal ini menunjuk betapa pentingnya kedudukan dan peranan asas hukum perjanjian dalam suatu sistem hukum perbankan.
Dari sejumlah asas tersebut, terdapat 3 (tiga) asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat.
Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan melalui karakter hukum kepribadian
bangsa, bukan karakter hukum liberal. Tekanan dari salah satu pihak melalui posisi inequality of
bargaining power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak seimbang, dan hal ini melanggar
48
asas iustum pretium. Perjanjian yang demikian menjadi cacat dan akibatnya dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable).49 Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu. Tanda tangan yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi perjanjian. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik (te geode trouw, in good faith).
D. Pentingnya Perlindungan Hukum Dalam Hubungan Antara Bank dan Perlindungan